Setelah lama tak review buku dan jarang posting tulisan di blog, kali ini kami (aku dan istri) hendak menulis short review buku yang telah kami baca. Buku yang kami baca adalah novel karyanya penulis berdarah Minang, Uda J.S. Khairen. Judulnya, Dompet Ayah Sepatu Ibu. Novel ini terbilang baru, terbitan pertama Agustus 2023, dan novel yang kami beli adalah cetakan ke-19 yang diterbitkan oleh Gramedia pada Desember 2024. Novel ini sangat laku di pasaran. Tebal buku novel ini 216 halaman, dengan ukuran 13,5 cm × 20 cm.
Sedangkan aku, baru punya kesempatan menyelesaikan bacaanku setelah hampir satu bulan terlalui. Bukan karena lama membacanya, namun bacaanku terhenti karena kesibukan dan kemalasanku.
Karena tidak konsisten membacanya, aku justru merasa alur ceritanya terkesan lambat dan membuatku tidak tertarik untuk membuka halaman-halaman selanjutnya. Namun, aku masih menerka-nerka, di mana menariknya, Kenapa istri bisa sampai menangis di halaman-halaman awal. Setelah mendapatkan dorongan yang besar dari doi, alhasil aku pun berhasil menyelesaikan bacaanku pada jam sembilan malam dengan start membaca pada jam dua siang. Tentu dipotong waktu shalat, mandi, makan dan lain-lain. Selepas selesai menuntaskan novel ini, istri sangat senang. Itu artinya, kami akan segera kembali ke Gramedia untuk membeli buku baru yang ia sukai. dan sebagai suami yang baik, aku akan mencintai semua yang istri sukai, hehe..
*
Cerita di bab pertama, diawali dari tokoh bernama Zenna. Sedang di bab kedua POV dari Asrul. Begitu terus hingga beberapa bab. Satu masa menceritakan Zenna, kemudian menceritakan Asrul. Hingga dari dua POV yang berbeda, ceritanya akhirnya bersatu. Menceritakan mereka berdua dalam satu kejadian.
Cerita di bab pertama, diawali dari tokoh bernama Zenna. Sedang di bab kedua POV dari Asrul. Begitu terus hingga beberapa bab. Satu masa menceritakan Zenna, kemudian menceritakan Asrul. Hingga dari dua POV yang berbeda, ceritanya akhirnya bersatu. Menceritakan mereka berdua dalam satu kejadian.
Zenna dan Asrul punya kemiripan. Mereka sama-sama dari keluarga miskin. Zenna bapaknya meninggal, Asrul bapaknya masih hidup tapi berbini tiga!
Keduanya sulit sekali untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi. Bahkan, untuk bersekolah sampai ke jenjang SMA/sederajat, Asrul yang diceritakan masuk ke SPG (Sekolah Pendidikan Guru) harus meng-ide menjadi penulis surat cinta bayaran agar perutnya tetap kenyang. Kepiawaian Asrul dalam menulis berawal dari kegemarannya dalam membaca koran. Saat keduanya lulus SMA, keduanya sama-sama punya tekad yang kuat untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi negeri.
Zenna yang merupakan juara umum di SMA-nya tentu mampu mengerjakan soal ujian masuk perguruan tinggi dengan mudah dan namanya menjadi salah satu yang dinyatakan lolos di tahun itu, namun pada zaman itu belum banyak beasiswa seperti sekarang ini. Alhasil Zenna harus menahan diri untuk berkuliah, Ia bekerja untuk menyambung hidup, menghidupi keluarganya dan membiarkan cita-citanya tetap hidup, bahkan menyala bersamaan dengan kobaran api yang ia gunakan saat membentuk kepingan-kepingan emas. Lain dengan Zenna, Asrul memang tidak lolos ujian masuk perguruan tinggi karena kurangnya persiapan. Kurang belajar dan tentunya kurang uang. Alhasil Asrul pun memutuskan untuk bekerja dulu sebagai tukang kliping dan wartawan pemula di sebuah perusahaan koran harian lokal. Keduanya sama-sama bekerja keras mewujudkan keinginannya untuk berkuliah, walaupun dengan segala risiko dan tantangan yang ada.
Di tahun depannya, Asrul dan Zenna kembali hendak mengikuti ujian masuk perguruan tinggi negeri. Mereka berdua bertemu di bus yang sama. Namun, Itu bukan pertemuan pertama mereka. Di tahun sebelumnya, Zenna dan Asrul juga bertemu di bus yang sama namun dalam kondisi yang menyedihkan. Sama-sama rela berdiri sepanjang perjalanan karena tidak sanggup bayar ongkos penuh. Saat itu, keduanya hanya bungkam menikmati perjalanan dan juga sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Berbeda dengan tahun sebelumnya, Pertemuan kedua justru menjadi awal perkenalan bagi mereka. Keduanya sudah punya uang yang cukup untuk membayar ongkos penuh dan bisa duduk di kursi penumpang selama perjalanan dan selama itu pula obrolan dirangkai.
Nasib baik, keduanya pun akhirnya berhasil lolos dan bisa berkuliah. Ternyata memang benar keberhasilan adalah pertemuan antara kesiapan dan kesempatan. Dan begitulah cara semesta bekerja.
