Kangg Mas Joe

Blognya Dodo. Tidak semua yang diposting adalah nyata, banyak pencitraan dan fiksinya.


Hari ini adalah hari Ahad, pukul sepuluh pagi. Aku sedang duduk bersantai di rumah, sedang menatap layar laptop untuk melakukan blog walking ria. Tiba-tiba ada seorang girl-friend (baca: teman perempuan) yang menelpon.
"Joe, hari ini kamu kosong, ndak?"

"Hemm.. Ada hal apa, Aini?" kataku dari seberang telepon, sebut saja namanya Aini.

"Jadi gini, aku ada acara. Dapet undangan dari temenku. Kamu bisa temenin aku? Acaranya siang ini jam satu." Aini menjelaskan maksud dirinya menelponku.

Sejujurnya, di siang itu aku ada pekerjaan lain. Harus menyelesaikan desain untuk postingan di Instagram @temanwakaf. Namun, karena sedang malas untuk membuat desain, aku menyanggupi ajakan si Aini, "Hoo, oke bisa!" kataku dengan penuh semangat. "Sebenarnya itu acara apa, dan siapa temanmu yang mengundang ke acara itu, Aini?"

"Oke, kamu coba lihat pesan WhatsApp yang baru saja aku kirimkan."
Aku kemudian membaca dengan cepat isi undangan tersebut. Acara itu bertempat di salah satu restoran yang ada di Palembang.

Relationship Party
Dear Aini and partner..
Undangan ini khusus untuk kamu dan pasanganmu. Aku punya ide dan gagasan menarik. Mari kita berkolaborasi membuat suatu gerakan dan perubahan baru untuk kemajuan di kota kita. 
Salam hangat,
Hamzah

Aku bertanya tanda tak faham, "Jadi, maksud acara Relationship Party ini apaan?"

"Aku juga tidak terlalu faham, mungkin temanku mau buat event atau komunitas atau bisnis baru kali. Aku ajak kamu sebab kamu kan punya bisnis yang sedang dikelola. Siapa tahu ada peluang baru atau bisa berkolaborasi dengan orang-orang di sana."

"Oh yaa, kamu benar juga Aini. Mungkin saja aku bertemu dengan orang yang bisa diajak mengembangkan Teman Wakaf yaa. Terus gimana?"

"Intinya, Hamzah meminta aku untuk datang ke Relationship Party dengan mengajak pasangan. Dan aku minta kamu seolah-olah jadi pacarku, Joe!"

"Haaahh!" aku terseru kaget.

"Iyaa, aku tidak mau kalau dipandang sebelah mata oleh teman-temanku nanti. Jadi, paling tidak aku dianggap udah punya pacar dong."

Aku bersungut-sungut tak percaya, sepenting itu kah mengajak seorang "pacar" ke acara itu. Padahal sebenarnya dia bisa datang sendiri. Tidak ada kewajiban mengajak pacar.

"Jangankan pura-pura menjadi pacarmu. Menjadi pacar yang asli, aku mau kok. Ehehe.." kataku sambil menggodanya.

"Apa? Enak aja, lu! Kan udah lama kita janji untuk tidak saling jatuh cinta. Kita kan selamanya tetap akan jadi bes-pren!" Aini berseru dalam percakapan telepon itu, seolah benar-benar tidak mau menjadi pacarku (?).

"Hahaa.. Ndak, lupakan." aku menyanggah jokes itu, padahal itu dari hati yang terdalam.
"Jadi, gimana? Bisa kan Joe? Pliss.. Nanti besok aku traktir deh."
"Emangnya sepenting apa kamu harus mengajak seorang "pacar" ke acara itu?"
"Joe, sebenarnya Hamzah, yang mengundang acara itu, adalah...."
"Siapa?"
"Dia mantanku, Joe!"

Telepon hening.
Pantas saja Aini ngebet untuk mengajakku agar seolah-olah jadi pacarnya. Seperti di sinetron saja, tidak mau terlihat buruk di depan mantan. Maka Aini "menyewa" aku untuk menjadi pacarnya. Aneh sekali.

"Kita bertemu dimana dan jam berapa?"
"Bagusnya dimana ya?"
"Gimana kalo kita ketemuan di masjid taman kota saja. Sekalian pura-pura hendak shalat Zhuhur di sana. Setelah itu, baru berangkat ke lokasi."
"Kenapa harus pura-pura shalat? Yaa kita shalat saja di sana, Kangg Mas Joeeee!"

Sambungan telepon telah berakhir, aku telah bersiap-siap untuk berangkat ke acara yang dimulai sekitar dua jam lagi.
Tak lama berselang, Aini kembali menghubungiku, kali ini melalui chat di WhatsApp.

"Joe, kamu pake baju apa? Biar aku bisa pilih baju yang senada denganmu untuk dipake ke acara nanti. Jangan dengan style yang biasa kamu kenakan. Baju kaus oblong plus jaket. Mana jaketnya adalah jaket organisasi kampus, ada logo Unsri lagi. Ga pantes untuk dipake ke acara itu."

"Waah, kamu nampaknya sudah sangat ma'rifat kepadaku yaa. Hahha. Aku beneran mau pake style seperti itu loh. Simpel. Kenapa ga boleh?" begitu balasanku terhadap chat dari Aini.

"Yaa, pokoknya jangan. Kamu jangan buat aku malu, Joe. Jangan pula malu-maluin. Arghhhgh."
"Kalo pake baju batik, boleh?"
"Kaku banget kek mau kondangan. Pake kemeja apa kek, kemeja yang lucu, ada?"
"Hoo, aku akan pake kemeja warna kuning dengan lengan panjang, kemudian pake celana bahan."
"Lah, itu style kayak kamu lagi kuliah. Itu mah kayak dosen. Aku tidak mau nanti dikira jalan sama bapac-bapac!"

Aku selalu salah di mata Aini. Tapi mungkin memang ada benarnya juga. Tidak hanya Aini yang berkata seperti itu, tetapi banyak teman yang bilang kalau style berpakaianku mirip Bapac dosen.

Aku kemudian masih di depan lemari pakaian, memilah dan memilih baju mana yang cocok aku kenakan. "Kalo kemeja yang ini gimana?" aku mengirimkan foto kemeja berlengan pendek yang berwarna abu-abu dengan sedikit tambahan aksen berwarna biru.

"Nah, cakep. Itu aja deh, semoga nanti pakaian kita cocok yaa." chat itu berakhir.

Aku tidak mau menjadi "pacar" yang buruk bagi Aini. Maka aku memilih pakaian yang terbaik.
Aku memilih celana termahal yang aku punya. Akhirnya aku putuskan menggunakan celana jins yang aku beli dua bulan lalu. Harganya dua ratus ribu rupiah, beli ketika ada diskon di Matahari yang awalnya seharga enam ratus ribu rupiah. Menarik, bukan. Wkwkkw.

