Kangg Mas Joe

Blognya Dodo. Tidak semua yang diposting adalah nyata, banyak pencitraan dan fiksinya.

“Kalo kamu ke Bandung,” kata seorang teman dengan penuh antusias, “Jangan lupa makan surabi. Surabi yang enak, ada di kawasan Cihampelas.”
“Pokoknya,” dia kembali melanjutkan, “Kamu belum ke Bandung kalau belum makan surabi!”

Perkataan itu begitu terngiang-ngiang di kepalaku, hingga akhirnya kesempatan itu muncul. Yaa, akhirnya aku sampai di Bandung. Tepat di awal bulan Juni tanggal satu.

***

Haii, haii, haiii! Apakah kalian merindukanku? Bahkan sampai ada teman yang mengirimku pesan WhatsApp, kenapa sudah tidak update tulisan di Blog lagi. Kemana saja. Ada hal apa.
Tenang, aku masih di sini, kok. Hehee..

Kali ini aku hendak bercerita tentang perjalanan ke Bandung, beberapa waktu yang lalu. Sebenarnya sudah sejak lama hendak menuliskannya, tapi selalu ada aja halangannya.

Well,  untuk sampai ke Bandung,kami membutuhkan waktu sekira empat jam. Tentunya, itu sudah dengan waktu istirahat satu jam. Berangkat sebelum jam tiga dini hari, istirahat di rest area untuk shalat Shubuh, dan kurang dari jam enam pagi akhirnya kembali melanjutkan perjalanan.

Lihatlah pembaca, para anak muda dalam narasi di atas sangat semangat bangun pagi untuk liburan dan jalan-jalan. Padahal, di hari-hari biasa sangat sulit untuk bangun pagi untuk shalat Shubuh. Hadeuuhh.. Dasar aku, hikss! 😭😂

Singkat cerita, aku akhirnya benar-benar kembali ke Cihampelas, setelah terakhir ke sana di tahun 2018 (Baca juga: Malam Hari di Bandung). Tidak ada perubahan berarti. Hanya saja nampak lebih sepi, mungkin efek dari pandemi.
Dan, mumpung sudah di Cihampelas, aku saat itu benar-benar berhasrat untuk membuktikan perkataan temanku di paragraf satu; Makan surabi di Cihampelas.

Aku sudah masuk di restoran surabi yang ada di sana, kalau kamu orang Bandung, atau sudah sering ke Bandung, pasti tahu restoran surabi mana yang aku maksud. Ternyata, tidak terlalu mahal harganya, hanya sembilan ribu rupiah, untuk surabi original. Namun, apabila kamu mau mencoba topping yang lain dan lebih “modern”, tentu saja harganya lebih mahal.

Bagaimana pendapatku tentang surabi ini?
Menurutku, harga sembilan ribu cukup murah dan sangat mengenyangkan. Aku tidak menyangka dengan tempat sebagus itu, bisa menjual makanan dengan harga yang tidak sampai sepuluh ribu. Namun, dari ke-antusias-an temanku di paragraf satu, menurutku ia sangat berlebihan. Surabi memang enak, tapi biasa-biasa saja. Tidak seheboh yang dia beritakan.

***

Singkat cerita, aku pulang ke kos. Hidup kembali seperti sedia kala. Besok hari harus berangkat kerja.

Skip, skip, skipp..
Beberapa hari kemudian, menjelang istirahat makan siang, aku iseng mengunggah foto surabi yang kami makan kemarin. Foto itu sebenarnya dipotret temanku, namun aku meminta izin untuk mengunggahnya di status WhatsApp.

Apa tujuanku?
Tidak ada, iseng saja.


Tring, tetiba ada satu pesan masuk. Merespon status WhatsApp tersebut. “Waah, enak tuh makan-makan terus..”

Aku melihat ponselku, tanpa melakukan read pesan terlebih dahulu. Ternyata dari kakak tingkat di kampus. Aku membalas dengan santai, “Eh iya bang, hehehe..”

“Apa kamu tidak kasihan dengan ibu di kampung, ibumu makan seadanya. Kamu di sini makan makanan mewah,” si kakak tingkat nampak tak berdosa mengirim pesan seperti itu. Aku heran sekali. Apa maksudnya. Tapi aku tetap membercandainya.

“Eh, tidak bang. Ibuku tinggal di kota, bukan di kampung, ehehe.. Lagipula, itu makanan tidak mahal, kok. Cuma sembilan ribu rupiah.” Aku menjawab begini saja. Toh, benar kan. Ibuku memang tinggal di Palembang, kota terbesar nomor dua di Pulau Sumatera. Palembang bukan kampung loh hihiiihi..

“Tetap saja, ibumu di sana makan tekwan murahan yang seharga tiga ribu rupiah. Kamu di sini enak-enak..” respon dari kakak tingkat tidak berhenti. Aku terbelalak melihat responnya. Orang ini ada masalah apa sih hidupnya, sampai-sampai segitunya ngurusin makanan ibuku wowkwokk.

Oh yaa, for your information, tekwan adalah makanan khas Palembang. Silahkan googling yaa!

Kemudian, rasa-rasanya, ingin kembali kubalas pesan darinya, “Mohon maaf bang. Ibuku tidak pernah makan tekwan seharga tiga ribu rupiah. Kami biasa membuat tekwan sendiri, menggunakan ikan gabus asli, harga ikannya bisa sampai delapan puluh ribu rupiah satu kilo nya!”

Namun, pesan itu aku urungkan untuk dikirim. Aku membiarkan chat dari kakak tingkat tidak berbalas.

***

Ngomongin makan enak, apa benar aku di sini makan enak-enak setiap hari? Tentu saja tidak, kawan. Aku di sini berjuang sehemat mungkin. Kalau kamu mengikuti tulisan dari beberapa bulan lalu, aku pernah bercerita kalau aku makan dengan biaya hanya sembilan ribu rupiah sehari (untuk di bulan pertama).

