Kangg Mas Joe

Blognya Dodo. Tidak semua yang diposting adalah nyata, banyak pencitraan dan fiksinya.

Coba bayangkan. Kamu besok hendak berangkat jalan-jalan ke suatu tempat. Perjalanan itu bisa dikatakan penting. Atau menyenangkan, karena perjalanan itu bersama teman-teman sahabat rekan sejawat. Dan panitia mengatakan, “Besok kita kumpul di gerbang kampus jam empat pagi, sebelum Shubuh!”
Apa yang terjadi?

Tentu saja, para peserta akan menepati permintaan itu. Bahkan ada pula yang datang sebelum waktu yang ditentukan. Bisa jadi, jam tiga pagi sudah setia menunggu. Jam dua pagi sudah bangun tidur, mempersiapkan tetek bengeknya. Ajaib. Tidak mengantuk sama sekali.
Tapi mari kita lihat pada hari-hari biasa. Apakah kita se-semangat itu? Belum tentu.
Bangun Shubuh saja susah sekali~

Well, itu yang terjadi padaku.
Kami hendak jalan-jalan mendadak ke luar kota (alias, Bogor). Sebenernya gak terlalu jauh. Dan jam kumpulnya juga ngak pagi-pagi banget. Hanya selepas Shubuh. Pokoknya, kumpul di masjid. Shalat Shubuh berjama’ah di sana. Ketika selesai, langsung berangkat.
Coba tebak aku bangun jam berapa? Sebelum jam empat pagi sudah bangun, dong..

Hari-hari biasa? Terkadang juga bangun jam empat pagi, tapi bangun untuk mematikan alarm. Wkwkks!
Dan baru bangun lagi ketika azan di ponsel (dari aplikasi Muslim Pro) berkumandag. Dan baru benar-benar terjaga, setelah "nyawa terkumpul", beberapa menit setelah itu. Masuk ke kamar mandi, buang air, wudhu, motoran ke masjid.
Tapi kadang-kadang juga, kalau sedang lelah, atau sedang banyak maksiat di siang hari. Bangun tidurnya jam lima. “Terpaksa” shalat sendirian di rumah, wkkwkw.

Bisa gak ya, effort kita bangun Shubuh setiap hari itu, seperti effort kita bangun ketika hendak ada acara penting? Bangun langsung melek, mata seger, nggak ngantuk lagi.
Bisa. Harus bisa. 
Insyaa Allah bisa!


Fyi, kami ke Bogor dan sekitarnya di hari Sabtu. Sarapan Soto Mie khas Bogor di dekat alun-alun. Lanjut ke Kebun Raya Bogor, kemudian menuju ke arah Puncak, bablas sampai ke Cianjur. Wokowkw.
Menjelang Maghrib, balik lagi ke Puncak. Nongki di Warpat sampai menjelang Isya. Turun lagi ke arah kota, makan malam di Sate Maranggi. Kemudian pulang. Sampai di rumah pukul setengah satu dini hari. Oh yaa, turun dari Puncak itu bener-bener macet loh. Padat merayap.

Perjalanan ini juga sangat mendadak. Di hari sebelumnya (Jumat), seorang teman berceloteh mengajak jalan-jalan, “Kita sudah lama tidak jalan-jalan, nih!”
Dia mengopsikan untuk dua pekan lagi, jalan-jalan ke Bogor.
Salah seorang teman merespon, daripada dua pekan lagi, mending besok aja. Yaudah, gas! Tujuh orang akhirnya ikut dalam perjalanan kali ini.

Asyik juga perjalanannya.
Dan ternyata asyik juga menulis singkat sekali duduk seperti ini. Hehehe.

“Kalo kamu ke Bandung,” kata seorang teman dengan penuh antusias, “Jangan lupa makan surabi. Surabi yang enak, ada di kawasan Cihampelas.”
“Pokoknya,” dia kembali melanjutkan, “Kamu belum ke Bandung kalau belum makan surabi!”

Perkataan itu begitu terngiang-ngiang di kepalaku, hingga akhirnya kesempatan itu muncul. Yaa, akhirnya aku sampai di Bandung. Tepat di awal bulan Juni tanggal satu.

***

Haii, haii, haiii! Apakah kalian merindukanku? Bahkan sampai ada teman yang mengirimku pesan WhatsApp, kenapa sudah tidak update tulisan di Blog lagi. Kemana saja. Ada hal apa.
Tenang, aku masih di sini, kok. Hehee..

Kali ini aku hendak bercerita tentang perjalanan ke Bandung, beberapa waktu yang lalu. Sebenarnya sudah sejak lama hendak menuliskannya, tapi selalu ada aja halangannya.

Well,  untuk sampai ke Bandung,kami membutuhkan waktu sekira empat jam. Tentunya, itu sudah dengan waktu istirahat satu jam. Berangkat sebelum jam tiga dini hari, istirahat di rest area untuk shalat Shubuh, dan kurang dari jam enam pagi akhirnya kembali melanjutkan perjalanan.

Lihatlah pembaca, para anak muda dalam narasi di atas sangat semangat bangun pagi untuk liburan dan jalan-jalan. Padahal, di hari-hari biasa sangat sulit untuk bangun pagi untuk shalat Shubuh. Hadeuuhh.. Dasar aku, hikss! 😭😂

Singkat cerita, aku akhirnya benar-benar kembali ke Cihampelas, setelah terakhir ke sana di tahun 2018 (Baca juga: Malam Hari di Bandung). Tidak ada perubahan berarti. Hanya saja nampak lebih sepi, mungkin efek dari pandemi.
Dan, mumpung sudah di Cihampelas, aku saat itu benar-benar berhasrat untuk membuktikan perkataan temanku di paragraf satu; Makan surabi di Cihampelas.

