Kangg Mas Joe

Blognya Dodo. Tidak semua yang diposting adalah nyata, banyak pencitraan dan fiksinya.



Jadi Kita Sekarang Gimana? 

Pertanyaan ini ditanyakan daripada dia kepada sang suami, dalam kamar hotel berbintang tiga di kawasan Penang, Malaysia. Hari ini mereka tengah liburan ke luar negeri kerana merupakan momentum ulang tahun pernikahan mereka yang pertama.

Malam itu, dalam suasana yang sejuk. Mereka kembali bertengkar.
"Mas, kita sudah satu tahun menikah. Namun, sampai saat ini aku masih gadis. Kau belum pernah satu kali pun ber-silaturahmi kepadaku. Setiap kita hendak melakukan silaturahmi itu, selalu saja gagal. Kau selalu menggigil."

Suaminya hanya merespon pelan.
"Maafkan aku."

"Tidak bisakah kamu jujur kepadaku, mas? Jika memang ada masalah, penyakit, dan sesuatu. Mari kita diskusikan. Boleh jadi, masalahnya akan terselesaikan. Aku sangat lelah menunggu nafkah bathin darimu, mas!"
Si dia kembali mencecar suaminya yang masih nampak diam saja.

"Kalau aku jujur, kamu janji ya. Jangan marah."
Suaminya berusaha memjelaskan akar masalah dirinya. 

"Cepetan, cerita aja mas!"
Si dia merespon seadanya.

"Tapi, kamu janji, ya?"
Suaminya memastikan.

Si dia sudah nampak kesal.
"Udah, buruan mas."


   Episode sebelumnya;
  • Jadi Kita Sekarang Gimana?
  • Jadi Kita Sekarang Gimana? (2)
  • Jadi Kita Sekarang Gimana? (3)

"Kamu tahu, kan. Aku lulusan Inggris. Di sana, orang-orang banyak yang liberal dan sekuler. Tidak mementingkan agama lagi. Aku, ehm, terikut arus pergaulan bebas kehidupan sana."
Suaminya mulai berterus terang.

"Well, I am a gay. Aku seorang homoseksual. Aku masih menjalin hubungan dengan kekasihku, warga negara Inggris, ia seorang laki-laki. Kami juga sudah pernah melakukan hubungan seksual."
Suaminya melanjutkan, mejelaskan secara gamblang.

"Astaghfirullahal 'azhiim. Tidakkah kau sadar, mas. Itu adalah perbuatan yang sangat terkutuk. Bukankah kau tidak ingat, ayahmu seorang ustadz. Kenapa anaknya jadi seperti ini!"
Si dia sangat terkejut dengan pengakuan suaminya.

"Aku bisa saja melakukan hal itu ke dirimu." 
Suaminya berkata. Seraya melanjutkan,
"Namun, aku masih menghargai dirimu. Aku tidak mau, jika suatu saat, kamu terkena penyakit macam-macam dari aku."

"Penyakit apa maksudmu?"
Si dia meminta penjelasan lebih lanjut. 

"Yaa, orang-orang liberal, sekuler dan LGBT, bisa saja melakukan hubungan seksual dengan siapapun. Kita tidak tahu, apakah dia pernah melakukan hubungan itu kepada orang yang terkena penyakit HIV, misalnya. Aku juga sudah pernah melakukan hubungan itu dengan tiga orang lain lagi. Satu warga Perancis, dua lagi orang Belanda. Mereka semua laki-laki."
Lagi-lagi, suaminya menjelaskan dengan sangat jelas dan tajam. Setajam silet.

"Jadi, apakah kau masih menjalin hubungan dengan pacar laki-lakimu itu?"

"Yaa, masih. Hampir setiap hari kami saling mengirim chat. Tunggu, lihatlah ponselku. Beberapa menit yang lalu, orang Inggris itu baru saja menelponku."

"Kalau kau memang begini, kenapa mau menikah denganku?"

"Aku tidak enak dengan ayahku. Dia telah mencarikan jodoh, dan ayahku adalah teman abi-mu kan? Aku merasa tidak enak dengan keluargamu jika perjodohan ini dibatalkan di tengah jalan."

"Merasa tidak enak? Kemana pikiran kau? Kalau begini ceritanya, kau telah mempermainkan keluarga kami, telah menyiksaku selama satu tahun dengan tidak pernah memberi nafkah bathin. Aku benci kamu!"

"Jadi, apa maumu sekarang? Kamu mau ber-silaturahmi denganku sekarang? Oke, aku siap. Aku akan memberikan nafkah bathin kepadamu saat ini juga!"
Suaminya berkata seraya melepaskan celananya.

Plak! Tangan dia telah tiba di wajah suaminya. Tamparan itu sesungguhnya tidaklah menyakitkan, namun mengejutkan. 
"Ceraikan aku sekarang!"

"Bisakah kita bicarakan baik-baik lagi? Beri aku kesempatan satu kali lagi."
Suaminya memohon.

"Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Semuanya sudah jelas, aku tidak bisa menerima kau!"
Si dia tetap teguh pendiriannya.

"Tapi sekarang sudah malam. Bagaimana jika esok pagi saja. Mungkin suasana hati kita bisa menjadi lebih sejuk."
Suaminya masih membujuk, hendak mengulur waktu.

"Tidak mau, pokoknya sekarang!"

"Baik, namun aku minta dengan satu syarat."

"Tanpa syarat!"

"Ayoolah, kenapa kamu menjadi sangat tidak menghargaiku sekarang. Padahal aku sangat menghargaimu."

"Cepat katakan apa syarat yang kau inginkan!"

"Izinkan aku mengecup bibirmu untuk terakhir kali, tanda perpisahan kita. Setelah itu, kamu boleh pergi. Kita resmi bercerai."

"Baiklah."

Suaminya mendekat ke wajahnya, sedangkan dia telah memejamkan matanya tanda bersiap.
Namun, ternyata kecupan terakhir itu diurungkan suaminya. 
"Aku tidak kuasa untuk mengecupmu. Apabila perkataan ini berakhir, telah jatuh talak satu kepadamu. Kamu boleh pergi sekarang."

"Terimakasih, Assalamu'alaykum."
Status janda kini telah resmi melekat pada dia. Tiga detik kemudian, dia meninggalkan kamar hotel itu.

Kamar itu kini hening.
Kemudian, dia menuju meja resepsionis. Hendak memesan kamar baru untuk dirinya sendiri. Ketika telah mendapatkan kamar, dia menangis sejadi-jadinya. Seharusnya hari ini adalah sangat bahagia, karena tepat satu tahun pernikahan mereka, malah menjadi hari yang hancur lebur.

Di pagi hari, dia langsung menuju Bandara untuk kemudian terbang kembali pulang ke rumah orang tuanya. Menemui Abi dan Ummi.
Ketika sampai di rumah, betapa terkejutnya mereka. Anaknya hanya pulang seorang diri, tanpa ditemani sang suami.

"Kenapa cepat sekali pulang, nduk? Bukannya kalian liburan selama sepuluh hari di Malaysia?"
Abi bertanya penasaran.

"Satu lagi, mana suamimu? Kenapa pulang sendiri?"
Ummi juga tidak mau kalah, ikut bertanya.

