Kangg Mas Joe

Blognya Dodo. Tidak semua yang diposting adalah nyata, banyak pencitraan dan fiksinya.

Halo semuanya! Tidak terasa, sudah delapan hari blog ini tidak update lagi. Beberapa teman bertanya mengenai ini. Mengapa Dodo mengubah nama blog-nya menjadi Kangg Mas Joe? Dari mana asal-usulnya? Dari mana nama Joe? Kenapa harus ada Mas, setelah itu ada Kangg pula. Ditambah lagi, huruf ge-nya ternyata ada dua!

Langsung saja, agar kamu tidak penasaran lagi. Mari kita mulakan!

Joe. Ada dua sebab terkait nama ini.
Pertama, nama itu adalah nick-name dari nama Pakdhe (paman)ku. Nama asli pamanku adalah.... Rahasia (ga jadi di-publish, masalah privasi. Kalo di riil-laif kamu kenal denganku, kamu pasti terkejut mengetahui siapa beliau sebenarnya hiihihii).
Di hampir setiap buku-buku milik belio di lemari, selalu tertulis nama Joe. Bahkan, di ponsel Nokia miliknya juga tertulis nama pengguna demikian (aku sering main gim di hape Nokia belio ketika masih SD).
Well, menurutku nama ini keren.

Kedua, nama panggilanku selain Dodo, Dodo, Dodo’ atau Dou-dou (baca selengkapnya: Siapa Namamu?), adalah Joe! Beneran, ga bohong! Walopun yang panggil begitu hanya lima orang. Iyaak, kamu tidak salah baca. Lima orang!
Mereka adalah teman dan adik kelasku ketika SMA. Bisa dibilang, circle alias lingkaran alias halaqoh terdekatku. Bagaimana sejarahnya nama Joe bisa muncul? Ceritanya panjang. Bahkan, aku juga sudah lupa. Wkowkwk.
Kapan-kapan, mungkin kalo aku sudah ingat, akan aku ceritakan.

Baca juga;
   Ghibah-in Tetangga
   Nulis Baso Plembang
   Tertypu

Oh yaa, aku sekarang sudah ingat.
Intinya, Joe adalah salah satu tokoh fiksi yang aku ciptakan ketika SMA. Cerita simpelnya, Joe punya teman perempuan alias girl-friend yang bernama Cha. Mereka berdua hanya berteman dekat, persahabatan biasa antara laki-laki dan perempuan. Sayangnya, Joe dan Cha tidak berpacaran. Sebab mereka anak Rohis yang didoktrin kalo pacaran adalah haram. WKWKOWKWK.

Ini rahasia terakhir.
Tokoh Cha merupakan tokoh yang benar-benar ada. Dia adalah teman satu kelasku di SMA, yang nampaknnya sebentar lagi akan menikah. Lagi-lagi lima orang tadi yang mengetahui keberadaannya. Jadi, bisa dikatakan cerita Joe dan Cha adalah “cerita khayalan” dari aku dan kelima orang teman terdekatku.
Eh, apa sih. Ga jelas!
Yaa maap.

Kenapa akhirnya aku memilih nama seperti ini?
Aku baru ingat, ada satu bagian yang terlewat yang seharusnya diceritakan di awal. Kenapa harus Joe.
Jujur, aku terinspirasi dari nama tutor (guru les) Bahasa Inggrisku. Dia memperkenalkan diri sebagai Kak Zie. Menurutku, nama Zie adalah nama yang keren dan kebarat-baratan. Ternyata, di kemudian hari, nama asli tutor tersebut adalah Kak Fauziyah (aku pernah bercerita di postingan Santuy-nya Liberalisme).

Tidak hanya Kak Zie. Aku juga punya dua tutor lain yang memiliki nama panggilan kebarat-baratan. Padahal nama aslinya Indonesia sekali. Nama panggilan mereka adalah Mr. Sue dan Mr. Jack.
Coba tebak, siapa nama asli mereka? Susanto untuk Mr. Sue dan Joko untuk Mr. Jack.
Sungguh mengejutkan sekali, bukan!

Kembali ke cerita SMA.
Temanku menyaranku untuk ikut mengubah nama menjadi keren dan kebarat-baratan. Awalnya, aku menggunakan nama Doe. Tapi menurutku tidak keren. Karena aku ingat nick-name pamanku yang menurutku keren, maka aku putuskan untuk menggunakan nick-name tersebut. Joe.
Jadi, ceritanya sinkron dengan di awal yaa, hehee.

Masuk ke bagian kedua. Mas.
Nama “tokoh” yang aku ciptakan di awal, sebenarnya adalah Mas Joe. Lima orang itu terkadang memanggil aku dengan sebutan demikian. Walaupun terkadang dipanggil dengan Kak Joe. Wajar saja, di Palembang orang biasa memanggil “kak”, jarang menggunakan “mas”.

