“Kalo kamu ke Bandung,” kata seorang teman dengan penuh antusias, “Jangan lupa makan surabi. Surabi yang enak, ada di kawasan Cihampelas.”
“Pokoknya,” dia kembali melanjutkan, “Kamu belum ke Bandung kalau belum makan surabi!”
Perkataan itu begitu terngiang-ngiang di kepalaku, hingga akhirnya kesempatan itu muncul. Yaa, akhirnya aku sampai di Bandung. Tepat di awal bulan Juni tanggal satu.
***
Haii, haii, haiii! Apakah kalian merindukanku? Bahkan sampai ada teman yang mengirimku pesan WhatsApp, kenapa sudah tidak update tulisan di Blog lagi. Kemana saja. Ada hal apa.
Tenang, aku masih di sini, kok. Hehee..
Kali ini aku hendak bercerita tentang perjalanan ke Bandung, beberapa waktu yang lalu. Sebenarnya sudah sejak lama hendak menuliskannya, tapi selalu ada aja halangannya.
Well, untuk sampai ke Bandung,kami membutuhkan waktu sekira empat jam. Tentunya, itu sudah dengan waktu istirahat satu jam. Berangkat sebelum jam tiga dini hari, istirahat di rest area untuk shalat Shubuh, dan kurang dari jam enam pagi akhirnya kembali melanjutkan perjalanan.
Lihatlah pembaca, para anak muda dalam narasi di atas sangat semangat bangun pagi untuk liburan dan jalan-jalan. Padahal, di hari-hari biasa sangat sulit untuk bangun pagi untuk shalat Shubuh. Hadeuuhh.. Dasar aku, hikss! 😭😂
Singkat cerita, aku akhirnya benar-benar kembali ke Cihampelas, setelah terakhir ke sana di tahun 2018 (Baca juga: Malam Hari di Bandung). Tidak ada perubahan berarti. Hanya saja nampak lebih sepi, mungkin efek dari pandemi.
Dan, mumpung sudah di Cihampelas, aku saat itu benar-benar berhasrat untuk membuktikan perkataan temanku di paragraf satu; Makan surabi di Cihampelas.
Aku sudah masuk di restoran surabi yang ada di sana, kalau kamu orang Bandung, atau sudah sering ke Bandung, pasti tahu restoran surabi mana yang aku maksud. Ternyata, tidak terlalu mahal harganya, hanya sembilan ribu rupiah, untuk surabi original. Namun, apabila kamu mau mencoba topping yang lain dan lebih “modern”, tentu saja harganya lebih mahal.
Bagaimana pendapatku tentang surabi ini?
Menurutku, harga sembilan ribu cukup murah dan sangat mengenyangkan. Aku tidak menyangka dengan tempat sebagus itu, bisa menjual makanan dengan harga yang tidak sampai sepuluh ribu. Namun, dari ke-antusias-an temanku di paragraf satu, menurutku ia sangat berlebihan. Surabi memang enak, tapi biasa-biasa saja. Tidak seheboh yang dia beritakan.
***
Singkat cerita, aku pulang ke kos. Hidup kembali seperti sedia kala. Besok hari harus berangkat kerja.
Skip, skip, skipp..
Beberapa hari kemudian, menjelang istirahat makan siang, aku iseng mengunggah foto surabi yang kami makan kemarin. Foto itu sebenarnya dipotret temanku, namun aku meminta izin untuk mengunggahnya di status WhatsApp.
Apa tujuanku?
Tidak ada, iseng saja.
Tring, tetiba ada satu pesan masuk. Merespon status WhatsApp tersebut. “Waah, enak tuh makan-makan terus..”
Aku melihat ponselku, tanpa melakukan read pesan terlebih dahulu. Ternyata dari kakak tingkat di kampus. Aku membalas dengan santai, “Eh iya bang, hehehe..”
“Apa kamu tidak kasihan dengan ibu di kampung, ibumu makan seadanya. Kamu di sini makan makanan mewah,” si kakak tingkat nampak tak berdosa mengirim pesan seperti itu. Aku heran sekali. Apa maksudnya. Tapi aku tetap membercandainya.
“Eh, tidak bang. Ibuku tinggal di kota, bukan di kampung, ehehe.. Lagipula, itu makanan tidak mahal, kok. Cuma sembilan ribu rupiah.” Aku menjawab begini saja. Toh, benar kan. Ibuku memang tinggal di Palembang, kota terbesar nomor dua di Pulau Sumatera. Palembang bukan kampung loh hihiiihi..
“Tetap saja, ibumu di sana makan tekwan murahan yang seharga tiga ribu rupiah. Kamu di sini enak-enak..” respon dari kakak tingkat tidak berhenti. Aku terbelalak melihat responnya. Orang ini ada masalah apa sih hidupnya, sampai-sampai segitunya ngurusin makanan ibuku wowkwokk.
Oh yaa, for your information, tekwan adalah makanan khas Palembang. Silahkan googling yaa!
Kemudian, rasa-rasanya, ingin kembali kubalas pesan darinya, “Mohon maaf bang. Ibuku tidak pernah makan tekwan seharga tiga ribu rupiah. Kami biasa membuat tekwan sendiri, menggunakan ikan gabus asli, harga ikannya bisa sampai delapan puluh ribu rupiah satu kilo nya!”
Namun, pesan itu aku urungkan untuk dikirim. Aku membiarkan chat dari kakak tingkat tidak berbalas.
***
Ngomongin makan enak, apa benar aku di sini makan enak-enak setiap hari? Tentu saja tidak, kawan. Aku di sini berjuang sehemat mungkin. Kalau kamu mengikuti tulisan dari beberapa bulan lalu, aku pernah bercerita kalau aku makan dengan biaya hanya sembilan ribu rupiah sehari (untuk di bulan pertama).
Di bulan selanjutnya? Tentu saja tetap hemat, tapi cost nya sudah lebih dari sembilan ribu rupiah per hari. Karena aku sudah punya uang, hehee.
Toh, jajan seperti itu sesekali. Jajanku hanya surabi seharga sembilan ribu rupiah aja sudah dinyinyirin seperti itu, gimana kalau aku makan seperti Mbak Siskaeee Kohl ya? Gak tau deh, hahahaa!
Ini penampakan makan siangku sehari-hari. Cukup "mewah", bukan?
Terakhir. Apa inti postingan kali ini?
Tidak ada.
Aku hanya ingin mengungkapkan kekesalanku saja. Lihat tuh, buktinya chat satu setengah bulan yang lalu, masih saja aku ingat sampai hari ini, hiiihii!