"Kami sudah bercerai, Ummi."
Si dia menjawab pertanyaan orang tuanya.

"Jangan main-main kamu, nduk."
Abi mengonfirmasi ulang, tanda tak percaya.

"Benar, Abi. Sejak kapan aku pernah berbohong. Tidak pernah sekalipun sejak kecil."
Air matanya kali ini benar-benar tumpah di depan orang tuanya. Sungguh berat cobaan yang diderita.

"Yasudah, istirahatlah dulu di kamarmu. Pasti lelah sekali."

   Baca juga dong;
  • Terpaksa (tidak) Merokok 
  • Pernikahan Impiannya Orang Ansos 
  • Kunci Motor 
Kita kembali ke cerita Aku.

Aku sudah move on dari si dia. Aku sangat giat dalam bekerja, telah naik pangkat menjadi manager area. Normalnya jabatan itu bisa diraih dalam waktu lima tahun. Sedangkan aku, dapat mencapainya hanya dalam waktu dua tahun sahaja.
Aku juga telah sangat rajin mengaji ke Ustadz Salim sepekan sekali. Aku juga sudah tidak memiliki sahabat a.k.a. friendzone. Aku hanya berteman kepada laki-laki saja.

Suatu saat seusai pengajian, Ustadz Salim memintaku menemuinya secara pribadi.

"Ada apa, tadz?"
Aku bertanya dengan penuh hormat.

"Kamu sudah dua tahun bekerja, posisi sudah bagus. Sudah ada keinginan untuk menikah?"
Tanpa basa-basi, ustadz langsung menyambarku dengan pertanyaan itu.

"Hehehe, iya tadz."

"Siap ya, silahkan kabari orang tuamu. Jika kamu memang siap, nanti kamu akan saya coba jodohkan dengan murid istriku."

"Baik, terima kasih banyak, tadz."

Singkat cerita, perjodohan itu benar-benar terjadi. Proses ta'aruf telah dilakukan. Nama gadis itu adalah Juminten, kuliah di Washington. (Bacanya pake nada lagu Kangen Band, hahahaa.)
Juminten merupakan seorang guru, mengajar di SD IT yang ada di kota tempatku bekerja. Kamu tahu SD IT, kan? Sekolah Dasar Islam Termahal Terpadu. Sorry to say, SD IT memang terkenal dengan biaya yang cukup mahal dibanding SD Negeri yang gratis.

***

Setalah proses yang cukup panjang, akhirnya kami fiks hendak menikah. Tanggal telah ditentukan, pekan ketiga di bulan depan. Aku telah berisap menyebar undangan ke teman-teman, kebanyakan melalui online. Menghemat biaya percetakan.
Aku mulai mengirim ke grup organisasi kampus yang dulu aku ikuti (bersama dia). Grup yang awalnya sepi sekali, mendadak heboh. Aku juga mengirim undangan melalui pesan pribadi ke beberapa teman. Salah satunya adalah... dia.

Aku melihat di layar ponselku. Riwayat chat terakhir kami sudah tiga tahun yang lalu.
Lucu, yaa. Terakhir isi chat dari dia adalah, undangan pernikahannya. Menanyakan apakah aku bisa hadir atau tidak. Berakhir dengan centang biru. Chat saat itu tidak ku balas. Kini, aku hendak memberinya undangan. Aku tidak tahu, apakah chat itu akan dibalas atau tidak.

Klik.
Chat itu telah terkirim. Awalnya hanya centang satu, beberapa detik kemudian berubah menjadi centang dua abu-abu. Dua detik setelah itu,informasi dari layar ponsel mengabarkan dia sedang online. Centang abu-abu berubah menjadi biru. Sepuluh detik kemudian, dia kembali offline.
Baiklah, pesanku hanya di-read saja.

Orang tuaku kemudian telah berada di Jawa, satu hari sebelum hari pernikahanku. Aku sungguh bahagia saat itu, namun tragedi yang tak terduga terjadi.
Di sore hari, aku mendapat telepon dari orang tuanya Juminten, yang tidak kuliah di Washington. Telepon itu sungguh mengejutkanku. Katanya, Juminten baru saja kecelakaan tertabrak bus kota. Aku terbelalak tanda tak percaya. Juminten kini telah dilarikan ke rumah sakit terdekat.

"Tadi siang, Juminten ke sekolah. Katanya, dia ditelepon oleh Kepala Sekolah sebab ada orang tua siswa yang protes. Juminten beberapa hari yang lalu memarahi anaknya, dan orang tua itu protes tanda tidak terima. Untuk meluruskan kejadian yang sebenarnya, maka ia harus datang ke sekolah."
Bapaknya Juminten menjelaskan dalam sambungan telepon.

"Tapi, pak. Apakah tidak bisa ditunda dahulu? Apakah segenting itu, bukankah besok adalah hari yang sangat sakral. Harusnya Juminten tidak pergi kemana-mana."
Aku hanya merespon tanda menyesali perbuatan Juminten.

"Betul sekali, nak mas. Bapak sudah melarangnya untuk keluar. Bapak bilang nanti saja, namun dia tetap kekeuh mau ke sekolah. Katanya, dia tidak mau nama sekolah menjadi jelek gara-gara dia. Namun ternyata, ketika pulang dari sekolah. Juminten malah ditabrak. Kecelakaan. Informasi yang diterima, kata Polisi, ia mengantuk. Tertidur di atas motor."
Begitu kata bapaknya.
Aku hanya menghela napas.

Ketika aku akhirnya sampai ke rumah sakit, ternyata Juminten tidak dapat tertolong. Nyawanya telah melayang. Telah terbang bersama Malaikat yang menjemputnya, dibawa ke langit.
Hari bahagia yang harusnya tamu berdatangan mengucapkan selamat suka cita. Malah menjadi tamu takziyah, tanda duka.
Pesan duka cita, silih berganti masuk ke ponselku. Aku tidak dapat membalas satu persatu.

Hari pemakaman usai. Aku masih menjadi jomlo. Aku menjadi sangat depresi hari itu. Impian menuntaskan separuh agama, sudah kandas.
Untuk mengekspresikan bahwa aku sedang depresi, aku memutuskan untuk mogok makan selama satu pekan. Awalnya, lancar-lancar saja. Usai shalat Shubuh, aku tidak makan. tapi lama-lama, lapar juga. Akhirnya pukul sepuluh pagi aku urungkan niat bodoh itu. Aku tidak jadi mogok makan.

Depresi tetap berlanjut. Aku tidak mau kalau bayangan Juminten masih menghantui. Maka, aku putuskan untuk kembali ke Sumatera. Aku resign dari pekerjaan di Pulau Jawa. Banyak rekan kerja yang kecewa atas keputusanku ini.
Sebelum pulang ke kampung halaman, tak lupa aku berpamitan dengan Ustadz Salim.

"Tetap semangat, akhi. Hal ini sudah menjadi takdir dari Allah."
Ujar sang ustadz.

"Iya, ustadz. Saya pamit yaa, mau pulang ke Sumatera. Tabunganku juga sudah cukup banyak, saya mau membuka bisnis saja di sana."

"Semoga bisnismu nanti berkembang. Oh ya, nanti kalau sudah pulang. Kamu jangan lupa. Tetap harus ngaji."