Jadi, aku menyematkan “mas” di nama tersebut, sebab ingin mem-branding bahwa aku adalah orang Jawa. Aku bangga dengan identitas ke-Jawa-an-ku, (walupun aku saat ini tidak belum bisa berbahasa Jawa). Di Palembang tidak banyak orang Jawa. Suku Komering dan suku Sumatera lainnya yang cukup dominan di sini.

Oh yaa, karena sudah kepalang ngomongin Jawa. Aku mau cerita di sini. Ada hal unik ketika aku pergi ke Tanah Jawa. Di sana, aku mengaku sebagai orang Palembang. Tidak hanya mengaku, sih. Tapi Pakdhe dan Budhe yang ada di Jawa, bilang kalo aku adalah orang Palembang, bukan orang Jawa. Haha.

Namun, di sisi lain. Ketika di sini, di Palembang. Aku tidak mengaku sebagai orang Palembang, melainkan mengaku sebagai orang Jawa. Nanti orang Palembang “asli” bakal marah kalo aku ngaku-ngaku jadi orang Palembang wkwkkw.

Lanjut ke bagian terakhir. Kangg. Ge-nya ada dua.
Beberapa teman menganggap, bagian ini sangat mengganggu. Kenapa pula ada dua huruf ge. Kenapa tidak satu saja ge-nya. Jawabannya simpel. Karena Instagram!

Seperti di paragraf sebelumnya, aku telah bilang bahwa nama awalnya adalah Mas Joe. Aku mencoba dengan nama seperti itu, ternyata tidak diizinkan Instagram, user name-nya terlalu pendek. Maka aku mencari suatu kata yang cocok untuk menemani Mas. Dapatlah Kang yang ternyata cocok; Kang Mas.
Maka, akun Instagram milikku bernama @kang_mas.joe.

Waktu terus berjalan, menurutku nama ini terlalu alay. Ada dua simbol. Pertama underscore, kedua titik. Maka, aku coba hilangkan satu saja. Lagi-lagi Instagram tidak mengizinkan. Karena karakter atau jumlah hurufnya terlalu sedikit. Masih kurang. Maka, untuk mencukupkan jumlah karakter yang diminta, aku tambah saja huruf ge satu lagi. Maka, saat ini nama Instagram milikku telah berubah menjadi @kanggmas_joe. Jangan lupa di-follow yaak, wkkwwk!


***

Menuju ke alasan utama.
Tulisan di atas sebenarnya adalah basa-basi saja. Haha.

Alasan utama aku mengubah nama blog adalah, aku ingin lebih menjaga privasi. Kata orang, privasi itu mahal. Jadi, aku sedikit demi sedikit mulai membatasi aktivitas media sosialku. Biarkan orang tidak mengetahui apa yang terjadi padaku. Siapa diriku sebenarnya. Itu bukan urusan orang lain.

Aku salut kepada Mbak Creameno, atau Mbak Lia si Peri Kecil, atau Pakdhe Agus. Nampaknya, mereka tidak mau menceritakan diri mereka secara detail. Bahkan, fotonya pun tidak terpampang. Jadi, apabila suatu saat bertemu, mungkin aku tidak tahu bahwa orang yang berada di depanku adalah orang yang kerap kali saling berkomentar di Blog.

Kemudian, aku juga teringat salah satu video seminar yang aku tonton di Youtube. Bang Tere Liye bercerita, dia berada di suatu pesawat, dan orang di sebelahnya sedang membaca buku karya beliau. Orang itu tidak tahu, bahwa penulis bukunya sedang berada persis di sebelahnya.

Biarkan orang mengenal karya kita, bukan mengenal siapa diri kita. #Eaaakk



What is your name? 
Maa ismuka? 
Jenenge sopo? 
Namina saha? 
Namo kau siapo? 
Itu semua punya arti yang sama dalam Bahasa Indonesia; Siapa namamu?

Yaa, di postingan perdana dalam alamat blog yang baru (#eaaak), aku mau memerkenalkan namaku. Nama panggilanku sebenarnya simpel. Dodo.
Akan tetapi, ada tiga versi dalam nama panggilan ini. Selama aku hidup dua puluh tiga tahun, beginilah orang-orang memanggil namaku. Ada tiga versi. Pertama, Dodo. Kedua, Dodo. Dan ketika Dodo'.
Eh, apa bedanya?? Silahkan disimak paparan di bawah ini!

1. Dodo
Keluargaku memanggil aku seperti ini. Bapak, Mamak, Pakdhe, Budhe, Paklek, Bulek, Om, Tante, Uwak, Mamang, Bibik, Adek, Ayuk, Kakak, Mbak, dll. Mereka semua, mayoritas, memanggilku Dodo.

