Kangg Mas Joe

Blognya Dodo. Tidak semua yang diposting adalah nyata, banyak pencitraan dan fiksinya.

Postingan pertama di tahun 2025. Yuhuu!

Saya ingin bercerita tentang anak kami yang telah berusia setahun. Oh yaa ketika postingan ini dibuat, "ulang tahun" nya tidak tepat hari ini ya. Tetapi bulan lalu, hehe..


Alhamdulillah, sudah setahun. Lebih sedikit ketika tulisan ini dibuat. Tidak harus tepat. Sebab kami tidak membiasakan diri memperingati hal semacam itu.

Namanya, Syifa Esa Aljazirah.
Nama ini sudah kami rancang sejak ia masih dalam kandungan. Walaupun sebagian orang menganggap tabu hal itu.
Kata mereka, tidak boleh. Nanti anaknya sakit. Nama itu harusnya ketika bayi sudah lahir, baru diberikan.
Dan memang, pada awal kelahirannya, anak kami sakit. Sempat masuk NICU (Neonatal Intensive Care Unit; Semacam ICU untuk bayi) beberapa hari. Tetapi, tetap saja ini tiada hubungannya. Kepercayaan yang mengarah pada takhayul.
Kami "menghormati" saja kepercayaan semacam itu. Walau terdengar tak masuk akal bagi kami. Hihii..

Syifa.
Berasal dari Bahasa Arab, berarti "penyembuh" atau "kesembuhan". Kenapa harus Syifa? Ceritanya begini.
Umminya ketika sebelum menikah, dalam keadaan sakit. Baru selesai operasi besar. Harus minum obat selama berbulan-bulan. Namun, ketika hendak menikah, dan akhirnya kemudian hamil. Sakitnya perlahan hilang. Nyeri dan perih berangsur sembuh. Boleh jadi ini adalah cara Allah untuk menyembuhkannya. Maka, kejadian ini kami abadikan sebagai nama anak.
Selain itu, kami juga berharap bahwa Syifa akan selalu sehat. Dan ketika Syifa demam (sebab habis dari imunisasi), seorang Ustadz bertanya, "Syifa kok bisa sakit, kan namanya Syifa?" 😅

Esa.
Berasal dari Bahasa Jawa, berarti "satu" atau "tunggal". Ada beberapa makna. Syifa adalah anak pertama. Kemudian, kami mencari kata yang bermakna angka satu. Makna lain, kami ingin Syifa agar selalu menjadi "si nomor satu", menjadi anak yang terbaik dalam prestasinya, kebaikannya dan hal lainnya.
Dan terakhir, kenapa harus diambil dari Bahasa Jawa? Agar Syifa ingat bahwa leluhurnya, mbah buyutnya berasal dari Tanah Jawa. Syifa harus selalu ingat bahwa dia adalah orang Jawa, walau lahir di Pulau Sumatera. Pujakesuma; Puteri Jawa Kelahiran Sumatera. 😊 

Aljazirah.
Berasal dari Bahasa Arab juga. Yang berarti "kepulauan" atau "pulau-pulau". Alasannya adalah, ketika Syifa dalam kandungan, kami, kedua orang tua Syifa berpindah-pindah dari pulau ke pulau. Menikah di Pulau Sumatera, lantas ke Pulau Jawa, dan akhirnya dimutasi ke Pulau Batam. Beberapa kali masih ada urusan, harus kembali ke Pulau Jawa lagi. Kembali ke Sumatera lagi.
Alasan lain, kami ingin Syifa menjelajah ke pulau-pulau lain di Indonesia (sebab negara kita adalah negara kepualuan), hingga menaklukkan pulau-pulau lain di dunia.
Hal terakhir, nama Aljazirah juga terinspirasi dari stasiun televisi Timur Tengah, Aljazeera. Mereka memberikan kabar kepada seluruh dunia, tentang kekejaman yang dilakukan terhadap Palestina oleh Israel. Menjadikan ghirah kita sebagai Muslim, kembali membara untuk membela kemerdekaan Palestina. Secara tidak langsung, kami berharap agar Syifa menjadi pembela utama untuk Palestina merdeka.

Semoga Allah memberkahi anak kami, keluarga kami, dan keluarga kita semua yang membaca tulisan ini! 😄😉

Batam, Desember 2024
With love,
Abi dan Ummi

 

Udah lama nih, gak posting! Terakhir posting tanggal 4 Juli 2022; sekira empat bulan yang lalu. Tau gak, sampai-sampai aku di-kick dari grup komunitas gara-gara tidak setor tulisan di sana! Hihihi.


Setelah mengumpulkan tekad yang cukup, akhirnya aku siap untuk nulis lagi. Tapi, mau cerita apa yaa?
Hemm.. Mungkin akan ada beberapa kejadian yang mau aku ceritakan.
 
Pertama.
Beberapa hari yang lalu, aku iseng buka lagi Blog, kemudian lihat-lihat statistik. Weeh, kok ada yang sampe ribuan nih yang read. Jujur, jadi semangat buat nulis lagi, wokowk.
 
Ini judul-judulnya;
Nikah Muda
Nge-date (?)
Masjid Cheng Hoo
Balonku Ada Lima
SKCK


Monggo dibaca! :))
 
Kedua.
Di akhir bulan Agustus, aku mendapat undangan acara di jama’ah pengajian yang aku ikuti. Ternyata itu acara untuk Kaum Milenial yang berusia maksimal 30 tahun. Sebenarnya acaranya biasa saja, pengajian umum yang dilaksanakan di masjidnya Ketua Fraksi di DPR RI. Ustadz Dr. Jazuli Juwaini. 

Intinya sih, kaum milenial dikumpulkan untuk persiapan menjadi pemimpin di masa depan. Makanya digembleng dari sekarang. Akan ada kajian lanjutan rutin. Sampai hari ini sudah ada tiga kajian.

Kajian kedua, diagendakan Bang Ismail Bachtiar, anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan (walaupun beliau pada akhirnya berhalangan hadir, digantikan oleh rekannya yang merupakan anggota DPRD di salah satu kabupaten yang ada di Sulawesi Selatan). Dan untuk kajian ketiga, baru beberapa pekan lalu dilaksanakan. Ketua DPP Bidang Kepemudaan, Mas Dokter Gamal Albinsaid yang menjadi pembicaranya. Walaupun, kajian kedua dan ketiga hanya dilaksanakan secara online melalui Zoom. Tetap saja, itu tidak mengurangi esensi acaranya.
 
Apa yang menarik dari acara ini?
Menurutku, simpel. Hanya perkara sapaan dari panitia dan pembicara kepada kami para peserta. Karena sehari-hari di kantor, ketika meeting atau kegiatan apapun, aku seringnya dipanggil "mas" atau "pak".
Jujur, dipanggil seperti itu capek, loh! Alias.. Menjadi orang dewasa itu bener-bener melelahkan! Wkwkwk.
Lu kepikiran hal yang sama kayak gue gak sih?
 
