Khataman Al-Quran

 
A’udzubillahi minasy syaythaanir rajiim.
Bismillahir rahmaanir rahiim.
Alhamdulillahir rabbil ‘alamiin.
Hamdan syakirin.
Hamdan, eeehm, eehm, eehm...
 
Untaian kalimat di atas adalah penggalan doa yang aku bacakan ketika dalam acara Khatam Al-Quran.
Untuk kamu yang belum tahu, Khatam Al-Quran adalah peristiwa ketika kita telah menamatkan dalam pembacaan Al-Quran 30 juz. Namun, kata guruku, adalah tidak tepat ketika kita menggunakan istilah “tamat” dalam baca Al-Quran. Kenapa? Kalau “tamat”, berarti sudah selesai. Tidak akan dibaca lagi setelah tamat. Maka, digunakanlah istilah “khatam”, berarti ketika selesai dibaca 30 juz, A-Quran kembali dibaca dari awal juz pertama.
 
Sekolahku mewajibkan para siswanya untuk selalu membaca Al-Quran di pagi hari, lima belas menit sebelum masuk. Pukul 06.45 hingga pukul 07.00. Jadi, setiap siswa di kelas akan membaca Al-Quran bersama-sama. Kalau kamu datang ke sekolahku di jam segitu, pasti di tiap-tiap kelas terdengar gaungan para siswa membaca Al-Quran.
Sungguh islamisasi yang sangat baik di sekolah negeri. *eh
 
Dengan begitu, normalnya para siswa di suatu kelas akan bisa khatam satu kali dalam setahun, alias tiga kali dalam masa sekolahnya. Qodarullah, karena kelas kami paling kece di antara kelas lain. Kami bisa mengkhatamkannya empat kali, melebihi ekspetasi guru-guru di sekolah. Berbangga dikit boleh lah yaa! WQWKQK.
 
Biasanya, ketika hendak Khataman setiap kelas akan mengadakan semacam Syukuran di Mushallah sekolah. Kami akan membaca beberapa surat di akhir juz 30, kemudian dzikir dan doa bersama. Tak lupa, kegiatan ini juga diikuti oleh guru agama, wali kelas, dan beberapa guru lain. Kemudian akan ada kata sambutan dan wejangan dari mereka agar kami terus membaca Al-Quran walaupun sudah tamat dari sekolah.
(Benar kan “tamat”, bukan “khatam”. Yakali selesai kelas tiga, aku harus mengulang ke kelas satu lagi, wkwk)
 
Oh yaa, satu lagi. Ini bisa menjadi “ladang bisnis” bagi anak Rohis. Kenapa? Karena acara ini pasti mengajak anak Rohis untuk memimpin acara itu. Dan sudah barang tentu, acara ini akan ada snack berupa kue-kue dan makan siang dalam bentuk nasi kotak. Anak Rohis sangat senang jika ada Khataman. Lumayan, bisa dapat kue dan makan siang gratis, hehehe.
Dan tahukah kamu, salah satu anak Rohis yang memanfaatkan “ladang bisnis” itu adalah.. Aku. Hal ini sangat menarik karena aku dapat menghemat uang jajan dan bisa makan enak.
 
Dari puluhan kali menjadi panitia Khataman, ini adalah salah satu kisah yang tak terlupakan. Kisah ini terjadi ketika aku duduk di kelas sebelas, semasa sekolah menengah atas, tujuh tahun lalu. Aku menjadi panitia untuk Khataman kelas IPS. Saat itu, aku tidak memikirkan nasi ayam panggang spesial yang akan diterima. Melainkan, aku memikirkan spesial yang lain yang ada di kelas sebelah. Si doi adalah murid kelas sebelah. Ini yang aku maksud spesial. *ups
 
Ketika menjadi panitia Khataman, aku biasa mengisi posisi sebagai pembaca Al-Quran. Satu kali pun, aku tidak mau mengisi posisi lain seperti pembaca doa atau pemimpin dzikir bersama. Sebab, sehari-hari aku tidak terbiasa melakukanya. Adalah wajar karena cara aku beribadah lebih condong dengan Muhammadiyah, tidak condong ke cara NU. You know lah, dzikir dan doa bersama adalah kebiasaan orang-orang NU.
 
“Doo, nanti aku saja ya yang baca Al-Quran. Kamu baca doa aja!” Tiba-tiba temanku bilang ketika kami sudah di Mushallah.
 