Bagaimana pelafalannya? Huruf o, seperti o pada nama umum orang Jawa. Sukarno, Suharto, Susilo, Yudhoyono, Prabowo dan Joko Widodo.
Atau, jika kamu bingung, seperti huruf o dalam beberapa huruf Arab. Kho, ro, sho, dho,  tho, zho, gho, dan qo. Apabila kita gunakan pada nama seperti ini huruf o-nya. Khoirul, Rohman, Sholihin, Dhodho #ehh, Thoha, Zhohri, Ghofur, dan Qomar.
Jika dalam diksi Bahasa Indonesia, mungkin sama dengan orang, wortel, robot, tolol, togel, tongkol dll.

Menurut survey sederhanaku, orang memanggilku dengan cara seperti ini ada sekitar 35% saja. Tidak banyak.

2. Dodo
Masuk ke bangku sekolah, muncul panggilan aneh yang asing menurutku. Dodo. Banyak teman-teman, guru dan dosen yang memanggilku seperti ini.

Cara membaca huruf o-nya seperti o pada kuno, elo, burjo atau bakso . Atau go dalam Bahasa Inggris kali yaak. Jika dipakai pada nama orang, huruf o seperti pada nama Ronaldo, Ronaldinho, Roberto, Fernando, Fablo, Aldo, dan sebagainya.

Kelompok ini adalah mayoritas, ada sekira 60% penduduk yang memanggil seperti ini.

3. Dodo'
Well, ini adalah kelompok minoritas. Hanya 5% saja dari populasi.
Bagimana cara membacanya? Mirip seperti jenis pertama, namun di akhir ada seperti huruf hamzah yang di-sukun-kan (kalo kamu belajar baca Quran pasti ngerti apa yang aku maksud).
Jadi, Dodo' itu seperti Bapak atau Ibuk atau gilaak atau ndak. Gitu lah pokoknya, hahaa. Huruf k di akhir contoh kata tadi, tidak benar-benar k, kan?

Edit tambahan;
4. Dou-dou
Aku baru sadar, kalau seorang bule biasanya agak sulit menyebutkan nama orang Indonesia. Aku punya guru Bahasa Inggris, seorang Turki. Belio memanggilku seperti itu. Hahaha.
Tapi, itu untuk awal-awal saja. Setelah beberapa pertemuan, dia sudah bisa memanggilku seperti orang Indonesia pada umumnya. Sang guru berlatih keras bagaimana prononsesyen yang benar atas namaku.
By the way, guruku saat ini telah pulang ke Turki. Entah kapan bisa berjumpa dengannya lagi. Hikss :((

***

Dodo lebih senang dipanggil seperti apa?
Ini adalah pertanyaan yang menarik. Aku pribadi lebih suka dengan panggilan pertama, karena itu bagaimana orang tua ku memanggil. Jadi aku menghargai mereka. Inilah perjuanganku agar kamu memanggil namaku dengan benar, dan perjuanganku untuk selalu menghargai jasa orang tua! #Eaak #pesanMoral
Jadi, gimana cara kamu memanggilku? Share di kolom komentar, yaak! :)

***

Haloo, jangan terkejut ketika kamu berkunjung ke blog ini, alamatnya sudah berubah. Dari awalnya dodonugraha.blogspot.com, kini berubah menjadi kanggmasjoe.my.id (ge nya ada dua).
Pada postingan selanjutnya, aku akan cerita, insyaa Allah!


Dodo Nugraha alias Kangg Mas Joe

Woooy kawan-kawan. Kali ini ado edisi tulisan khusus. Spesial. Aku nak nulis pakek Bahaso Palembang, alias Baso Plembang. Mugo be, kamu ngerti apo yang aku tulis. Wkwkw.
Aku lah cubo buat tulisan ini sesederhana mungkin, dan sesimpel mungkin. Biar kamu galo-galo pacak paham isinyo apo.

Peh, lanjoot.
Jadi, Baso Plembang nih adalah lingua franca, bahaso pengantar di daerah Sumatera Selatan dan sekitarnyo. Baso Plembang masih pacak dipahami oleh uong Jambi dan uong Bengkulu. Bahaso kami mirip. Samo-samo pake ..-o di ujung katanyo. Cuman, bedanyo di iramanyo bae. Jambi punyo irama yang menurut aku agak mendayu-dayu khas Uong Melayu. Bengkulu jugo samo. Punyo irama dewek. Kalo kami, caknyo dak katek irama. Kato uong, bawaannyo nge-gas, cak nak ngajak bebalah, cak nak ngajak begoco. HAHAHA!

Cakmano sejarah Baso Plembang ini? Aku pengen ngejelasin dikit dari yang aku tau. Sebelumnyo, aku agak ragu. Baso Plembang nih, apakah biso disebut sebagai bahaso atau bukan? Atau cuma dialek bae? Bahasa Melayu dialek Palembang.
Ruponyo bukan, menurut Wikipedia, Baso Plembang termasuk bahaso dewek, bukan dialek dari Bahaso Melayu. Rumpun bahasa nyo berpokok dari Austronesia, cabangnyo Malayo-Polinesia > Malayik > Malaya > Bahasa Palembang.
Di situ ditulis namo bahaso kami tuh Bahasa Palembang atau Bahasa Melayu Palembang atau Bahasa Musi. Naah, pakam dak. Ado tigo namo. Kurang pakam apo lagi.