Untuk alas kaki, awalnya aku hendak menggunakan sandal andalan yang sering aku pakai kemana-mana; sandal gunung. Namun, karena tidak mau membuat Aini kecewa dan malu, aku memilih menggunakan sepatu yang aku beli di marketplace saat event Reuni-212, eh bukan, flash sale 1212 maksudnya. Aku memakai sepatu seharga seratus lima puluh ribu rupiah (harga awal sebelum diskon adalah empat ratus ribu rupiah).

Skip skip...

Kami telah bertemu di masjid taman kota sesuai dengan kesepakatan. Aini ternyata menggunnakan baju yang berwarna sama denganku. Kami berdua sama-sama menggunakan pakaian dengan warna abu-abu. Dia mengenakan dari atas ke bawah, dari jilbab hingga rok dengan warna abu-abu. Aini tampak cantik sekali saat itu.
Kami sungguh sangat serasi. Seperti pasangan yang benar-benar hendak merencanakan pergi ke acara dengan warna pakaian yang kompak.

Lima belas menit kemudian, kami tiba di restoran yang dimaksud. Nampaknya, Hamzah adalah anak orang kaya sehingga mem-booking tempat seperti ini. Aku masih meraba-raba maksud dan tujuan Relationship Party hari ini.

Ternyata, di ruangan itu juga terputar lagu yang instrumen musiknya menurutku tidak asing. Setelah sepuluh detik berpikir, aku baru ingat. Lagu itu adalah lagu yang terdapat dari Drama Korea Start-Up. Dan aku juga baru ingat, Relationship Party adalah pesta yang Won (Seo) In Jae mengundang Seo Dal Mi, adiknya. Dan Seo Dal Mi mengajak Nam Do San dalam acara itu agar tidak diremehkan oleh kakaknya.
Apakah Seo Dal Mi adalah Aini, dan Nam Do San adalah aku? Entahlah..

Aku dan Aini telah duduk di meja yang telah tersedia. Selagi menunggu peserta lain yang belum datang, kami berbasa-basi dengan Hamzah.

"Hamzah, kenalin ini Joe. Dia.. ehm.. teman deketku." Aini memperkenalkanku sebagai "teman dekat" ke Hamzah si mantannya.

"Teman dekat?" Hamzah mendelik penasaran.

"Maksudnya kami sekarang pacaran!"

"Oh yaa, selamat yaa! Halo Joe. Salam kenal. Semoga setelah ini kita bisa berkolaborasi. Ngomong-ngomong, pakaian kalian cocok nih. Serasi."
Aku dan Aini hanya tersenyum. Hahaa.

Singkat cerita, pertemuan hari itu selesai. Tepat pukul setengah enam. Hamzah mengucapkan terima kasih telah datang.
Inti acara itu adalah, Hamzah sedang membuat bisnis baru, dia meminta masukan dan saran terhadap produknya. Dia juga mengajak apabila produknya telah launching, agar kami menjadi pelanggannya.

Hamzah selanjutnya mengantar kami sampai ke parkiran. Kali ini dia yang terkejut, "Kalian kenapa bawa motor sendiri-sendiri? Kenapa tidak berboncengan dengan satu motor saja? Kan kalian berpacaran!"

"Bukan mahram. Kami pacaran dengan sistem syariah, bro! Bukan yang konvensional. Haha," kataku sembarang.

***

Hari telah berganti, kali ini aku dan Aini telah berada di salah satu coffee shop yang ada di sudut kota. Aini berusaha menepati janjinya, namun kataku tidak usah repot-repot. Toh aku juga dapat manfaat dari acara kemarin. Bisa dapat teman baru, yang bisa jadi di masa depan menjadi relasi baru.
Karena aku sudah janji, maka harus ditepati, Joe! Katanya, kemarin dalam pesan di WhatsApp.

Pertemuan kami dimulai sebakda shalat Ashar, diakhiri menjelang waktu Maghrib. Hampir dua setengah jam duduk bercengkrama bersama. Tidak terasa, memang. Coba apabila waktu selama itu dipakai untuk kuliah, atau mennghadiri ceramah agama atau kajian kitab kuning. Pasti sangat melelahkan. Baru setengah jam saja, sudah mengantuk.

"Eh, Joe. Kalau aku boleh tebak, ini adalah pertama kali kamu nge-date dengan cewek, kan?"
"Haah? Maksudnya gimana?"
"Makan berdua sama cewek gini, aku pasti adalah orang pertama kan?"

Hening.
Aku berpikir sesaat.

"Kamu benar juga, Aini. Biasanya kita kalo ngumpul kan berlima. Haha."
Fyi, aku dan Aini punya geng persahabatan yang anggotanya lima orang. Tiga laki-laki dan dua perempuan.

"Astaga.."
"Kenapa, Aini?"
"Banyak cowok-cowok yang ketika aku ajak begini, mereka selalu bilang pertama kali "nge-date" nya pasti denganku. Kamu adalah cowok ke delapan, Joe."
"Hahaa, kamu telah merusak anak baik-baik sepertiku, Aini."
Aini tertawa, kemudian memukul tanganku seraya aku menikmati pukulan lembutnya.

"Aini, aku mau bilang sesuatu.." aku kembali memulai percakapan usai tragedi pemukulan.
"Yaa, ngomong aja Joe, ada apa?"
"Daripada kemarin aku jadi pacar bo'ongan, gimana kalo.. ehm, aku jadi pacarmu beneran?" aku berbicara dengan hati-hati.

Coba tebak apa responnya, Aini malah tertawa. "Haha, bisa aja kamu Joe."
"Hehe.." aku tertawa getir.

"Jadi gimana nih, diterima atau tidak? Ehehe.." aku masih mencoba berbicara dengan sangat hati-hati.

Aini tertawa lebih kencang, "Level jokes kamu hari ini sudah sangat meningkat, Joe! Keren banget. Lanjutkan!"

Aku di dalam hati bersungut-sungut kesal.
WOOY GUE INI BENERAN SERIUS. BUKAN LAGI NGELAWAK! -_-

Adzan Maghrib lima menit lagi berkumandang, kami bergegas pulang dari coffee shop. Aini menawariku untuk mampir sejenak ke rumahnya, sebab memang searah dengan jalanku pulang ke rumah. Aku awalnya menolak. Namun karena Aini terus memaksa, akhirnya luluh juga. Aku menebak-nebak, "permainan" seperti apa lagi yang hendak dia tawarkan di rumahnya.

Setelah shalat Maghrib di masjid dekat rumah Aini, aku kini disuguhkan minuman dan makanan ringan di rumahnya. Kembali sedikit berbincang, namun kini ada ibunya di sana.
"Buuk, ini si Joe. Temenku kuliah," kata Aini kepada ibunya. "Sudah berapa banyak teman cowokku yang aku ajak ke rumah yaa, buuk?" 