Aku sudah masuk di restoran surabi yang ada di sana, kalau kamu orang Bandung, atau sudah sering ke Bandung, pasti tahu restoran surabi mana yang aku maksud. Ternyata, tidak terlalu mahal harganya, hanya sembilan ribu rupiah, untuk surabi original. Namun, apabila kamu mau mencoba topping yang lain dan lebih “modern”, tentu saja harganya lebih mahal.

Bagaimana pendapatku tentang surabi ini?
Menurutku, harga sembilan ribu cukup murah dan sangat mengenyangkan. Aku tidak menyangka dengan tempat sebagus itu, bisa menjual makanan dengan harga yang tidak sampai sepuluh ribu. Namun, dari ke-antusias-an temanku di paragraf satu, menurutku ia sangat berlebihan. Surabi memang enak, tapi biasa-biasa saja. Tidak seheboh yang dia beritakan.

***

Singkat cerita, aku pulang ke kos. Hidup kembali seperti sedia kala. Besok hari harus berangkat kerja.

Skip, skip, skipp..
Beberapa hari kemudian, menjelang istirahat makan siang, aku iseng mengunggah foto surabi yang kami makan kemarin. Foto itu sebenarnya dipotret temanku, namun aku meminta izin untuk mengunggahnya di status WhatsApp.

Apa tujuanku?
Tidak ada, iseng saja.


Tring, tetiba ada satu pesan masuk. Merespon status WhatsApp tersebut. “Waah, enak tuh makan-makan terus..”

Aku melihat ponselku, tanpa melakukan read pesan terlebih dahulu. Ternyata dari kakak tingkat di kampus. Aku membalas dengan santai, “Eh iya bang, hehehe..”

“Apa kamu tidak kasihan dengan ibu di kampung, ibumu makan seadanya. Kamu di sini makan makanan mewah,” si kakak tingkat nampak tak berdosa mengirim pesan seperti itu. Aku heran sekali. Apa maksudnya. Tapi aku tetap membercandainya.

“Eh, tidak bang. Ibuku tinggal di kota, bukan di kampung, ehehe.. Lagipula, itu makanan tidak mahal, kok. Cuma sembilan ribu rupiah.” Aku menjawab begini saja. Toh, benar kan. Ibuku memang tinggal di Palembang, kota terbesar nomor dua di Pulau Sumatera. Palembang bukan kampung loh hihiiihi..

“Tetap saja, ibumu di sana makan tekwan murahan yang seharga tiga ribu rupiah. Kamu di sini enak-enak..” respon dari kakak tingkat tidak berhenti. Aku terbelalak melihat responnya. Orang ini ada masalah apa sih hidupnya, sampai-sampai segitunya ngurusin makanan ibuku wowkwokk.

Oh yaa, for your information, tekwan adalah makanan khas Palembang. Silahkan googling yaa!

Kemudian, rasa-rasanya, ingin kembali kubalas pesan darinya, “Mohon maaf bang. Ibuku tidak pernah makan tekwan seharga tiga ribu rupiah. Kami biasa membuat tekwan sendiri, menggunakan ikan gabus asli, harga ikannya bisa sampai delapan puluh ribu rupiah satu kilo nya!”

Namun, pesan itu aku urungkan untuk dikirim. Aku membiarkan chat dari kakak tingkat tidak berbalas.

***

Ngomongin makan enak, apa benar aku di sini makan enak-enak setiap hari? Tentu saja tidak, kawan. Aku di sini berjuang sehemat mungkin. Kalau kamu mengikuti tulisan dari beberapa bulan lalu, aku pernah bercerita kalau aku makan dengan biaya hanya sembilan ribu rupiah sehari (untuk di bulan pertama).

Di bulan selanjutnya? Tentu saja tetap hemat, tapi cost nya sudah lebih dari sembilan ribu rupiah per hari. Karena aku sudah punya uang, hehee.
Toh, jajan seperti itu sesekali. Jajanku hanya surabi seharga sembilan ribu rupiah aja sudah dinyinyirin seperti itu, gimana kalau aku makan seperti Mbak Siskaeee Kohl ya? Gak tau deh, hahahaa!

Ini penampakan makan siangku sehari-hari. Cukup "mewah", bukan?


Terakhir. Apa inti postingan kali ini?
Tidak ada.
Aku hanya ingin mengungkapkan kekesalanku saja. Lihat tuh, buktinya chat satu setengah bulan yang lalu, masih saja aku ingat sampai hari ini, hiiihii!


Masjid Muhammad Cheng Hoo, adalah salah satu masjid yang cukup terkenal di Palembang. Sering dijadikan sebagai tempat wisata religi. Menurut Kumparan, Masjid ini dibangun pada tahun 2000-an di tanah milik Gubernur Sumatera Selatan saat itu; Syahrial Oesman. Beliau meng-hibah-kan tanah miliknya untuk dibangun menjadi masjid.

Masjid Al Islam Muhammad Cheng Hoo Sriwijaya Palembang, terletak di Perumahan Amin Mulya, Kecamatan Jakabaring, Palembang. Daerah ini merupakan kawasan perumahan elit yang ada di Palembang. Masjid ini dibangun atas inisiasi Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Palembang untuk menghormati salah satu tokoh terkenal asal Tiongkok yang bernama Laksamana Cheng Hoo. PITI adalah sebuah organisasi yang mewadahi para muslim beretnis Tioghoa.