Sudah jelas, kan. Jadi, Baso Plembang nih bersumber dari rumpun Bahaso Melayu. Baso kami mirip cak Bahasa Indonesia, bedanyo di ujung kato bae. Cak yang lah aku tulis di pocok tadi. Kalo Bahasa Indonesia berakhiran ..-a, kami berakhiran ..-o. Contohnyo, dia jadi dio, apa jadi apo, dimana jadi dimano, kita jadi kito yang dak mungkin lagi besamo ~.

Ciri khas lain lagi, Baso Plembang ni jugo terpengaruh dari Baso Jawo. Ini lah yang jadi ciri khas. Kalu Baso Jambi samo Bengkulu, dak katek unsur Baso Jawonyo (ku raso). Ado banyak kata yang mirip, selain itu struktur jugo mirip. Baso Plembang punyo duo tingkatan. Baso Plembang Alus atau Bebaso (Bahasa Palembang Halus), samo Baso Plembang Sari-sari (Bahasa Palembang Sehari-hari).
Baso Plembang Alus biasonyo dipake di acara adat, dipake kalo ngomong samo uong tuo, dan pemuka masyarakat yang dihormati. Kalu Baso Plembang Sari-sari dipake kalo ngomong sehari-hari samo kawan biaso. Mirip nian kan samo penggunaan Baso Jawo!

Muncul pertanyaan. Ngapo biso cak ini? Dari referensi yang ku baco, sebabnyo dari jaman bingen dulu. Kalu kito liat sejarah, bangsawan Plembang ni asalnyo emang dari Jawo. Raden Patah, sultan pertamo Kerajaan Demak, beliau lahir di Plembang. Raden Fatah tuh anak dari Prabu Brawijaya alias Brawijaya V, rajo Kerajan Majapahit.
Ratusan tahun setelah itu, setelah Majapahit dan Demak katek lagi, ado kesultanan baru muncul. Kesultanan Palembang Darussalam. Pendirinyo, masih keturunan dari Kerajaan Demak tadi. Siapo sultan yang terkenal dari Palembang Darussalam? Sultan Mahmud Badaruddin, pahlawan nasional yang rainyo ado di duit sepoloh ribu. Siapo namo aslinyo? Sultan Mahmud Badaruddin Jayowikramo. Naah, namonyo be lah Jawo nian, kan!

Jadi, baso Plembang terbentuk secaro alami. Ratusan tahun, becampur bahaso Melayu dengan bahaso Jawo. Sebab sultannyo,bangsawannyo dari Jawo. Kalu cak itu, secaro dak langsung, uong Plembang nih adalah uong Jawo jugo.

Di bawah ini, ado beberapo contoh. Aku nak nunjukke kemiripan baso Plembang dan baso Jawo. Formatnyo aku buat cak ini; Baso Plembang Sari sari - Boso Jowo Ngoko (Bahasa Indonesia).
apo - opo (apa)
bahaso/baso - boso (bahaso)
lanang - lanang (pria)
uong - wong (orang)
iwak - iwak (ikan)
ulo - ulo (ular)
kembang - kembang (bunga)
kuping - kuping (telinga)
dengkul - dengkul  (lutut)
gepuk - gepuk (pukul)
banyu - banyu (air)
jero - jero (dalam)
uya - uyah (garam)
abang - abang (merah)
ijo - ijo (hijau)
selawe - selawe (dua puluh lima)
sekel - sikil (kaki)
rai - rai (wajah)
dewek - dhewe (sendiri)
kak - cak (panggilan untuk saudara laki-laki yang lebih tua)
yuk - yu (panggilan untuk saudara perempuan yang lebih tua)
nangko - nongko (nangka)
semangko - semongko (tarek sees!)

Ini beberapo contoh yang keduo. Baso Plembang Alus - Boso Jawo Kromo (Bahasa Indonesia)
kulo - kulo (saya)
niki - puniki (ini)
ngeriku - ngriku (sana)
sinten -sinten (siapa)
dipundi - pundhi (dimana)
sedanten - sedanten (semua)
bepintenan - pinten-pinten (beberapa)
ageng/gede - ageng (besar)
dalu - dalu (malam)

Tapi, sayangnyo. Aku dak pernah tedenger uong ngomong pake Baso Plembang Alus. Caknyo, kalangan tertentu bae yang masih pake bahaso ini. Aku takut, dak lamo lagi Baso Plembang Alus bakal punah untuk selamo-lamonyo kalu katek yang gunokennyo.

Jadi, apo inti tulisan ini? Pertamo aku nak ngasih tau kalo sebenernyo uong Plembang dan uong Jawo ni bedulur. Bangsawan Plembang ni berasal dari Jawo.
Keduo, payoo kito lestarike bahaso kito dewek. Dak perlu malu, kalu bukan kito, siapo lagi! Agek kalu bahaso nyo punah, nak cakmano agek.
Ketigo, aku nak ngasih tau ke kamu, intinyo rumus mudah baso Plembang tu adalah Bahasa Indonesia, yang ujungyo tinggal diganti o bae. Sudah, selesai. Cak itu bae!