"Waah kalo itu, sudah banyak sekali." ibunya menjawab sekenanya saja.

Aku mengerti arah pembicaraan itu. Itu sama saja dengan.. Heyy, Joe. Kamu tidak spesial kok. Biasa saja, jadi jangan ngarep!


Malam yang gelap kembali datang, dingin kembali menyelinap. Seorang Joe masih sama seperti malam-malam sebelumnya. Ia kembali gagal untuk memulai hubungan yang agak "serius".
Seorang Kangg Mas Joe, sampai hari ini tetaplah menjadi Kangg Mas Joe-mblo!
 
A’udzubillahi minasy syaythaanir rajiim.
Bismillahir rahmaanir rahiim.
Alhamdulillahir rabbil ‘alamiin.
Hamdan syakirin.
Hamdan, eeehm, eehm, eehm...
 
Untaian kalimat di atas adalah penggalan doa yang aku bacakan ketika dalam acara Khatam Al-Quran.
Untuk kamu yang belum tahu, Khatam Al-Quran adalah peristiwa ketika kita telah menamatkan dalam pembacaan Al-Quran 30 juz. Namun, kata guruku, adalah tidak tepat ketika kita menggunakan istilah “tamat” dalam baca Al-Quran. Kenapa? Kalau “tamat”, berarti sudah selesai. Tidak akan dibaca lagi setelah tamat. Maka, digunakanlah istilah “khatam”, berarti ketika selesai dibaca 30 juz, A-Quran kembali dibaca dari awal juz pertama.
 
Sekolahku mewajibkan para siswanya untuk selalu membaca Al-Quran di pagi hari, lima belas menit sebelum masuk. Pukul 06.45 hingga pukul 07.00. Jadi, setiap siswa di kelas akan membaca Al-Quran bersama-sama. Kalau kamu datang ke sekolahku di jam segitu, pasti di tiap-tiap kelas terdengar gaungan para siswa membaca Al-Quran.
Sungguh islamisasi yang sangat baik di sekolah negeri. *eh
 
Dengan begitu, normalnya para siswa di suatu kelas akan bisa khatam satu kali dalam setahun, alias tiga kali dalam masa sekolahnya. Qodarullah, karena kelas kami paling kece di antara kelas lain. Kami bisa mengkhatamkannya empat kali, melebihi ekspetasi guru-guru di sekolah. Berbangga dikit boleh lah yaa! WQWKQK.
 
Biasanya, ketika hendak Khataman setiap kelas akan mengadakan semacam Syukuran di Mushallah sekolah. Kami akan membaca beberapa surat di akhir juz 30, kemudian dzikir dan doa bersama. Tak lupa, kegiatan ini juga diikuti oleh guru agama, wali kelas, dan beberapa guru lain. Kemudian akan ada kata sambutan dan wejangan dari mereka agar kami terus membaca Al-Quran walaupun sudah tamat dari sekolah.
(Benar kan “tamat”, bukan “khatam”. Yakali selesai kelas tiga, aku harus mengulang ke kelas satu lagi, wkwk)
 
Oh yaa, satu lagi. Ini bisa menjadi “ladang bisnis” bagi anak Rohis. Kenapa? Karena acara ini pasti mengajak anak Rohis untuk memimpin acara itu. Dan sudah barang tentu, acara ini akan ada snack berupa kue-kue dan makan siang dalam bentuk nasi kotak. Anak Rohis sangat senang jika ada Khataman. Lumayan, bisa dapat kue dan makan siang gratis, hehehe.
Dan tahukah kamu, salah satu anak Rohis yang memanfaatkan “ladang bisnis” itu adalah.. Aku. Hal ini sangat menarik karena aku dapat menghemat uang jajan dan bisa makan enak.
 
Dari puluhan kali menjadi panitia Khataman, ini adalah salah satu kisah yang tak terlupakan. Kisah ini terjadi ketika aku duduk di kelas sebelas, semasa sekolah menengah atas, tujuh tahun lalu. Aku menjadi panitia untuk Khataman kelas IPS. Saat itu, aku tidak memikirkan nasi ayam panggang spesial yang akan diterima. Melainkan, aku memikirkan spesial yang lain yang ada di kelas sebelah. Si doi adalah murid kelas sebelah. Ini yang aku maksud spesial. *ups
 
Ketika menjadi panitia Khataman, aku biasa mengisi posisi sebagai pembaca Al-Quran. Satu kali pun, aku tidak mau mengisi posisi lain seperti pembaca doa atau pemimpin dzikir bersama. Sebab, sehari-hari aku tidak terbiasa melakukanya. Adalah wajar karena cara aku beribadah lebih condong dengan Muhammadiyah, tidak condong ke cara NU. You know lah, dzikir dan doa bersama adalah kebiasaan orang-orang NU.
 
“Doo, nanti aku saja ya yang baca Al-Quran. Kamu baca doa aja!” Tiba-tiba temanku bilang ketika kami sudah di Mushallah.
 
“Eh, jangan. Aku aja baca Al-Quran, seperti biasa. Kamu yang baca doa atau pimpin dzikir saja!” Aku menolak ajakan temanku.
 
“Waah, jangan Doo. Aku belum hafal kalo disuruh pimpin doa. Kamu kan sudah hafal, kamu saja!” Temanku tetap berusaha memintaku untuk menjadi pembaca doa.
 
“Iya, aku emang udah hafal. Tapi belum pernah pengalaman, aku tidak berani, nanti salah.” Aku masih menyanggah.
 
“Udahlah, kamu aja Doo. Kamu sudah hafal, aku belum. Fiks, posisi kamu lebih kuat dariku untuk baca doa!”
 
Aku pasrah. Perdebatan ini dimenangkan oleh temanku. Niat untuk tampil baca Al-Quran, agar dikira keren di depan si doi gagal seketika. Aku harap-harap cemas. Takut-takut salah dalam membaca doa yang sudah aku hafalkan sejak dua pekan lalu.
 
Akhirnya, pembacaan Al-Quran dan dzikir bersama usai. Kini tiba saatnya untuk pembacaan doa. Microphone telah diserahkan kepadaku. Dengan sedikit gugup aku memulai doa itu. Hingga baru beberapa kalimat, suaraku tercekat. Ehm, ehm, ehm...
Aku menoleh kepada guru agama yang duduk takzim tak jauh dariku. Kontak mata terjadi di antara kami. Belio seolah faham kalau aku sedang butuh bantuan.
 
“Hamdan na’imin” Kata guruku, melanjutkan kalimat doaku yang terputus.
 
Aku ulangi kata-kata Pak Guru, “Hamdan na’imin, hamdan ehm, ehm, ehm...” Aku masih lupa apa kelanjutannya.
 