Namun, di acara tersebut, kami dipanggil dengan sebutan “nak” atau “anak-anakku sekalian”. Ustadz Jazuli sering sekali menyapa kami seperti itu di tengah-tengah materi beliau.
Aku merasa kayak… Wahhh. Jadi flashback masa-masa sekolah, masa-masa sepuluh hingga belasan tahun yang lalu. Aku merasa bahwa, kami di jama’ah ini, benar-benar diayomi oleh para sesepuh dan tetuanya.
Jadi, ketika ada yang memanggil “nak”, jadi merasa seperti anak yang masih butuh figur orang tua. Yaa, nampaknya ketika aku menjadi anak kos, aku merasa kehilangan figur orang tua. Telepon atau video call setiap pekan, tetap tidak dapat menggantikan itu, sih. Hehehe.
 
Ketiga.
Kejadian di kerata Commuter Line alias KRL. Saat itu di Stasiun Duri. Aku baru saja berpindah kereta. Dari Jakarta apabila hendak ke Tangerang, harus ganti kereta di Stasiun Duri. Karena stasiun tersebut adalah stasiun transit, maka kereta berhenti cukup lama. Tidak seperti di stasiun lain.
 
Long short story, aku telah berada di dalam kereta di Stasiun Duri, walaupun keretanya belum berjalan. Karena perutku sangat lapar, maka aku mengeluarkan roti dari tas dan memakannya dengan santai (Fyi, aku sebelumnya sudah membeli roti untuk dimakan kalau lapar, dan rasa lapar itu akhirnya muncul).
 
Tetiba, ada anak kecil merengek ke orang tuanya, mau makan juga. Tetapi orang tuanya melarang, “Nanti yaa nak, pas turun aja. Di kereta ga boleh makan”.
Anaknya tetap bersikeras tidak pantang menyerah, “Lha, om itu kok boleh?”
Coba tebak, apa responku?
Bodoamat karena gue laper, dan rotinya udah nanggung kebuka. Yaudah habisin aja, hehe.
Alias… MALU BANGET GUEE WOOYYY!!
 
Akhirnya sejak saat itu, aku tahu bahwa di KRL tidak boleh makan dan minum yaa. Hehee.
Oh yaa, satu lagi. Di KRL juga tidak boleh mengobrol. Tapi aku tahu aturan ini karena sempat ditegur oleh petugasnya. 
Ini adalah cerita bagaimana akhirnya aku berada di Jabodetabek, sampai hari ini. Cerita ketika pertama kali berkelana sendirian ke Pulau Jawa, dari Pulau Sumatera. Semua berlangsung cepat sekali. Tak sampai satu pekan. Kejadian ini sekira setahun yang lalu. Akhir Februari dan awal Maret 2021. Sebenarnya, ingin ditulis di tahun lalu, namun selalu tidak sempat karena (sok) sibuk bekerja. Ehehe..

Bagaimana cerita perjalanan yang sangat cepat dan terekam dengan jelas di ingatan?
Mari kita simak bersama! 😁 

Hari Selasa.

Saat itu aku sedang mengikuti dua seleksi tes masuk ke perusahaan. Yang pertama di pagi hari, pukul sembilan. Yang kedua di siang hari pukul satu. Kedua tes berjalan dengan lancar walaupun tidak terlalu pede.

Untuk tes perusahaan kedua (selanjutnya kita sebut saja PT. X), yang berlangsung di siang hari, aku tidak terlalu yakin. Tes tahap pertama aku memang bisa mengerjakan dengan baik. Soal Bahasa Inggris, sebanyak dua puluh, pilihan ganda. Soalnya “hanya” mengenai Tenses sederhana saja. Melengkapi To Be (am, is, are, was, were), Preposition (on, in, at) dan soal-soal yang sangat sederhana. Tidak serumit tes TOEFL.
Aku lulus di tahap itu. Beberapa orang yang tidak lulus langsung di-kick dari room.

Tahap kedua yang membuat agak puyeng. Soal Matematika, Fisika dan Kimia dasar. Kalau di perkuliahan, ada di semester pertama dan kedua. Sebenarnya ini pelajaran SMA juga. Soal mengenai integral, akar pangkat dan sebagainya, hukum kekekalan energi, tumbukan dan sebagainya, lakmus merah, lakmus biru, juga mengenai pH meter. Aku tidak terlalu ingat pelajaran itu.
Nasib baik, soalnya dalam bentuk pilihan ganda. Yaudah, bismillah. Jawabannya ngasal. Tebak sembarangan. Kalau emang rejeki, ya Alhamdulillah. Pikirku saat itu. Hehee.

Pukul empat sore, tak lama setalah shalat Ashar, aku mendapat email dan SMS. Mengatakan bahwa aku lulus ke tahap selanjutnya di PT. X. Di hari Jumat harus mengikuti seleksi Psikotes di kantor mereka. Balaraja, nama daerahnya.

Dan jujur, mungkin aku kurang riset mengenai perusahaan ini, karena aku mengira akan ditempatkan di Batam. Setelah searching di Google Maps, ternyata Balaraja bukan berada di Batam, melainkan di… Kabupaten Tangerang. Iya, Kabupaten nun jauh dari hiruk pikuk kota Jakarta wokwokw.

Aku kemudian memberi kabar ke teman yang berada di Jakarta, cuma sharing kebahagiaan saja. Mengakatan bahwa mau ke Tangerang untuk tes kerja. Dia langsung bilang, “Yaudah berangkat saja. Nanti nginep di kosku. Tiket berangkat ke sini aku beliin!”

Alhamdulillah.
Walaupun sejujurnya aku tidak berniat minta apapun dari temanku itu hanya cerita saja, tapi dia baik sekali membelikan aku tiket.

Siapa temanku itu?
Teman yang sejak SD dan SMA, selalu bersekolah di tempat yang sama. Orang tua kami juga sudah saling kenal. Saudara-saudaranya juga kenal. Hanya ketika kuliah saja yang berbeda. Dia merantau terlebih dahulu ke Ibukota, aku di Kampus Sriwijaya. Aku pernah cerita di Kunci Motor.

Lanjut di malam hari, langsung mencari tempat swab antigen yang masih buka. Harganya juga masih cukup mahal saat itu. Dua ratus ribu rupiah. Teteapi, jangka waktunya bisa dipakai sampai tiga hari (kalau sekarang cuma sehari).

Hari Rabu.

Suana setahun yang lalu, Bandara cukup sepi

Aku berangkat menggunakan maskapai Citilink (padahal PT. X adalah kompetitornya, wkwk) dengan pesawat Airbus A320, dari Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang (PLM) menuju Bandara Halim Perdanakusumah Jakarta (HLP).

Pesawat Citilink yang akan dinaiki

Kali pertama naik pesawat sendiri. Belum tahu caranya. Awalnya agak-agak bingung, dan benar-benar nampak seperti orang dari kampung yang pertama kali mau naik ke pesawat. Sempat kesal juga sama petugas di Bandara yang dari caranya seperti agak memandang rendahku ketika aku banyak bertanya. Tapi yaudah lah. Malu bertanya sesat di jalan! Ahaha.