***

Sebenarnya masih banyak yang ingin aku tuliskan di sini. Namun, karena berhubung aku sudah lelah dan ngantuk. Sampai sini saja tulisannya, kapan-kapan akan disambung, insyaa Allah. 
Kemudian, untuk foto. Karena aku bingung mau pasang foto apa yang sesuai dengan isi tulisan, aku pasang saja foto ketika aku masih muda, dengan latar belakang Jembatan Ampera yang menjadi ikon Kota Palembang. Saat itu, tahun 2008. Aku masih jadi bocah SD yang gembul lagi menggemaskan, Hahaa!

Oh yaa, terakhir. Apakah kamu faham dengan tulisan di atas? Jika ada yang bingung, silahkan tanyakan di kolom komentar, yaaak! :))



Referensi

https://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Palembang
https://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Palembang
https://id.wiktionary.org/wiki/Lampiran:Daftar_Swadesh_bahasa_Jawa
https://id.wiktionary.org/wiki/Lampiran:Daftar_Swadesh_bahasa_Palembang

Hampir tiap-tiap hari, media sosial kita dipenuhi dengan riuh RUU yang telah sah menjadi UU. Ominbus Law. Eh bukan, Omnibus Low. Eh gimana sih. Nulisnya aja susah! -_-
 
Mari lupakan sejenak tentang pronouncation RUU yang susah itu. Fyi, ada RUU lain yang masih mandeg di DPR. Apa itu? RUU P-KS; Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Dan saat ini, ada satu fraksi yang kekeuh menolak RUU tersebut. Partai apakah itu? Yang unik, partai ini memiliki nama yang sama dengan RUU-nya. PKS; Partai Keadilan Sejahtera.
 
Kenapa bisa gitu? Entahlah. Mungkin kapan-kapan akan ada RUU P-DIP, misalnya kepanjangan dari Penghapusan Deradikalisasi Intoleransi Pemerintah. Dan yang menolak, malah dari Fraksi PDI-P. Haha!
Tolong bagi pihak Pemerintah, terutama Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) kalo baca Blog ini jangan dianggap serius. Becanda doang, Pak!
 
Atau mungkin, nanti juga akan muncul RUU lain dengan nama yang sama dengan partai yang telah ada. RUU P-KB ditolak oleh Fraksi PKB, RUU P-PP ditolak oleh Fraksi PPP, hingga RUU P-SI ditolak oleh Fraksi PSI. Eh, wait.. PSI kan gak punya kursi di DPR RI, chuakkzzzz.
 
Well, kali ini gue akan menulis dengan gaya yang sedikit berbeda, gak seperti biasa. Gue akan menggunakan kata “gue”, bukan “aku”. Karena kalo ngomongin RUU P-KS, pasti kita akan bersinggungan dengan para kaum open-minded.
You know lah, mereka suka banget ngomong pake bahasa gaul yang tidak baku dan bahasanya di-mix English and Indonesian. Jadi, gue mau coba lakukan juga. Ehehe..
 
Kenapa RUU P-KS berhubungan dengan kaum open-minded?
Sorry to say, faktanya emang gitu. RUU ini sarat akan kepentingan ideologi. Baik yang menolak maupun yang mendukung. Walaupun gak bisa kita pukul rata semua. Kaum open-minded dan liberal cenderung mendukung RUU ini, namun tidak semua yang mendukung RUU ini berarti liberal. Sedangkan kaum Islam konservatif, cenderung menolak RUU ini, dan bukan berarti yang menolak RUU ini adalah semuanya konservatif.
Namun, kedua kelompok ini yang cukup vokal terkait RUU ini. Baik menolak maupun menentang.
 
Sebelum masuk lebih jauh, gue mau mengajak lo semua untuk ber-husnuzhon, berbaik sangka, ber-positive thinking. Kedua pihak yang menolak maupun mendukung RUU ini, punya niatan baik semua. Hanya saja, niat baik itu memiliki style masing-masing. Gue yakin 100%, keduanya setuju untuk melindungi masyarakat dari kekerasan dan kejahatan seksual. Itu adalah masalah kita bersama.
 
Dimana masalah RUU ini?
Kontroversi sudah dimulai sejak awal. Pasal pertamanya saja multi tafsir. Di ayat satu, disebutkan seperti ini.
 
Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.
 