Petualangan baru segera dimulai.
Zenna diceritakan berkuliah sambil bekerja part-time di toko sepatu, namun bisa bekerja fulltime ketika liburan semester. Zenna juga berjualan kue, menjajakan dagangannya keliling kampus. Pengalamannya berjualan sudah dimulai sejak sekolah, saat itu ia dikenal sebagai gadis penjual jagung rebus. Kerja keras yang Zenna lakukan tidak lain dan tidak bukan hanya untuk membantu meringankan beban keluarganya. Sebagai anak tengah dari 12 bersaudara, Zenna harus struggle menjalani kehidupan untuk bisa mengubah nasibnya menjadi lebih baik. Ia percaya bahwa pendidikan bisa menjadi harapan bagi orang miskin yang kadang untuk bermimpi saja harus tau diri. Oh iya selama di Padang, Zenna menumpang tinggal di tempat bibinya, adik ibunya yang hidupnya lebih sejahtera.
Sedangkan Asrul, sejak diterima menjadi mahasiswa, juga tidak bisa fulltime menjadi wartawan. Biaya kuliah dan tetek bengeknya amat tinggi. Namun ada saja akalnya. Kalau kamu bertanya, dimana Asrul tinggal selama di Padang? Ya, dia menumpang di kantor koran tempat dia bekerja. Ada satu kamar kosong yang bisa dia tempati. Lumayan menghemat pengeluaran, alih-alih membayar uang kos. Satu lagi, sama seperti Zenna, Asrul pun seringkali mengirim ke Umi nya, hasil bekerja menjadi wartawan.
Nampak senasib sepenanggungan, Asrul dan Zenna menjadi kawan akrab. Asrul menjadi sering membeli kue buatan Zenna, yang Zenna dapatkan resepnya dari koran tempat Asrul bekerja. Asrul sempat berkelakar beberapa kali mengajak Zenna untuk menikah, “Ayo kita menikah saja!”
Dan yaa. Pada akhirnya mereka menikah, meski dengan sangat sederhana.
Kehidupan pasca menikah juga lebih struggle lagi. Zenna yang akhirnya menjadi PNS, dan Asrul menjadi wartawan fulltime, ditambah mereka langsung dikaruniai anak. Plus lagi, mereka tetap harus mengirim uang ke kampung, ke keluarga masing-masing. Keduanya sandwich generation.
Di novel ini juga diceritakan bagaimana mereka menghadapi badai ekonomi yang bertubi-tubi. Khas kelas menengah yang mencoba survive, setelah dapat melewati kemiskinan struktural. Di sini lah aku dan istri merasa novel ini sangat relate dengan kehidupan kami.
Setelah kami ingat-ingat, kami juga cukup struggle menghadapi hidup sejak kecil dalam kemiskinan struktural. Walaupun, mungkin tidak sedramatis cerita Zenna dan Asrul, kami pernah mengalami berjualan makanan di sekolah dan kampus, kami pernah menginginkan sesuatu namun tak bisa karena ya memang tak ada uangnya.
Asrul menikahi Zenna dengan sederhana, juga terjadi di kami (walaupun sebagian orang tetap menganggap pernikahan kami tidak bisa dikatakan “sederhana”). Mereka kemudian hidup menumpang di kamar kosong kantor, mirip juga dengan kami di awal pernikahan mendapat mess/rumah dinas dari kantor.
Pada akhirnya, Asrul dan Zenna pindah rumah ke kontrakan, ini juga terjadi kepada kami. Biaya sewa tiap bulan keluar, plus masih mengirim ke orangtua masing-masing. Uang yang tersisa mungkin tidak banyak, tapi kami berharap apa-apa yang telah keluar beroleh pahala dan keberkahan. Aamiin.
Asrul dan Zenna kemudian memutuskan KPR, mendapat rumah di pinggir kota. Sangat-sangat pinggir, sangat-sangat jauh, dan rumahnya sangat-sangat kecil. RSS. Rumah sangat sederhana. Bahkan RSSSSSS. Sangat sangat sangat. Tidak ada pilihan, budget yang pas, memang adanya di pinggir kota dan rumah kecil. Mau di tengah kota dengan luas yang besar, harganya tidak masuk akal.
Yang terjadi di kami, mirip. Kami memang belum berencana ambil KPR rumah, tetapi sudah beberapa kali survei. Kami seringkali bergumam, tidak masuk akal. Rumah ini sudah kecil (bahkan aku tidak menganggapnya rumah, lebih seperti kamar kosan tetapi agak lebar sikit), dicicil bertahun-tahun, riba pula!
Roda itu berputar. Semakin lama, pintu kesuksesan dan kekayaan semakin terlihat di keluarga Asrul dan Zenna, walaupun halangan dan rintangannya selalu ada. Bagian yang paling menarik adalah, ketika mereka bersusah payah hendak masuk IKIP di Padang, anak mereka tak harus sesusah payah untuk masuk UI, dan cucu mereka sudah go international. Begitulah hidup, harus ada peningkatan-peningkatan. Dan peningkatan-peningkatan itu akan ada seraya usaha dan doa tetap menyala.
Semoga kita bisa mencapai itu. Aku, Kamu, Kita semua!