Pesawat berangkat dari PLM pukul 15.55

Well, sebenarnya sebelumnya pernah naik pesawat juga, tapi bareng-bareng teman satu angkatan ketika KKL. Jadi aku tinggal terima beres. (Baca: Pesawat)

Ruang tunggu Bandara PLM yang cukup lengang

Tiba di HLP sekitar pukul lima sore. Temanku mengatakan bahwa aku harus keluar dahulu, berjalan kaki menuju geraja yang ada di luar Bandara HLP, barulah kemudian pesan Gojek di sana. Aku ikutin sarannya. Sampai di Gereja ternyata banyak juga penumpang yang sepertiku, menunggu di sana. Banyak juga ojek pangkalan (motor maupun mobil) yang menawarkan jasa. Aku tidak mau. Aku tidak tau daerah ini. Takut terjadi apa-apa. Kalau menggunakan Gojek, bisa jadi lebih aman karena dipantau aplikasi. Ehehe.

Tapi para Ojek Pangkalan kreatif juga. Mereka tetap ngotot menawarkan jasa. Mereka bilang, untuk tarifnya, samakan dengan aplikasi Gojek saja. Aku bilang saja, sudah dijemput teman (padahal saat itu aku sudah order Gojek lewat aplikasi, wokwowk). Dan ketika abang Gojeknya dateng, abang ojek pangkalan itu agak sedikit kecewa dengan nada agak marah, “Lha, katanya dijemput teman, mas?”

Dari HLP menuju kosan temanku di daerah Jatinegara, memakan waktu sekitar setengah jam. Tiga puluh ribu ongkos Gojek-nya. Ini untuk pertama kali melihat-lihat Kota Jakarta dari dekat. Juga melihat sisi lain yang cukup timpang. Di satu sisi ada gedung-gedung tinggi yang megah, namun di sisi lain, di gang-gang sempit juga ada penduduk pinggiran yang bisa dikatakan cukup kumuh.

Skip, skip, beberapa menit menjelang Maghrib akhirnya aku bertemu dengan temanku di kosannya. Yang juga sudah lama tidak berjumpa. Kosannya bagus. Tapi cukup sempit. Harganya sewanya satu juta rupiah. Mahal juga ternyata menurut perspektifku, tapi setelah tinggal setahun di sini, itu adalah harga yang wajar.

Selanjutnya adalah..
Lanjut nanti ya. Udah ngantuk. Besok mau sahur! Tunggu di episode dua aja! 😀

Dua ribu dua puluh dua! 
Akhirnya kita telah memasuki tahun yang baru. Semoga kita punya semangat baru dengan target dan capaian yang baru, lebih baik dari tahun sebelumnya. Aamiin!

Beberapa hari yang lalu, aku mendapat kiriman tanpa nama, walaupun akhirnya aku tahu siapa pengirimnya, berupa sebuah paket kotak kecil. Berisi sebuah surat mungil yang terikat rapi dalam sebuah botol.

Mon maap kalo fotonya gak estetik 😢

Dan apa yang terjadi? Tentu saja teman satu mess pada heboh; Woyy Mas Dodo, dapet surat cinta tuuh!
Aku hanya meng-ngakak saja.

Jadi, dari siapakah surat ini?
Sebenarnya itu adalah dari aku sendiri, yang ditulis di akhir tahun 2020. Berisikan harapan-harapan yang ingin dicapai di tahun depan, di tahun 2021.

Oh yaa, kegiatan menulis surat untuk diri sendiri di masa depan ini, terlaksana atas prakarsa Mbak Eno (pemilik blog creameno.com). Surat itu, aku kirimkan kepada belio di akhir 2020 (melalui kolom komentar di postingan blog nya). Kemudian disimpan di tahun 2021, dan di awal 2022 dikirimkan kepada seluruh peserta yang ikut event tersebut di blog nya.

Dan aku, sebenarnya sudah lupa juga pernah ikut event ini, hingga mbak Eno mengirimku email, menanyakan alamat.
So, yang mengirim paket tentu saja belio yaa. Hehehe.

Kembali ke isi surat.
Di sana, aku menuliskan beberapa rencana-rencana yang ingin dicapai di tahun 2021. Hasilnya? Alhamdulillah ada yang tercapai. Tapi ada juga yang tak tercapai.
Dari empat hal yang aku tuliskan, yang tercapai baru satu. Tidak apa-apa. Namanya juga harapan. Toh, usaha mungkin sudah maksimal. Insyaa Allah di tahun 2022, semoga hal itu bisa tercapai. Hehe.

Beberapa hari yang lalu ketika tengah asyik blogwalking, aku melihat tulisan Mba Eno mengenai suaminya yang botak. Katanya, suaminya hendak mengenang masa-masa ketika wajib militer dulu, ketika masih muda (sekarang tetap masih muda, kok hehee 😜)

Aku juga pernah botak. Walaupun tak terlalu botak sih. Ini terjadi ketika aku menjadi Mahasiswa Baru (Maba) di tahun 2015 lalu.  Ceritanya, ketika Ospek kami diwajibkan potong rambut. Dengan panjang maksimal hanya 1 cm saudara-saudara! Jadi sebenarnya, nyaris botak.

Tapi itu sebenarnya masih mending. Dari seluruh jurusan di Fakultas Teknik, ada satu jurusan yang lebih parah; Teknik Pertambangan. Rambut mereka hanya boleh 1mm. Iya. Satu mili meter! Gimana ngitungnya coba, kwkwkw! Jadi mereka fiks botak, sih.

Dan, tahukah kamu ada satu fakultas yang menurutku cukup enak. Apa itu? Jawabannya adalah Fakultas Ekonomi. Mereka tidak ada aturan harus potong rambut botak. Jadi rambut mereka “normal” saja.

Bagaimana kabar selepas Ospek? Sebagian kecil di antara kami balas dendam dengan cara memanjangkan rambut. Menggondrongkan diri. Dan aku masuk ke kelompok kecil tersebut. Ingin merasakan bagaimana rasanya gondrong.

Seberapa panjang? Tidak juga sih. Rekorku cuma enam bulan tidak potong rambut. Aku ingat betul. Saat itu sedang terjadi gerhana matahari, yang baru saja aku cek di Google, tanggal 9 Maret 2016. Tidak penting sekali, bukan? Kwkwkw.

Rambut enam bulan itu, sepanjang apa sih. Menurutku, untuk ukuran cowok, itu sudah dianggap cukup panjang. Dianggap tidak lazim untuk cowok yang lingkungannya berambut pendek. Kalau aku masih berstatus siswa SMA, guruku pasti sudah gatal tangannya untuk menggunting rambutku dan membuatnya “tokak”.

Sudah terbayang? Jadi pokoknya rambutku saat itu tidak terlalu gondrong, tapi sudah dianggap panjang oleh kebanyakan orang (?). Atau gini deh, kalo kamu lihat ada cewek tomboy yang berambut pendek. Nah, kira-kira gitu deh.

Dalam perspektif cowok sudah dianggap panjang, tapi kalau perspektif cewek, masih dianggap pendek. Yaa, jadi saat itu aku sempat dikira cewek tomboy. Beneran.