Aku kembali menoleh ke Pak Guru, beliau memberikan kode apa yang harus aku baca selanjutnya. Namun, aku tidak mengerti gerakan komat-kamit mulutnya. Setelah satu Mushallah hening selama sepuluh detik, aku putuskan untuk langsung menutup doa itu dengan doa sapu jagat alias doa keselamatan dunia dan akhirat.
 
“Rabbanaa aatina fid dunya hasanah, wa fil akhirati hasanah, wa qiina ‘adzaban naar. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin.” Doa yang harusnya lima menit, aku pangkas menjadi satu menit saja. Sungguh menakjubkan, bukan!
 
“Dengan berakhirnya doa, berakhir pula acara kita hari ini. Saya selaku pembawa acara...” Pembawa acara Khataman hendak menutup acara itu, namun dicegat oleh Pak Guru Agama.
 
“Nanti dulu, jangan ditutup. Pak mau ngomong sebentar, sini pinjam microphone-nya!” Kata beliau, aku sudah cemas mendengar itu.
 
“Kamu siswa kelas mana?”
 
“Saya anak IPA-1, pak.” Aku menjawab dengan sopan, aku heran dengan Pak Guru, padahal beliau kenal denganku. Kenapa malah bertanya seperti itu.
 
“Kan kalian anak Rohis sudah biasa memimpin doa seperti ini. Kenapa kamu tidak hafal?” Guruku mencecarku, di depan murid-murid yang menjadi peserta Khataman. Ditambah lagi, Pak Guru memarahiku di depan si doi. Hancur sudah reputasiku selama ini.
 
“Saya sudah hafal, Pak. Tapi kan biasanya saya baca Al-Quran, bukan baca doa. Ini adalah kali pertama saya membaca doa. Saya tadi agak gugup, Pak!” Aku masih membela diri.
 
“Anak-anak dan bapak ibu guru sekalian. Inilah contoh murid yang kurang ajar. Saya tahu, dia ini ketika ada kajian taklim di sekolah, bukannya memerhatikan isi kajian. Malahan sibuk main hape. Dikasih tugas hafalan, tidak dikerjakan. Anak-anakku sekalian, jangan kalian tiru murid seperti ini!” Pak Guru seolah membuka aibku di depan teman-teman yang lain.
 
Aku betul-betul kesal dan malu saat itu. Coba kamu bayangkan, gimana rasanya dipermalukan di depan umum seperti itu. Karena aku murid yang baik, aku diam saja. Aku masih memandang beliau sebagai guru, aku takut kualat. Kalau tidak, bisa saja orang itu aku labrak balik.
 
Akhirnya, acara Khataman itu benar-benar selesai. Seluruh siswa telah keluar dari Mushallah, kecuali Pak Guru, aku dan beberapa teman anggota Rohis lain. Kami masih harus merapikan Mushallah yang baru saja selesai dipakai. Teman-temanku mengambalikan Al-Quran ke rak-rak buku. Aku dan Pak Guru masih duduk diam saja.
 
“Doo, kenapa kamu tadi tidak hafal? Sudahlah, tidak usah bohong. Pak tahu!” Pak Guru memecah keheningan.
 
“Dasar guru kampret, tadi di depan teman-teman pura-pura tidak kenal. Dasar guru tua bangka, niat sekali mau mempermalukanku!” Aku hanya bergumam di dalam hati. Tidak mungkin kata-kata sumpah serapah seperti ini aku keluarkan.
 
“Eh, iya Pak. Maafkan saya.” Wajahku tertunduk, pura-pura malu.
 
“Bapak mau menyampaikan pikiran, bisa benar bisa salah. Kamu tadi gugup karena salah satu murid yang duduk di sana, katanya sedang dekat denganmu. Betul kan? Pak tahu, intel bapak berkeliaran dimana-mana. Haha.”
 
Aku langsung terkejut, tau darimana Pak Guru akan hal itu. Aku masih diam saja.
 
“Sudahlah, masalah seperti itu tidak usah kamu pikirkan. Buang jauh-jauh perempuan itu dalam hati dan pikiranmu. Apalagi kini, kamu pengen tampil di depan agar dilihat perempuan itu. Harapanmu setelah acara ini pasti agar dikira keren oleh perempuan itu. Nyatanya, kamu malah dipermalukan oleh dirimu sendiri. Niatmu sudah salah dari awal, Doo!” Pak Guru menasihatiku dengan bijak, aku masih menyimak dengan seksama.
 
“Kalau kamu ingat, kajian di awal semester yang Pak sampaikan kepada kalian. Hadits nomor pertama dari Kitab Hadits Arba’in, karya Imam Nawawi. Kenapa hadits ini diletakkan pertama, karena saking penting kandungan isinya. Diriwayatkan dari Amirul Mukminin, Umar bin Khaththab. Sesungguhnya, setiap perbuatan tergantung kepada niatnya. Dan sesungguhnya, setiap orang akan dibalas dari apa yang menjadi niatnya. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijjrahnya adalah karena Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena harta dunia, atau karena wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya akan bernilai sebagaimana yang diniatkannya.” Beliau melanjutkan dengan penjelasan suatu hadits.
 
“Astaghfirullah..” Aku bergumam dalam hati.
 
“Nih, Doo. Dengerin. Nabi sudah dari 14 abad yang lalu menyinggung akan hal ini. Niat hijrah jangan karena wanita, luruskan niatmu. Berbuat baiklah untuk mengharap ridha Allah saja. Kalo yang kamu harapkan adalah wanita, yaa belum tentu dapet. Pak ulang sekali lagi, kalo kamu mengharap ridha Allah, yang lain sudah pasti aman. Sudah ya, Doo. Pak mau masuk ke kelas dulu, lima menit lagi ada jadwal ngajar ke kelas IPA-2.”
 
“Baik, pak. Terima kasih atas wejangannya.”
 
***
 
Selepas kejadian itu, aku mulai melupakan si doi. Aku mulai fokus belajar dan terus berbuat baik dengan mengharap ridha Allah saja.
Kami memilih jalur hidup masing-masing. Info yang aku dapat, doi merantau ke Pulau Kalimantan, diterima di Fakultas Kedokteran di salah satu universitas negeri yang ada di Pontianak. Sedangkan aku, memilih kampus yang dekat. Simpelnya, kami lost contact.
 
Singkat cerita, selepas kuliah aku telah diterima bekerja di Kota Pontianak. Saat itu, aku sedang duduk santai bersama beberapa teman di salah satu coffee shop yang ada di kota itu.
 
Ketika tengah asyik berbincang, seseorang yang tidak asing bagiku masuk. Orang itu adalah si doi.
 
“Hey, apa kabar? Waah tidak menyangka kita bertemu di sini ya. Sudah lama tidak berjumpa.” Aku mulai menyapanya.
 
“Eh, iya Doo. Sudah lama sekali ya. Kamu ternyata merantau ke kota ini juga, ya?” Kata si doi.
 