Ayo fokus ke kalimat yang udah gue bold.
Pertama, mengenai hasrat seksual seseorang. Seandainya gue "menyerang" hasrat seksual seseorang, bisa-bisa gue kena pidana. Hasrat seksual itu gimana? Kecenderungan atau ketertarikan seksual kepada orang lain. Jika ditelaah lebih lanjut, hasrat ini bisa aja ke lawan jenis, atau bahkan ke sesama jenis. Kalo udah begitu, bisa aja terjadi kisah seperti ini. Misalnya, seorang ibu menasihati anaknya yang gay, "Udahlah nak, tobat lu jadi gay. Ngapain suka ke sesama jenis. Jangan kek Umat Nabi Luth! Itu perbuatan yang sangat keji dan menjijikkan!" 
Apakah kemudian si ibu bisa dilaporkan anaknya, karena dianggap menyerang dan merendahkan hasrat seksualnya? Jawabannya, tentu saja bisa! 
 
Kontroversi kedua. Ada diksi secara paksa, bertentangan dengan kehendak, dan tidak mampu memberikan persetujuan. Kesemua ini sangat multi tafsir. Kenapa? Jika logikanya dibalik, apakah perbuatan seksual yang dilakukan secara tidak paksa, tidak bertentangan dengan kehendak, dan mampu memberikan persetujuan, adalah kejahatan? Tentu saja tidak, jika RUU ini menjadi acuan. So, definisi ini sangat berbahaya. Anak-anak muda kita bisa aja akan menganggap kalo mereka sama-sama setuju alias consensual sex, berhubungan badan sah-sah saja menurut negara. Apalagi, jika consensual sex yang dilakukan terjadi dalam hubungan sesama jenis. Hal ini sangat berbahaya dan meresahkan bagi kaum konservatif.
Jangankan mau skidipapap-wadidaw, pacaran saja diharamkan menurut kaum konservatif. Ehehe.
 
Masih ada lagi? Ada dong!
Di pasal 11 ayat (1) poin g, disebutkan bahwa kekerasan seksual terdiri dari pemaksaan pelacuran. Sekilas memang poin ini nampak baik. Namun, coba logikanya dibalik. Jika pelacuran dilakukan tanpa paksaan, dilakukan secara sukarela, apakah itu dibenarkan menurut negara inil? Tentunya hal ini menjadi se-fruit polemik baru di tengah-tengah kita. Alamak!
 
Jadi, apabila RUU P-KS disahkan. Akan sangat berbahaya bagi moral bangsa. RUU ini tidak sesuai dengan agama, norma dan adat. Itulah sebab kaum konservatif Islam sangat menolak RUU ini. Mereka tidak mau moral bangsa ini rusak.
 
Namun, kenapa ada pula yang mendukung RUU ini? Kalo gue boleh jujur, RUU ini pasal-pasalnya emang sangat bagus. Para korbal kejahatan seksual bisa jadi lebih mendapat keadilan daripada undang-undang yang lama. Satu lagi, para korban menjadi lebih terlindungi apabila RUU ini disahkan.
 
Solusinya gimana? Menurut gue, fraksi-fraksi di DPR harusnya lakukan rapat lagi. Rembug dengan kepala dingin, jangan saling tuding. Lo mau jadiin negara ini liberal, yaa! Atau Heyy, mentang-mentang agama lo mayoritas, negara ini bukan berarti cuma milik umat lo doang, ada banyak agama! 
Saran gue, revisi beberapa pasal yang dianggap kontroversial, agar bisa diterima semua pihak. Jadikan norma agama dan budaya ketimuran sebagai landasan. Jangan norma-norma barat yang cenderung liberal.
Dan ending-nya, kejahatan seksual di negeri ini bisa menjadi lebih minim.
 
***
 
Kembali ngomongin kaum “open-minded”. Mereka emang sering berulah dan bikin statement “out of the box” di media sosial. Pendapat mereka bukan jadi bahan perdebatan atau diskusi, malah dijadikan bahan meme. Gue juga mencoba membuat meme, merupakan parodi dari meme yang telah ada.
Semoga terhibur!
 
 
Referensi: http://www.dpr.go.id/doksileg/proses2/RJ2-20161111-040327-4431.pdf
 
Meme yang gue buat

 
 
Meme yang jadi sumber inspirasi

Setelah sebelumnya menulis tentang Komunis, kali ini aku akan menulis mengenai faham lain yang cukup bertolak belakang. Liberal.
Aku mengenal faham ini ketika menjadi siswa SMA kelas satu. Rasanya, istilah Liberal pertama kali aku dengar dari mata pelajaran PPKn (Pendidikan Propaganda dan Kewarganegaraan), dan mata pelajaran Sejarah.
 
Kata guruku, Liberal adalah faham yang menganut rasa kebebasan. Simpelnya, orang-orang Liberal ingin santuy dan bebas sebebas-bebasnya dari aturan agama dan budaya ketimuran yang mengekang.
 
Namun, temanku nampaknya salah memahami definisi ini. Saat itu, di sekolah ada seorang teman yang tidak memakai dasi di kelas. Katanya, dasi cuma dipakai untuk upacara bendera saja. Di kelas mah, tidak perlu.
 