Masjid Cheng Hoo adalah masjid yang punya arsitektur cukup unik. Tidak seperti masjid mainstream yang ada di Indonesia. Sebab bentuknya sangat kental dengan ke-khas-an Tionghoa. Kalau ada yang tidak tahu, atau melihat dengan sekilas, bisa saja mereka mengira bangunan ini adalah kuil.

Bagian dalam masjid ini menurutku mirip dengan tempat pertandingan di film Kung Fu.
Seandainya karpet sajadah, mimbar khotbah dan hiasan kaligrafi dilepas. Ehehe

Keunikan lain. Apabila kamu berfikir di masjid ini akan kamu jumpai banyak jama'ah beretnis Tionghoa, kamu salah besar! Di sini banyak jama'ah berwajah Pribumi eh, Melayu dan Jawa. Sama seperti masjid pada umumnya.

By the way, aku pernah baca salah satu artikel di Internet dan video di Youtube. Katanya, di beberapa negara tertentu apabila ada kelompok etnis tertentu membangun masjid. Yang akan meramaikan masjidnya hanya dari etnis mereka saja. Misal, masjid yang dibangun etnis X, akan diramaikan oleh jama'ah beretnis X. Masjid yang dibangun etnis Y, akan diramaikan oleh jama'ah beretnis Y. Masjid yang dibangun etnis Z, akan diramaikan oleh jama'ah beretnis Z.

Bersyukur kita tidak seperti itu. Inilah hebatnya Indonesia. Bhinneka Tunggal Ika. Yaa namanya masjid, kamu dari suku apapun tidak ada larangan. Tinggal masuk saja, ibadah sepuas hati.

Menara masjid

Foto yang diambil dari lantai dua masjid

Masjid Cheng Hoo di malam hari

Kembali kita membahas siapa itu Laksamana Cheng Hoo.
Beliau dikenal sebagai seorang pelaut dari negeri Tiongkok yang beragama Islam. Namun, beberapa sumber yang aku baca di internet seperti Historia.id atau Tagar.id. Ternyata beliau bukanlah seorang Muslim, melainkan penganut Budha. Namun, kebenaran ini masih diperdebatkan.
Wallahu a'lam.

Oh yaa, Masjid Cheng Hoo terdapat di beberapa kota di Indonesia, kan. Tidak hanya di Palembang.
Apakah di kotamu juga ada Masjid Cheng Hoo? Share di kolom komentar, yaaak!
Halo Februari!
Tidak terasa sudah berjumpa dengan bulan ini lagi. Setahun lalu, Februari 2020, adalah salah satu masa yang cukup dikenang dalam hidup. Saat itu, aku resmi diwisuda, kemudian aku dapat ijazah dan jadi sarjana, untung saja belum ada Corona masuk ke Indonesia.

Sudah hampir satu tahun aku tidak mengunjungi kampus.
Ada dua sebab, pertama karena emang udah diwisuda, jadi tidak ada kepentingan apapun ke sana. Kedua, di bulan selanjutnya pada tahun itu (Maret 2020), virus Covid-19 untuk pertama kali masuk ke Indonesia. Praktis, melumpuhkan segala pergerakan yang ada. Dampaknya, yang kuliah menjadi pindah ke rumah masing-masing. Kampus jadi sepi.
Aku juga (saat itu) takut mau jalan-jalan kemana-mana, termasuk ke kampus.

Namun, itu adalah saat itu. Sekarang adalah saat ini. Aku sudah tidak takut lagi mau jalan-jalan.
Jangan ditiru, yaak! Wokwkwk.

Beberapa hari yang lalu, temanku mengajak ke kampus. Ada berkas yang belum kami ambil, orang administrasi di Fakultas tempatku belajar, sudah mewanti-wanti kami agar segera mengambil berkas tersebut. Jangan buat kami pusing, dek!
Berkas apa yang hendak diambil? Namanya SKPI; Surat Keterangan Pendamping Ijazah. Noh, lihat. Ijazah aja udah ada pendampingnya, kamu gimana, mblo!

Sumber : unsri.ac.id

Oke lanjut.
Kembali ngomongin kampus. Kampusku terletak di luar kota. Jaraknya sekitar 40 km dari rumah. Apakah itu jauh atau dekat? Relatif sih.
Ketika masa awal-awal kuliah, dari rumah aku berjalan kaki dahulu sampai ke depan gang, kemudian naik angkot. Setelah sampai di sebuah lampu merah, turun di sana dan melanjutkan perjalanan naik bus. Bus akan mengantarkan sampai ke depan fakultas (bus nya masuk ke dalam kampus). Oh yaa, bus baru akan berangkat apabila penumpang sudah penuh. Tidak seperti angkot yang langsung jalan saja walaupun penumpangnya sepi.

Jadi, total waktu perjalanan dari rumah menuju kampus sekitar satu setengah jam (kalau sedang tidak beruntung, bisa dua jam). Dan pulang dari kampus ke rumah juga juga butuh total waktu yang relatif sama. Artinya, pulang-pergi di perjalanan bisa memakan waktu tiga  jam setiap hari. 

Bagaimana dengan ongkos? Untuk pergi naik angkot seharga Rp 4.000, ditambah ongkos bus seharga Rp 8.000. Sama dengan Rp 12.000.
Maka, total pulang-pergi memakan biaya transportasi sebesar Rp 24.000. Ibuku hanya memberi uang jajan Rp 25.000, hanya sisa Rp 1.000 yang cuma cukup buat beli rokok sebatang.
Kenapa malah jadi curhat.. -_-

Rute dari rumah menuju kampus.