“Iyaa, baru bulan lalu diterima di pabrik yang ada di sini. Kamu sendirian aja nih ke sini? Kebetulan sekali yah bisa bertemu setelah sekian lama. Jangan-jangan semesta bekerja, ehehe.”
 
“Tidak, Doo. Aku ke sini bersama suami. Baru dua pekan lalu kami menikah, kenalin Doo. Ini suamiku. Bang, sinii cepetan!” Suaminya bertubuh tinggi besar, bergegas turun dari mobilnya.
 
“Kenalin bang, ini Dodoo. Teman satu SMA dulu, ini looh. Ketua Rohis yang semalam aku ceritain. Semesta beneran bekerja yaa, baru aja semalem kita omongin. Eh hari ini malahan ketemu di sini.” Kata si doi kepada suaminya. Aku melongo mendengar perkataan itu.
 
“Waah, senang sekali bisa berjumpa di sini. Salam kenal ya mas Dodoo. Jadi gimana, udah hafal kah doa Khataman-nya? Hehhe.” Aku kembali melongo.
 
Tujuh tahun telah berlalu, wejangan dari Pak Guru masih terngiang hingga hari ini. Ucapan belio terbukti. Wanita yang aku harapkan, benar-benar tidak aku dapatkan.
Sudahlah, yang paling benar memang hanya mengharap ridha Allah saja, jangan mengharapkan yang lain. Nanti bakal kecewa!
 
Cerita ini hanya fiksi!  :)


Kling klong..

Ponselku berdering, tanda ada pesan masuk dari aplikasi WhatsApp. Apabila aku lihat, ternyata pesan tersebut berasal dari my girl friend. Ia bertanya sesuatu.

"Assalamu'alaykum. Doo, kamu punya kontak ustadz yang faham mengenai fiqih syariah, ndak?"

Aku dengan sigap langsung membalas, takut membuat ia kecewa, "Wa'alaykumussalam. Yaa, ada. Ini kontaknya."
Aku mengirim dua kontak ustadz lulusan Universitas Al-Azhar Cairo Mesir. Sebut saja Ustadz Ahmad dan Ustadz Idrus (bukan nama sebenarnya).

"Kamu dong yang tanyain ke ustadz, kan sesama laki-laki. Aku ndak enak. Ehehee." My girl friend membalas pesanku.

"Eh, emang mau tanya apa? Aku juga tidak kenal sama mereka sih."

"Jadi gini, Doo. Aku kan sedang interview kerja di salah satu perusahaan swasta." Dia mulai menjelaskan.

"Waah, selamat yaa!" Kataku.

"Tolong tanyakan pertanyaannya seperti ini. Kalau kita bekerja di suatu perusahaan teknologi, dan kita ditugaskan menjadi teknisi di bank. Kerjaannya halal atau ndak, yaa?"

"Hemm.."

"Maksudnya gini, Doo. Misal aku kerja nih di Perusahaan X, kemudian Perusahaan X diminta oleh Bank Y untuk memperbaiki sistem pada bank mereka. Itu kan sama saja aku mendapat uang dari bank. Aku ndak mau lah menerima uang haram."

"Kok bisa haram?" Aku bertanya penasaran.

Dia menjawab dengan dalil Al-Quran, "Iya, jelas haram. Di bank kan ada bunga. Bunga merupakan riba. MUI telah berfatwa bahwa bunga dalam bank adalah riba, dan itu adalah haram hukumnya. Kita bisa lihat di Al-Quran surat Al-Baqarah, ayat 275 ... Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba ..."

"Oke, siapp bu bos. Nanti akan aku tanyakan. Tapi tidak dengan kedua ustadz yang tadi, aku tidak kenal. Aku tanyakan dengan guru yang lain yaa."

"Syukran!"
 (terima kasih)

"Oke, 'afwan!"
(sama-sama)

Obrolanku usai dengan my girl friend, alias teman perempuanku. Yaa, my girl friend di sini bukan pacar.
Aku adalah seorang jomlo! Hiksss :((
Fyi, aku punya sebelas girl friend dari program studi di kampusku. Sedangkan untuk boy friend, aku punya sekitar empat puluh orang.
Sungguh informasi nir-faedah!

   Baca juga dong;
  • Perempuan Open-Minded
  • Jadi Kita Sekarang Gimana?
  • Pembatasan Sosial, Aku dan Kamu. Sebuah Auto Kritik?

Aku kemudian menghubungi guru-guruku. Pertama, aku menghubungi Bang Fatih. Beliau guru ngaji-ku ketika SMA. Walaupun sekarang aku sudah tidak lagi ngaji ke beliau, hubungan kami masih tetap baik.

Beliau menjawab pertanyaanku,
"Yang memberi gaji dari bank atau perusahaan? Kalau digaji oleh perusahaan, insyaa Allah halal. Karena tugas itu baik dan bukan kriminal. Kalaupun yang memberi gaji adalah dari pihak bank, itu bukan untuk maksiat, tetapi kemaslahatan. Itu pun sebagian ulama membolehkan karena kita mengambil upah sebagai karyawan. Walaupun, di sisi lain sebagian ulama tetap mengharamkan menerima gaji dari bank."

Bang Fatih melanjutkan, "Coba kamu tanya ke Ustadz Ahmad juga. Siapa tahu dia bisa memberikan jawaban yang lebih memuaskan."
Ustadz Ahmad adalah ustadz yang kontaknya tadi aku berikan ke my girl friend.

"Terima kasih banyak, bang."

"Kamu diterima kerja di perusahaan itu?" Bang Fatih kini bertanya kepadaku.

"Eh, tidak bang. Itu temen yang bertanya kepadaku."

Percakapan selesai.
Selanjutnya, aku bertanya kepada adik tingkatku di kampus. Setahuku, dia sering ikut pengajian Habaib.

"Dek, tolong tanyain ke Habib dong!" Aku mengirimnya pesan.

"Tanya apa, mas?" Si adik tingkat membalas pesanku, walaupun setelah satu jam. Dasar slow respon.

Setelah satu jam lagi aku menunggu, adik tingkat itu mengirimku pesan forward dari sang Habib, "Tidak termasuk haram kerjaan seperti itu. Yang haram itu kalau bekerja yang langsung berkaitan dengan riba."

Aku mengucapkan terima kasih.

Terakhir, aku menghubungi Ustadz Egi (bukan nama sebenarnya).
Aku saat ini rutin mengaji dengan beliau sepekan sekali. Jadi, selepas SMA ketika masuk kuliah, aku pindah pengajian. Dari Bang Fatih ke Ustadz Egi.
Sama seperti sebelumnya, isi chat dari girl friend langsung aku copy ke Ustadz Egi, mentah-mentah.

Beliau menjawab, "Wlkmslm. Halal, tapi ada batasannya. Kamu harus mencari atau melamar pekerjaan lain, dan kalau sudah diterima di tempat lain yang lebih jelas, segera tinggalkan pekerjaan yang lama."