Saat itu, aku dan teman-temanku pergi ke suatu sekolah untuk mempromosikan acara kampusku. Coba tebak, aku dipanggil “mbak” oleh salah satu guru di sekolah tersebut. “Mbaknya boleh duduk di sebelah sini,” kira-kira begitu kata guru tersebut. Suaraku berat macam bapac-bapac begini, kok bisa dipanggil “mbak”, ahahaa! -_-

Oke, kembali ke peristiwa gerhana tadi. Setelah gerhana matahari total selesai, aku membulatkan tekad. Bapak aku beritahu bahwa aku hendak potong rambut. Dan tahukah kamu, hingga umurku sekarang yang hampir seperempat abad, aku belum pernah potong rambut di tukang pangkas, salon, barbershop dan sejenisnya. Dari kecil hingga sekarang, rambutku hanya dipotong oleh satu orang saja; Bapak.

Nah, “masalah” baru muncul. Aku kini sudah tidak tinggal di bersama orangtua. Tinggal di pulau yang berbeda dengan bapak. Bagaimana pula nanti aku mau potong rambut? Sebenarnya jawabanya simpel. Aku tinggal pulang, awwkwowkowk.

Setidaknya, aku punya “alibi” untuk sering pulang. Toh jaraknya cuma satu jam kalau naik pesawat. Jadi, aku sudah pulang beberapa kali dan hanya beberapa hari. Sabtu dan Ahad di rumah. Senin pagi sudah berangkat lagi.

Marilah pulang, temui orang tua selagi sempat, selagi jarak dekat, dan uang di kantong bersahabat. 😁😁
“Kamu kan udah divaksin, kok masih kena Covid?” 
Pertanyaan ini seringkali muncul kepadaku. Baik ketika sedang menjalani isoman (bertanya melalui WhatsApp), maupun ketika sudah sembuh. 
  
“Yaa, yang sudah vaksin saja bisa kena, apalagi yang belum vaksin!” 
Aku lebih sering menjawab seperti ini. Sekaligus memberikan edukasi. Bahwa vaksin itu penting. Logikanya jangan terbalik. Tuhh.. Yang udah vaksin aja masih kena covid. Mending kita gak usah vaksin. 
Ini keliru, saudara-saudara! 
 
Uhmm... Pertanyaan di atas sebenarnya adalah wajar. Bisa jadi hanya basa-basi belaka. Agar ada yang bisa diobrolkan selanjutnya. Tidak perlu ditanggapi dengan respon “sok merasa paling benar”. Hee.. 
 
Kalau ada orang yang gak mau vaksin, yaudahlah. Gapapa. Terserah mereka. 
Siapa tahu, mereka tidak mau vaksin bukan karena percaya konspirasi wahyudi, elit global, atau akan ditanamkan chip ke dalam tubuh. Bukan. Bisa jadi, mereka.... hanya takut jarum suntik! 😆
 
Jujur saja, aku pun awal-awalnya tidak mau divaksin. Agak ngeri-ngeri juga lah dengan yang namanya suntik. Terakhir disunik pun itu ketika SD. Vaksin juga. Vaksin polio, atau cacar, atau apa yaak. Lupa. Dan, ketika kelas satu SD pun, aku pernah kabur dari sekolah ke rumah gegara ada vaksin dari Puskesmas.
Yaa, itu ketika masih jadi bocil ya. Kalau sekarang mah, gak mungkin aku mau kabur. Hiiihi..
 
Baca Juga : Akhirnya Kena Juga! 
 
Oke, aku divaksin di bulan Maret 2021. Kalau tidak salah, itu masa ketika masih cukup awal ketika vaksin tiba di Indonesia. Saat itu, tidak semua masyarakat umum bisa mendapat vaksin. Yang divaksin baru orang-orang dari kelompok tertentu saja; Manula, Para Pejabat (termasuk PNS, Karyawan BUMN, TNI, Polri, hingga Anggota Dewan), dan Petugas Pelayan Publik. Itu pun masih di sekitaran Jabodetabek. Untuk daerah lain, belum semasif sekarang. Cukup beruntung aku kini tinggal di Jabodetabek. Punya sedikit previlej.
 
Aku masuk yang mana? Rasa-rasanya di kategori ketiga; Petugas Pelayan Publik.
Sebab perusahaan tempat kami bekerja adalah perusahaan jasa. Gitu kali alasannya (?). Oh yaa, satu lagi. Form vaksin yang aku terima ketika di meja pendaftaran, memiliki kop surat dari Kementerian Perhubungan. Atau mungkin, perusahaan tempat aku bekerja sering berhubungan dengan Kementerian Perhubungan, sehingga perusahaan kami mendapat vaksin di awal? Tidak tahu juga. Mungkin sepeti itu adanya.
 
Pokoknya, aku ingat betul. Saat itu aku baru menadi karyawan baru. Sekitar satu pekan. Dan saat itu sedang masa training. Belum benar-benar bekerja. Artinya, aku cukup beruntung. Baru masuk kerja, langsung bisa dapat akses untuk vaksin (bayangkan sampai hari ini pun, di banyak tempat di luar Pulau Jawa, orang-orang masih pada rebutan untuk vaksin).
 
Seperti yang telah aku singgung di awal narasi. Aku awalnya agak sedikit ngeri untuk divaksin. Namun, di sisi lain ini adalah kesempatan langka (termasuk bisa eksis untuk di-upload di story Instagram). Satu sisi juga bermanfaat untuk kesehatan, memperkuat kekekalan tubuh dari virus. Akhirmya, Bismillah.. Aku ikut vaksin.
  
Alurnya, kami diminta mendaftar dahulu. Bawa KTP. Isi nomor HP. Setelah itu kita akan didata oleh petugas.
Kemudian, setelah sekian menit, lanjut ke pos kedua. Screening oleh tim dokter. Hanya ditanyakan pertanyaan simpel saja. Tadi pagi sudah sarapan atau belum. Sarapan apa saja. Sudah pernah terkena Covid atau tidak (kabarnya, kalau kamu sudah terkena Covid, baru boleh divaksin setelah dua atau tiga bulan ke depan).
 
Setelah dinyatakan aman, vaksin siap disuntikkan ke lengan bagian atas. Sang dokter selalu bilang ke setiap orang yang hendak disuntiknya, “Vaksinnya Sinovac, ini baru. Masih disegel ya.”
Nampaknya, SOP mengharuskan begitu. Ntah berapa ratus kali sang dokter mengucapkan kalimat itu dalam satu hari. Pasti lelah juga mulutnya mengucapkan hal yang sama setiap saat. Hiiihi.


Waah, ternyata lenganku belang ya 😅

Setelah disuntik, para peserta vaksin tetap harus diminta menunggu selama 30 menit di area ruang tunggu. Kata petugas, kalau setelah 30 menit tidak ada reaksi apa-apa, boleh pulang. Sebenarnya itu hoax. Coba saja, kalau aku pulang saat itu, pasti dicegat di pos Security, “Mas, jam pulang kerja itu jam setengah enam sore. Ini masih jam sepuluh pagi.” 
 
Tak lama berselang, ponselku berdering. Kalau sudah begitu, biasanya aku mendapat hadiah mobil higga uang tunai ratusan juta rupiah. Namun ternyata, saat itu tidak. SMS itu berisi link untuk mengunduh sertifikat vaksin.
 
Bagaimana dengan vaksin kedua? Sama saja alurnya. Ini adalah hasil unduhan sertifikat vaksinku, yang seperti ini orang-orang sering upload untuk dijadikan story, kan? Hehhe.