Di bulan selanjutnya? Tentu saja tetap hemat, tapi cost nya sudah lebih dari sembilan ribu rupiah per hari. Karena aku sudah punya uang, hehee.
Toh, jajan seperti itu sesekali. Jajanku hanya surabi seharga sembilan ribu rupiah aja sudah dinyinyirin seperti itu, gimana kalau aku makan seperti Mbak Siskaeee Kohl ya? Gak tau deh, hahahaa!

Ini penampakan makan siangku sehari-hari. Cukup "mewah", bukan?


Terakhir. Apa inti postingan kali ini?
Tidak ada.
Aku hanya ingin mengungkapkan kekesalanku saja. Lihat tuh, buktinya chat satu setengah bulan yang lalu, masih saja aku ingat sampai hari ini, hiiihii!

 

TENTANG KAMU

Sepatuku, kau hadir merubah hidupku.
Kau datang di saat aku benar-benar membutuhkanmu.

Aku masih ingat, di hari Senin sore awal Agustus, dalam keadaan hujan gerimis pada tiga tahun lalu.
Saat itulah kita pertama kali bertemu.

Kemudian, kau langsung ku ajak ke luar kota.
Kita bermanja ria di Kampus Sriwijaya di Kota Indralaya, dalam kegiatan PK2.

Hari kedua, kau langsung ku "pingit".
Aku tak ingin ada lelaki lain yang merasakan betapa manisnya bersamamu.
Maka, kau ku letakkan di sudut bawah rak sepatu.
Lengkap dengan pembungkusnya.

Maafkan aku, sayang.
Setelah kau ku jadikan sepatu "simpanan", aku mulai berkenalan dengan sepatu-sepatu lain.
Karena menurutku, mereka lebih dapat membuat nyaman kaki ini.
Mereka lebih trendy dan sporty, tidak seperti dirimu yang terkesan rigid nan kaku.
Semenjak itu aku mulai melupakan dirimu, dan bermesraan dengan sepatu-sepatu lain.

Sekali lagi, maafkan aku, sayang.
Kini aku sungguh tak dapat memilikimu lagi.
Karena kita sudah tidak cocok satu sama lain.

Kemarin, aku baru teringat dengan dirimu.
Kau hendak ku ajak bercanda ria, namun kau ternyata sudah tidak dapat menerimaku lagi.
Sebab kakiku kini semakin besar.
Dan kau tak dapat menuruti kehendakku.
Kau tak mau berubah, masih sama seperti yang dahulu; rigid nan kaku.
Kakiku kini tak dapat masuk ke dirimu lagi.

Dan kini, aku memutuskan untuk menjual dirimu.
Yang, maaf, menurutku tiada berguna lagi.
Semoga hubungan kita tetap terjaga dengan baik.

Dan semoga dirimu disana mendapat pemilik sepatu yang lebih baik dan lebih romantis.

Dari Mantanmu,
Sang Pemilik Sepatu.
.
.

Maksud teks di atas adalah,
Aku menjual sepatu Pantofel, ukuran 43.
Baru sekali dipakai.
Masih rapi dan bagus.
Disimpan dalam plastik.

Jika berminat dengan sepatuku, kamu dapat Men-Japri diriku! 😏

089********5



Sumber:
Postingan di Instagram, tiga tahun lalu. 

Halo semuanya, apa kabar. Lama tak jumpa! Rasa-rasanya, sudah dua puluh tiga hari aku tidak membuat postingan baru di blog ini. Jadi, apakah kalian semua merindukanku? Hiiihihi.

Well, kita baru saja melewati bulan Ramadhan, kemudian merayakan kemenangan di Hari Raya Idulfitri. Yaa, hari raya ini ternyata masih sama seperti sebelumnya. Pandemi masih eksis. Imbasnya, tidak ada izin dari Pemerintah untuk warga melaksanakan mudik maupun pulang kampung! Padahal keduanya sama saja~

Ini adalah pengalaman pertamaku, berhari raya tidak di rumah. Lebaran pertama shalat Id di masjid yang berbeda (dari kecil selalu shalat di Mushallah yang sama untuk shalat Id, kecuali satu kali di tahun kemarin, shalat di rumah sebab pandemi). Entahlah, rasa-rasanya terasa sangat tidak ada rasa.

Tahun ini, nampaknya, Allah akhirnya mengabulkan doaku belasan tahun yang lalu. Aku seorang anak yang ansos dan introvert, sangat malas kalau lebaran harus ikutan sanjo (silaturahmi ke rumah tetangga, keluarga dan sanak saudara). Bertahun-tahun, bahkan sampai tahun kemarin, sering membatin sendiri, "Duh, males banget kalo lebaran harus sanjo ke rumah tetangga dan ketemu banyak orang."

Yaak, tahun ini, akhirnya aku benar-benar tidak melakukan sanjo kemana-mana di Hari Raya. Setelah shalat Id, kemudian pulang ke mess, sarapan dengan Indomie goreng (biasanya pulang shalat makan ketupat, wkkw), setelah itu mencuci baju. Waktu baru menunjukkan sekira pukul sepuluh pagi, dan aku gabut. Duh mau ngapain lagi nih, haha.

Pasti muncul pertanyaan, kenapa tidak sanjo ke tetangga saja?
Ada beberapa sebab. Pertama, aku baru tinggal di mess sekira satu pekan (sebelumnya mengontrak (semacam kos) di tempat lain), jadi masih belum kenal tetangga-tetangga mess di sini. Oh ya, mess di sini bukan berarti kamar tok yaa. Hanya nama saja. Ini sebenarnya lebih ke rumah dinas untuk karyawan.