"Ngaji sama siapa, tadz? Ustadz Ahmad lagi?"

"Tidak usah. Kamu kan sudah pernah ngaji sama beliau. Nanti ngaji sama ustadz lain saja. Biar memperluas jaringan. Nanti saya carikan, dan akan dikirim kontaknya."

"Syukran, tadz."

Aku akhirnya resmi meninggalkan tanah Jawa, memulai kembali menata kehidupan baru.

***

Aku telah sampai di kampung halaman, Ustadz Salim juga telah memberi kontak guru ngaji baruku. Namanya, Ustadz Idrus. Aku sangat bersemangat, langsung menghubungi beliau.

"Kamu nanti datang saja ke rumah, hari Rabu setelah shalat Isya. Lokasinya sesuai yang ada di aplikasi ya kaak."
Begitu kata Ustadz Idrus dalam panggilan telepon. Mirip kang Ojol.

Di hari Rabu malam, aku datang lebih cepat. Sebelum Isya. Betapa terkejutnya ketika aku tiba di rumah Ustadz Idrus. Maps yang diberikan Ustadz Idrus, ternyata adalah rumah si dia. Aku masuk ke ruang tamu. Di dinding, foto dia terpajang dengan rapi, nampaknya itu ketika wisuda beberapa tahun lalu.
Aku baru ingat, Ustadz Idrus adalah Abi-nya si dia.

Pertemuan pertama pengajian malam itu  dimulai dengan perkenalan diriku kepada jama'ah lain. Di akhir pengajian, aku bilang ke beliau bahwa aku teman kuliah anaknya. Ustadz Idrus bilang, ia sudah tahu. Aku diam saja.

Aku terus datang ke rumahnya setiap pekan untuk menimba ilmu agama. Waktu terus berjalan, sudah tiga tahun aku menjadi murid beliau.
Namun ada yang aneh, aku sekalipun tidak pernah melihat si dia di rumah itu. Awalnya aku hendak bertanya, namun ku rasa itu tidak sopan. Apa kepentinganku bertanya dimana keberadaan istri orang (saat itu, aku tidak tahu bahwa dia telah bercerai).

Hingga suatu saat, aku rasa sudah move on dari dia dan Juminten. Aku berniat untuk hendak menikah (lagi). Setelah sebelumnya gagal.
Maka aku datang ke rumah ustadz Idrus untuk meminta tolong, membantu menuntaskan hajatku.
Saat itu, aku datang di pagi hari, tidak seperti biasa. Aku datang di Shubuh hari, sekaligus untuk mengikuti taklim yang diajar oleh Ustadz Idrus kepada warga sekitar. Beliau mengajar di masjid yang tidak jauh dari rumahnya.
Sesuai taklim selesai, aku langsung menemuinya. Beliau bilang, ke rumah saja. Biar lebih nyaman berbincangnya.

Aku dan Ustadz Idrus berjalan kaki menuju rumahnya. Ketika sampai di rumah beliau, aku betul terkejut. Akhirnya aku bertemu si dia setelah sekian lama. Saat itu, tatap mata kami beradu dua detik. Masing-masing dari kami langsung menundukkan pandangan.

"Heyy, apa kabar. Lama tidak jumpa ya?"
Aku mulai menyapanya, dengan sedikit gugup.

"Eh, iya. Baik Doo. Iya, ya. Sudah lama sekali kita tidak berjumpa."
Si dia juga nampaknya gugup.

"Mana suamimu? Di masjid juga kenapa tidak terlihat tadi yaa."
Aku bertanya dengan polos. Sekali lagi, aku tidak tahu bahwa mereka telah bercerai.

Ustadz Idrus berdehem.
"Nanti saja di dalam lanjutkan obrolan kalian. Ayo sekarang masuk dulu."

"Eh, iya tadz."
Aku menggaruk kepala yang tidak gatal.

Sampai di dalam, aku disajikan sarapan. Si dia yang membawa makanan-makanan itu ke ruang tamu.
Aku tanpa basa-basi, langsung mengutarakan maksudku ke sini. Aku meminta beliau mencarikanku istri.

"Kamu mau mencari calon istri yang seperti apa?"
Ustadz Idrus merespon permintaanku.

"Terserah ustadz bagaimana, yang kira-kira cocok sama saya saja. Barangkali ada murid-murid dari pengajian ini, atau murid dari istri ustadz yang sudah siap menikah. Saya tsiqoh tadz. Saya percaya kalau seorang guru pasti akan memberikan yang terbaik untuk muridnya."
Aku menjawab takzim, urusan calon istri aku serahkan saja kepada guruku. Aku tidak mau mencari kriteria macam-macam. Yang penting satu, perempuan itu mau sama aku. WKwkwk.

"Sebelum aku menjawab, mau kah kamu mendengar suatu kisah?"

"Tentu saja, tadz. Dengan senang hati."

"Ini kisah nyata. Ada seorang perempuan, dia seorang yang shalihah. Sangat taat pada agama dan orang tuanya. Perempuan itu kemudian menikah. Namun di tengah jalan, pernikahan dengan suaminya bubar. Suaminya ternyata memiliki penyimpangan seksual yang tidak wajar. Mereka bercerai. Perempuan itu sekalipun belum pernah disentuh suaminya. Perempuan itu kini telah menjadi janda, namun sejatinya masih tetap seorang gadis."
Ustadz Idrus menjelaskan ceritanya.

Beliau kemudian melanjutkan.
"Pertanyaan saya, apakah kamu mau menikah dengan perempuan itu?"

Aku menjawab dengan mantap.
"Apabila ustadz menjamin, saya sekali lagi menjawab, saya tsiqoh apapun keputusan ustadz."

"Jadi, kamu betul bersedia jika saya jodohkan dengan perempuan itu?" 

"Insyaa Allah saya siap, ustadz."

"Alhamdulillah."
Ustadz Idrus menjawab dengan lega.

"Mohon maaf sebelumnya, jika boleh tahu. Siapa nama perempuan itu, dan tinggal dimana dia tadz?"
Aku bertanya demikian karena berhak tahu, siapa calon istri yang dijanjikan oleh sang Ustadz.

"Perempuan itu asli dari kota ini. Dari sekolah dasar hingga kuliah juga di sini. Dia adalah... anakku."

Aku sangat terkejut mendengar perkataan Ustadz Idrus.
"Haa, bukankan dia sudah menikah beberapa tahun lalu tadz?"

"Benar, putriku memang sudah menikah. Namun kemudian telah bercerai dengan alasan yang telah aku ceritakan kepadamu tadi. Sekarang aku ulang lagi pertanyaannya, apakah kamu bersedia aku nikahkan dengan putriku atau tidak? Aku lihat, dari semua murid-murid pengajianku. Hanya engkaulah yang cocok untuk mendampinginya." 

Bibirku bergetar, tanda gugup. Aku kemudian berkata siap menerimanya dan mengucapkan terima kasih banyak.
Si dia yang berada di dalam kamarnya, mendengar sayup-sayup perbincangan aku dan Abi-nya. Ternyata, dia juga sangat senang sekali.