Apa efek yang dirasakan setelah vaksin?
Kalau vaksin pertama, aku tidak merasa gejala apapun. Tidak ada masalah apa-apa. Namun, ada beberapa teman yang meraskan tangannya pegal-pegal.
Huu.. Dasar lemah! Kataku dalam hati seraya menghardik teman yang merasakan efek samping dari vaksin.
Astaghfirullah. Jahad sekali aku yaak :(
 
Bagaimana dengan vaksin kedua?
Nah ini yang lumayan terasa efeknya. Tusukan jarum kali ini, rasanya lebih sakit dan tajam. Apa mungkin jarumnya lebih gede, ya? Aku gak tau juga. Tak lama setelah itu, aku merasakan pegal-pegal di sekitar area lengan atas (yang baru saja disuntik). Pegal-pegal ini aku rasakan cukup lama. Seharian, bahkan lebih dari 24 jam rasa pegal-pegal itu tidak hilang (seperti rasa rinduku padamu yang tidak pernah hilang).
 
Efek lainnya adalah rasa kantuk yang berat teramat sangat. Vaksin selesai jam sepuluhpagi. Ketika kembali ke meja, kembali ke kubikel. Aku tertidur. Beneran tertidur, hingga lewat pukul sebelas. Tidurnya seperti ketika kita mendengarkan khotbah Jumat. Senyenyak itu tidurnya. Dan, efek terakhir adalah perut yang keroncongan.
Tapi di paragraf ini aku tahu alasannya. Mungkin bukan karena vaksin, melainkan karena saat itu adalah bulan puasa. Hahahaa.
 
***
 
Berbulan-bulan sejak aku telah divaksin, peraturan dari Pemerintah telah berubah lagi. Pemerintah sedikit “memaksa” warganya untuk divaksin.
Para pakar ilmu pengetahuan banyak yang berbicara di televisi dan kanal media sosial. Bahwa vaksin dapat memutus rantai penyebaran virus. Para ustadz dan tokoh agama lainnya juga berbicara bahwa vaksin itu berpahala karena dapat bermanfaat menjaga diri dan orang lain. Nanti besok-besok masjid dapat penuh lagi.
Ternyata, para pakar dan tokoh agama tidaklah diindahkan oleh masyarakat.
 
Namun, ketika Pemerintah mengeluarkan "fatwa" bahwa barangsiapa yang hendak masuk mall, restoran, tempat wisata atau berpergian melalui bandara, stasiun, terminal, pelabuhan dan sebagainya. Haruslah divaksin. Maka, sejak saat itu masyarakat berbondong-bondong mendaftar vaksin.
 
Nampakya, banyak di antara kita lebih takut tidak bisa masuk mall, yaak. Hehehe.
So, jangan lupa vaksin. Biar kamu bisa masuk mall! #eh

Karyawan yang masih training, juga pengen eksis setelah divaksin 😂
“Woyy, kayaknya aku salah naik bus nih..”
Aku memberi kabar kepada teman satu kos melalui grup WhatsApp.

“Hah? Beneran, bang? Abang tadi naik bus yang mana? Aku naik bus yang paling depan. Ehm.. Coba abang share lokasi deh,” respon seorang teman seraya ia mengirim lokasi. Dan, aku pun melakukan hal yang sama. Mengirim lokasi juga.

Lokasi telah terkirim. Layar ponsel menunjukkan aplikasi Google Maps. Kesimpulannya? Fiks. Aku beneran salah bus.




Waah, kocak sekali, pikirku saat itu. Padahal, rencanaku saat itu, ketika sampai kos, langsung hendak makan karena perut sudah lapar. Ditambah lagi, di siang hari aku sudah sangat lelah dengan tugas yang nampaknya tak kunjung selesai. Menjadi bertambah-tambah laparlah perutku.

Well, rencana tinggal rencana. Bukannya makan malam ketika pulang, aku malah salah naik bus yang menjadikan aku belum sampai kos dan tidak jadi makan malam pada jam itu. Aku berada di luar kota, bahkan di luar provinsi. Wowokwkwk.

Kok bisa?
Jadi gini, simpelnya, perusahaan tempatku bekerja menyediakan bus antar jemput untuk para karyawannya. Kantorku yang terletak di sekitaran Kota Tangerang (ciyee pertama kali aku kasih tau di Blog nih), menyediakan bus dengan berbagai rute. Ke Kabupaten Tangerang, ke Bandara Halim Perdanakusumah dan ke Jakarta Pusat (Di Jakpus ada kantor pusat perusahaanku).

Aku yang biasanya naik bus tujuan Kabupaten Tangerang, malah naik bus yang tujuan Jakarta Pusat. Satu ke timur, satu ke barat. Benar-benar malah menjauh dari arah jalan pulang. Haahha.

Jadi ini salah siapa ya? Mungkin human eror, atau aku yang kurang teliti dan kurang aware terhadap keadaan sekitar. Kenapa aku tidak tanya dahulu ke sopirnya itu bus tujuan mana, dan kenapa pula aku tidak keciren dengan penumpang saat itu bahwa orang-orang di sana mukanya asing semua. Bukan penumpang biasa yang sering aku temui di bus setiap harinya.

Lagi-lagi, kok bisa??
Bus tujuan Kabupaten Tangerang itu biasa berjejer beriringan. Dan bus yang menuju Jakarta Pusat, parkir di tempat yang agak jauh. Namun, pada hari itu, bus menuju Kabupaten Tangerang dan Jakarta Pusat parkir di tempat yang berdekatan dan beriringan. Mana aku tahu bus itu tujuannya kemana. Aku tahunya, kalau parkir di situ, pasti tujuan yang biasa aku naikin.

Bus kemudian berjalan. Lima belas menit awal dalam perjalanan tidak ada yang aneh. Jalanan macet cukup parah, tidak seperti biasanya. Di sekitar menit ke dua puluh, aku mulai merasa sesuatu yang janggal. Kenapa busnya menuju jalan yang tidak biasa. Aku saat itu masih berfikir positif. Oh, mungkin karena macet, jadi sopirnya mengambil jalan pintas. Aku masih tetap stay calm sambil memakan ciki seharga seribu rupiah yang tadi siang aku beli.

Bus kemudian masuk ke tol. Sedikit terbelalak, kenapa pula bus ini masuk ke gerbang tol Benda Utama. Seingatku, jalan biasa tidak lewat sini. Tapi, lagi-lagi aku terlalu husnuzhon kepada semesta. Ini pasti sopir masih melewati jalan pintas. Namun, aku tetap harap-harap cemas.

Aku memerhatikan keadaan sekitar. Pemandangan kiri-kanan jalan benar-benar berbeda dengan biasanya. Dan yang mebuat aku terkejut adalah, ada plang petunjuk jalan yang bertuliskan “Tanjung Priok” plus tanda panah ke arah kanan. Aku mulai sadar, ini ada hal yang tidak beres. Setahuku, kalau mau ke Kabupaten Tangerang tidaklah melewati Tanjung Priok, kan?