Lanjut, kedua. Aku hanya baru mengenal satu tetangga di sini, yang rumahnya persis di sebelahku. Tapi mereka telah mudik (tetangga kami adalah bapac-bapac dengan satu istri dan dua anak. Anaknya masih baby, emesh sekali, loh).

Ketiga, kami tidak ada yang kenal dengan orang di sini. Nggak tau deh, nampaknya orang-orang di sini terkesan individualistik. Jadi, adalah wajar apabila tidak mengenal tetangga satu sama lain (?)

Dan keempat, aku terlalu malas untuk mengenal tetangga! Wkwwk.
Seperti yang telah aku  bilang di atas, jiwa  ansos dan introvert telah mendarah daging.
Aku tidak bilang ini baik yaa, sebenarnya terlalu ansos adalah buruk. 😂

Baca juga : Lebarannya Orang Ansos (cerita lebaran tahun lalu)

Aku kemudian merenung, dan mendapat suatu kesimpulan. Aku merasa kesepian, aku merasakan kesendirian.
Dan ternyata, kesendirian adalah keniscayaan!

Suka tidak suka, mau tidak mau, kelak kita akan sendirian. Tinggal waktunya saja yang berbeda, ada yang  duluan merasakan, ada yang belakangan. Dalam perenunganku di hari Lebaran, aku berkaca kepada keluarga-keluargaku, yang mereka mungkin saja merasa kesepian di kala keramaian.

Sebagai contoh, Mbahku, beliau berangkat sendirian dari Yogyakarta ke Palembang untuk mencari kerja, hingga akhirnya mendapatkan kerjaan di sana. Beliau menikah di Palembang, tanpa ada saudara, bahkan tanpa orang tua. Mbahku pulang ke Yogyakarta hanya beberapa kali setelah beliau menikah. Pasti, walaupun beliau telah dikaruniai sembilan anak, tetap saja merasa kesepian, sebab merindukan kampung halaman, merindukan orang tua, dan merindukan saudara-saudaranya.

Nenekku, orang tua dari ibuku, juga kasusnya  mirip dengan mbahku (kalau mbah adalah orang tua dari bapakku). Nenek dan Kakek menikah di Bukittinggi, Nenek asli orang Minang dari kota tersebut. Dan sekira lima tahun kemudian (ketika ibuku masih bayi), Kakek harus pindah tugas kerja ke Palembang. Setelah pindah, Nenek tidak pernah sekalipun kembali lagi ke Bukittinggi. Boleh jadi, atau bahkan pasti, Nenek sangat merindukan orang tua dan sanak saudaranya di Bukittinggi. Kesepian dan kesendirian di kala keramaian, itu pasti terjadi.

Atau begini, tidak usah jauh-jauh. Kesepian dan kesendirian itu, terkadang juga nampak dari mata ibuku. Di pagi hari, sejak aku mulai sekolah, bapakku berangkat kerja, adikku juga berangkat ke sekolah, pasti beliau merasa kesendirian. Menunggu anak-anaknya pulang lagi beberapa jam ke depan. Tapi ya, seperti yang aku bilang tadi, mau tidak mau, kesendirian adalah keniscayaan.

Tidak mungkin juga kan, ibuku harus ber-drama untuk menemani beliau terus-terusan, melarang anak-anaknya berangkat ke sekolah atau kuliah, atau melarang bapakku berangkat kerja, tidak mungkin.
Sekali lagi, kesendirian adalah keniscayaan.

Kembali ke laptop.
Di sebalik perenungan pada hari Lebaran di kesendirian di sudut pulau seberang. Aku mengambil kesimpulan, kesendirian adalah tidak apa-apa. Karena kesendirian adalah hal niscaya dan pasti terjadi. Sepasti di hari esok matahari akan terbit, sepasti dua bulan lagi Hari Raya Iduladha akan tiba dan sepasti Khilafah akan bangkit kembali! #Ehh



PS.
Tadi, awalnya mau upload foto ketika shalat Idul Fitri di masjid yang ada di sini. Namun gagal terus upload gambarnya. Dan, ini juga salah satu alasanku akhir-akhir ini jarang membuka Blog, tidak bisa lihat gambar, dan tidak bisa upload gambar.
Ada yang begitu juga?

Jama'ah Akhwat di Masjid ketika shalat Id


Jama'ah Ikhwan di Masjid ketika shalat Id


Yeey! Akhirnya bisa upload gambar.... (pake Wi-Fi kantor, hehehe)

Hai.. Sudah bulan Mei nih. Gimana puasanya, lancar kah? 😁
Aku sekarang sedang duduk sendirian di ruang keluarga di rumah kontrakan (walaupun aku belum berkeluarga). Saat ini sedang gabut, dan sedang ingin melanjutkan cerita yang tidak penting seperti dua postingan sebelumnya.

Masih bercerita tentang culture shock. Ada beberapa hal lagi yang ingin aku ceritakan kepada kamu semua. Tapi sebelumnya aku mohon maaf yaa, kalau ini diambil dari perspektif yang agak aneh, hehehe..
Padahal cerita-cerita sebelumnya diambil dari perspektif yang aneh juga.

Ngomong Kasar

Banyak orang di sini yang berbicara dengan kata-kata yang (menurutku) agak kasar. Anjir, anjay, anjing, goblok dan sebagainya menjadi diksi yang biasa sering diucapkan dalam kalimat-kalimat mereka.
Eh, anjirr. Tugas gua belum selese!
Goblok, lu! Caranya kagak begini.
Waduh, si anjir datang lagi nih!

Aku terkadang tercengang dan termenung mendengar hal seperti itu, wkwkwkw.
Kata temanku, yang telah lahir dan besar di kota ini, kata-kata seperti itu memang sudah sangat biasa. Anjir itu seibarat penggunakan titik dan koma pada kalimat. Sebegitu wajarnya, bukan!