“Eh, jangan. Aku aja baca Al-Quran, seperti biasa. Kamu yang baca doa atau pimpin dzikir saja!” Aku menolak ajakan temanku.
 
“Waah, jangan Doo. Aku belum hafal kalo disuruh pimpin doa. Kamu kan sudah hafal, kamu saja!” Temanku tetap berusaha memintaku untuk menjadi pembaca doa.
 
“Iya, aku emang udah hafal. Tapi belum pernah pengalaman, aku tidak berani, nanti salah.” Aku masih menyanggah.
 
“Udahlah, kamu aja Doo. Kamu sudah hafal, aku belum. Fiks, posisi kamu lebih kuat dariku untuk baca doa!”
 
Aku pasrah. Perdebatan ini dimenangkan oleh temanku. Niat untuk tampil baca Al-Quran, agar dikira keren di depan si doi gagal seketika. Aku harap-harap cemas. Takut-takut salah dalam membaca doa yang sudah aku hafalkan sejak dua pekan lalu.
 
Akhirnya, pembacaan Al-Quran dan dzikir bersama usai. Kini tiba saatnya untuk pembacaan doa. Microphone telah diserahkan kepadaku. Dengan sedikit gugup aku memulai doa itu. Hingga baru beberapa kalimat, suaraku tercekat. Ehm, ehm, ehm...
Aku menoleh kepada guru agama yang duduk takzim tak jauh dariku. Kontak mata terjadi di antara kami. Belio seolah faham kalau aku sedang butuh bantuan.
 
Hamdan na’imin” Kata guruku, melanjutkan kalimat doaku yang terputus.
 
Aku ulangi kata-kata Pak Guru, “Hamdan na’imin, hamdan ehm, ehm, ehm...” Aku masih lupa apa kelanjutannya.
 
Aku kembali menoleh ke Pak Guru, beliau memberikan kode apa yang harus aku baca selanjutnya. Namun, aku tidak mengerti gerakan komat-kamit mulutnya. Setelah satu Mushallah hening selama sepuluh detik, aku putuskan untuk langsung menutup doa itu dengan doa sapu jagat alias doa keselamatan dunia dan akhirat.
 
Rabbanaa aatina fid dunya hasanah, wa fil akhirati hasanah, wa qiina ‘adzaban naar. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin.” Doa yang harusnya lima menit, aku pangkas menjadi satu menit saja. Sungguh menakjubkan, bukan!
 
“Dengan berakhirnya doa, berakhir pula acara kita hari ini. Saya selaku pembawa acara...” Pembawa acara Khataman hendak menutup acara itu, namun dicegat oleh Pak Guru Agama.
 
“Nanti dulu, jangan ditutup. Pak mau ngomong sebentar, sini pinjam microphone-nya!Kata beliau, aku sudah cemas mendengar itu.
 
“Kamu siswa kelas mana?”
 
“Saya anak IPA-1, pak.” Aku menjawab dengan sopan, aku heran dengan Pak Guru, padahal beliau kenal denganku. Kenapa malah bertanya seperti itu.
 
“Kan kalian anak Rohis sudah biasa memimpin doa seperti ini. Kenapa kamu tidak hafal?” Guruku mencecarku, di depan murid-murid yang menjadi peserta Khataman. Ditambah lagi, Pak Guru memarahiku di depan si doi. Hancur sudah reputasiku selama ini.
 
“Saya sudah hafal, Pak. Tapi kan biasanya saya baca Al-Quran, bukan baca doa. Ini adalah kali pertama saya membaca doa. Saya tadi agak gugup, Pak!” Aku masih membela diri.
 
“Anak-anak dan bapak ibu guru sekalian. Inilah contoh murid yang kurang ajar. Saya tahu, dia ini ketika ada kajian taklim di sekolah, bukannya memerhatikan isi kajian. Malahan sibuk main hape. Dikasih tugas hafalan, tidak dikerjakan. Anak-anakku sekalian, jangan kalian tiru murid seperti ini!” Pak Guru seolah membuka aibku di depan teman-teman yang lain.
 
Aku betul-betul kesal dan malu saat itu. Coba kamu bayangkan, gimana rasanya dipermalukan di depan umum seperti itu. Karena aku murid yang baik, aku diam saja. Aku masih memandang beliau sebagai guru, aku takut kualat. Kalau tidak, bisa saja orang itu aku labrak balik.
 