Aku mulai bertanya dengan penumpang lain di bus, “Mas ini bus kemana ya?”
“Ini ke Tower, mas.” Oh yaa, kantor yang di Jakpus kami sebut sebagai Tower.
“Wadauh...”
“Kenapa mas?"
“Iya, saya mau ke Kabupaten Tangerang, salah bus nih”

Setelah itu, aku langsung  mengabarkan teman satu kos dan terjadilah adegan pada paragraf awal. Dan, tahukah kamu bahwa kunci kos ada padaku. Bisa-bisa mereka tidak bisa masuk hahha.

Kami kemudian berdiskusi bagaimana caranya aku pulang. Akhirnya dapat. Menurut info dari seorang teman (dia juga bertanya kepada orang lain), aku harus naik ojek dahulu ke Terminal Grogol. Kemudian, dari Grogol ada minibus atau travel menuju Kabupaten Tangerang.
Oke, aman. Aku sudah punya planning ke depan harus gimana.

Ketika akhirnya bus yang aku tumpangi tiba di kantor Jakarta Pusat, aku langsung mendatangi sopir, “Pak saya salah naik bus. Masih ada gak ya bus ke Kabupaten Tangerang malam ini dari sini?”

Sang sopir terkejut, mungkin ini adalah penglaman pertama baginya, ada penumpang yang salah bus.

“Kenapa kamu tadi sebelum naik tidak tanya dulu?” Beliau dengan sigap membuka ponselnya dan mengecek grup WhatsApp nya. Grup yang isinya para sopir di perusahaan ini, “Tadi ada sih yang berangkat ke sana, tapi kayaknya sekarang udah jauh,”

Kemudian, sang sopir turun dari bus. Aku mengikuti dari belakang.
Beliau berdiskusi dengan teman-temannya, sesama sopir, sambil menjelaskan bahwa ada seorang penumpangnya yang salah bus.

“Ada mas, tapi nanti sekitar jam sembilan malam pulangnya. Ada tiga mobil. Sekarang mereka sedang rapat. Tunggu aja,” kata teman sang sopir.
“Siapa saja drivernya?”
“Ada si A, si B, sama si X kang..”
Aku langsung nyeletuk, “Mas X itu tetangga saya, pak!”
“Yaudah, coba aja kamu hubungi dia. Dia ada di atas kok.”

Sayangnya, aku tidak mempunyai nomor ponsel beliau. Namun, tenang saja. Aku memanfaatkan jaringan yang aku punya dan akhirnya mendapatkan nomor beliau.

Satu masalah sudah selesai. Aman. Aku tinggal menunggu mas X saja untuk pulang. Sekarang saatnya shalat Maghrib. Sesibuk apapun kita, jangan sampai lupa beribadah yaak guys! #Eaakkk

Baru sekira jam setengah delapan malam, aku akhirnya bertemu dengan mas X. Dia bilang, “Ayo pulang!”
Untung saja tidak pulang jam sembilan yaa. Ternyata lebih cepat dari perkiraan. Dan, lagi-lagi, untung saja tetanggaku sedang berada di sana. Ini tetangga persis di sebelah rumah. loh. Kami tinggal di nomor 13, sedangkan mas X tinggal di nomor 12. Kebetulan Qodarullah sekali, yaak!
Orang Indonesia mah gitu, selalu ada untung di setiap musibah.. Hehhee..

Akhirnya, aku pulang dengan selamat dan tiba di kos sekira pukul sembilan malam.

Apabila hari esok telah datang, cerita bahwa aku salah naik bus menjadi tersebar ke banyak orang di kantor. Dan orang-orang bertanya dengan pertanyaan yang sama. “Kok bisa?”
Yaa, jadi aku harus bercerita dengan cerita yang sama untuk beberapa kali di hari itu. Huuuhuu...


Dari judul dan gambar pada thumbnail di atas, aku rasa kamu sudah bisa menebak alur cerita postingan ini. Yaa,aku akhirnya terkena Corona, haha.
Ketika postingan ini di-publish, ini adalah hari ketujuh aku melakukan isolasi mandiri. Tepat satu pekan. Insyaa Allah tiga hari lagi selesai.

Bagaimana keadaanku? Alhamdulillah baik-baik saja. Tidak terlalu parah. Tapi tetap saja tidak boleh menyepelekan. Yang aku rasakan saat ini, “hanya” batuk ringan saja. Tidak lebih. Tidak parah atau sampai drop seperti yang ada di berita-berita ketika orang terinfeksi virus ini.
Sekali lagi, alhamdulillah.

Kok bisa? Beberapa orang sempat bertanya mengenai itu kepadaku.
Yaa, jawabannya simpel. Bisa saja, ehehe.
Ibaratnya, kita sudah ber-ikhtiar semaksimal mungkin. Ketat melaksanakan protokol kesehatan, selalu pakai masker, selalu cuci tangan (tanganku sekrang sampai-sampai menjadi sangat halus, kalau tidak percaya, sini genggam erat tanganku hehe) dan sebagainya.

Well, menurutku, aku dan mungkin banyak di antara kita cukup ketat ketika di luar dan bertemu orang luar. Namun sangat longgar ketika berada di dalam rumah. Padahal, mungkin, bisa jadi, dari dalam rumah itu lah justru kita bisa tertular.

Cerita bermula sekira hari Rabu dua pekan lalu, teman satu kos mengalami demam. Satu hari setelahnya, Kamis, teman yang satu lagi ikut-ikutan sakit. Dan di hari Jumat, aku menyusul ikut sakit pula. Satu rumah, kami ada orang tiga. Tiga-tiganya sakit semua! 😄

Untungnya, saat itu aku yang sakitnya tidak terlalu parah (dasar orang Indonesia, sudah sakit, masih saja ada untungnya!). Hanya demam dan sakit kepala sedikit saja. Dari pagi hari menjelang siang. Ketika adzan berkumandang, aku telah memastikan tempat di masjid. Aku masih kuat untuk shalat Jumat loh saat itu, wowkwok.

Di hari Sabtu dan Ahad. Keadaan dua temanku masih cukup tepar. Mereka hanya berguling-guling di atas kasur. Aku secara tidak langsung yang melayani mereka. Aku sendiri yang memasak nasi, aku yang keluar membeli makanan, dan sebagainya. Coba lihat, aku sebenarnya nampak sehat-sehat saja, bukan?

Di hari Senin, satu teman sudah masuk ke kantor. Sedangkan aku, sebenarnya masih belum fit. Karena sepanjang hari masih batuk-batuk terus. Aku memutuskan untuk WFH (karena memang saat itu adalah jadwalku untuk WFH). Teman yang satu lagi, masih sama seperti hari kemarin. Dia masih belum punya tenaga yang cukup.

Sekira jam sepuluh pagi, dia bilang kepadaku, “Mas Dodo, gimana kalo kita swab antigen saja?”

Aku mengiyakan ajakannya. Sebetulnya, sudah dari kemarin kami saling curiga. Jangan-jangan salah satu di antara kami ada yang positif Covid. Teorinya simpel saja, kok bisa satu orang demam dan flu, yang lain cepat sekali tertularnya. Padahal, kalo demam "biasa", tidak secepat itu, kan.

“Aku sekarang sudah hilang kemampuan untuk mencium aroma. Sebenarnya dari kemarin sih, mas..” teman satu kos itu baru saja membuat pengakuan yang membuatku tercengang.