Makananan yang Mahal

Dalam perspektifku, makanan di sini walaupun dirasa murah, tetap saja mahal. Aku sehari-hari rata-rata hanya mengeluarkan biaya sembilan ribu rupiah untuk tiga kali makan (walaupun makanannya jadi sangat sederhana).

Bagi teman-teman yang lain, harga segitu sudah cukup murah. Tapi yaa gitu, aku tetap merasa mahal, sebab ketika masih di rumah bersama orang tua, aku tidak memikirkan biaya makan. Tinggal makan-makan saja. Mau jajan, tinggal ambil saja, sebab ibuku punya warung di rumah! Hiiihi.

Pakaian yang Minim

Ini yang paling aku ingat ketika sampai di bandara. Ciwi-ciwi di sini, ternyata banyak yang memakai pakaian yang sangat minimalis. Pakai celana pendek, tapi di atas lutut. Pakai baju, tapi bajunya kurang bahan. Aku kan jadi penasaran, rasanya jadi pengen ngelihatin mereka terus :((
ASTAGHFIRULLAH PUASA WOY!!

Well, tidak hanya di bandara, penampakan seperti itu juga terjadi di tempat umum. Kereta, bus, pusat perbelanjaan, minimarket, warteg, dan sebagainya. Oh yaa, bahkan di kantor. Ada yang pakai celana panjang, tapi sangat ketat bentuk celananya, memperlihatkan lekukan tubuh mereka. Ada juga yang mengenakan rok, di bawah lutut, sih. Tetapi di bagian samping roknya, malah terbelah sampai ke arah paha atasnya. Yang lagi lagi, membuat aku penasaran terhadap isi di dalamnya. -_-
Tobat, akhi!

By the way, itu tidak satu-dua yaa. Banyak juga. Walaupun tidak semua begitu, tetap saja. Ini penampakan yang unik. Sebab seingatku, sejak dulu di kotaku sangat jarang (bahkan tidak pernah) melihat ciwi-ciwi dengan pakaian seperti itu. Hampir 90% semuanya mengenakan jilbab. Pun, kalau ada yang tidak pakai jilbab, pakaiannya tetap “sopan”, pakai celana panjang.

Naik bus di sore hari, dari dalam sini aku sering melihat"pemandangan" itu, hehee

Protokol kesehatan

Ini nih yang bagus dari sini. Protokol kesehatan cukup ketat, mungkin sebab ini wilayah dimana Covid-19 pertama kali tiba di Indonesia. Di masjid atau mushalla, orang-orang masih sangat banyak yang memakai masker. Kalau aku bisa mentaksir, sekira 90% jama’ah menggunakan masker. Wlaaupun, kalau untuk jaga jarak, tidak terlalu ketat seperti awal-awal Covid-19.

Menariknya, tidak hanya di masjid. Dimana-mana orang tetap patuh menggunakan masker. Di jalan, di bus, di kereta, dan tempat umum lainnya. Salut, deh!
Berbeda dengan kota asalku, yang mana saat itu di mushalla yang ada di depan rumahku tidak ada satu orang jama’ah pun yang menggunakan masker, termasuk aku. Wokwkwk!

Ketika Shalat Jumat, masjidnya ramai sekalii

***

Cukup sekian post kali ini, selesai sudah mencurahkan beberapa hal yang menjadi keresahan yang mengganjal di hati.
Inti dari postingan kali ini adalah; Ambil yang baik, buang yang buruk!
Mohon maaf kalau ada beberapa bagian yang terkesan agak kotor, hehee.. :))
 
Hari ini adalah tanggal satu di bulan Ramadhan, dalam penanggalan Hijriyah. Puasa pertama. Jalan di dekat rumah kontrakan yang sejak dua pekan lalu kami tinggal di sana, sudah ramai oleh masyarakat yang berlalu lalang. Ada yang berjualan takjil, ada pula yang hendak membeli. Mencari makanan untuk buka puasa di waktu Maghrib nanti.

Selaiknya Ramadhan, apalagi puasa di hari pertama. Sudah semestinya kita berkumpul bersama keluarga, bersama ayah ibu dan para saudara. Itu yang biasanya aku lakukan di tahun-tahun sebelumnya. Namun, tidak untuk tahun ini. Ramadhan di hari pertama, malah buka puasa bersama teman-teman yang aku lakukan.

Tahun ini, Ramadhan di perantauan.
Itulah sebabnya, tidak bisa berbuka puasa dengan keluarga. Maka, buka puasa bersama teman adalah yang menjadi pilihan. Teman-teman satu batch yang menjadi “keluarga” untuk saat ini. Dan siapa tahu ke depan, beneran menjadi keluarga! #Ehh

Puk..Puk..Puk..
Udah, cukup cerita melow-nya. Sampai sini sahaja. Post kali ini tidak akan membahas hal yang mengharukan dan membuat kamu ikut menangis tersedu-sedu mengingat keluarga, yang banyak di antara kita, sudah tidak tinggal bersama lagi.
Hari ini aku mau cerita tentang makanan. Tentang kekagetanku mengenai rasa makanan di kota eh, kabupaten tempatku tinggal saat ini, yang ternyata berbeda dengan tempat kota asalku.

Muncul kekagetan dan perdebatan-perdebatan kecil yang tidak penting, khususnya ketika buka puasa bersama yang aku ceritakan di paragraf awal.
Jadi, apa saja makanan yang membuat aku kaget dan shock?
Mari kita coba!

Kerupuk
“Kerupuk di sini rasanya aneh. Kok bisa-bisanya, rasanya manis begini.” Aku berseloroh kepada teman ketika kami sedang menikmati hidangan di buka puasa hari pertama.