Akhirnya, acara Khataman itu benar-benar selesai. Seluruh siswa telah keluar dari Mushallah, kecuali Pak Guru, aku dan beberapa teman anggota Rohis lain. Kami masih harus merapikan Mushallah yang baru saja selesai dipakai. Teman-temanku mengambalikan Al-Quran ke rak-rak buku. Aku dan Pak Guru masih duduk diam saja.
 
“Doo, kenapa kamu tadi tidak hafal? Sudahlah, tidak usah bohong. Pak tahu!” Pak Guru memecah keheningan.
 
“Dasar guru kampret, tadi di depan teman-teman pura-pura tidak kenal. Dasar guru tua bangka, niat sekali mau mempermalukanku!” Aku hanya bergumam di dalam hati. Tidak mungkin kata-kata sumpah serapah seperti ini aku keluarkan.
 
“Eh, iya Pak. Maafkan saya.” Wajahku tertunduk, pura-pura malu.
 
“Bapak mau menyampaikan pikiran, bisa benar bisa salah. Kamu tadi gugup karena salah satu murid yang duduk di sana, katanya sedang dekat denganmu. Betul kan? Pak tahu, intel bapak berkeliaran dimana-mana. Haha.”
 
Aku langsung terkejut, tau darimana Pak Guru akan hal itu. Aku masih diam saja.
 
“Sudahlah, masalah seperti itu tidak usah kamu pikirkan. Buang jauh-jauh perempuan itu dalam hati dan pikiranmu. Apalagi kini, kamu pengen tampil di depan agar dilihat perempuan itu. Harapanmu setelah acara ini pasti agar dikira keren oleh perempuan itu. Nyatanya, kamu malah dipermalukan oleh dirimu sendiri. Niatmu sudah salah dari awal, Doo!” Pak Guru menasihatiku dengan bijak, aku masih menyimak dengan seksama.
 
“Kalau kamu ingat, kajian di awal semester yang Pak sampaikan kepada kalian. Hadits nomor pertama dari Kitab Hadits Arba’in, karya Imam Nawawi. Kenapa hadits ini diletakkan pertama, karena saking penting kandungan isinya. Diriwayatkan dari Amirul Mukminin, Umar bin Khaththab. Sesungguhnya, setiap perbuatan tergantung kepada niatnya. Dan sesungguhnya, setiap orang akan dibalas dari apa yang menjadi niatnya. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijjrahnya adalah karena Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena harta dunia, atau karena wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya akan bernilai sebagaimana yang diniatkannya.” Beliau melanjutkan dengan penjelasan suatu hadits.
 
Astaghfirullah..” Aku bergumam dalam hati.
 
“Nih, Doo. Dengerin. Nabi sudah dari 14 abad yang lalu menyinggung akan hal ini. Niat hijrah jangan karena wanita, luruskan niatmu. Berbuat baiklah untuk mengharap ridha Allah saja. Kalo yang kamu harapkan adalah wanita, yaa belum tentu dapet. Pak ulang sekali lagi, kalo kamu mengharap ridha Allah, yang lain sudah pasti aman. Sudah ya, Doo. Pak mau masuk ke kelas dulu, lima menit lagi ada jadwal ngajar ke kelas IPA-2.”
 
“Baik, pak. Terima kasih atas wejangannya.”
 
***
 
Selepas kejadian itu, aku mulai melupakan si doi. Aku mulai fokus belajar dan terus berbuat baik dengan mengharap ridha Allah saja.
Kami memilih jalur hidup masing-masing. Info yang aku dapat, doi merantau ke Pulau Kalimantan, diterima di Fakultas Kedokteran di salah satu universitas negeri yang ada di Pontianak. Sedangkan aku, memilih kampus yang dekat. Simpelnya, kami lost contact.
 
Singkat cerita, selepas kuliah aku telah diterima bekerja di Kota Pontianak. Saat itu, aku sedang duduk santai bersama beberapa teman di salah satu coffee shop yang ada di kota itu.
 
Ketika tengah asyik berbincang, seseorang yang tidak asing bagiku masuk. Orang itu adalah si doi.
 
“Hey, apa kabar? Waah tidak menyangka kita bertemu di sini ya. Sudah lama tidak berjumpa.” Aku mulai menyapanya.
 
“Eh, iya Doo. Sudah lama sekali ya. Kamu ternyata merantau ke kota ini juga, ya?” Kata si doi.
 