***

Kedua orang tuaku kemudian bersilaturahmi (bukan ber-silaturahmi seperi di awal cerita, yaa wkwkwk) ke rumah Ustadz Idrus yang sebentar lagi akan aku panggil Abi. Satu bulan kemudian, pernikahan benar-benar terjadi. Grup WhatsApp alumni organisasi yang kami ikuti kembali heboh.
Akhirnya, kalian benar-benar menuntaskan hubungan terlarang kalian menjadi hubungan legal yang tidak terlarang.
Aku hanya tertawa mendengan peryataan ini.

Aku kini telah resmi menikah, si dia telah menjadi istriku. Ustadz Idrus kini aku panggil menjadi Abi, beliau adalah mertuaku.
Judul cerita ini berubah menjadi layaknya FTV di Indo*siar;
Guru Mengajiku ternyata adalah Mertuaku.


 
Selesai..


Sebagian cerita berdasarkan kisah nyata.
Sebagian lagi terinspirasi dari novel Ketika Cinta Bertasbih, karya Ustadz Habiburrahman el Shirazy alias Kang Abik.
Sebagian lagi hanya khayalan belaka! :)

Jadi Kita Sekarang Gimana?

Pertanyaan ini kembali terngiang di kepalaku ketika aku tengah scrolling di Instagram. Saat itu, muncul akun si dia pada Beranda. Dalam foto yang diposting, terlihat dia dan suaminya tengah berada di suat restoran. Sedang meminum sebuah kelapa muda. Satu kelapa muda, diminum dengan dua sedotan bersama. Mereka saling bertatap mesra, membuat aku yang melihat menjadi merana.

Kemudian, jari-jemari seolah bergerak sendiri tanpa kendali, tersebab rasa penasaran yang tinggi. Aku klik profilnya, tiga detik selanjutnya telah terpampang nyata. Kehidupan mereka (nampak) bahagia di sosial media.
Aku terus scroll ke bawah. Terlihat postingan bulan lalu yang bercerita mengenai pesta pernikahan mereka.
Oh ya, artinya aku sekarang sudah satu bulan di Tanah Jawa. Mendapat kerja menjadi Engineer di salah satu perusahaan swasta.

   Episode sebelumnya ;
  • Jadi Kita Sekarang Gimana? 
  • Jadi Kita Sekarang Gimana? (2) 
Dalam postingan itu, nampak acara yang sangat meriah dan cukup syar'i.
Pertama, tamu laki-laki dan perempuan dipisah. Ada semacam hijab (kain) pembatas di tengahnya. Tamu laki-laki di sebelah kiri, sedang yang perempuan di sebelah kanan. Kain pembatas ini, lagi-lagi mengingatkanku saat menjadi mahasiswa dulu, digunakan untuk pembatas antara ikhwan dan akhwat ketika rapat alias syuro di organisasi kampus yang aku ikuti. Jangan lupa, si dia juga merupakan peserta dari tiap-tiap syuro yang aku ikuti.
Kedua, acaranya sangat ramai. Aku lihat, teman-teman kampusku banyak yang datang ke acara itu. Beberapa dosen juga terlihat hadir. Bahkan, Walikota juga diundang hingga memberi sambutan. Tapi aku yakin, sambutan sang Walikota sedikit menyerempet dengan kampanye beliau. Yaa, beliau ingin maju lagi di Pilkada periode kedua. Ia pasti sangat senang menghadiri acara seperti ini, karena dapat kesempatan 'kampanye gratis'. Awkkwk. Hadeeuh, aku terlalu suu'zhon (:

Ketika sedang asyik men-stalk akun Instagram si dia. Kenangan-kenangan kami seolah muncul, menari-nari di kepala. Sedikit demi sedikit.
Aku ingat bagaimana pertama kali kami naik motor berboncengan berdua. Hal yang, lagi-lagi, sangat tabu di organisasi kami.
Saat itu, seusai syuro di sore hari. Kami bersiap pulang ke rumah masing-masing. Memang, kebanyakan dari mahasiswa saat itu tinggal di kos-kosan dekat kampus. Tidak masalah bagi mereka untuk pulang di sore hari. Lha, kami yang tidak tinggal di kos cukup kesulitan. Karena di sore hari, bus ke kota sudah sepi.

Aku melihat si dia tengah duduk sendirian di halte menantikan bus datang. Aku kemudian mendekatinya, bertanya apakah baik-baik saja. Aku saat itu mengendarai motor, hendak menawari tumpangan.
Awalnya dia menolak. Katanya, tidak pantas laki-laki dan perempuan bukan mahram berboncengan berdua. Aku bilang, ini sudah sore, tidak akan ada lagi bus lewat, akan tidak aman jika tetap di sini. Bagaimana jika sampai malam tidak ada bus. Aku meyakinkan sekali lagi, tidak apa-apa, toh ini darurat. Kita juga tidak 'ngapa-ngapain'.
Akhirnya, dia naik ke motorku. Aku dalam hati menjerit kegirangan. Aku bisa sedekat ini.
Fyi, kami duduk berdua dengan dipisahkan pembatas berupa tas. Biar tidak terjadi fitnah dan tetap ada jarak. Tidak boleh dempet-dempetan.

Jalan menuju rumah kami satu arah. Jadi, mudah saja aku mengantarnya. Aku menurunkannya hanya sampai di depan gang. Katanya, dia tidak mau kalau Abi tahu dia telah berboncengan dengan laki-laki, bisa-bisa beliau marah besar. Aku manut saja.
Setelah kejadian itu, apabila ada rapat organisasi sampai sore. Kami selalu pulang bersama, berboncengan motor. Sejak saat itulah, kami menjadi semakin mengenal satu sama lain.

Terkadang, kami juga tidak langsung pulang. Jika masih ada waktu luang, kami sempatkan dahulu untuk mampir ke warung bakso, atau warung kopi, atau warung apapun. Kami bisa bercengkrama lebih leluasa sambil makan bakso, atau minum kopi juga sekaligus ngudud samsu.
By the way, walaupun hubungan kami sudah semakin dekat seperti orang yang berpacaran, padahal cuma friendzone, kami tetap dalam batasan. Aku tidak pernah sekalipun mengenggam tangannya. Padahal, pengen. Wakakakkkw.

Ingatanku juga kemudian loncat ke kenangan yang lain. Saat itu, aku di tahun ketiga organisasi. Tanpa angin dan hujan, tiba-tiba dia memberiku kabar melalui chat.
"Doo, temenin aku ke pasar dong. Mau beli lemari. Kamu kan jago tawar-menawar."

Saat itu, aku tidak membalas pesannya, hanya aku read. Lima belas menit berselang, aku menelponnya.
"Ayook sekarang ke pasar. Aku sudah di depan gang rumahmu. Cepetan ke sini."

"Dodooo, iih... Nggak gitu juga kali! Aku siap-siap dulu."
Suara di seberang telepon, dijawab dengan gemas. Aku hanya merespon dengan tertawa. Haha.

Kami kemudian berangkat ke pasar, bertanya ke satu toko, kemudian toko lain. Membandingkan harga. Sedikit trik menawar, akirnya didapat harga yang cukup miring.
Dalam perjalanan di atas motor, kami selingi dengan bercanda ria.

"Astaghfirullah.."
Aku membatin. Kenapa aku malah memikirkan yang tidak-tidak. Itu semua telah menjadi kenangan. Si dia telah menjadi istri orang. Tidak boleh jika aku masih berharap akan hal itu.

