Udah lama nih, gak posting! Terakhir posting tanggal 4 Juli 2022; sekira empat bulan yang lalu. Tau gak, sampai-sampai aku di-kick dari grup komunitas gara-gara tidak setor tulisan di sana! Hihihi.
Setelah mengumpulkan tekad yang cukup, akhirnya aku siap untuk nulis lagi. Tapi, mau cerita apa yaa?
Hemm.. Mungkin akan ada beberapa kejadian yang mau aku ceritakan.
Pertama.
Beberapa hari yang lalu, aku iseng buka lagi Blog, kemudian lihat-lihat statistik. Weeh, kok ada yang sampe ribuan nih yang read. Jujur, jadi semangat buat nulis lagi, wokowk.
Ini judul-judulnya;
Monggo dibaca! :))
Kedua.
Di akhir bulan Agustus, aku mendapat undangan acara di jama’ah pengajian yang aku ikuti. Ternyata itu acara untuk Kaum Milenial yang berusia maksimal 30 tahun. Sebenarnya acaranya biasa saja, pengajian umum yang dilaksanakan di masjidnya Ketua Fraksi di DPR RI. Ustadz Dr. Jazuli Juwaini.
Intinya sih, kaum milenial dikumpulkan untuk persiapan menjadi pemimpin di masa depan. Makanya digembleng dari sekarang. Akan ada kajian lanjutan rutin. Sampai hari ini sudah ada tiga kajian.
Kajian kedua, diagendakan Bang Ismail Bachtiar, anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan (walaupun beliau pada akhirnya berhalangan hadir, digantikan oleh rekannya yang merupakan anggota DPRD di salah satu kabupaten yang ada di Sulawesi Selatan). Dan untuk kajian ketiga, baru beberapa pekan lalu dilaksanakan. Ketua DPP Bidang Kepemudaan, Mas Dokter Gamal Albinsaid yang menjadi pembicaranya. Walaupun, kajian kedua dan ketiga hanya dilaksanakan secara online melalui Zoom. Tetap saja, itu tidak mengurangi esensi acaranya.
Apa yang menarik dari acara ini?
Menurutku, simpel. Hanya perkara sapaan dari panitia dan pembicara kepada kami para peserta. Karena sehari-hari di kantor, ketika meeting atau kegiatan apapun, aku seringnya dipanggil "mas" atau "pak".
Jujur, dipanggil seperti itu capek, loh! Alias.. Menjadi orang dewasa itu bener-bener melelahkan! Wkwkwk.
Lu kepikiran hal yang sama kayak gue gak sih?
Namun, di acara tersebut, kami dipanggil dengan sebutan “nak” atau “anak-anakku sekalian”. Ustadz Jazuli sering sekali menyapa kami seperti itu di tengah-tengah materi beliau.
Aku merasa kayak… Wahhh. Jadi flashback masa-masa sekolah, masa-masa sepuluh hingga belasan tahun yang lalu. Aku merasa bahwa, kami di jama’ah ini, benar-benar diayomi oleh para sesepuh dan tetuanya.
Jadi, ketika ada yang memanggil “nak”, jadi merasa seperti anak yang masih butuh figur orang tua. Yaa, nampaknya ketika aku menjadi anak kos, aku merasa kehilangan figur orang tua. Telepon atau video call setiap pekan, tetap tidak dapat menggantikan itu, sih. Hehehe.
Ketiga.
Kejadian di kerata Commuter Line alias KRL. Saat itu di Stasiun Duri. Aku baru saja berpindah kereta. Dari Jakarta apabila hendak ke Tangerang, harus ganti kereta di Stasiun Duri. Karena stasiun tersebut adalah stasiun transit, maka kereta berhenti cukup lama. Tidak seperti di stasiun lain.
Long short story, aku telah berada di dalam kereta di Stasiun Duri, walaupun keretanya belum berjalan. Karena perutku sangat lapar, maka aku mengeluarkan roti dari tas dan memakannya dengan santai (Fyi, aku sebelumnya sudah membeli roti untuk dimakan kalau lapar, dan rasa lapar itu akhirnya muncul).
Tetiba, ada anak kecil merengek ke orang tuanya, mau makan juga. Tetapi orang tuanya melarang, “Nanti yaa nak, pas turun aja. Di kereta ga boleh makan”.
Anaknya tetap bersikeras tidak pantang menyerah, “Lha, om itu kok boleh?”
Coba tebak, apa responku?
Bodoamat karena gue laper, dan rotinya udah nanggung kebuka. Yaudah habisin aja, hehe.
Alias… MALU BANGET GUEE WOOYYY!!
Akhirnya sejak saat itu, aku tahu bahwa di KRL tidak boleh makan dan minum yaa. Hehee.
Oh yaa, satu lagi. Di KRL juga tidak boleh mengobrol. Tapi aku tahu aturan ini karena sempat ditegur oleh petugasnya.