Salah seorang mem-bully temanku itu, “Huu.. dasar liberal, santuy sekali ente! Dasar mau jadi orang bebas yang tidak mau taat aturan!” Tapi, itu hanya dalam rangka bercanda, yaa. Bukan serius. Hehe.
 
Selain dari pelajaran PPKn dan Sejarah, aku mengenal faham Liberal dari Rohis. Yaa, betul. Rohis mengajari kami Liberalisme.
Eh tunggu, bukan gitu maksudnya! -_-
 
***
 
Aku menjadi siswa di salah satu Bimbel (bimbingan belajar) yang ada di Palembang, letaknya sangat dekat dengan Jembatan Ampera yang telah mejadi ikon kota. Jarak gedung Bimbel dan Jembatan Ampera hanya sepelemparan batu. Dekat sekali.
 
Selepas shalat Ashar, seorang teman berkata kepadaku, “Doo, kamu dicariin Mbak Zie. Katanya dia lagi cari anak Rohis.” Mbak Zie adalah tutor Bahasa Inggris di bimbel itu.
 
Sekejap kemudian, aku telah menemui Mbak Zie yang bernama asli Fauziyah. “Mbak Zie mencariku? Ada apa, mbak?” Tanyaku.
 
“Iya, dek. Kamu anak Rohis kan? Mbak sama temen-temen boleh main ke sekolahmu? Kami mau sosialisasi.”
 
“Boleh, mbak. Datang aja Sabtu ini. Sosialisasi untuk apa? Promosi bimbel ke anak Rohis yaa?”
 
“Yaa, bukan lah! Promosi Bimbel gak harus ke anak Rohis, lah. Seluruh orang boleh ikut bimbel! -_-” Mbak Zie terlihat kesal dengan responku. Aku hanya tertawa kecil.
 
“Yaah, aku kira anak Rohis mendapat diskon khusus, mbak! Hehehe.“
 
Beberapa dialog terakhiir adalah fiksi, yaa! Hihihii...
 
Hari Sabtu, Mbak Zie dan teman-temannya benar-benar datang ke sekolah. Katanya, mereka dari komunitas ITJ; Indonesia Tanpa JIL. Apa pula JIL? Itu adalah Jaringan Islam Liberal. Nama komunitas yang unik, sebab ada singkatan di dalam singkatan. Wkqwk!
Saat itu, ada dua orang mas-mas dan empat orang mbak-mbak. Mas-masnya berjanggut tipis, mbak-mbaknya semua berhijab lebar, lebar sekali hampir menutup seluruh badan. Karena aku adalah laki-laki yang normal, sudah barang tentu aku jadi sering memerhatikan mbak-mbak tersebut. Karena di sekolahku, adalah langka orang yang menggunakan hijab selebar itu. Aku tidak memerhatikan mas-masnya. Untuk apa, aku bukan penyuka sesama jenis! #eh
 
Sosialisasi dari mereka dimulai, aku masih fokus ke mbak-mbak berhijab lebar, bukan ke materi.
Salah satu materi yang aku ingat adalah, mereka menununjukkan tulisan-tulisan orang Liberal nan open-minded, kebanyakkan memang dari Twitter.
 
Berciuman adalah sedekah dan akan mendapat pahala karena kita menyenangkan orang lain.
 
Haah! Aku menganga, tidak habis thinking. Kok bisa ada orang se-gobloq itu menarik kesimpulan. Saat itu, aku masih postive thinking. Siapa tahu, itu hanya sebuah lelucon. Konteks berciuman disana adalah dalam rangka suami yang mencium istrinya. Tidak masalah memang. Halal 100%.
 
Kemudian, ada pulai yang menulis begini.
Jilbab itu pakaian khusus dipake buat shalat dan pengajian. Kalo keluar dari situ, di tempat umum ya kudu dibuka. Bego lu!
 
Aku melongo, ini yang bego siapa sih!
Lagi-lagi, aku masih ber-husnuzhon. Berbaik sangka. Sebab aku saat itu tidak pernah melihat tulisan semacam itu di Twitter. Isi dari timeline-ku hanya twit-twit galau, retjeh dan tidak jelas dari teman-teman di sekolah.
 
***
 
Hari terus berjalan, Twitter sudah jarang aku buka selama bertahun-tahun. Hingga akhirnya, sejak pandemi ini melanda, dan aku memang tidak ada kerjaan, aku kembali aktif ke dunia itu.
Pertemananku semakin luas. Timeline sudah semakin beragam. Mulai dari isu agama, politik, ekonomi, iptek hingga gosip para artis. Semuanya muncul di timeline.
 
Omongan dari mba-mba ITJ mulai terbukti. Saat itu, ada sesuatu yang viral. Seorang anak muda berusia 17 tahun. Perempuan cantik, good looking, selebriti dan punya banyak followers.
Kasusnya? Pacarnya (tidak) sengaja meraba payudaranya, dan kegiatan itu terekam di media sosialnya.
 