Aku teringat kepada guru ngajiku, sekaligus mertua si dia; Pak Ahmad. Aku menelpon beliau dan menyampaikan permohonan maaf bulan lalu tidak bisa hadir ke acara pernikahan anaknya. Kami, semua muridnya diundang dalam pesta itu.
Beliau memaklumi, karena alasanku jelas. Aku telah berada dalam perjalanan menuju Tanah Jawa, yang tidak bisa ditunda. Beliau berpesan kepadaku, walaupun berada di tanah rantau, tetap harus mengaji. Jangan putus.

"Nanti kamu hubungi Ustadz Salim, beliau adalah temanku. Bilang saja kamu adalah muridku yang pindah ke Jawa. Saya juga sudah kontak ke beliau. Nanti kontaknya akan saya kirimkan ke kamu."
Begitu katanya dalam sambungan telepon denganku.

"Baik, tadz. Terima kasih banyak."
Aku mengucap terimakasih seraya takzim. Setelah itu, aku telah resmi menjadi murid pengajian Ustadz Salim.
  
    Baca juga dong ;
  • Dibayarin 
  • Terpaksa (tidak) Merokok 
  • Yogyakarta 

Kembali ke bulan lalu, cerita pernikahan si dia.

Si dia dan suaminya, beserta keluarga besar pulang dari hall menuju rumah orang tua dia. Pesta pernikahan dilakukan di hall terbesar yang ada di kota.
Suasana bahagia sangat terasa dari mereka berdua. Senyum selalu merekah dan merona.
Di malam hari, selepas shalat Maghrib. Untuk pertama kalinya, dia melepas jilbabnya di depan 'orang asing'. Yaa, suaminya saat itu masih seperti orang asing. Awalnya agak sedikit canggung, jarum pentul sedikit nyangkut. Hampir saja tertusuk masuk ke dalam kepala. Untungnya, tak terjadi masalah apa-apa.

Jilbab telah terbuka, rambutnya terurai panjang dan bergelombang. Kemudian, dia mendekat ke suaminya. Bibirnya yang berwarna merah muda, ditempelkan ke bibir hitam - tanda perokok berat - milik suaminya. Bibir-bibir itu bersatu padu dalam keheningan dan kehangatan. Suaminya diam saja, ternyata si dia yang cukup agresif. Kecupan itu mereka lakukan selama sepuluh detik. Di detik ke dua belas, pintu kamar mereka terbuka. Abi masuk tanpa dosa. Mengajak mereka makan malam. Untung saja, kegiataan itu telah selesai dua detik yang lalu. Kalau tidak, suasana makan malam saat itu, pasti akan menjadi sangat awkward. Awkwkwwk.
Apabila tiba pukul sebelas malam, mereka kembali ke kamar mereka. Karena sangat lelah, mereka tidak melakukan apa-apa. Mereka hanya tidur seperti biasa.
(Ciyee pembaca nungguin niih, uhuyyy!)

Esok hari tiba, pasutri baru itu mencoba bergumul selepas tengah malam. Si dia telah menanggalkan jilbabnya. Kegiatan selanjutnya adalah mencoba melucuti pakaian suaminya. Ketika dia telah sangat dekat dengan suaminya, kurang dari satu centi meter. Tiba-tiba, suaminya menggigigil, nafas sesak tersengal-sengal.

"Mas, kenapa? Apakah masuk angin? Yasudah, sekarang aku kerokin saja."
Si dia tetap melanjutkan melucuti baju suaminya, namun untuk mengerok badan suaminya. Setelah selesai mereka kembali tidur.
Percobaan pertama gagal.

Pekan depan tiba, mereka kembali mencoba ritual ibadah suci itu. Seperti biasa, si dia yang berinisiatif dan agresif kepada suaminya. Lagi-lagi, ketika selangkah lagi pergumulan itu resmi. Suaminya kembali menggigil dan tersengal-sengal.
Percobaan kedua gagal.

Waktu terus berjalan. Percobaan ketiga, empat, lima, enam, hingga sepuluh masih gagal dengan ritme yang sama. Sang suami tetiba menggigil dengan nafas sesak.
"Kamu kenapa, mas? Ada penyakit apa?

"Tidak ada, dek."
Ujar suaminya, nampak menutupi sesuatu.

"Cerita saja mas, aku ini istrimu. Kita saat ini sudah menjadi insan yang satu. Kalau kamu punya masalah, harus kita selesaikan bersama."

Suaminya masih diam saja.


Bersambung..

Capek nulisnya, mata udah perih. Wwkwk..

Jadi Kita Sekarang Gimana?
Pertanyaan ini terlontar dari si dia dalam obrolan kami, setelah di sore hari dia kedatangan tamu spesial.

"Tadi sore, Pak Ahmad datang ke rumahku."
Kalimat tersebut yang dia katakan mengenai tamu spesial ini.

Siapa itu Pak Ahmad?
Kamu bisa baca cerita bagian sebelumnya di sini!


"Ngapain belio datang ke rumahmu?"
Aku bertanya penasaran.

"Pertama, silaturahmi. Beliau adalah teman Abi ketika kuliah dulu."
Dia menjawab.

"Waah, aku baru tahu kalau Abimu adalah teman Pak Ahmad." 
Aku manggut-manggut di ujung telepon.

Tanpa jeda, dia kembali melanjutkan percakapan.
"Kedua, Pak Ahmad datang untuk melamar."

Aku menggodanya.
"Wiih, asyik dong. Kamu dilamar Pak Ahmad untuk jadi istri keduanya? Nanti kalo aku ngaji ke rumahnya, tidak hanya Bu Ahmad yang menyajikan makanan ke kami, murid-muridnya. Kamu juga akan menyajikan makanan ke kami, dong! Hahaha."

Dia langsung manyun, aku bisa merasakannya walaupun tidak berada di dekatnya.
"Yeeeey. Nggaklah, geblek!"

"Ehehe.. Yaa maap!"

"Jadi gini, Doo. Aku sekarang mau ngobrol serius. Tadi sore aku udah resmi dilamar oleh Bang Roy. Kamu ingat dia, kan? Dia itu anaknya Pak Ahmad dan Bu Ahmad. Tadi mereka bertiga datang ke rumah, dan niat baik itu telah diterima dan disetujui oleh Abi."

Sontak saja, aku betul-betul terkejut. Obrolan kali ini benar-benar serius. Aku fokus mendengarkan.

Kemudian, dia kembali melanjutkan cerita.
"Oh ya, Bang Roy itu lulusan S2 dari Inggris. Sekarang sudah diterima jadi PNS. Kamu tahu lah, PNS adalah pekerjaan idaman mertua!"

Aku mencoba mencerna, dan bertanya dengan saksama.
"Kamu kok gak pernah cerita?"   

Dia menjawab dengan mengeluarkan dalil.
"Afwan, bukankah kamu ingat bahwa hadits dari Baginda Nabi kita, yang mengatakan bahwa rahasiakanlah lamaran, umumkanlah pernikahan. Oh ya, sebetulnya aku sudah menjalani proses ta'aruf dengan Bang Roy sejak dua bulan lalu. Dan hari ini, adalah final prosesnya dengan meresmikan lamaran itu."