“Ndak, mas Dodo. Kerupuk kan memang gini rasanya,” seorang teman yang berasal dari Jawa Tengah mengatakan demikian.

Dua orang teman yang lain, yang berasal dari Jawa Timur, kemudian mencicipi kerupuk yang telah kami beli, “Ini nggak manis kok. Kerupuk memang begini. Tidak ada yang aneh dengan rasanya.”

Aku tetap ngotot kalu kerupuk yang aku makan rasanya manis. Teman-teman yang lain jadi ikutan mencoba mencomot kerupuk. Dan ternyata, ada yang sepakat denganku, “Iya, bener. Kerupuknya manis seperti kata Mas Dodo.”

Jadi, gimana kelanjutannya?
Perdebatan kami terhenti karena skor imbang. 5 vs 5. Lima mengatakan manis, 5 mengatakan tidak. Teman yang sepakat denganku, yang mengatakan kerupuk tersebut manis, adalah orang yang berasal dari Sumatera Selatan, Sumatera Barat dan Kepulauan Riau. Sedangkan teman-teman yang berasal dari Pulau Jawa, mengatakan kerupuknya tidak manis.

Sampai sekarang aku masih heran, kok mereka tidak dapat mendeteksi rasa manis pada kerupuk itu, yang menurutku, rasa manis itu menjadi sangat mengganggu.
Oh yaa, jawabannya simpel sebenarnya. Sebab orang-orang di Jawa, sering makan makanan dengan rasa yang cukup manis. Sedangkan makanan di Sumatera jarang yang manis.


Buka Puasa Bersama dengan Makanan yang Kontroversial;
Kerupuk Manis!

Nasi Padang
Baru kemarin, aku membeli Nasi Padang untuk kepentingan insta story makan malam. Terakhir aku makan Nasi Padang sebelumnya, ketika aku baru saja sampai ke sini. Jujur, rasanya sangat-sangat mengecewakan. Kuah santan pada sayur nangkanya benar-benar hambar. Rasanya sangat aneh, seperti sayur nangka yang tidak layak konsumsi. Rasa makanannya tidak seperti sayur nangka yang sehari-hari ibuku masak di rumah.
Well, aku kapok membeli Nasi Padang di sini.

Kembali ke cerita Nasi Padang yang baru saja aku beli kemarin.
Dua hari yang lalu, aku melihat temanku membeli Nasi Padang. Katanya, Warung Nasi Padang di Jalan X itu enak dan harganya cukup wortid, dengan rasa yang lebih enak dari warung sebelumnya. Maka aku memutuskan untuk membeli juga.
Ketika dicoba, lagi-lagi aku menjadi kecewa. Kenapa rasanya seperti ini. Kuah sayur nangkanya kurang nendang, cenderung hambar. Nangkanya juga lebih keras daripada biasanya.

“Lha, mas Dodo gimana. Nasi Padang kan memang begini rasanya, tho? Nangkanya juga tidak keras, memang macam ini, laah.” Seorang teman menjelaskan kepadaku, dengan menirukan dialek bicaraku (yang sebenarnya dia tiru lebih mirip ke Melayu, bukan Palembang).
Bahwa di seluruh Pulau Jawa, rata-rata rasanya memang seperti ini. Kecuali kalau Nasi Padang yang mahal. Mungkin rasanya akan jauh lebih otentik. Dia melajutkan penjelasan.

Aku kembali menyanggah. Di kotaku dulu, Nasi Padang baik yang mahal maupun yang murah, rasanya relatif sama. Sepertinya aku akan kembali kapok makan Nasi Padang di sini.

Oh, yaa. Gini-gini, aku juga berdarah Minang, jadi mungkin punya standar yang tinggi untuk rasa Nasi Padang, hehe..

Nasi Uduk
Ketika di Jakarta, aku sangat terkejut dengan harganya. “Tiga belas rebu,” kata si ibu penjual dengan logat Betawi yang khas. Mahal sekali.

Padahal, di dekat rumahku, satu porsi Nasi Uduk (kalau di Palembang disebut Nasi Gemuk) hanya lima ribu rupiah, bahkan bisa tiga ribu rupiah jika tidak pakai telur.

Sambel Kacang
Salah satu pelengkap makanan yang baru kali ini aku jumpai. Secara tampilan mirip dengan kuah kacang pada sate atau siomay. Namun lebih encer, bahkan aku tidak merasakan rasa kacangnya. Aku juga tidak merasakan dimana rasa pedasnya, padahal katanya ini sambel kacang. Hehe.

Aku pertama kali mengenal Sambel Kacang dari Nasi Uduk seharga tiga belas ribu di atas. Ketika hendak selesai membungkus makananku, si ibu bertanya, “Mau pake sambel kacang atau sambel merah?”
Dan ternyata, lagi-lagi, tidak sesuai ekspetasi. Hihihii..
Kalo tau gitu, aku mendin pilih sambel merah.

Orek Tempe
Makanan ini sangat mudah dijumpai di Warteg. Bisa dikatakan, di sini aku pertama kali makan orek tempe. Walaupun sebenarnya ketika di Palembang ada makanan serupa. Namun namanya disebut Sambel Tempe. Isinya, potongan tempe kecil-kecil yang dikasih sambel. Namanya aja sambel tempe (?)
Selain tempe, isinya kadang ada kacang tanah dan juga teri.

Terkadang ada juga yang membuat makanan ini dengan hanya kacang tanah saja yang dikasih sambel. Namanya sambel kacang. Kacang yang disambelin (?)

Itulah sebab, ketika aku ditawari sambel kacang oleh si ibu penjual nasi uduk, aku punya ekspetasi yang berbeda. Hahaa.