“Iyaa, baru bulan lalu diterima di pabrik yang ada di sini. Kamu sendirian aja nih ke sini? Kebetulan sekali yah bisa bertemu setelah sekian lama. Jangan-jangan semesta bekerja, ehehe.”
 
“Tidak, Doo. Aku ke sini bersama suami. Baru dua pekan lalu kami menikah, kenalin Doo. Ini suamiku. Bang, sinii cepetan!” Suaminya bertubuh tinggi besar, bergegas turun dari mobilnya.
 
“Kenalin bang, ini Dodoo. Teman satu SMA dulu, ini looh. Ketua Rohis yang semalam aku ceritain. Semesta beneran bekerja yaa, baru aja semalem kita omongin. Eh hari ini malahan ketemu di sini.” Kata si doi kepada suaminya. Aku melongo mendengar perkataan itu.
 
“Waah, senang sekali bisa berjumpa di sini. Salam kenal ya mas Dodoo. Jadi gimana, udah hafal kah doa Khataman-nya? Hehhe.” Aku kembali melongo.
 
Tujuh tahun telah berlalu, wejangan dari Pak Guru masih terngiang hingga hari ini. Ucapan belio terbukti. Wanita yang aku harapkan, benar-benar tidak aku dapatkan.
Sudahlah, yang paling benar memang hanya mengharap ridha Allah saja, jangan mengharapkan yang lain. Nanti bakal kecewa!
 
Cerita ini hanya fiksi!  :)

Share:

52 komentar

  1. Sudah aku duga, cerita ini hanya fiksi saja soalnya udah biasa baca disini.😁

    Berarti kalo mengerjakan sesuatu harus niat karena Allah ya bang, karena kalo mengharapkan keren seperti tetangga sebelah nanti malah dapat malu. Tapi kurasa anak anak pada senang karena doa yang harusnya lima menit cukup cuma setengah menit saja.🤭

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sebenernya, beberapa bagian dari cerita ini adalah nyata. Ada yg diubah sedikit wqwkqk

      Hapus
    2. penasaran ama tetangga sebelah hahhaahahha

      bagian nyata ada di ending ya mas dodo? 😆

      Hapus
    3. kebiasaan memang disini cerita setengah nyata setengah ngayal hahaha :D

      Hapus
    4. wkwkwkwkw iya yaaakk, bikin gemes, udah dibaca dengan semangat, eh ternyata fiksi, meski ada realnya sih hahahaha :D

      Btw kalau ngomongin khatam Alquran, saya belom pernah ikutan khatam Alquran bersamaan gitu dong huhuhuhu

      Hapus
    5. Hhhaa, untuk mbak Gus. Bagian nyata sebenernya awal-awal. Sekolah kami beneran ada kegiatan baca Quran tiap pagi. Bagian fiksi akhir ke belakang 😅😅

      Hapus
    6. Bagian awalnya yang sekolah toh, kirain aku bagian romansa nya.🤭

      Entahlah, tetangga sebelah yang mana mbak mbul, aku juga lupa.😂

      Hapus
  2. Aku sudah menyimak dengan seksama tulisanmu itu. Sempat dak percayo biso-bisonyo seorang dodo merantau ke luar kota, padahal beliau seseorang yang setia ngantu Plaju. Baca disclaimer di bawah ternyata CERITA FIKSI..
    Kan kampret wkwkwk

    BalasHapus
  3. Pasti bagian patah hatinya tidak fiksi. Hahahahaha ....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Oooh tidak... Justru bagian akhir yg fiksi Mbak 😁😊

      Hapus
  4. bagian ending terjleb sekali mas dodo

    ibaratnya uda terbang tinggi banget pas ngumpulin harapan harapan setelah sekian lama nda ketemu gebetan yaitu si gadis manis kelas sebelah, eeeeee habis itu dihempaskan dari ketinggian sekian kaki dengan cara dikenalin sama suamiknya..remuk redam dunk hati hahahhaha

    #nice cerpen mas dodo seperti biasa

    btw ku klo ada pengajian khataman atau maulidan di mushola juga nginceng snacknya tapi bukan nasi kotak ayam sih biasanya aku sukanya yang isinya bolu, kue potong, atau lemper :D

    BalasHapus
  5. Tuuun kaan .., udah serius nyekrol layar pelan-pelan sampai ke cerita terbawah, *eh lagi-lagi cerita fiksi keren ..

    Padahal aku udah penasaran kelanjutan cerita gimana rasa patah hati remuk redamnya perasaan kamu ditinggal rabi sama si doi, wwwwwkk ..