Ini adalah peta perjalanan dari rumahku menuju kampus, cukup jauh memang.
Bisa terlihat dari perbedaan kepadatan penduduk. Yang ramai dengan bangunan, tentu saja wilayah Kota Palembang, sedangkan daerah yang masih hijau adalah wilayah kabupaten tetangga. Kampusku terletak di Kecamatan Indralaya, Kabupaten Ogan Ilir,
Di sebelah timur, tenggara, barat hingga ke utara Kota Palembang merupakan wilayah milik Kabupaten Banyuasin, sedangkan di barat ada wilayah Kabupaten Ogan Komering Ilir.

Bahkan, karena letak kampus kami yang dianggap "terpencil" oleh sebagian orang, muncul anekdot seperti ini.
Kampus lain mau bangun hutan di tengah kampus. Kampus kita, bangun kampus di tengah hutan.
Tapi, ini cuma dalam rangka bercanda doang kok. Kalo Pak Rektor baca tulisanku, jangan dianggap serius yaa, pak! Hehee..

Well, kalimat jokes tadi bisa jadi beneran, loh. Mungkin mengarah ke sarkastik.
Di kampus kami masih banyak hewan liar. Babi hutan, ular, monyet, kadal (bukan kadrun alias kadal gurun, wqkwk) hingga cebong berkeliaran. Ini adalah hal yang biasa. Namun, tidak di semua area ada hewan-hewan tersebut. Hanya terdapat pada area yang memang masih berbentuk hutan, tidak ada gedung bangunan. 

Babi hutan masih sering berkeliaran di daerah hijau, hiihi..

Kalau kamu lihat dari gambar ini, kampusku cukup luas, kan. Menurut Rektor (beliau bilang saat kami Ospek hari pertama), kampus kami adalah kampus terluas se-Asia Tenggara. 712 hektar luas areanya.
Namun, sebagai info, ketika aku cek di Google, Universiti Teknologi Malaysia (UTM) di Johor Bahru, Malaysia punya area yang lebih luas. Lebih dari 1.200 hektar.

By the way, sekarang kampus kami sudah bisa dikatakan tidak lagi terpencil. Tepat di gerbang belakang kampus, sudah ada gerbang Tol Trans Sumatera. Perjalanan dari gerbang Tol Indralaya ke gerbang Tol Palembang hanya memakan waktu 15 menit.

Jadi, inti dari postingan kali ini adalah aku hanya ingin sedikit berbagi gambar yang diambil dari dalam area kampusku. Banyak foto lama, sih. tapi tak apa lah yaa.
Cekidot..

Ikon baru di kampus, belum lama dibangun. Rasanya, baru sekitar 3 tahun yang lalu.

Bumper alias Bumi Perkemahan.Tempat dimana mahasiswa kalau mengadakan acara outbond di sini. Pernah ada yang tenggelam dan meninggal di kolam itu.

Mustek alias Musholla Teknik.

Graha Batubara, salah satu gedung yang ada di Fakultas Teknik.
Gedung kuliah milik Teknik Geologi.

Terminal bus yang ada di dalam kampus. Bus ini mengantarkan kamu dari dan menuju Palembang.
Sopirnya sering balapan dan ugal-ugalan di jalan, haha.

Foto tahun 2016, saat semester 2

Foto tahun 2020, saat Yudisium.
Terlihat tugu yang sudah diperbarui dan gedung di belakang sudah dicat ulang.

Terima kasih sudah membaca..


Coba tebak, dimana letak Al-Quran terbesar di dunia? Apakah jawabannya Arab Saudi, Turki, Mesir, atau negara Timur Tengah lainnya? Jawabannya salah. Al-Quran terbesar di dunia, ada di negara kita. Indonesia. Lebih spesifik lagi, ada di kota Palembang.
Kemudian, sebesar apa Al-Qurannya? Satu meter, atau dua meter? Jawabnya adalah, satu bangunan. Yaa, satu bangunan ini isinya Al-Quran semua. Terbuat dari papan kayu yang dipahat. Satu lembar al-Quran dipahat di sebuah papan kayu.


Sejujurnya, ini adalah kali pertama aku ke sini. Sudah sejak lama mau ke sini, hanya wacana saja. Namun, beberapa hari yang lalu, seorang teman mendadak untuk mengajak pergi ke sini.
"Doo, sekarang lagi kosong kah?" katanya melalui pesan WhatsApp.
"Kenapa?" kataku.
"Ayook kita ke Rumah Quran!"
"Kapan?"
"Sekarang!"
-_-

Eh tapi.. Biasanya, suatu perjalanan yang direncanakan hanya akan jadi rencana. Namun, kalo mendadak, biasanya akan jadi terlaksana. Dan emang bener. Kami kemudian berangkat ke sana.

Wisata Religi Al-Quran Raksasa, adalah nama tempat yang tertulis di Google Maps. Nama lain juga disebut Bayt Al-Quran Al-Akbar. Tempat wisata ini terletak di kawasan pesantren. Lokasinya di Kecamatan Gandus, kota Palembang.
Al-Quran Al-Akbar didirikan oleh Ustadz Syofwatillah. Beliau adalah mantan anggota DPR RI dari Sumatera Selatan, fraksi Partai Demo*krat. Beliau adalah anak dari Marzukie Ali, mantan ketua DPR RI yang juga dari Demo*krat. Memang mereka sepertinya keluarga elit partai sih, hahaa.

Tiket masuknya, Rp 20.000. Tidak mahal. Namun tidak juga murah untuk kantong kami, para fresh garudate yang sedang mencari kerja. Hahaa.
Ketika masuk ke sini, kamu harus mengenakan pakaian yang menutup aurat. Tidak boleh menggunakan celana pendek. Namun, tenang saja, di sana disediakan sarung yang bisa dipakai. Tetapi, aku tidak tahu. Apakah sarung itu dipinjamkan, atau disewakan.
Kenapa harus masuk dengan menutup aurat? Apakah aturan ini intoleran?
Menurutku, adalah wajar sebab kita berada di dalam bangunan yang isinya Al-Quran semua. Adab-adab terhadap Al-Quran tetap harus diperhatikan.