Bagaimana tanggapan netizen? Beragam.
Banyak yang berkomentar seperti ini.. Jika mereka hendak melakukan itu, harusnya tidak di depan umum. Jangan direkam dan disebar ke publik.
Tidak satu-dua orang yang berkomentar seperti ini. Banyak sekali pendapat seperti itu berseliweran. Aku bingung.
Dalam benakku, komentar yang benar adalah.. Harusnya mereka tidak melakukan itu. Udah, cukup sampe situ. Tidak usah ditambah-tambahin. Komentar sebelumnya, seolah-olah mengindikasikan bahwa perbuatan tersebut boleh-boleh saja dilakukan, namun tidak boleh disebar. Padahal, menurutku perbuatan seperti itu. Mau direkam ataupun tidak, yaa tidaklah patut dilakukan.
 
Apa yang terjadi hari ini?
Nampak di media sosial, anak-anak muda kita santai sekali. Seolah biasa saja dengan pemikiran liberal dan pergaulan bebas seperti itu. Aduhaii..
Padahal, apabila kita bertanya kepada hati nurani. Apakah kegiatan semacam itu dibenarkan? Apakah kita boleh menggrepe-grepe payudara seseorang, walaupun konteksnya si empunya santuy saja? Tentu saja jawabnya tidak.
 
Ah yaa.. akan tetapi, lagi-lagi, itu sebenarnya adalah urusan pribadi orang. Kita tidak berhak mencampuri urusan mereka.
 
***
 
Masih ngomongin liberalisme. Satu lagi yang membuat aku kesal dan bingung adalah Consensual sex. Hubungan seks dalam kerangka persetujuan, suka sama suka, mau sama mau, sukarela. Aritnya, kita boleh skidipapap-wadidaw jika laki-laki dan perempuan sama-sama setuju tanpa paksaan.
 
HOOY! MAU SAMA-SAMA SUKA ATAU TIDAK ITU TETAP HARAM KALO BELUM JADI PASANGAN SAH SUAMI ISTRI!
 
Kalau kami mau skidipapap-wadidaw, masalahnya dimana? Apa hak orang lain ikut melarang? Kata beberapa orang di kolom komentar suatu media sosial.
 
Menurutku, orang lain jelas punya hak, walaupun secara tidak langsung. Apa itu? Hak untuk melindungi generasi muda dari pikiran liberal nan gobloq seperti ini.
Kenapa? Seandainya pikiran dan pemahaman ini terus dibiarkan berkembang, terutama di kalangan para pemuda Muslim. Lama kelamaan, mereka bisa saja akan berfikir. Ooh, ternyata kalo skidipapap-wadidaw atas dalih suka sama suka, itu tidak ada masalah, sah-sah saja!
 
Duhai, jangan sampai pikiran seperti ini dibenarkan oleh generasi di masa mendatang.
 
Lagi. Jika kamu masih menganggap hal tersebut tidak masalah. Coba kita tanyakan ke orangtua kita. Misalnya, coba izin sama mama.
Ma, aku mau skidipapap-wadidaw sama pacarku besok, di Hotel X. Boleh yaa!
 
Kira-kira, apa reaksi si mama?
Berikan pendapatmu di kolom komentar, yaa! :)
 
 



Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

ABOUT AUTHOR

Kang Mas Joe adalah seorang yang berpengalaman dalam pahit dan getirnya kehidupan, walaupun nyatanya tidak terlalu pahit. Mencoba berbagi tulisan melalui blog, semoga ada hikmah yang bisa diambil. Apabila ada kritik, saran, nasihat dan mau kerjasama. Silahkan DM melalui Instagram dan Twitter @KanggMas_Joe. Terimakasih!

POPULAR POSTS

  • Pencitraan Jilid Dua; Buku yang Aku Baca di Tahun 2020
      Beberapa hari ke belakang, rumahku sedang direnovasi. Maka buku-buku yang ada di rumah sedang tidak ada di rak buku seperti biasa. Begini ...
  • Masjid Cheng Hoo
    Masjid Muhammad Cheng Hoo, adalah salah satu masjid yang cukup terkenal di Palembang. Sering dijadikan sebagai tempat wisata religi. Menurut...
  • Balonku Ada Lima
    Jangan terkejut, ini bukan jimat, mantra, doa atau sebagainya!  Untuk kamu yang sudah jago membaca Al-Quran sejak kecil, aku yakin kamu past...
  • Menjadi Pacar Sewaan
    Hari ini adalah hari Ahad, pukul sepuluh pagi. Aku sedang duduk bersantai di rumah, sedang menatap layar laptop untuk melakukan blog walking...
  • 3 Bloggers yang Rajin BW
    Seperti biasa, di setiap penghujung bulan, Mbak Eno yang baik hatinya kembali membuat challange. Ini adalah event ketiga dari challange- nya...

Categories

  • Bisnis
  • Cerita
  • Opini
  • Perjalanan
  • Pernikahan
  • Sajak
  • Tutorial

Copyright © 2021 Kangg Mas Joe. Created by OddThemes