    Beidewei, kisah fiksi karyamu ini kalau dibikin sinetron keren, mas ��

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kenapa cuma sinetron sih. Aku kira mas nya td mau bilang novel 😅😅

      Hapus
  6. Wah, aku baru tahu kalau khatam artinya mengulang lagi ya. Aku kira Khatam itu maksudnya hafal mati 😂

    Pasti kesel banget kalau dipermalukan di depan umum seperti itu ya kak wkwk untungnya ini cuma fiksi 🤣

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yaa mbak, kalo khatam itu cuma baca sampe akhir, kemudian kalo udah selesai diulang lagi..
      Kalo yg hafal Quran itu, setahuku sebutannya hafiz, mbak.. Cmiiw, Ehehe

      Hapus
  7. tapi betul mas doo, kalo mau melakukan sesuatu yang penting niatnya haha, niat baca doa atau ceng ceng biar dikira hebat sama si gebetan hehehe :D

    BalasHapus
  8. Hal yg udh gak asing didengar "cerita ini cuma fiksi". Cuma seperti biasa, kisah fiksi kk dodo banyak hikmahnya. Awalnya sempet gereget juga sama si Bapak guru, maksudku dipermalukan depan umum itu rasanya gak enak bangettt. Cuma setelah mendengar penjelasannya, boleh juga caranya kasih pelajaran ke siswa hehe.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau kau mengenalku, sebetulnya bagian itu benar benar nyata. *eh

      Hapus
  9. meski fiksi jadi ingat masa TPQ, senang banget kalau ada acara khataman Al-Quran :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yaa, seneng banget. Apalagi kalo dapat kue dan nasi kotak ya mbak haha

      Hapus
  10. Sekolahku dulu juga ada kegiatan baca Al-Quran gini. Tapi nggak setiap hari kayak sekolahnya si ketua rohis. Hahaha. Cuma setiap sabtu, jadi selama tiga tahun sekolah, belum pernah khatam sekali pun.

    Ya, daripada dihafal, kayaknya mending baca doa pakai teks aja. Nggak bakal lupa insya allah.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yaa betul, tinggal baca doang. Aman dari kesalahan yaa mas 😀

      Hapus
  11. Tampak nyata untuk sebuah kisah fiksi 😆

    Sebetulnya bukan si doi yg bikin lupa hapalan tapi karena gugup apalagi itu pengalaman pertama jadi gugupnya jd dobel 😆

    Si doi menceritakan Si Dodo ke suami td mlm, hmm sepertinya si doi ingat dodo terus, ayo Doo tikung bini org 🤣🤣🏃‍♂️

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bener kang Jaey, kadang memang gugup kalo pertama, apalagi kalo banyak yang lihat.😁

      Hapus
    2. Sebener'e iki kisah nyata yang di-fiksi-kan
      Hehehe

      Hapus
  12. Terlepas dari diksinya, tapi bener sih, apapun yg kita lakuin hrsnya ikhlas Krn mengharap ridho Allah ya mas :). Bukan Krn pgn dikira keren. Kdg aku juga pernah berfikir begitu. Nyesel aja, kayak percuma kebaikan yg dilakuin :(.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yaaa itu. Niat adalah yg terpenting dari setiap hal yg kita lakukan :))

      Hapus
  13. Aku nonol di kolom komentar baru, ya :)
    Juga ngga pakai emot, soalnya munculnya kok malah gambar kayak taoge, wwwkkk..

    Oh, iya dibikin novel kisah ini juga pasti seru.
    Di novel ntar adegan si Dodo berkacamata ditegur pak uztad sampai merah padam wajahnya, terus ... malu-malu kucing di depan teman-teman.
    Terus lagi, ekspresi patah hatinya diceritakan sebegitu dalam ..., sampai-sampai yang baca pada ikutan nangis.

    BalasHapus
  14. Fiksi lage. Eh tapi serius deh, ini kek benaran. Apakah terinspirasi dari kisah nyata?

    BalasHapus
  15. Meskipun fiksi tapi bagus kok.. hahah
    mengingatkan saya dulu ikut TPQ. Yang kalau dulu disuruh berangkat ngaji aja susahnya setengah mati.. hahah smpe nangis2.