Hal lain yang cukup menarik perhatian adalah murattal. Audio pembacaan Al-Quran terus dilantunkan sepanjang waktu di sini, berasal dari pengeras suara yang ada. Setahuku, murattal tersebut dilantunkan oleh Syaikh Misyari Rasyid Al-`Afasyi.


Well, di postingan kali ini aku tidak akan banyak menulis. Banyak share foto saja lah yaaa ~



Daftar nama donatur. Nama Dr. H. Dodo Nugraha kenapa tidak ditulis yaaak wkqk

Prasasti peresmian, ditanda tangani oleh Presiden SBY

Di belakang bagian utama, terdiri dari lima lantai 

Bagian dalam dari bangunan utama, sayangnya hanya satu lantai yang dibuka.


Kalo kamu mengira ukuran lembaran dari ukiran Quran ini kecil, kamu salah. Ini adalah perbandingan dengan tinggi manusia.

Foto terakhir, pelaminan khas Palembang. Ini cuma jokes yaa. Kami manusia normal, kok. Bukan Maho hhahaa!

Terakhir, pesan sponsor. Apabila kamu mau melihat perspektif lain dari perjalananku, kamu bisa mengunjungi blog temanku; Aldan. Cerintaya berjudul Wisata Religi di Kota Palembang: Al-Qur'an Al-Akbar.
Thank you... 


Pertama, sebelum cerita lebih jauh. Ini bukanlah tulisan mengenai promosi BSM a.k.a. Bank Syariah Mandiri. Nasabah BSM adalah nama grup kami di WhatsApp, sebuah grup pertemanan absurd. Entahlah, kenapa kami satu sama lain menjadi cocok untuk berteman. 
Well, kenapa namanya harus Nasabah BSM?
Simpel saja, kami mencari suatu kesamaan. Kami semua adalah sama-sama nasabah dari Bank Syariah Mandiri. Maka, nama grupnya menjadi demikian. Sesimpel itu. 
Oh ya, kelompok pertemanan ini terdiri dari tiga orang laki-laki dan dua orang perempuan. Kata orang, laki-laki dan perempuan tidak akan bisa berteman hingga bersahabat. Tapi, kami bisa kok. Kami sudah berkomitmen satu sama lain untuk tidak saling jatuh cinta, Insyaa Allah. Ehe... Hehe...
 
Suatu saat, dalam percakapan kami melalui sambungan video call. Salah seorang bilang bahwa dia mendapat informasi lowongan pekerjaan.

"Hooy, aku dikirimin dosenku lowongan kerja di Bank Indonesia. Beliau suruh aku daftar itu."


"Terus?"
 

"Aku bilang ke beliau, tidak bisa ikut lah. Lha wong itu bank. Terus kata bu dosen, jadi orang tuh jangan terlalu idealis!" 
Kami semua tertawa mendengar ucapan itu, seoalah menertawai ucapan si dosen.
Yaa, kami semua di grup itu bisa dikatakan agak sedikit idealis. Walaupun mayoritas dari kami masih merupakan job seeker, kami tidak mau memilih kerjaan yang sembarang. Kerjaan yang dicari harus halal.

Kami tidak mau bekerja di bank. Tidak juga di perusahaan asuransi, pegadaian, peminjaman modal, hingga pasar uang reksadana dan sebagainya. Kenapa? Karena di sana ada riba yang sudah jelas diharamkan di kitab suci kita.
Memang saat ini bank, pegadaian, asuransi hingga reksadana punya anak perusahaan mereka yang bergerak dengan sistem syariah. Namun, tetap saja sistemnya belum full 100% syari dan bukan seperti itu yang kami inginkan.  

Satu lagi, selain hal-hal yang beruhubungan dengan riba. Beberapa perusahaan lain kami juga anti terhadapnya seperti perusahaan rokok, minuman keras, perjudian, dan hal-hal haram lainnya. Kami tidak mau bekerja di perusahaan  yang bergerak di bidang-bidang tersebut.
Bagi kami, kehalalan dan kejelasan rejeki adalah yang terpenting. #eaaa

"Walaupun begitu." Kata seorang teman, "Tetap saja kita tidak boleh men-judge teman kita yang lain apabila ada yang hendak bekerja di bank."

"Yaa, aku sepakat!" Kataku, "Adalah hak mereka mau bekerja dimana saja. Yang penting kita tidak saling ganggu dan harus saling menghormati pilihan masing-masing."

Teman yang lain lagi ikut nimbrung, "Yang harus kita ingat adalah, batasan. Cukup bagi kita saja untuk tidak mau bekerja di bank. Orang lain mah, terserah. Kita jangan!"

Semua berseru, "Sepakat!" 

Okeey, aku rasa doktrin kepada para pembaca cukup sampai di sini.
AWKOWKWKW. 

Kali ini, aku hendak bercerita pegalaman kami, para Nasabah BSM pergi berwisata ke Punti Kayu. Tempat ini bisa kita sebut sebagai hutan wisata atau semacam kebun binatang yang ada di kotaku; Palembang.

Aku sudah dua puluh tahun tidak pergi ke sana. Terakhir ke sana adalah ketika berusia tiga tahun. So, kamu bisa tebak umurku, kan?