*hening*

"Halo, Doo. Kamu masih di sana kan? Dodoo, percakapan telepon kita kali ini aku sekalian mau mengundang kamu untuk nanti hadir di acara pernikahanku satu bulan lagi. Pekan depan bisa datang yaa ke rumahku. Aku mau bagi-bagi baju seragam."
Dia tetap bicara sekenanya. 

Aku bertanya perihal permintaannya. Sejujurnya, percakapan kali ini tidak sudah menjadi tidak menarik bagiku.
"Baju seragam untuk apaan?" 

"Itu looh. Yang sekarang lagi nge-trend macam orang barat. Kamu dan beberapa teman lain aku minta menjadi Bridesmain dan Groomsmen dalam acara nanti."

"Lha, kamu ngapain jadi tasyabuh? Ikut-ikutan budaya orang ka*fir?" 
Aku menjawab sembarang.

"Yeey, nggaklah. Itu kan bisa dikatakan sebagai panitia khusus, atau panitia penyambut tamu gitu, atau apa yaa. Aku juga gak faham, sih. Cuma ikut-ikutan trend saja."

"Hemm.. Bukankah kita..."
Awalnya, aku hendak melanjutkan kalimatnya. Namun aku urungkan. Aku tidak mau merusak suasana bahagia si dia yang sebentar lagi hendak menikah.

"Kenapa, Doo?"
Dia bertanya seolah khawatir.

"Eh, tidak jadi."
Aku merasa telah salah bicara.

"Kamu bisa datang, kan?"
Dia bertanya memastikan kehadiranku.

"Selamat yaa. Sebentar lagi kamu mau menikah!"
Aku tidak menjawab pertanyaannya, mengalihkan dengan hal yang lain.

"Maafkan aku."
Dia berkata seperti itu, diiringi dengan sedikit suara serak. Seolah air mata hendak tumpah.

"Kenapa?"
Aku bertanya pura-pura bodoh.

"Assalamu'alaykum!"
Dia langsung menutup sambungan telepon.

"Alaykumussalam.."

Malam itu adalah malam terakhir dari rutinitas kami. Apabila pekan selanjutnya tiba, tidak ada lagi kegiatan rutin bercakap-cakap ria dalam sambungan telepon di setiap Rabu malam.

     Baca juga dong ;
  • Sepiring Hikmah dari Martabak India
  • Ramadhan dan Quran dari si Mbak
  • Pembatasan Sosial, Aku dan Kamu. Sebuah Auto Kritik?
 
Hari yang ditentukan tiba, dia mengirim pesan singkat melalui aplikasi chat di ponsel. Aku diminta hadir untuk ke rumahnya agar mengambil baju seragam untuk dikenakan di hari pernikahan si dia.
Aku memohon maaf, tidak bisa hadir mengambil baju seragam tersebut dengan alasan sedang ada pekerjaan lain yang tidak bisa ditinggalkan. Padahal, aku hanya di rumah saja. Tidak kemana-mana. Huuhu..

Akhirnya, dia menitipkan baju itu kepada teman yang lain. Sebut saja namanya Adit (emang nama sebenarnya).
Di sore hari, Adit tiba di rumahku. 
"Ada pekerjaan apa sehingga kamu tidak datang?"

Aku berterus terang.
"Tidak ada apa-apa dit. Aku di rumah saja, malas datang ke sana. Ehehe.."

"Hadeeh. Udahlah, Doo. Aku tahu. Kamu pasti sedang dalam suasana tidak enak hati. Kamu sih, udah aku bilangin sejak lama tentang 'hubungan terlarang' kalian. Malah direspon dengan iri bilang, bos! Salah sendiri." 
Adit berkata juga dengan berterus terang.

Kenapa hubungan aku dan dia dianggap terlarang?
Seperti yang telah aku katakan di cerita sebelumnya. Di organisasi yang kami ikuti, adalah tabu jika seorang laki-laki akrab dengan perempuan. Aku dan dia, di mata teman-teman organisasi nampak seperti orang yang berpacaran. Namun, kami menolak tuduhan tersebut.
"Kami hanya bersahabat, koq."

"Bersahabat, ndasmu!"
Adit langsung menyambarku.

Aku dan dia tahu, berpacaran tidaklah dibenarkan dalam organisasi agama kami. Hal ini telah ter-doktrin sejak dini.
Maka dari itu, aku menyangkal. Aku dan dia hanya berteman seperti biasa. Mejadi ehm, sahabat. Sama seperti aku berteman dengan perempuan-perempuan lain di kampus.
Namun, apabila aku bertanya pada hati kecil ini, dapat diakui. Si dia memang punya tempat yang spesial di dalam hati.
Si dia memang bukan sahabat biasa, namun (telah aku anggap) lebih dari sahabat. #eaa

Aku kemudian sadar. Mungkin, saat ini dia tidak mau digantung dengan hubungan-hubungan tidak jelas denganku, dia lebih memilih sesuatu yang pasti.
Di sisi lain, aku memang seorang pemuda yang baru saja menjadi sarjana, belum punya pekerjaan apa-apa.
Jelas akan kalah dengan seorang pegawai negeri, yang lulusan luar negeri.
Aku sadar diri.

***

Hari pernikahannya segera tiba, acara tersebut dilaksanakan di hari Ahad alias hari Minggu. Di hari Sabtu, si dia kembali mengirim pesan singkat melalui aplikasi chat. Isi pesan itu adalah menanyakan apakah aku akan hadir atau tidak, dia betul-betul mengarapkan kehadiran sahabatnya.
Sialnya, di hari Sabtu adalah hari yang benar-benar sibuk bagiku. Aku baru saja diterima kerja ke Pulau Jawa. Ini berarti aku harus merantau. Kesibukanku di hari itu adalah menyiapkan berbagai berkas, tiket pesawat, barang-barang yang akan dibawa ke dalam koper dan sebagainya.
Di malam hari aku baru sempat membaca pesannya. Karena kelelahan, aku lupa membalas pesan tersebut. Jadilah, dalam aplikasi pesan tersebut tersisa tanda centang biru sahaja.

Keesokan hari, aku telah duduk manis di dalam kursi pesawat terbang. Memerhatikan pramugari cantik yang tengah memberikan penjelasan apa-apa saja yang harus dilakukan jika pesawat sedang dalam kondisi darurat. Pesawat bersiap meluncur ke pulau seberang. Tepat pukul sepuluh pagi.
Di sisi lain, di saat yang sama. Si dia tengah duduk bahagia di kursi pelaminan bersama sang pujaan hati.

Aku hanya bisa mendoa dari jauh.
Baarakallahu lakuma, wa baaraka 'alaykuma, wa jama'a baynakuma fii khayr..
Semoga Allah karuniakan barakah kepada kalian, dan semoga Dia limpahkan barakah atas kalian, dan semoga Dia himpun kalian berdua dalam kebaikan.

Foto di atas, bukanlah foto si dia. Melainkan foto sepupuku.
Ehehe... 


Bersambung..
  • Jadi Kita Sekarang Gimana? (3) 


Jadi Kita Sekarang Gimana?