Aku membalas chat sang ustadz, mengucapkan terimakasih. Kemudian, aku bertanya perihal jadwal pengajian rutin kami, "Jadi, besok malam kita tetap ngaji seperti biasa ya pak?"

"Gimana kalo kita makan-makan? Pengajian daring menggunakan Zoom kita tunda dulu untuk pekan ini." Jawab sang ustadz, diakhiri dengan emoticon ketawa.
Oh ya, di masa pandemi ini kami tetap melakukan pengajian, tetapi online. Kami sudah lima bulan mengaji dengan tidak bertatap muka.

"Eh, boleh pak. Dimana? Ehehe.." Aku menjawab dengan mengikuti gaya sang ustadz, aku mengakhiri dengan emoticon ketawa juga.

"Terserah kalian saja, silahkan diskusikan dengan teman-teman."

"Baik, pak. Terima kasih banyak."

"Oh ya, nanti uangmu cukup atau tidak? Kalau tidak cukup, nanti akan saya tambahin kekurangannya."

"Eeeeh, iya pak. Siap."

Percakapan kami di WhatsApp berakhir.
Aku merasa ada yang tidak beres. Otakku mencoba menganalisis, tujuh belas detik kemudian aku mendapat kesimpulan.
Ahha!

Kesimpulan pertama, karena sekarang sudah masuk fase new normal. Kami tidak lagi mengaji melalui daring. Maka, untuk merayakan berhentinya pengajian daring, dimulai dengan makan bersama. Prediksiku, pekan depan kami telah akan mengaji dengan tatap muka seperti biasa. Seperti sebelum ada pandemi.

Kesimpulan kedua, sang ustadz mengira bahwa aku baru saja diterima kerja. Dan makan-makan bersama adalah cara untuk merayakan ini. Kemungkinan besar aku yang akan menanggung biaya makan dengan teman-teman. Jika uangku kurang, sang ustadz akan menutupi kekurangan itu.
Sepertinya, kesimpulan kedua adalah tepat, alias... MAMPUS GUE GA PUNYA DUIT!

Aku langsung memberi kabar ke teman-teman pengajianku di grup WhatsApp.
By the way, kami punya dua grup. Grup pertama, ada sang ustadz di dalamnya. Sedangkan grup kedua, tidak ada ustadz di situ. Sudah barang tentu kami sering berkomunikasi di grup yang tidak ada ustadznya, ehehehe.
(Maafkan muridmu, tadz. Semoga ustadz tidak baca blog ini. Hiihihi)

"Teman-teman semua, besok malam kita ngaji-nya tidak daring lagi. Kita diajak ustadz makan-makan ke restoran ********. Harap datang, yaa!" Aku memberi kabar ke teman-teman di grup.

"Kita tidak ngaji online lagi, Doo?" Seorang teman bertanya.

Aku jawab, "Mungkin tidak lagi. Sepertinya, pekan depan sudah normal. Kembali bertatap muka seperti biasa. New normal."

"Siapa yang bayar nih?" Teman yang lain ikut bertanya.
Yaa, pertanyaan ini cukup penting, mengingat kami mayoritas di grup itu adalah pengangguran, baru wisuda beberapa bulan yang lalu. Ada juga yang wisudanya tertunda (atau, ditiadakan?) kerana Corona. Ada juga yang masih mengerjakan skripsi.
Kami semua masih missqueen.

Aku menjawab dengan gamblang, "Kita nanti bawa duit aja sendiri-sendiri. Tapi, katanya sih ustadz bakal nambahin."

***

Esok hari, jam delapan malam. Aku dan enam orang boy friend sudah berada di restoran yang disepakati. Aku memesan paket menu yang paling murah saat itu, nasi dengan lele goreng dan es teh. Harganya Rp 13.500. Teman-temanku yang lain memesan makanan yang lebih mahal, nasi ayam panggal Rp 20.000, ditambah jus alpukat Rp 16.000. Totalnya, Rp 36.000 untuk sekali makan satu orang.
Dompetku menangis, uang makan mereka masih lebih besar daripada uang jajan yang ibuku berikan dalam tiga hari. Wkwkwk.

Kami makan seperti biasa, tidak ada yang aneh. Kemudian, sambil berbincang-bincang, salah seorang teman bertanya.
"Jadi pekan depan kita kembali ngaji tatap muka, tadz?" 

Ustadz Egi menjawab, "Tidak, pekan depan kita kembali menggunakan Zoom. Untuk pekan ini saja kita makan-makan di luar."

"Jadi, dalam rangka apa kita makan-makan di sini, tadz? Aku kira ini karena kita hendak ngaji lagi tatap muka. Karena new normal."

"Dodoo tidak memberi tahu kalian kah? Bukanya makan-makan ini karena syukuran dia yang baru diterima kerja." Ustadz Egi memberi penjelasan yang membuat kami semua terkejut.

"Haaah?!" Aku tersedak.

Ustadz Egi tidak mau kalah, "Haaah?"

Kami berdua saling ber-hah-hah.

"Eh, maaf pak. Saya belum diterima kerja kok. Hehee." Aku menjelaskan. Renungan aku kemarin, terbukti.

"Lha, bukannya kamu kemarin bilang bahwa diterima di perusahaan teknisi untuk Bank?"

"Bukan, pak. Itu temanku yang bertanya. Dia mau kerja di sana, tapi ragu takut terkena dosa riba. Jadi, pertanyaan itu akun tanyakan ke bapak."

"Jadi kamu sekarang?"

"Masih menganggur, pak. Mohon doanya agar segera dapat kerja. Ehehehe." Aku menjawab dengan polos.

GUBRAKK

Makan malam kali itu berakhir tepat jam sembilan. Akhirnya, seluruh makanan malam itu ditraktir oleh ustadz.
Aku menyesal.. kenapa pilih makan yang termurah. Seharusnya aku bisa memesan makanan yang lebih mahal.
Hahahaa!



Cerita ini adalah nyata, namun ditambah sedikit bumbu penyedap agar lebih terkesan dramatis.





Namanya Clara. Kami merupakan rekan kerja di kantor. Kami bekerja di salah satu perusahaan swasta di kota Depok, Jawa Barat. Aku pertama kali bertemu ketika tengah berada di dalam bus Trans Jakarta. Ah, Trans Jakarta juga tidak hanya melayani rute dalam Provinsi DKI Jakarta saja. Bus ini juga beroperasi di daerah sekitarnya termasuk Depok.

Aku telah duduk manis di dalam bus sambil mendengar musik yang diputar. Saat itu, pengeras suara di dalam bus memainkan lagu Selow milik Via Vallen. Tiga halte kemudian, ada seorang naik ke dalam bus. Aku tidak terlalu peduli. Dan ketika bus Trans Jakarta yang aku tumpangi telah tiba di halte yang aku tuju. Aku turun, demikian pula dengan perempuan itu. Kami kemudian berjalan bersama, masuk ke gedung yang sama. Namun tanpa bertegur sapa.