Saat itu, aku pergi ke sana bersama orang tua dan adikku. Aku masih ingat betul, adikku masih digendong ibuku ketika itu. Aku melihat berbagai hewan dan pepohonan. Rasanya, saat itu aku naik ke gajah. Duduk di atas punggungnya, si gajah berjalan beberapa meter dalam arena selama sepuluh menit. Di dalam pikiranku, aku adalah anak kecil paling bahagia di dunia-akhirat. 

Sebelum berangkat bersama teman-teman Nasabah BSM, aku sudah membayangkan untuk mengulang memori masa kecil. Memori dua puluh tahun lalu. Aku sudah membayangkan akan kembali naik gajah, kemudian berkuda sambil membonceng si doi, memberi makan rusa, dan melihat hewan-hewan lainnya. 

Namun, semua itu sirna.
Kami batal ke Punti Kayu, maka harapan aku untuk kembali naik gajah harus diurungkan. Kami janjian jam satu siang, namun satu jam sebelum itu, seorang teman bilang di grup, "Gimana kalo kita ke tempat lain saja?" 

Aku tidak tahu alasannya. Setelah merenung dan bertapa di gua, alasannya kemudian dapat diketahui. Nampaknya, tiket masuk Punti Kayu cukup mahal bagi pengangguran seperti kami. Tiket masuk seharga Rp 30.000 dan bayar parkir Rp 5.000.
Aku bilang ke grup, "Sejak kapan duit jadi masalah?"


Krik krik..
Tidak ada yang merespon.


Akhirnya, kami, para Nasabah BSM memutuskan pergi ke Benteng Kuto Besak (BKB), terletak di pinggir Sungai Musi, tidak jauh dari Jembatan Ampera. Selanjutnya dipilih rumah salah seorang teman sebagai titik kumpul.
 

"Doo, kamu berangkatlah ke rumahku sekarang!" Ujar my girl friend alias teman perempuanku, dalam sebuah chat di WhatsApp. Sebagai informasi, rumahku adalah yang paling dekat dengan si doi, dibanding teman-teman yang lain. 

Aku membalasnya, "Eeh, jangan. Aku tunggu teman-teman yang lain aja, baru bisa ke rumahmu. Aku belum siap ketemu Abi." Sangat tidak mungkin jika aku ke rumah teman perempuan sendirian, tidak ada teman. 

Doi hanya menjawab, "-...-"

Fyi, Abi-nya my girl friend alias teman perempuanku ini adalah seorang ustadz sekaligus pengurus parpol Islam. Parpolnya cukup berpengaruh di Indonesia. Aku tidak mau memberi tahu kamu partai apa yang dimaksud. Aku hanya mau memberi tahu inisialnya saja, yakni.. PKS. 

Sebakda shalat Ashar, kami telah tiba di sana.
Nampaknya, kostumku berbeda sendiri. Temanku menggunakan baju kemeja. Aku hanya menggunakan baju kaus oblong dan jaket. Yang lain menggunakan sepatu, aku hanya menggunakan sandal. Hehehee.




Kemudian, kami menuju restoran apung yang ada di BKB. Restoran ini berbentuk ketek yang tersandar di pinggir Sungai Musi. Ketek adalah sebutan untuk kapal atau perahu di Palembang, yaa.



Restoran perahu Ketek di pinggir Sungai Musi

Restoran ini menjual berbagai makanan Palembang seperti pempek, model, tekwan dan sebagainya. Kalau boleh sedikit me-review makanan yang dijual di sini, menurutku rasanya biasa-biasa saja. Tidak berbeda jauh dengan yang ada di kantin-kantin sekolah.
Mohon maaf, aku punya standar yang tinggi untuk makanan Palembang, ehehehee. Karena aku biasa memakan pempek buatan ibuku yang menggunakan komposisi dan takaran yang pas. Ibuku menggunakan perbandingan 1:1 untuk daging ikan dan tepung tapioka. Daging ikan yang digunakan juga menggunakan ikan gabus.
Untuk restoran ini, aku tidak yakin. Sepertinya perbandingan ikan dan tepung tidak 1:1. Aku rasa, lebih banyak tepung daripada ikan, dan nampaknya mereka juga tidak menggunakan ikan gabus.



Jembatan Ampera di sebalik perahu Ketek

Girl friend bertanya, "Gimana rasa makanannya, Doo?"

"Biasa saja." Kataku.

 

"Oh ya? Menurutku ini enak loh!" Ujar girl friend yang satu lagi.
 

Aku merespon, "Rasa makanan kali ini tidak terlalu penting, yang terpenting adalah dengan siapa kita makannya. Eaaa."
 

Lagi-lagi.. krik krik.



Selepas itu, kami duduk-duduk santai di pinggir Sungai Musi, sambil ngobrol ngalur ngidul dan ber-ghibah ria.
Mulai dari ngomongin kejelekan tetangga hingga keburukan negara. Ternyata asyik juga, ditemani semilir angin sore, ditambah ombak air sungai yang bergelombang ketika ada ketek lain lewat. Kami terus mengobrol hingga akhirnya sayup-sayup suara adzan terdengar.

Adzan Maghrib telah berkumandang, saling sahut-menyahut di sepanjang Sungai Musi. Matahari akhirnya benar-benar tenggelam di sebalik aliran sungai terpanjang di Sumatera. Tanda hendak usainya pertemuan kami di hari itu.
Kami semua berjalan menuju mushalla yang ada. Berjalan kaki.

"Eh, Doo. Kenapa ya saat ini banyak orang yang kek ndak sadar. Ini sudah adzan loh, kenapa banyak yang masih santai-santai saja. Sangat sedikit sekali yang terlihat bergegas shalat ke mushalla." Seorang girl friend memecah keheningan kami.