WOYY KENAPA KAU TIDAK BILANG DARI KEMARIN! DI RUMAH AKU TIDAK ADA MENGGUNAKAN MASKER WOYY! HAHAHA -_-

Setelah dia memberi pengakuan, aku mulai agak menjaga jarak dengannya, dan mengenakan masker di rumah (walaupun sudah sangat terlambat haha).

“Ayo kita ke klinik. Mau naik sepeda atau jalan kaki, nih?” ajakku kepadanya.
Jawabannya gimana? Tentu saja tidak keduanya.

Dia masih tidak kuat untuk berjalan kaki atau bersepeda sejauh itu (padahal tidak jauh, sih, hanya sekitar satu setengah kilo meter).
Maka akhirnya aku mencari pinjaman motor ke teman yang lain. Sebut saja namanya Zul. Tentu saja, aku menjelaskan maksud dan tujuanku, bahwa aku hendak meminjam motor untuk swab antigen yang ada kemungkinan hasilnya bisa saja positif. Jadi, supaya orang yang punya motor nyaman, apakah mengizinkan atau tidak jika motorya aku gunakan.
Setidaknya, kalau kami ada yang positif, Zul harus membersihkan motornya dengan cairan disinfektan, hiiihi.

Long short story, kami telah berada di klinik dengan menaiki motor milik Zul. Setelah antre dan hidungku dicolok, hasilnya kemudian keluar. Dari satu kloter, namaku yang pertama dipanggil. Deg..

“Mas Dodo ada keluhan apa sebelumnya?” Seorang petugas, nampaknya perawat, bertanya tanpa basa-basi kepadaku. Aku kemudian menjelaskan keadaan diriku. Sempat demam, kemudian radang tenggorokan, flu dan batuk.

Setelah aku menjelaskan, tanpa tedeng aling-aling, sang perawat dengan mantap mengatakan, “Masnya positif Covid. Setelah ini ke ruangan sebelah yaa.”

Karena aku memiliki jiwa kepo yang tinggi, aku bertanya keadaan temanku apakah dia positif atau tidak, “Kalau teman saya positif atau negatif, mbak? Saya satu kos dengan dia.”

“Siapa namanya?” tanya si perawat. Aku memberi tahu nama temanku, seraya menjelaskan keadaannya bahwa dia kehilangan kemampuan untuk mencium aroma.

“Kalau dia negatif, mas. Dan kenapa bisa hilang kemampuan mencium aroma, nampaknya dia kemarin juga positif covid. Namun sekarang sudah berangsur sembuh. apabila dia dites PCR, bisa saja hasilnya positif.”

Aku mengangguk pelan, seolah tidak sepakat kenapa hanya aku yang positif dan temanku yang negatif. Padahal secara fisik aku sehat-sehat saja, sedangkan dia yang sejak kemarin hanya tiduran di atas kasur saja. Hahaha.

Dari ruangan dokter, aku mendapat titah untuk melakukan pertapaan di dalam gua isolasi mandiri selama sepuluh hari.  Aku juga mendapat resep untuk kemudian dibawa ke apotek. Cukup mahal obatnya untuk anak kos seperti aku, walaupun sebenarnya tidak mahal juga sih. Hanya delapan puluh sembilan ribu ruiah, total belanjaanku di apotek saat itu.

Bagaimana dengan temanku? Sebab dia kehilangan kemampuan untuk mencium wanita aroma, dia juga berkonsultasi ke dokter di klinik dan mendapat resep obat. Namun, ketika di apotek, dia punya obat total harganya jauh lebih mahal. Dua ratus lima puluh ribu rupah.

Apa yang terjadi selanjutnya?
Aku menghubungi managerku, mengabari bahwa aku terkonfirmasi positif covid. Kemudian aku mengabari orangtua, dan, aku juga mengabari si dia. Tapi entah kenapa, aku punya salah apa sama dia, responnya saat itu biasa saja. Oh yaa, aku lupa. Aku bukan siapa-siapa baginya. Ahahahaa.

Kembali ke manager.
Sebakda mendapat kabar dariku, beliau memberi kabar di grup bahwa aku terkonfirmasi positif Covid. Sontak saja, si Zul langsung menghubungiku, “Do, kamu positif ya?”

“Iya nih, motormu jadi gimana? Udah buat aku aja yaak, ahaha!” aku membalasnya dengan sedikit berkelakar.

Selain itu, aku juga mengabari seorang seniorku di tempat kerja. Beliau adalah orang yang sering menjadi tempat bertanya, meminta tolong dan sebagainya ke beliau. Beliau juga pernah terjangkit Covid, bahkan sampai dua kali. Jadi, fikirku pasti dia sudah sangat berpengalaman, hehe.

Beliau yang mengurusi pernak-pernik isolasi mandiriku. Beliau menghubungi Bapak A, Bapak B, menghubungi RT juga (Ketua RT kebetulan teman beliau, karena di lingkungan tempatku tinggal, semuanya adalah karyawan di perusahaan yang sama).

Singkat cerita, aku mendapat tempat isolasi mandiri di mess milik perusahaan. Messnya bagus, rapi, bersih. Ada AC, dan televisi. Di kamar mandi bisa air panas pula. Makan tiga kali sehari pun didapat secara cuma-cuma. Alhamdulillah kantongku aman sepuluh hari ke depan. Hehe.

Apalagi yaa ceritanya? Hmm.. mungkin sampai di situ saja untuk kali ini.
Besok udah mau Lebaran Idul Adha, dan aku masih sama seperti lebaran Idul Fitri dua bulan lalu. Masih saja merasa kesepian. Sendirian.
Hehhe.

Jabodetabek, 19 Juli 2021
Dalam kamar isolasi mandiri, ditemani sayup-sayup takbiran Idul Adha..
Halo semuanya, apa kabar. Lama tak jumpa! Rasa-rasanya, sudah dua puluh tiga hari aku tidak membuat postingan baru di blog ini. Jadi, apakah kalian semua merindukanku? Hiiihihi.

Well, kita baru saja melewati bulan Ramadhan, kemudian merayakan kemenangan di Hari Raya Idulfitri. Yaa, hari raya ini ternyata masih sama seperti sebelumnya. Pandemi masih eksis. Imbasnya, tidak ada izin dari Pemerintah untuk warga melaksanakan mudik maupun pulang kampung! Padahal keduanya sama saja~

Ini adalah pengalaman pertamaku, berhari raya tidak di rumah. Lebaran pertama shalat Id di masjid yang berbeda (dari kecil selalu shalat di Mushallah yang sama untuk shalat Id, kecuali satu kali di tahun kemarin, shalat di rumah sebab pandemi). Entahlah, rasa-rasanya terasa sangat tidak ada rasa.

Tahun ini, nampaknya, Allah akhirnya mengabulkan doaku belasan tahun yang lalu. Aku seorang anak yang ansos dan introvert, sangat malas kalau lebaran harus ikutan sanjo (silaturahmi ke rumah tetangga, keluarga dan sanak saudara). Bertahun-tahun, bahkan sampai tahun kemarin, sering membatin sendiri, "Duh, males banget kalo lebaran harus sanjo ke rumah tetangga dan ketemu banyak orang."