Terakhir, mohon maaf jika gambar makanan-makannya tidak disertakan karena aku lagi malas, dan pembaca pada lagi puasa, kan.
Nanti kamu tergiur... 😁😋
Matahari baru saja naik sekira tujuh hasta ketika pesawat telah lepas landas meninggalkan bandara yang ada di kota tercinta. Bandara hari itu sibuk sekali. Pesawat yang aku naiki saat itu terbang menuju bandar udara yang terletak  di ibukota negara.

Aku telah tiba di terminal kedatangan, untuk kemudian berjalan menuju keluar area bandara. Samar-samar aku mendengar bapak-bapak taksi mengobrol dengan bahasa yang aneh menurutku. Bahasa yang jarang terdengar di telinga secara langsung. Padahal, bahasa seperti ini aku sering dengar di televisi atau melalui gawai di tangan.
Saat itu, aku merasa seperti masuk ke dunia yang asing.

Yaaaps, elo, guwe, enggak, banget, hingga anjayy, anjim, anjirr dan kata-kata lain yang terdengan asik n gaul, sebenarnya adalah diksi yang biasa-biasa saja. Namun tetap saja, aku merasakan sesuatu yang aneh. Janggal di telinga.

Kekagetan budaya alias culture shock yang saat itu aku alami adalah, kendala bahasa. Walaupun aku terbiasa menulis dengan Bahasa Indonesia, namun tetap saja. Berbicara dan menulis itu adalah sesuatu yang berbeda. Untuk saat ini, aku kalau berbicara masih menggunakan bahasa yang campur-campur. Antara Bahasa Indonesia yang baku, Bahasa Indonesia tidak baku, dan Bahasa Palembang, disispkan sedikit diksi dari Bahasa Jawa.
Imbasnya, terkadang orang tidak faham apa yang aku bicarakan. Dan aku pun terkadang membutuhkan waktu beberapa detik untuk berfikir sejenak untuk menerjemahkan dari Bahasa Palembang ke Bahasa Indonesia, “Kata ***** Bahasa Indonesia nya apa yaa?”

Kembali ke paragraf yang ada di atas. Ngomongin diksi elo-guwe, menurut kabar burung (ga tau burung siapa~), di sini haram menggunakan aku-kamu. Bisa bikin lawan bicara jadi baper. Masalahnya, aku merasa aneh kalau berbicara menggunakan elo-guwe. Jadi, aku menggunakan aku-kamu, biarin deh anak orang pada baper. Siapa tau nanti ke depan bakal ada yang nyangkut, hihiii...

Oh yaa, satu lagi. Aku sangat menyukai logat dan dialek orang-orang di sini. Dulu, aku mengira orang berbicara dengan logat yang sama, ternyata berbeda-beda iramanya. Inilah indahnya Indonesia. Walaupun berbeda-beda, tetapi tetap satu jua #eaakk.

Logat anak gaul di sini, cara bicaranya banyak yang sok asik, tapi beneran asyik didengerin, kok. Orang-orang Betawi, juga asyik didengerin kalo mereka ngomong. Aku seolah-olah menonton Si Doel Anak Betawi, tapi secara live langsung di depan mata. Bapak-bapak taksi di bandara (yang aku ceritakan di paragraf pertama) mengobrol dengan dialek Betawi.

Selain itu, logat lain yang aku jumpai adalah logat Sunda, tapi agak beda dengan yang di Bandung. Ketika aku ke Bandung, logat Sunda di sana agak lembut dan berirama. Tapi di sini punya rasa yang sedikit beda dan keras, namun tetap berirama dengan alunan mendayu yang tetap khas. Seperti Sunda tapi dengan sedikit campuran Betawi.
Ada yang bisa menjelaskan lebih lanjut? Share di kolom komentar, yaaak!

Terakhir, banyak juga orang Jawa aku jumpai di sini. Jawanya beneran medhok. Yaa, aku juga orang Jawa, Pakde dan Budeku terkadang berbicara Bahasa Jawa (walaupun seringnya Bahasa Palembang), tapi logat Jawanya tidak kental. Di sini, bener-bener medhok dan aku sangat menikmati cara mereka bicara.

Ngomong-ngomong, ada hal yang cukup lucu. Aku emang sedikit-sedikit bisa Bahasa Jawa, tapi yang simpel-simpel saja. Saat itu ada mbah-mbah yang jualan sarapan. Menunya ada nasi kuning dan nasi uduk. Aku iseng bicara dengan Bahasa Jawa dengan si mbah, “Nasi uduk’e piro, Mbah?” (nasi uduknya berapa, mbah?)

“Iki enem ewu, mas,” (ini enam ribu, mas) kata si mbah menjawab pertanyaan. Kemudian beliau lanjut bertanya, “Panjenengan Jowo-ne pundhi?”

Aku langsung membatin, KENAPA BAHASA JAWA SI MBAH BEDA DARI TEMPLATE YANG AKU PELAJARI, WOKWOWK.
Untung saja aku masih bisa memahami maksudnya. Aku jawab saja, “Dari Jogjakarta, mbah.”

Beliau kembali mencecar, “Jogja-ne pundhi?”
“Kulonprogo, mbah,” kataku.
“Kulonprogo-ne pundhi?” Si mbah kembali bertanya.
“Wates, mbah. Deket Bandara baru,” aku kelelahan menjawab pertanyaan beliau.

Kini giliran aku pula yang bertanya dengan si Mbah, “Mbah-e dari Jowo-ne nang ndhi?” entah betul atau tidak grammar-nya. Kemudian si Mbah berbicara lebih banyak lagi yang kini aku benar-benar tidak faham. Wowwkkw.

Akhirnya aku mengaku, “Mbah, sebenarnya yang dari Jogja itu mbahku saja. Aku dari Palembang, mbah. Tidak terlalu faham Bahasa Jawa, hehehe.”