Hingga pada hari ke sepuluh. Akhirnya dia yang memecah keheningan. Kebetulan, saat itu bangku yang berada di sebelahku kosong. Perempuan itu langsung duduk di sebelahku.

"Gue boleh duduk sini, mas?" Ujarnya basa-basi.

Jelas saja boleh karena bangku itu kosong. Yang tidak boleh itu, kalau perempuan itu duduk di atas pangkuanku. Itu bisa berbahaya dan mengakibatkan hal-hal yang diinginkan. Hiihi..

Aku menjawab, "Aah, iya. Silahkan, mbak." diakhiri dengan senyuman terbaik yang aku berikan.

"Gue tau, lo pasti kenal sama gue. Dan gue juga tau siapa nama lo." Perempuan itu langsung berbicara bak harimau yang hendak menerkam mangsa.

"Eh, nama mbaknya Clara, kan. Kalau nama saya Dodoo. Kita kan bekerja di satu kantor. Toh, kita turun bareng dari bus ini. Maafkan saya yang tidak pernah menyapa mbak sebelumnya."

"Udah, biasa aja. Eh, lo dari divisi apaan? Kita emang satu kantor tapi kan ketika naik ke lift beda tujuan. Gue dari divisi Marketing."

Karena dia menggunakan lo-gue, aku mencoba juga berbicara dengan bahasa seperti itu, ditambah campur-campur menggunakan Bahasa Inggris. Biar dikira keren. Di daerah Jabodetabek, orang-orang berkomunikasi jarang menggunakan aku-kamu. Katanya, itu sering digunakan untuk orang yang saling memadu kasih alias pacaran. Takutnya, si mbak malah jadi baper.

"Well, gue adalah Engineer di divisi Teknik. Baru keterima di sini sepuluh hari yang lalu, mbak."

Karena aku adalah orang Jawa yang berbicara agak medhok, maka menjadi lucu dengan berbicara seperti itu. Jadinya seperti.. ghu-whe.

"Gak usah panggil mbak. Panggil nama aja. Clara. Gitu doang, cukup."

Begitu awal mula aku mengenal Clara, si perempuan aneh.
Clara adalah seorang yang cukup cantik dan manis. Badanya sangat wangi seperti baru selesai mandi. Aku tidak tahu, parfum apa yang ia gunakan. Awetnya sampai sore. Wajahnya putih bersih, hidungnya kecil, matanya tajam berwarna hitam kecokelatan. Rambutnya berwarna pirang, diikat sebahu. Aku tidak yakin rambut itu asli pirang, tidak mungkin dia seeorang bule. Pasti itu menggunakan pewarna.

Kenapa aku bilang Clara adalah perempuan aneh?
Karena bagiku, ia perempuan yang beda dari kebanyakan yang tinggal di kota besar. Katanya, dia tidak pernah dugem alias clubbing, tidak pernah minum alkohol, dan belum pernah pacaran. Padahal, dengan paras yang menawan dan bodi yang aduhai seperti itu, sudah barang tentu mudah baginya untuk mencari pasangan.
Sungguh berbanding terbalik dengan teman-teman kantorku yang lain, seperti si Bunga atau si Mawar. Mereka seperti biasa-biasa saja datang ke clubbing. Aku mengetahui ini dari insta story mereka.

"Sejauh ini belum ada yang cocok sama gue, Doo." Ujar Clara suatu saat di dalam bus Trans Jakarta sepulang kerja. By the way, kami menjadi selalu pulang bareng dan duduk sebelahan usai kejadian itu.

"Kok bisa gitu?" Aku pura-pura antusias, padahal tengah mengagumi indahnya ciptaan Tuhan.

"Yaa, belum cocok aja. Gue masih belum sreg sama orang-orang yang ngedeketin gue. Si Adit perokok. Kalo Paijo hobinya mabok. Ga ada yang bener."

"Hemm.." Aku masih terus memerhatikan wajah manisnya.

"Woyy, Doo! Istighfar. Lo lagi mikirin apaan? Gue tau, lo dari tadi merhatiin wajah gue. Inget, di dalam agama lo kan disuruh jaga pandangan. Kalo ga salah dalilnya Surat An-Nur ayat 30 yaa."

Aku tersadar dari fantasiku.

Yaa, begitulah Clara, lagi-lagi keanehannya muncul. Ia tahu beberapa dalil dari ayat Al-Quran, padalah dia seorang non-muslim. Berbeda dengan kita yang muslim namun banyak tidak tahu dalil apapaun. Hiksss :((

"Doo, lo tau gak. Gue sebenernya suka saama lo. Dan gue juga tau. Lo suka sama gue, haha!" Tanpa tedeng aling-aling, Clara berbicara kepadaku di bus. Saat itu kami hendak berangkat kerja di pagi hari. Ucapannya membuatku gagal fokus di kantor sepanjang hari.

"Ghhu-whhe ssu-khha sha-ma lhhoo?" Aku berbicara sedikit gugup, terkejut. Dan sudah barang tentu, logat Jawaku kembali keluar.

"Udaah, woles ajee. Gue tau kok, kita gak mungkin bisa menikah. Kan agama lo melarang nikah beda agama. Eh, bahkan kita pacaran aja gak boleh yaa?"

Aku masih diam saja.

"Gak usah gugup, woy! Gue suka sama lo sebagai temen. Ga usah baper. Kita gak bakal bisa menikah. Lo enak diajak diskusi, apalagi soal agama, walaupun gue tau. Lo bukan penganut agama yang taat. Hahhaa."

"Enak aja, gini-gini gue shalat lima waktu gak pernah tinggal, kok!"

"Bisa aja, lo! Haha." Clara tertawa sambil menyubit gemas lenganku. Awalnya aku hendak bilang bahwa aku dilarang bersentuhan dengan perempuan yang bukan mahram. Namun aku biarkan, karena menikmatinya. WKWKWKWK.

WOY TOBAT WOY, TOBAT!

   Baca juga dong;
  • Write "hi" and I will Post Something about You!
  • Jadi Kita Sekarang Gimana?
  • Serial Perjalanan KKL

Suatu hari, di dalam kedai kopi Starbaks di malam minggu. Kami pergi berdua, nampaknya aku terperangkap friendzone beda agama. Obrolan kami nampak seru.

"Doo, aku sebenernya kasihan sama perempuan dari agama lo."

"Kenapa gitu?"

"Kalo kita lihat di sini, yang sering clubbing, dugem, yang sering pake pakaian ketat, hingga open BO. Itu mayoritas dari umat lo."

"Hemm.. Iya juga, ya."