Yaak, tahun ini, akhirnya aku benar-benar tidak melakukan sanjo kemana-mana di Hari Raya. Setelah shalat Id, kemudian pulang ke mess, sarapan dengan Indomie goreng (biasanya pulang shalat makan ketupat, wkkw), setelah itu mencuci baju. Waktu baru menunjukkan sekira pukul sepuluh pagi, dan aku gabut. Duh mau ngapain lagi nih, haha.

Pasti muncul pertanyaan, kenapa tidak sanjo ke tetangga saja?
Ada beberapa sebab. Pertama, aku baru tinggal di mess sekira satu pekan (sebelumnya mengontrak (semacam kos) di tempat lain), jadi masih belum kenal tetangga-tetangga mess di sini. Oh ya, mess di sini bukan berarti kamar tok yaa. Hanya nama saja. Ini sebenarnya lebih ke rumah dinas untuk karyawan.

Lanjut, kedua. Aku hanya baru mengenal satu tetangga di sini, yang rumahnya persis di sebelahku. Tapi mereka telah mudik (tetangga kami adalah bapac-bapac dengan satu istri dan dua anak. Anaknya masih baby, emesh sekali, loh).

Ketiga, kami tidak ada yang kenal dengan orang di sini. Nggak tau deh, nampaknya orang-orang di sini terkesan individualistik. Jadi, adalah wajar apabila tidak mengenal tetangga satu sama lain (?)

Dan keempat, aku terlalu malas untuk mengenal tetangga! Wkwwk.
Seperti yang telah aku  bilang di atas, jiwa  ansos dan introvert telah mendarah daging.
Aku tidak bilang ini baik yaa, sebenarnya terlalu ansos adalah buruk. 😂

Baca juga : Lebarannya Orang Ansos (cerita lebaran tahun lalu)

Aku kemudian merenung, dan mendapat suatu kesimpulan. Aku merasa kesepian, aku merasakan kesendirian.
Dan ternyata, kesendirian adalah keniscayaan!

Suka tidak suka, mau tidak mau, kelak kita akan sendirian. Tinggal waktunya saja yang berbeda, ada yang  duluan merasakan, ada yang belakangan. Dalam perenunganku di hari Lebaran, aku berkaca kepada keluarga-keluargaku, yang mereka mungkin saja merasa kesepian di kala keramaian.

Sebagai contoh, Mbahku, beliau berangkat sendirian dari Yogyakarta ke Palembang untuk mencari kerja, hingga akhirnya mendapatkan kerjaan di sana. Beliau menikah di Palembang, tanpa ada saudara, bahkan tanpa orang tua. Mbahku pulang ke Yogyakarta hanya beberapa kali setelah beliau menikah. Pasti, walaupun beliau telah dikaruniai sembilan anak, tetap saja merasa kesepian, sebab merindukan kampung halaman, merindukan orang tua, dan merindukan saudara-saudaranya.

Nenekku, orang tua dari ibuku, juga kasusnya  mirip dengan mbahku (kalau mbah adalah orang tua dari bapakku). Nenek dan Kakek menikah di Bukittinggi, Nenek asli orang Minang dari kota tersebut. Dan sekira lima tahun kemudian (ketika ibuku masih bayi), Kakek harus pindah tugas kerja ke Palembang. Setelah pindah, Nenek tidak pernah sekalipun kembali lagi ke Bukittinggi. Boleh jadi, atau bahkan pasti, Nenek sangat merindukan orang tua dan sanak saudaranya di Bukittinggi. Kesepian dan kesendirian di kala keramaian, itu pasti terjadi.

Atau begini, tidak usah jauh-jauh. Kesepian dan kesendirian itu, terkadang juga nampak dari mata ibuku. Di pagi hari, sejak aku mulai sekolah, bapakku berangkat kerja, adikku juga berangkat ke sekolah, pasti beliau merasa kesendirian. Menunggu anak-anaknya pulang lagi beberapa jam ke depan. Tapi ya, seperti yang aku bilang tadi, mau tidak mau, kesendirian adalah keniscayaan.

Tidak mungkin juga kan, ibuku harus ber-drama untuk menemani beliau terus-terusan, melarang anak-anaknya berangkat ke sekolah atau kuliah, atau melarang bapakku berangkat kerja, tidak mungkin.
Sekali lagi, kesendirian adalah keniscayaan.

Kembali ke laptop.
Di sebalik perenungan pada hari Lebaran di kesendirian di sudut pulau seberang. Aku mengambil kesimpulan, kesendirian adalah tidak apa-apa. Karena kesendirian adalah hal niscaya dan pasti terjadi. Sepasti di hari esok matahari akan terbit, sepasti dua bulan lagi Hari Raya Iduladha akan tiba dan sepasti Khilafah akan bangkit kembali! #Ehh



PS.
Tadi, awalnya mau upload foto ketika shalat Idul Fitri di masjid yang ada di sini. Namun gagal terus upload gambarnya. Dan, ini juga salah satu alasanku akhir-akhir ini jarang membuka Blog, tidak bisa lihat gambar, dan tidak bisa upload gambar.
Ada yang begitu juga?

Jama'ah Akhwat di Masjid ketika shalat Id


Jama'ah Ikhwan di Masjid ketika shalat Id


Yeey! Akhirnya bisa upload gambar.... (pake Wi-Fi kantor, hehehe)
Postingan Lama Beranda

ABOUT AUTHOR

Kang Mas Joe adalah seorang yang berpengalaman dalam pahit dan getirnya kehidupan, walaupun nyatanya tidak terlalu pahit. Mencoba berbagi tulisan melalui blog, semoga ada hikmah yang bisa diambil. Apabila ada kritik, saran, nasihat dan mau kerjasama. Silahkan DM melalui Instagram dan Twitter @KanggMas_Joe. Terimakasih!

POPULAR POSTS

  • Pencitraan Jilid Dua; Buku yang Aku Baca di Tahun 2020
      Beberapa hari ke belakang, rumahku sedang direnovasi. Maka buku-buku yang ada di rumah sedang tidak ada di rak buku seperti biasa. Begini ...
  • Masjid Cheng Hoo
    Masjid Muhammad Cheng Hoo, adalah salah satu masjid yang cukup terkenal di Palembang. Sering dijadikan sebagai tempat wisata religi. Menurut...
  • Balonku Ada Lima
    Jangan terkejut, ini bukan jimat, mantra, doa atau sebagainya!  Untuk kamu yang sudah jago membaca Al-Quran sejak kecil, aku yakin kamu past...
  • Menjadi Pacar Sewaan
    Hari ini adalah hari Ahad, pukul sepuluh pagi. Aku sedang duduk bersantai di rumah, sedang menatap layar laptop untuk melakukan blog walking...
  • 3 Bloggers yang Rajin BW
    Seperti biasa, di setiap penghujung bulan, Mbak Eno yang baik hatinya kembali membuat challange. Ini adalah event ketiga dari challange- nya...

Categories

  • Bisnis
  • Cerita
  • Opini
  • Perjalanan
  • Pernikahan
  • Sajak
  • Tutorial

Copyright © 2021 Kangg Mas Joe. Created by OddThemes