Si Mbah kini tertunduk lesu,dan akhirnya lanjut menggunakan Bahasa Indonesia lagi, seraya menyerahkan nasi uduk.
“Matur suwun, mbah!” kataku.

Sampai di rumah kontrakan, aku baru sadar. Si Mbah menggunakan Bahasa Jawa Kromo (halus) ketika berbicara denganku, sedangkan aku berbicara dengan beliau menggunakan Bahasa Jawa Ngoko (kasar).
Waah, apakah aku adalah anak yang tidak sopan kepda orang  yang sudah tua?
Maafkan aku, mbah!

Si Mbah jualan nasi uduk dekat masjid, sejak Subuh hari sudah buka



Apa yang ada di pikikanmu tentang merantau? 
Secara umum, biasanya merantau dapat diartikan sebagai kegiatan pergi keluar dari rumah, hidup mandiri dan tidak lagi tinggal bersama orang tua. Entah itu untuk tugas belajar, sekolah atau kuliah, misalnya. Selain itu, bisa juga merantau dalam rangka bekerja. Atau mungkin karena sudah menikah, biasanya akan pisah rumah dengan orang tua.
So, kalau kamu merantau tidak dalam rangka beberapa hal yang telah disebutkan di atas, itu berarti kamu kabur dari rumah, atau jangan-jangan diusir oleh orang tua! 😂😂

Kembali ke topik; Merantau.
Jujur, ini adalah "cita-cita" alias keinginan sejak kecil yang sangat aku impikan. Namun akhirnya baru terlaksana saat ini.
Mari kita flash back sekira dua belas tahun lalu.

Saat itu, aku hendak tamat SD dan di dalam hati kecil ingin melanjutkan ke sekolah Islam berasrama alias Pondok Pesantren. Alasannya? Karena ingin merasakan hidup mandiri, tidak bersama orang tua. Pasti seru, pikirku saat itu.
Namun, keinginan itu gagal, lantaran aku dinyatakan diterima di salah satu SMP Negeri melalui jalur undangan tanpa tes (PMDK kalau tidak salah namanya). Ini adalah kesempatan yang sangat sayang dilewatkan.

Fyi, kesempatan ini hanya diberikan kepada orang-orang yang nilainya terbaik di sekolah. Hanya tiga orang dari seluruh angkatan di sekolahku yang berhak mendapat tiket ini.
Jadi, jelek-jelek gini, aku pernah jadi mahasiswa berprestasi, walaupun hanya saat SD, hehehe.. 😎

Lanjut ke bangku SMP.
Saat kelas IX alias kelas 3 SMP, aku punya keinginan untuk melanjutkan pendidikan ke SMA favorit di provinsiku. Kalau sekolah pada umumnya menggunakan nama SMA Negeri 1 Kota Y, atau SMA Negeri 2 Kota Z, dan seterusnya. Sekolah yang hendak aku tuju saat itu cukup berbeda. Tidak ada nomor dan bukan nama kota atau kabupaten di belakangnya, Melainkan provinsi. SMA Negeri Provinsi X. Begitu nama sekolahnya.

Kenapa sekolah ini begitu menarik? Sebab SMA Negeri Provinsi X berstandar internasional dan berasrama. Para siswanya mendapat banyak fasilitas seperti makan tiga kali sehari, pakaian, laundry, dan uang saku. Dan yang palin menarik adalah... Sekolah ini gratis!
Hayoo, siapa yang tidak tergiur dengan fasilitas seperti itu.

Memang sih, seleksinya sangat ketat sekali. Kalau tidak salah, hanya 100 orang yang diterima. Hasilnya? Aku gagal dalam seleksi sekolah tersebut. Jadi, aku masuk ke SMA Negeri "biasa" yang ada di kotaku.
Keinginan untuk merantau (walaupun jaraknya hanya sekitar 6 km dari rumah), kemudian hidup mandiri tidak bersama orang tua kembali kandas.

Skip.. Skip..
Oke, kini aku telah menjadi siswa SMA Negeri yang jaraknya hanya sekira 3 km dari rumah. Cukup dekat memang, tapi tetap saja aku masih sering terlambat! 😁
Ketika duduk di bangku kelas XII alias kelas 3 SMA, aku punya keinginan untuk berkuliah di Pulau Jawa. Entah itu di Kota Depok, kampus yang ada kata Indonesia-nya di namanya, atau ke Institut Teknologi yang ada di ibukota Jawa Barat, atau ke kampus yang pertama kali dibangun oleh Pemerintah Republik Indonesia di provinsi istimewa.

Namun, setelah berdiskusi panjang lebar dengan bapakku, aku tidak diizinkan kuliah di sana. Aku hanya diizinkan untuk kuliah di daerah asal saja. Tidak usah ke luar provinsi, atau bahkan keluar pulau.
Alasannya, realistis saja. Walaupun kuliah itu gratis dan akan ada beasiswa, tetap saja uang itu tidak cukup karena aku makannya banyak! Ehh, nggak, bercanda.
Menurut orang tuaku, uang itu tidak akan cukup untuk biaya kos, makan dan keperluan lainnya. Pun, apabila cukup, bisa jadi pas-pasan sekali. Orang tua ku juga tidak punya uang banyak untuk memberi uang kiriman setiap bulan. Jadi lebih baik realistis, ambil kampus yang dekat dari rumah saja.
Well, lagi-lagi, hasrat untuk merantau kembali gagal.