"Jangan iya-iya aja. Kasih solusi dong. Umat agama lo, yang gue lihat udah banyak yang kek kehilangan jati diri. Kalian pake jilbab di masjid doang. Pulang dari sono, lepas lagi."

"Biarin, namanya juga proses."

"Harusnya lo dakwahin mereka!"

"HEEH! Mana bisa gitu! Gini aja, lo aja yang dakwahin mereka. Kan yang gue lihat pakaian lo, jujur, lebih sopan daripada mereka. Pakaian lo tertutup dari atas ampe bawah, longgar, celana lo ga ketat. Lekuk tubuh juga ga nampak. Cuma satu yang kurang, sih dari pakaian lo."

"Apaan?" Clara bertanya penasaran.

"Lo ga pake jilbab, wakakwak." Aku tertawa, namun segera tersadar jokes tersebut menurutku kurang sopan sebab ia seorang non-muslim.

Lagi-lagi, Clara mencubitku. Aku masih diam saja di-grepe seperti itu.
"Geblek, lu! Haahaa. Eh, tapi gimana kalo gue beneran pake jilbab, terus gue jadi ehm, muallaf. Apa lo jadi tambah suka sama gue?"

Aku tersedak mendengar pertanyaan Clara. Lagi-lagi, gadis ini benar-benar aneh.

"Terus kita bisa menikah, Doo. Lo dan gue bisa membangun peradaban Islami yang lo idam-idamkan." Clara melanjutkan celotehannya.

Aku kembali tersedak. Es kopi yang hendak aku minum, tumpah.

"HAHAHHAA. LO TERSEDAK DUA KALI. ARTINYA LO BENERAN SUKA SAMA GUE." Clara sangat girang, seolah telah membunuh raja terakhir dalam sebuah game.

"Well, kita ga tau masa depan. Gue sih ga berharap gitu. Gue ga memaksa lo masuk Islam kok. Gue hanya pengen berteman sama lo. Yang gue suka sama lo, lo itu orangnya open-minded yang benar." Obrolan kali ini menjadi serius. Aku berbicara dengan sedikit sok berwibawa.

"Maksudnya gimana tuh open-minded yang benar?"

Clara mencondongkan badannya menjadi lebih dekat denganku daripada sebelumnnya, tanda ia tertarik dengan topik pembicaraan.
Jika Clara menjauhkan badannya dan sering membuka hape, tanda ia tidak tertarik dengan topik obrolan.
Jika Clara berada di lantai -  tidak berada di kursi yang seharusnya - itu berarti ia sedang terjatuh.

"Open-minded yang sering berisik di Twitter itu sesat. Inti ocehan mereka adalah malas beribadah, anti agama, memperolok-olok agama, pengennya mabok, minum alkohol, hidup bebas, dan cuma pendapat mereka yang benar. Lha, elo yang gue kenal ini beda. Open-minded dalam pikiran lo adalah menghargai toleransi, tidak men-judge orang berusaha taat dalam beragama, dan hal-hal positif lainnya." Aku menjelaskan opiniku.

Clara menyimak dengan seksama.

Aku melanjutkan, "Oh yaa, satu lagi. Lo ga pernah bilang kalo agama gue teroris. Beda sama temen-temen lo yang ngaku open-minded, cuma berani bilang agama gue yang teroris. Nyatanya, di dunia ini orang-orang agama gue lah yang sering tertindas. Orang-orang Uighur, Rohingya, Gaza, dan belahan bumi lainnya."

"Jadi, itu yang membuat lo suka sama gue?" Kali ini, Clara bertanya dengan hati-hati.

Aku mengangguk pelan.

"Gue juga suka sama lo. Daripada kita gini terus, hubungan ga jelas. Ayo kita ke hubungan yang lebih serius. Hemm.. Pacaran kek, gimana nantinya, itu urusan lain. Nanti kita pikirkan."

"Hemm.. Gue rasa ga bisa. Kita beda iman, dan itu jelas dilarang dalam agama gue. Gue lebih nyaman kita gini aja, berteman dan saling tukar pikiran mengenai perspektif kita masing-masing."

"Lo bener juga, itu adalah iman lo yang ga bisa gue paksakan. Gue terlalu naif, maafin gue, Doo."

"Gak, lo ga perlu minta maap. Woles ajaa kali."

*hening*

"Jadi, makanan dan minuman kali ini siapa yang bayar, nih?" Aku sedikit menggodanya lagi, untuk memecah suasana canggung kami.

"Yeeeh, elo. Masih aja. Padahal suasana lagi intim banget tadi." Clara kembali mencubit lenganku.

Kemudian ia menyandarkan kepalanya ke bahuku dan tangannya menggenggam tanganku.
Aku masih diam saja terhadap perlakuan Clara si gadis aneh. Si perempuan non-muslim, yang secara tampilan dan pemikiran jauh lebih islami dari perempuan-perempuan muslimah mainstream yang aku kenal.

Di bawah langit kota Depok yang gemerlap, dua anak manusia telah tersadar mereka saling mencinta.
Namun, cinta kepada Tuhan mereka masing-masing, jauh teramat besar. Menghalangi cinta mereka.



Postingan Lama Beranda

ABOUT AUTHOR

Kang Mas Joe adalah seorang yang berpengalaman dalam pahit dan getirnya kehidupan, walaupun nyatanya tidak terlalu pahit. Mencoba berbagi tulisan melalui blog, semoga ada hikmah yang bisa diambil. Apabila ada kritik, saran, nasihat dan mau kerjasama. Silahkan DM melalui Instagram dan Twitter @KanggMas_Joe. Terimakasih!

POPULAR POSTS

  • Pencitraan Jilid Dua; Buku yang Aku Baca di Tahun 2020
      Beberapa hari ke belakang, rumahku sedang direnovasi. Maka buku-buku yang ada di rumah sedang tidak ada di rak buku seperti biasa. Begini ...
  • Masjid Cheng Hoo
    Masjid Muhammad Cheng Hoo, adalah salah satu masjid yang cukup terkenal di Palembang. Sering dijadikan sebagai tempat wisata religi. Menurut...
  • Balonku Ada Lima
    Jangan terkejut, ini bukan jimat, mantra, doa atau sebagainya!  Untuk kamu yang sudah jago membaca Al-Quran sejak kecil, aku yakin kamu past...
  • Menjadi Pacar Sewaan
    Hari ini adalah hari Ahad, pukul sepuluh pagi. Aku sedang duduk bersantai di rumah, sedang menatap layar laptop untuk melakukan blog walking...
  • 3 Bloggers yang Rajin BW
    Seperti biasa, di setiap penghujung bulan, Mbak Eno yang baik hatinya kembali membuat challange. Ini adalah event ketiga dari challange- nya...

Categories

  • Bisnis
  • Cerita
  • Opini
  • Perjalanan
  • Pernikahan
  • Sajak
  • Tutorial

Copyright © 2021 Kangg Mas Joe. Created by OddThemes