Pertanyaan ini terlontar dari si dia dalam obrolan kami dua malam lalu melalui sambungan telepon. Aku tidak ingat pasti, sejak kapan kebiasaan ini muncul. Mungkin sekira dua atau tiga tahun lalu, kami mulai rutin melakukan panggilan telepon sepekan sekali, setiap Rabu malam.

Aku pertama kali mengenalnya ketika menjadi mahasiswa baru. Saat itu, aku mendapat undangan untuk menghadiri suatu acara organisasi di kampus. Aku baru mendaftarkan diri di organisasi tersebut, dan diharuskan menghadiri pertemuan pertama, semacam acara perkenalan untuk para anggota baru.
Aku ingat betul, itu hari Jumat. Seusai melaksanakan shalat Jumat di Masjid kampus, aku langsung menuju aula di Fakultas Hukum.

Ketika sedang berjalan kaki sendirian ke sana, tiba-tiba ada yang menyapa,
"Do, kamu mau ke aula Fakultas Hukum, kan? Aku juga mau ke sana. Bareng aja jalannya!"

Aku yang seorang introvert cukup terkejut disapa sedemikian rupa seperti itu. Pertama, aku tidak mengenal siapa perempuan berhijab di depanku. Kenapa dia tiba-tiba menyapa, dan kenapa dia tahu namaku. Aku saat itu hanya terdiam selama empat detik.
Karena aku menjadi patung selama beberapa saat, perempuan itu kembali berceloteh,
"Hey, kenapa diam saja. Ayo sambil jalan. Ntar kita keburu telat. Oh ya, kamu pulang naik bus ke **** kan? Kita sering satu bus, loh. Aku sering lihat kamu."

*hening*

Heyyy... Aku masih bertanya-tanya. Siapa orang yang kini berada di sebelahku.
Apakah dia intel yang menyamar? Apakah aku ternyata seorang buronan yang dimata-matai oleh negara? Aku rasa tidak mungkin.
Aku masih diam saja, kami berjalan beriringan menuju lokasi acara.

Begitulah kisah pertama kali kami bertemu.
Belakangan, setelah kami akrab. Aku akhirnya dapat menguak informasi lebih banyak. Aku dan dia berasal dari SMA yang berbeda. Aku dari SMA Negeri X, dan dia dari SMA Negeri Y. Namun, semesta sering mempertemukan kami dalam berbagai acara yang diadakan antar sekolah. Mulai dari forum silaturahmi OSIS, forum silaturahmi Rohis, lomba karya tulis ilmiah, lomba majalah dinding (mading), hingga lomba nasyid. Jelek-jelek gini, aku adalah anggota nasyid ketika sekolah dulu. Ehehehe...

Satu lagi fakta menarik. Kami mengaji di tempat yang sama.
Setiap akhir pekan, di hari Ahad sore. Aku dan teman-teman selalu datang ke rumah Pak Ahmad. Beliau adalah seorang ustadz, juga seorang pebisnis. Ketika mengaji di rumahnya, selalu ada banyak makanan yang melimpah. Istri Pak Ahmad, sebut saja Bu Ahmad, selalu menyuguhkan makanan dan minuman kepada kami. Makannya sangat enak.
Terkadang aku minta dibungkus untuk dibawa pulang, wkwk.

Dan, yang namanya seorang ustadz, pasti istrinya juga seorang ustadzah yang tentu memiliki murid juga. Salah satu murid dari Bu Ahmad adalah... si dia.
Semesta kembali bekerja.

      Baca juga dong ;
  • Terpaksa (tidak) Merokok
  • Pernikahan Impiannya Orang Ansos
  • Pembatasan Sosial, Aku dan Kamu. Sebuah Auto Kritik?

Selepas pertemuan di aula Fakultas Hukum, sudah barang tentu kami menjadi sering bertemu. Aku dan dia menjadi anggota di divisi yang sama dalam organisasi tersebut. Hingga kemudian, aku menjadi ketua pelaksana dalam suatu acara, dan dia yang menjadi sekretaris. Di organisasi ini, sebutan ketua disebut Mas`ul, sedangkan sekretaris terkadang merangkap juga sebagai bendahara, yang pasti tugasnya diemban oleh perempuan. Jabatan ini disebut Korwat; Kordinator Akhwat.
Kamu pasti tahu, organisasi apa yang aku ikuti.
Well, sejak saat itu, seiring waktu berjalan, kami mulai menjadi lebih dekat. Entahlah, setan apa yang merasukiku.
Karena posisiku sebagai Mas`ul, maka sah-sah saja bagiku untuk mengirim chat kepada Korwat. Padahal, di organisasi yang kami ikuti. Adalah tabu seorang ikhwan (laki-laki) mengirim chat kepada anggota akhwat (perempuan). Bahkan, banyak dari kami yang tidak saling kenal.
Aku pernah bercerita di sini.

Awalnya hanya bertanya ringan.
"Gimana, proposal sudah kelar atau belum?"
"Uang dari Fakultas sudah bisa dicairkan, kah?"

Namun, aku kebablasan sampai acara selesai. Kepanitiaan telah dibubarkan. Kami Aku masih terus saling mengirim chat sesuatu. Mulai dari hal yang tidak penting, sampai hal yang sangat tidak penting sekali.
"Eh, cicak kok kakinya empat ya?"
"Gajah kok punya belalai?"
"Kamu koq makin cantiq yaa.."

Ada hal yang membuatku tertarik pada dia. Suatu saat, kami sedang melakukan outbond. Semua teman perempuanku; para akhwat kompak menggunakan celana panjang training. Satu orang yang tidak mau mengenakan itu, orang itu adalah dia. Bukan celana panjang training yang digunakan, melainkan rok.
Oh yaa, satu lagi. Karena kegiatan outbond adalah berlumpur-lumpuran, mereka juga melepas kaus kaki. Lha, si dia tidak mau melepas kaus kaki. Katanya, suatu hari ketika aku tanya, dia melakukan itu agar auratnya tidak terlihat oleh lawan jenis.
Akhwat satu ini benar-benar menjaga dirinya.

Entahlah. Semakin hari kami menjadi semakin dekat.
Beberapa teman mengetahui 'hubungan terlarang' kami. Banyak yang menasihati agar aku mengurangi interaksi dengan lawan jenis. aku jawab dengan, "Iri bilang, bos!"
Beberapa yang lain malah bergunjing dari belakang. Ada yang menuduh aku telah mengguna-guna si dia dengan pelet. Padahal, tidak mungkin aku melakukan itu. Aku tahu itu perbuatan syirik.
Kecuali, pakai pelet ikan, tak masalah kali, yaa! Wkwkwkw.


Bersambung..
  • Jadi Kita Sekarang Gimana? (2) 
  • Jadi Kita Sekarang Gimana? (3) 
  • Jadi Kita Sekarang Gimana? (4) 
Aku telah tiga jam berada di kolong masjid milik Sekolah Islam Terpadu (SIT) di dekat rumahku. Duduk berkonsentrasi. Berada di depan tumpukan daging-daging qurban.
Daging ini harus dipotong lagi menjadi lebih kecil, agar mudah didistribusikan ke warga. Satu kantong memuat tiga perempat kilogram daging, seperempat kilogram tulang. Jadinya, total satu kilogram.