    BalasHapus
  16. Aku percaya ini riil nya mas Dodo hahahaha :) Khatam Qur'an itu mimpi banget deg bagiku, belum kesampaian nih. Zaman dulu aku masih kecil suka ngaji rame2 tetangga. Kalau sekarang sih sama papaku atau sendiri aja diusahain kelar salat...Biarpun sedikit yang penting baca..in sya allah :)

    BalasHapus
  17. yah, kenapa fiksi? asyik ya, kalau sekolah kental nuansa agamanya begitu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bagian itu, nyata mbak. Sekolahku beneran ada program gitu ehehe

      Hapus
  18. Memang, mengharapkan itu harusnya kepada Allah. Kalau mengharapkan yang lain bisa jadi malah kecewa. Seperti kali ini. Aku berharap ini nyata, ternyata cerita fiksi. Yaaaaaah, kecewa deh, gak bisa ngolok-ngolok Dodo. Hehehe. Bercanda, Doooooo. Ceritamu ini mengalir layaknya cerita nyata sih. 😂😂😂😂

    BalasHapus
  19. Ahhhh kecewa karena ini fiksi. Padahal dah seru baca dari awal-awal. Overall keren kak. Aku jadi ikut flashback jaman-jaman SMA juga. Kewajiban membaca Al Quran 15 menit sebelum bel masuk rasanya waktu itu kebijakan Dinas ya, kondisi yang sama-sama dialami membuktikan kalau kita seangkayan ��

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pertama, kebijakan itu, rasanya di sekolah kami sudah ada duluan jauuh sebelum kebijakan dari Dinas Pendidikan kota, Alhamdulillah.

      Kedua, adalah fakta kalo kita emang seangkatan. Hehehe

      Hapus
  20. Wah udah seneng ngira cerita ini beneran ternyata hanya fiksi. Tapi siapa tahu ada sebagian yang merupakan true story erus dibumbui sedikit-sedikit.wkwkwk.. tapi bener kata pak guru harus melakukan sesuatu harus diluruskan niat semuanya diiniatkan karena ridha Allah. Mas Dodo ini memang pintar ngarang cerita fiksi..hehehee..

    BalasHapus
  21. hyaaaa endingnya hahahahaha

    kalau ngomongin soal khataman, adik aku yang dari SD disekolahin di sekolah agama kayaknya kok udah bosan ya, ini aja dia sekolah online ketika pagi ga ada pelajaran membaca quran terlihat hepi. otomatis ibuku bakalan ceramah ke adikku kalau tau dia gitu hehehehe

    BalasHapus
  22. ya ampun dodo, kamu ngapain sampe ngotot-ngotot gitu sama temenmu, tinggal bawa contekan aja kan gampang. (eh apa makin dimarahin sama pak gurunya ya nanti?)

    Aku juga dulu suka ada ngaji dulu sebelum kelas, tapi yg baca2 ya yg cewek-cewek aja, itu pun untungnya yang suruh dibaca cuma yasin dan surat2 pilihan aja, jadi ga ada khatamannya. Kesalnya, gurunya kan baru datang pas surat2an udah mau kelar. Eh, murid yg cowok2 ini kalo udah wa ilaihi turja'uun terus pada masuk kelas dengan rapihnya. Biar dikira ngikutin jugaaa. hhmmm

    BalasHapus
  23. dah boleh agak ceritanya 😆😆😆 tiba2 teringat majlis khatam quran ketika Sek Keb (sekolah kebangsaan) dulu.

    oh ya kalau di sana, juadah utama untuk majlis khatam quran apa ya? kalau di sini, wajib ada pulut kuning dan rendang ayam😊😊

    BalasHapus
  24. Ahhhh Mas Dodoo ...
    ini mah bukan fiksiii ..
    Bisa sampai detail banget nyeritainnya, yang ngga mungkin bisa ditulis kalau ngga ngalamin sendiri.

    anw, pasti dirimu akan mendapatkan Yang Terbaik. Ditunggu saja ya :)
    Enjoy the journey aja dulu

    BalasHapus
  25. Sama sekolahku juga gitu, sebelum apel pagi kami wajib mengaji dulu per lingkaran kelas di lapangan. Ya masa-masa anax baix itu :v

    BalasHapus
  26. Aku sih awalnya masih ngira ini cerita beneran, eh kaget dong pas bagian pontianak.
    Ah iya ini kisah fiksi

    BalasHapus
  27. Nah Do. Kalau kau benaran pernah patah hati. Harusnya kau bisa puitis. Tapi sampai sekarang kau ya *ehem :v

    BalasHapus