Pertanyaan pada judul postingan ini sering sekali terlontar di antara kita semua. Bank syariah benar-benar syariah atau ndak, yaa?
Umumnya muncul dari dua kelompok besar. Pertama dari kelompok Islamis, yang memandang perkara hukum fiqih Islam secara ketat. Sedangkan kelompok kedua, berasal dari kelompok masyarakat awam yang masih menganggap bank konvensional adalah sama saja.
Kelompok pertama, agak meragukan bank syariah sebab sistem yang ada di bank syariah tidaklah syariah secara keseluruhan. Btw, biasanya kelompok ini berasal dari mereka yang sudah belajar ilmu agama walaupun baru pemula.
Sebagai contoh, dalam KPR di (beberapa) bank syariah akan ada denda jika terlambat membayar cicilan. Padahal, denda tidak boleh dilakukan, karena akan menambah harga dari harga awal akad yang telah disepakati sebelumnya. Jadi sama saja jatuhnya akan terkena riba (walaupun denda tadi tidak diambil menjadi keuntungan bank, melainkan untuk kegiatan sosial).
Eh, ngerti kan maksudnya (?)
Contoh kedua, kalau kita menabung dengan akad Wadi'ah. Itu tidaklah benar-benar Wadi'ah.
Arti dari Wadi'ah dalam Bahasa Indonesia adalah titipan. Yang namanya menitip, ya harusnya "beneran menitip". Misalnya, aku "menitipkan uang" ke bank Rp 50.000 dengan nomor seri LOF166783 (yang tertera pada lembar uangnya). Besok, apabila aku ingin mengambil "uang titipan" yang ada di bank, seharusnya mereka memberikanku uang dengan nomor seri yang sama (LOF166783). Nyatanya, mereka akan memberikan uang dengan nomor serial berbeda.
Yaa, sebenarnya memang agak susah sih kalau harus seperti itu, hahaa... 😂
Uang dengan nomor seri LOF166783 |
Contoh kasus ketiga, ada lagi. Namun karena aku belum terlalu faham dan ini membahas agama, takutnya malah menjadi salah. Jadi aku cukupkan sampai sini saja yaak untuk bagian pertama.. 😁😊
Baca juga : Akad pada Bank Syariah
Lanjut ke Kelompok kedua.
Meraka pada umumnya berasal dari masyarakat umum yang belum faham mengenai bank syariah. Beberapa oknum pun sampai menganggap 'bunga' pada bank tidaklah sesuatu yang berdosa. So, kelompok ini kebanyakan menganggap bahwa bank syariah dan bank konvensional adalah sama saja.
Seperti pada postingan sebelumnya, aku telah menjelaskan bahwa bank konvensional dan bank syariah jelas-jelas berbeda sistemnya. Jadi kita tidak bisa mengatakan bahwa kedua bank itu adalah sama. Ditambah lagi, di bank syariah memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang merupakan para pakar yang berasal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Kita siapa mau mengingkari fatwa dari MUI? Heehe..
Intinya, bank konvensional dan bank syariah itu berbeda!
Kembali ke pertanyaan awal kita. Jadi, apakah bank syariah sudah syariah?
Menurut Ustadz Abdul Somad, dan beberapa ustadz lainnya, jawabannya adlah sudah sesuai syariah, namun belum 100%.
Kenapa begitu?
Jawabannya adalah seperti yang telah aku terangkan di atas. Beberapa hal masih belum terkategorikan dalam standar syariah. Paling tidak, walaupun belum 100% syariah, hari ini mereka sedang menuju ke syariah secara kaaffah alias menyeluruh.
Bagaimana sikap kita akan hal ini?
Tentu saja seperti biasa, pertengahan. Kita moderat sahaja.
Sebab hal ini adalah darurat, maka diperbolehkan. Makan babi saja boleh, apabila tidak ditemukan makanan lain. Maka menggunakan bank syariah yang belum 100% syariah juga boleh sebab tidak ada pilihan lain.
Begitchuu..
***
Netizen julid be lyke, "Dari kemarin, kritik terus. Kamu ada solusi nggak?"
Tentu saja ada, bossque!
Setidaknya, yang aku ketahui ada tiga cara untuk mengubah sesuatu yang tidak kita sukai; Edukasi, Regulasi dan Kombinasi.
1. Edukasi
Kita mengedukasi masyarakat, dalam hal ini riba, bahwa hal itu tidaklah dibenarkan dalam agama. Berikan pengatahuan seharusnya kita begini, begini dan begini. Bukan begitu, begitu dan begitu.
Apakah cara ini efektif? Tentu saja iya. Namun cukup lambat implementasinya. Namanya juga cuma edukasi, ada masyarakat yang menerima, ada juga yang tidak. Butuh proses yang panjang untuk "mendoktrin" pemahaman kita kepada masyarakat.
Tetapi yaa tidak masalah. Perjuangan ini dikatakan berhasil bukan cepat atau lambatnya, banyak atau sedikitnya orang yang tersadarkan. Namun seberapa gigih dan konsisten kita dalam perjuangan! #Eaakk
2. Regulasi
Cara ini cukup cepat untuk mengubah suatu aturan. Teorinya simpel saja. Misalnya, kita ikut pemilu. Jadi Presiden atau Anggota DPR. Setelah terpilih, langsung saja buat undang-undang. Kita buat undang-undang yang menyatakan bahwa bank konvensional dihapus, dan seluruh bank digantikan dengan sistem syariah. Masalah selesai, bukan!
Tetapi, teorinya tidak sesimpel itu, kawan!
Tentu saja akan ada pergolakan di masyarakat. Mereka pasti akan protes, kenapa peraturan tiba-tiba langsung berubah. Pemerintah seperti pasti akan dituduh diktator, tidak mengakomodir keinginan rakyat, mengacaukan ekonomi makro, meruntuhkan daaya beli masyarakat, membuat inflasi, hanya mementingkan kelompok golongan tertentu hingga bisa saja pemerintahnya dituduh aNTeK KiLApAh dan KauM kADruN!
Jadi, cara ini memang cepat, namun kurang efektif.
3. Kombinasi
Kita gunakan cara pertama dan kedua. Sejak saat ini kita mulai mengedukasi masyarakat, perlahan-lahan, sedikit demi sedikit. Pasti akan mendapatkan hasilnya walaupun lama. Nanti, ketika waktu yang lama itu telah cukup, telah punya massa yang banyak, atau mayoritas masyarakat telah sadar den sepakat atas ide dan gagasan yang kita bawa (tentang keharaman riba, misalnya), kita terjun ke ranah politik praktis. Maksudnya; Kita ikut Pemilu!
Ketika kita terjun ke gelanggang pertempuran politik, kita sudah punya massa. Kita sudah punya banyak pendukung. Dan apabila terpilih, kemudian kita membuat regulasi agar misalnya seluruh bank kita perbaiki sistemnya menjadi benar-benar syariah 100%, masyarakat tidak akan kaget lagi. Masyarakat tidak akan melakukan protes kepada Pemerintah, sebab hal itu lah yang telah sangat lama mereka nanti-nantikan.
Dan, jalan ketiga inilah yang sedang aku rintis perlahan-lahan. Hehehe..