 
Saat ini telah menunjukkan pukul sepuluh pagi, artinya aku telah stay sejak pukul tujuh pagi. Sepuluh dikurang tujuh sama dengan tiga. Tidak perlu dijelaskan.
Tiga jam, bukan waktu yang singkat bagiku untuk... tidak merokok.
(Yaa, kamu tidak salah baca!)

***

Aku saat ini tengah belajar, berusaha menjadikan diri lebih baik lagi.
Aku mengikuti komunitas hijrah. Komunitas ini cukup lain daripada komunitas mainstream yang ada di masyarakat kampung. Jika pengajian kampung lebih berfokus kepada shalawatan, tahlilan, yasinan, dan berbagai ritualnya. Komunitas yang aku ikuti ini tidak berfokus kepada hal tersebut. Mereka lebih berfokus kepada, yang penting kami mau untuk Shalat (dari sebelumnya tidak/jarang shalat). Harapannya, setelah mau, meningkat menjadi rajin, kemudian meningkat menjadi mengerjakan ibadah-ibadah yang lain. Ibadah sunnah, misalnya.

Oh ya, satu lagi. Komunitas ini tidak memaksa kami untuk harus shalat.
Heey Antum, bacanya jangan dipotong sampe ini, ntar dikira aliran sesat -_-

Maksudku, setiap pengajian sang guru hanya memberikan nasihat-nasihat ringan kepada kami. Memotivasi dan mengingatkan kami untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas shalat. Sekali lagi, sang guru sekadar mengingatkan. Mau diterima atau tidak nasihatnya, itu kembali ke pribadi masing-masing.
Seperti dalam surat Al-Baqarah, ..Laa ikraaha fiiddiin..
Tidak ada paksaan dalam agama.

Kembali ke topik.
Kerana sekarang tengah ber-iduladha. Maka kami melaksanakan pemotongan hewan qurban. Bertempat di sekolah Islam milik salah seorang guru kami. Hampir seluruh anggota komunitas hadir ikut membantu.
Aku menaksir delapan puluh orang hadir saat itu.

Ada satu hal yang menarik. Di sini, kamu tidak akan menemukan anggota yang merokok. Lagi-lagi berbeda dari kebiasaan masyarakat mainstream.
Masyarakat mainstream merokok tidak pandang tempat, tidak pandang bulu. Kaya-miskin, tua-muda, pengusaha-buruh, dosen-mahasiswa.
Mereka dapat disatukan dengan benda luck nut ini.
Mereka akan merokok di acara apapun; pesta pernikahan, takziyah orang meninggal, mengajar di kelas, hingga sidang anggota dewan!
(Aku pernah melihat video anggota dewan provinsi sedang melakukan sidang sambil merokok di dalam gedung parlemen, wkwkw)

Hal ini lah yang aku lupa.
Padahal, aku sudah membawa satu bungkus rokok di kantong agar dapat di-share kepada yang membutuhkan. Wkwkwk.
Pasti asyik, memotong daging sambil menghisap rokok. Agar tidak bosan. Penat. Mulut masam.

Karena tidak ada yang merokok, aku tidak berani menyalakan rokok sendirian. Terpaksa aku menahan diri, walaupun sudah gelisah setengah mati.
Ternyata, ada tiga orang sepertiku, yang aku yakin, mereka juga perokok.
Aku dapat melihat dari bibir yang hitam. Namun tidak hanya tanda itu, aku lihat dengan pasti, kegelisahan dari diri mereka.
Mereka (dan aku) sudah seperti orang ling-lung kebingungan. Macam orang sakaw.

Aku kemudian mendekati mereka,
“Bro, sebats yook. Aku tahu mulut kau pasti sudah masam. Sudah dari tadi pagi kita belum menghisap tembakau, loh!”

Salah seorang dari mereka menjawab,
“Jangan bro, ndak enak sama Ustadz. Di sini ga ada yang merokok. Tahan saja lah. Hitung-hitung sebagai latihan diri kita menjadi lebih baik. ”

Maka, dengan sangat terpaksa aku tidak merokok seharian.
Sebungkus rokok yang telah dibawa, kembali disimpan. Padahal aku sudah berniat sedekah rokok kepada mereka. :)

Baca juga ;
  • Dibayarin
  • Kunci Motor
  • Write "hi" and I will Post Something about You!

Apabila boleh flashback ke masa sepuluh tahun lalu. Ketika-aku-masih-jadi-orang-baik-baik. Aku pun mengalami hal yang sama; terpaksa.
Bedanya, saat itu aku terpaksa menerima rokok dari teman satu tongkronganku.
Karena aku tidak enakkan, semuanya saat itu merokok, akhirnya aku terima rokok dari mereka. Aku hisap dalam-dalam. Asapnya dapat aku rasakan telah sampai ke paru-paru, kemudian aku hembuskan ke udara. Ada sensasi plong setelah itu.

Kembali ke sang guru.
Salah satu pelajaran dari beliau terbukti efektif. Guru kami tidak pernah memaksa untuk berhenti merokok. Walaupun Beliau tahu, kami adalah perokok.
Awalnya terpaksa, menjadi terbiasa.
Dahulu, terpaksa menerima rokok, akhirnya terbiasa, hingga menjadi candu.
Kini, tengah terpaksa tidak merokok, kemudian terbiasa, hingga menjadi berhenti dari rokok. Berhenti tanpa paksaan.
 
Mohon doanya kepada para pembaca sekalian, agar akudapat segera berhenti dari kebiasaan buruk ini.
Salut kepada kalian yang tidak merokok!



Cerita ini adalah Fiksi :)
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

ABOUT AUTHOR

Kang Mas Joe adalah seorang yang berpengalaman dalam pahit dan getirnya kehidupan, walaupun nyatanya tidak terlalu pahit. Mencoba berbagi tulisan melalui blog, semoga ada hikmah yang bisa diambil. Apabila ada kritik, saran, nasihat dan mau kerjasama. Silahkan DM melalui Instagram dan Twitter @KanggMas_Joe. Terimakasih!

POPULAR POSTS

  • Pencitraan Jilid Dua; Buku yang Aku Baca di Tahun 2020
      Beberapa hari ke belakang, rumahku sedang direnovasi. Maka buku-buku yang ada di rumah sedang tidak ada di rak buku seperti biasa. Begini ...
  • Masjid Cheng Hoo
    Masjid Muhammad Cheng Hoo, adalah salah satu masjid yang cukup terkenal di Palembang. Sering dijadikan sebagai tempat wisata religi. Menurut...
  • Balonku Ada Lima
    Jangan terkejut, ini bukan jimat, mantra, doa atau sebagainya!  Untuk kamu yang sudah jago membaca Al-Quran sejak kecil, aku yakin kamu past...
  • Menjadi Pacar Sewaan
    Hari ini adalah hari Ahad, pukul sepuluh pagi. Aku sedang duduk bersantai di rumah, sedang menatap layar laptop untuk melakukan blog walking...
  • 3 Bloggers yang Rajin BW
    Seperti biasa, di setiap penghujung bulan, Mbak Eno yang baik hatinya kembali membuat challange. Ini adalah event ketiga dari challange- nya...

Categories

  • Bisnis
  • Cerita
  • Opini
  • Perjalanan
  • Pernikahan
  • Sajak
  • Tutorial

Copyright © 2021 Kangg Mas Joe. Created by OddThemes