"Hemm.. Iya juga ya." Lagi-lagi, girl friend yang satunya ikut nimbrung.

"Udahlah, ingat obrolan kita beberapa hari yang lalu di video call. Tidak usah men-judge orang. Selalu berfikir positif kepada orang lain." Kata my boy friend alias teman laki-laki ku.

Kami semua mengamini perkataan boy friend. Yang harus difokuskan saat ini adalah, jangan saling men-judge dan bagaimana orang-orang yang tidak shalat, menjadi mau shalat.
Kalau terus men-judge, mereka shalat tidak, kabur iya.
#eaa

Selaiknya cerita yang dimulai dengan Prolog, maka harus diakhiri pula dengan Epilog. Ini adalah semacam kewajiban yang tak tertulis bagi para penulis.
Jika kamu belum tahu, prolog menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan pembukaan atau pendahuluan dari suatu sandiwara, musik, pidato, dan sebagainya.
Sedangkan epilog, menurut KBBI adalah bagian penutup pada karya sastra, yang fungsinya menyampaikan inti sari cerita atau menafsirkan maksud karya itu oleh seorang aktor pada akhir cerita.

Oke, sebenarnya definisi seperti ini tidak terlalu dibutuhkan. Eheheh..
Mari baca ceritaku!

*** 

Hari telah berlalu, perjalanan KKL telah usai. Masing-masing dari kami menyeret kaki-kaki yang telah lunglai untuk kembali ke kos atau rumah yang sudah ditinggali selama satu pekan.
Kehidupan normal kembali dilanjutkan.

KKL, yang telah kami lakukan di akhir Desember 2018 telah ditutup dengan manis.
Apabila masuk bulan Januari 2019, aku sudah resmi menjadi mahasiswa semester delapan. Di semester ini banyak yang berbeza dari sebelumnya. Begitu timpang dengan apa yang terjadi di semester tujuh.

Di semester delapan, aku baru saja memulai mengerjakan skripsi (lagi).
Di sisi lain, ada teman yang telah memulainya sejak semester sebelumnya. Ada pula teman yang masih berkutat pada beberapa mata kuliah yang harus diulang agar mendapat nilai yang lebih baik. Ada lagi yang lebih menyedihkan, depresi dan kabur dari perkuliahan. Hingga cerita ini ditulis, aku masih tidak tahu kabar teman tersebut. Ia menghilang bak ditelan bak mandi.

Di semester delapan, sebuah sabda dari kakak tingkat terbukti.
"Kuliah itu berbeda dengan sekolah. Sekolah kita akan bersama-sama, sedangkan kuliah itu cenderung sendiri-sendiri."

Yaa, aku betul merasakan itu di semester delapan.
Datang ke kampus, aku hanya mendapati diri sendiri. Tidak ada (jarang) lagi teman satu angkatan yang aku temui. Kebanyakan hanya adik tingkat yang aku jumpa, mayoritas aku tidak mengenal mereka. Tetapi, mereka mengenaliku. Aku ini terkenal loh di kampus, wkwkk.

Aku betul-betul kesepian, merasa seperti orang asing di kampus sendiri.
Sekalinya ketemu teman satu angkatan di kampus, walau hanya bertemu tiga hingga empat orang, senangnya bukan main. Seolah-olah sudah tidak bertemu puluhan tahun.

"Hey, apa kabar. Sudah lama ndak jumpa!"
Kalimat seperti ini sering betul aku katakan ke teman yang aku temui di kampus, saking betul-betul aku merasa kesepian.
Dan ternyata, hal ini tidak hanya dirasakan oleh diriku saja. Namun teman yang lain juga begitu.

Saat itu, masih di semester delapan bulan Januari. Fikiranku masih terngiang-ngiang dengan apa yang baru saja dilewatkan, yang mungkin tidak dapat diulang kembali. Salah satu momen terbaik bagiku ketika menjadi mahasiswa.
Baru satu bulan lalu aku merasakan kebersamaan dengan teman-teman satu angkatan, kini telah sibuk pada urusannya masing-masing.

KKL, bagiku begitu berkesan. Untuk mencapainya penuh perjuangan.
Walaupun pada dasarnya KKL adalah kegiatan mengunjungi industri untuk mendapat insight yang baru dari sana.
Harapannya adalah kami tidak hanya mengetahui dari teori yang didapat dari bangku kuliah saja, namun dapat melihat keadaan secara langsung. Kenyataannya, kunjungan ke perusahaan hanya dua hari, sisanya adalah perjalanan wisata.
Hal yang banyak diingat, malahan dari perjalanan wisatanya. Bukan dari kunjungan industrinya.
Dasar aku! :(

      Baca juga :
  • 01. Jakarta
  • 02. Pesawat
  • 20. Palembang
 Dalam perjalanan KKL ini, telah banyak pelajaran yang aku dapatkan. Banyak sekali hal-hal baru yang aku temui.

Pertama, aku belajar bagaimana mencari dan mengelola uang.
Untuk berangkat KKL, dibutuhkan uang  yang tidak sedikit. Aku harus menabung sejak semester dua. Setelah di tengah perjalanan dirasa tidak akan cukup jika hanya mengandalkan uang tabungan, aku memutuskan cara lain. Uang tabunganku aku gunakan sebagai modal usaha, dan alhamdulillah aku berhasil membayar KKL.
Perjuangan ini cukup berat, dan menurutku patut dikenang.