Singkat cerita.
Akhirnya, aku diterima di PTN (Perguruan Tinggi Negeri) yang ada di provinsiku. Alhamdulillah, SD hingga kuliah di sekolah negeri terus.. 😁

Kampusku, secara umum punya dua lokasi. Ada yang di Palembang, ada yang di Indralaya, Kabupaten Ogan Ilir. Aku mendapat kampus yang terletak di Ogan Ilir, sedangkan aku tinggal di Palembang. Jarak dari rumah ke kampus sekitar 40 km. Kalau naik kendaraaan umum bisa memakan waktu satu setengah hingga dua jam perjalanan.
Aku sudah sempat ngomongin kampusku di postingan Jalan-Jalan ke Kampus.

Sebuah aha moment kemudian terjadi. Biarpun gagal merantau kuliah ke Tanah Jawa, bagaimana kalau aku merantau ke kabupaten tetangga saja. Dua jam perjalanan pergi dan dua jam perjalanan pulang, total empat jam di jalan, cukup melelahkan. Ini bisa menjadi hujjah-ku di depan orang tua untuk diizinkan untuk menjadi anak kos saja ketika kuliah.
Daripada waktu selama itu dihabiskan di jalan, lebih baik dihemat dengan tinggal di dekat kampus saja.

Ada banyak pilihan saat itu. Pihak kampus sendiri menyediakan fasilitas, ada Rusunawa (Rumah Susun Mahasiswa) seharga Rp 150.000,00 per bulan. Kalau mau yang lebih bagus fasilitasnya ada asrama mahasiwa seharga Rp 300.000,00 per bulan. Kalau masih mencari yang lebih baik lagi dan kamar yang lebih luas, ada apartemen mahasiswa seharga Rp 7.200.000 per tahun, atau sama saja dengan Rp 600.000,00 per bulannya.
Kalau harganya salah, mohon dikoreksi yaak!

Bagaimana tanggapan orang tuaku? Seperti yang sudah bisa ditebak, mereka tetap saja menolak. Alasannya, lebih baik capek di jalan, daripada capek di kos harus memikirkan mau cari sarapan apa dan dimana, mau mencuci ini, menncuci itu, belum lagi setelah itu masih mau membuat tugas kuliah, dan sebagainya.
Lebih baik di rumah saja, kalau mau makan tinggal makan, sudah tersedia. Kalau mau berangkat ke kampus tingal bawa bekal. Mau jajan langsung ambil sendiri di warung (ibuku punya warung di rumah). Tidak pusing mau mikir hal-hal lain, dan bisa lebih santai untuk mengerjakan tugas.

Namun, bapakku berjanji. Apabila nanti aku telah tamat kuliah, dan hendak bekerja ke luar kota atau ke luar pulau. Itu beda cerita, tentu saja beliau mengizinkan.

Setelah sekian purnama berkuliah dengan segala drama dan tetek bengeknya, akhirnya aku lulus juga. Alhamdulillah sempat diwisuda secara langsung, tidak online seperti adik-adik tingkatku sekarang. Aku diwisuda di pekan ketiga bulan Februari 2020, sedangkan Corona resmi masuk ke Indonesia di pekan pertama bulan Maret 2020. Aku adalah angkatan terakhir yang diwisuda secara langsung.
Nyaris sekali, bukan! 😎

Kemudian, kehidupan sesungguhnya dimulai. Setelah sedikit kerja serabutan di kota sendiri, dan tetap "menebar jaring" lamaran ke berbagai perusahaan yang ada. Akhirnya jaring tersebut ada yang "nyangkut" juga. Kali ini aku benar-benar diizinkan oleh orang tuaku untuk merantau, setelah penat menunggu sejak SD hingga sekarang. Impian itu ternyata datang juga pada akhirnya.

Aku kini pergi jauh dari rumah dan orang tua, walaupun tidak terlalu jauh juga, sih. Hanya sekitar 7 cm dari peta. Hanya satu jam perjalanan pesawat. Bahkan lebih cepat daripada waktu dari rumah ke kampus! 😂

Tantangan baru saja dimulai. Apakah nanti aku akan penat tinggal jauh dari orang tua?
Kita tunggu saja! Hiiihi..

Gambar tidak ada hubungan :)
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

ABOUT AUTHOR

Kang Mas Joe adalah seorang yang berpengalaman dalam pahit dan getirnya kehidupan, walaupun nyatanya tidak terlalu pahit. Mencoba berbagi tulisan melalui blog, semoga ada hikmah yang bisa diambil. Apabila ada kritik, saran, nasihat dan mau kerjasama. Silahkan DM melalui Instagram dan Twitter @KanggMas_Joe. Terimakasih!

POPULAR POSTS

  • Pencitraan Jilid Dua; Buku yang Aku Baca di Tahun 2020
      Beberapa hari ke belakang, rumahku sedang direnovasi. Maka buku-buku yang ada di rumah sedang tidak ada di rak buku seperti biasa. Begini ...
  • Masjid Cheng Hoo
    Masjid Muhammad Cheng Hoo, adalah salah satu masjid yang cukup terkenal di Palembang. Sering dijadikan sebagai tempat wisata religi. Menurut...
  • Balonku Ada Lima
    Jangan terkejut, ini bukan jimat, mantra, doa atau sebagainya!  Untuk kamu yang sudah jago membaca Al-Quran sejak kecil, aku yakin kamu past...
  • Menjadi Pacar Sewaan
    Hari ini adalah hari Ahad, pukul sepuluh pagi. Aku sedang duduk bersantai di rumah, sedang menatap layar laptop untuk melakukan blog walking...
  • 3 Bloggers yang Rajin BW
    Seperti biasa, di setiap penghujung bulan, Mbak Eno yang baik hatinya kembali membuat challange. Ini adalah event ketiga dari challange- nya...

Categories

  • Bisnis
  • Cerita
  • Opini
  • Perjalanan
  • Pernikahan
  • Sajak
  • Tutorial

Copyright © 2021 Kangg Mas Joe. Created by OddThemes