Tulisan ini, sesungguhnya sudah ada di draft sejak setahun yang lalu. Sejak awal bulan Muharram 1442 H. Sekarang sudah masuk 1443 H, kan! Di tahun lalu, tidak di-publish karena tidak sempat, belum selesai dan malas. Hehe.
Akhirnya sudah satu tahun sahaja. Tidak terasa.
Beberapa hari yang lalu, di Indonesia (atau, seluruh dunia?), banyak umat Islam merayakan Lebaran Anak Yatim di tanggal 10 Muharram. Dikutip dari Repubika, menurut Ustadz Ahmad Zarkasih, Lc. dalam bukunya Sejarah Kalender Hijriyah, banyak keutamaan (fadhillah) menyantuni anak yatim di tanggal 10 Muharram alias Hari Asyuro.
Jadi, mengapa disebut Lebaran Anak Yatim? Karena banyaknya yang menyantuni anak yatim di tanggal 10 Muharram, menjadikan anak yatim bersenang-senang. Toh, lebaran juga adalah hari dimana kita bersenang-senang. Jadi, secara tidak langsung 10 Muharram adalah bisa disebut sbagai “hari lebaran” bagi mereka karena mereka bersenang-senang di hari tersebut sebab banyak yang menyantuni mereka (?).
Mon maap kalo kata-katanya agak "belibet" ehehehe...
Kegiatan ini, pada hakikatnya adalah bagus dan baik. Membuat anak yatim senang dan bahagia. Namun, aku punya pendapat sendiri yang tidak populer. Mau sepakat monggo, tidak juga no problem.
Dalam kegiatan Lebaran Anak Yatim, biasanya (sebelum wabah Covid-19), para anak yatim diundang oleh Majelis Taklim Ibu-Ibu ke langgar atau mushalla atau masjid atau gedung pertemuan yang acaranya diadakan lembaga tertentu untuk diberi donasi. Pemerintah maupun swasta juga tak mau ketingalan berpartisipasi dalam kegiatan ini. Dinas X, Departemen Y, Kementerian Z juga sering terlihat mengadakan acara serupa.
Para Anak Yatim, wajah mereka yang masih banyak nampak polos difoto seraya menerima donasi. Foto-foto tersebut pun tersebar di Facebook maupun media sosial lainnya.
“Tadi anak-anak yatim di Masjid A pada nangis ketika dipanggil satu-satu ke depan untuk diberikan donasi. Kami juga ikut terharu melihatnya,” kata seorang ibu, setelah meng-upload hasil kegiatan tersebut di Facebook.
Jujur, aku terkadang sangat miris dengan hal ini. Kasihan sama mereka. Seolah-olah gimana gitu. Seolah-olah ibu-ibu itu hanya mencari konten Facebook, untuk kemudian terlihat dramatis dan kemudian. Ehm.. Pokoknya gitu deh.
Tbh, kalo aku jadi posisi anak yatim yang begitu, sungguh tidak nyaman.
Tapi yaa, balik lagi. Kalau kita ingat dengan hadits Arba’in yang pertama, disebutkan bahwa segala perbuatan itu tergantung pada niatnya. Siapa tahu, niat orang-orang yang memposting itu bertujuan untuk mengajak orang lain secara tidak langsung. Ingin “menginspirasi”, kalau-kalau ada orang yang tergerak juga hatinya untuk ikut menyantuni anak yatim di kemudian hari.
So, untuk niat seseorang. Biarkanlah kita serahkan saja pada orangnya masing-masing. Tak boleh di-judge. Toh, niat hanya seorang tersebut dan Allah sajalah yang mengetahui.
Skip. Skip. Skip.
Beberapa hari kemudian, aku melihat postingan Ustadz Dr. Abdul Somad (UAS), menurutku postingannya cukup unik. Dalam postingan tersebut, beliau tengah menyarahkan donasi berupa beras, dari para jama’ah untuk warga yang membutuhkan. Gimana bentuk fotonya, wajah penerima donasi itu disensor. Jadi, kita tidak tahu bagaimana rupa bentuk wajahnya. Bagus juga, sih. Menjaga "marwah" sang penerima donasi.
Dari cara UAS ini, aku terinspirasi untuk membuat konten serupa. Organisasi dimana aku kemarin sempat mengabdi (sekarang sudah tidak lagi), sempat mengadakan suatu bakti sosial. Dan, aku diamanahkan menjadi tim Publikasi dan Dokumentasi (Pubdok). Aku meniru cara UAS, dengan mensensor wajah penerimanya.
Gimana tanggapan orang-orang di organisasi tersebut. Banyak yang bertanya-tanya. Terutama bapak-bapak. Kenapa begitu?
Jadi kemudian aku menjelaskan bahwa aku mengikuti cara UAS dalam postingan media sosialnya, dan akhirnya mereka menerima argumenku. Di samping, memang bapak-bapak tesebut juga fans beratnya UAS. Kalau sudah mendengar kata “UAS”, sudah pasti di-acc. Ehehee.