Kedua, aku menyadari berbagai hal yang sebelumnya tidak-aku-sadari.
Negara kita sangat kaya akan budaya dan bahasa. Sehari-hari, aku hanya mendengar orang berkomunikasi dengan bahasa di daerahku; Bahasa Melayu Palembang, atau Bahaso Plembang.
Ketika aku telah sampai di Jakarta, aku mendengar sopir taksi bandara berbicara dengan temannya menggunakan Bahasa Betawi dengan aksen yang khas seperti di film Si Doel.
Ketika berada di Bandung, mendengarkan urang Sunda berbicara dengan bahasa yang mengalun-alun lagi berirama, "Teteh teh mau ngeteh, teh!"
Pun ketika di Jawa, (Jakarta dan Bandung bukan di Pulau Jawa, kan wkwk) aku mendapati ibu-ibu pedagang berbicara dengan begitu medhok. Padahal aku orang Jawa juga, tapi tidak medhok dan tidak bisa berbahasa Jawa. Hiksss :((

Ketiga, banyak hal baru yang aku lihat.
Aku yang seumur-umur tidak pernah kemana-mana (paling jauh cuma ke kampus yang jaraknya sekitar 40 km dari rumah), begitu excited akan hal ini. Kalau dalam Bahaso Plembang, mungkin disebut jogol. Awkwkowk.
Aku belum pernah naik pesawat, belum pernah naik bus antar kota yang nyaman dan full AC (tau nya hanya bus kota yang ugal-ugalan), belum pernah melihat gedung-gedung tinggi bertingkat berbaris sepanjang jalan, belum pernah melihat pantai dan laut secara nyata.
Intinya, aku belum pernah keluar kandang dan baru kali ini melihat dunia luar yang sangat beda dalam bayanganku.
Di KKL ini aku melihat secara nyata, yang sebelumnya hanya bisa dilihat dari televisi atau internet.

As you know, untuk berangkat KKL saja aku kesulitan dana. Sebenarnya, aku membayar KKL ini juga tidak penuh. Mendapat sedikit subsidi alias diskon. Biaya KKL seharunya adalah Rp 3.850.000, namun aku boleh membayar Rp 3.100.000. Tidak punya uang lagi, mau bagaimana.

Maka, tersebab hal-hal tersebut di atas, memutuskan aku untuk mengabadikan momen penting itu. Momen kebersamaan bersama teman-teman, momen perjuangan, dan momen hal-hal yang baru.Aku mengabadikannya, tidak seperti orang mainstream yang hanya melalui media foto. Aku memutuskan melalui jalur lain; menulis di Blog. Maka aku akan bisa bercerita secara detail.
Apabila suatu saat aku kembali merindukan teman-teman kuliahku, aku bisa kembali membaca tulisan-tulisan ini. 

Kenapa harus menulis?
Aku rasa, kamu sudah menemukan jawabannya dari paragraf di atas. 

Well, ketika aku menulis kisah perjalanan KKL ini, dua puluh episode telah aku abadikan di Blog (kebanyakan bersifat fiksi, tidak nyata nan penuh khayalan wkwwk) terkadang kenangan-kenangan itu muncul di kepala.
Aku mengingat bagaimana pertama kali dinyatakan diterima sebagai mahasiswa.
Aku mengingat bagaimana pertama kali mengikuti Ospek, kemudian berkenalan dengan teman-teman baru.
Aku mengingat bagaimana pertama kali mengikuti pelatihan organisasi di kampus, hingga jurit malam, dan sebagainya.

Kenangan-kenangan itu perlahan-lahan muncul, menari-nari di atas kepala.
Sejujurnya, ketika aku menuliskan cerita ini. Air mataku telah berlinang, hampir tumpah.
Namun, bukan karena sedih ataupun terharu. Melainkan karena mataku perih, kaca mata yang biasa aku pakai telah patah.
Maka aku menggunakan kacamata lama, yang ukuran minusnya sudah tidak sesuai. Awkwkwokwk.


Sampai jumpa teman-temanku..
Aku akan merindukan kalian!

Foto ketika Ospek

Foto Angkatan

Postingan Lama Beranda

ABOUT AUTHOR

Kang Mas Joe adalah seorang yang berpengalaman dalam pahit dan getirnya kehidupan, walaupun nyatanya tidak terlalu pahit. Mencoba berbagi tulisan melalui blog, semoga ada hikmah yang bisa diambil. Apabila ada kritik, saran, nasihat dan mau kerjasama. Silahkan DM melalui Instagram dan Twitter @KanggMas_Joe. Terimakasih!

POPULAR POSTS

  • Pencitraan Jilid Dua; Buku yang Aku Baca di Tahun 2020
      Beberapa hari ke belakang, rumahku sedang direnovasi. Maka buku-buku yang ada di rumah sedang tidak ada di rak buku seperti biasa. Begini ...
  • Masjid Cheng Hoo
    Masjid Muhammad Cheng Hoo, adalah salah satu masjid yang cukup terkenal di Palembang. Sering dijadikan sebagai tempat wisata religi. Menurut...
  • Balonku Ada Lima
    Jangan terkejut, ini bukan jimat, mantra, doa atau sebagainya!  Untuk kamu yang sudah jago membaca Al-Quran sejak kecil, aku yakin kamu past...
  • Menjadi Pacar Sewaan
    Hari ini adalah hari Ahad, pukul sepuluh pagi. Aku sedang duduk bersantai di rumah, sedang menatap layar laptop untuk melakukan blog walking...
  • 3 Bloggers yang Rajin BW
    Seperti biasa, di setiap penghujung bulan, Mbak Eno yang baik hatinya kembali membuat challange. Ini adalah event ketiga dari challange- nya...

Categories

  • Bisnis
  • Cerita
  • Opini
  • Perjalanan
  • Pernikahan
  • Sajak
  • Tutorial

Copyright © 2021 Kangg Mas Joe. Created by OddThemes