Kangg Mas Joe

Blognya Dodo. Tidak semua yang diposting adalah nyata, banyak pencitraan dan fiksinya.


Hari ini adalah hari Ahad, pukul sepuluh pagi. Aku sedang duduk bersantai di rumah, sedang menatap layar laptop untuk melakukan blog walking ria. Tiba-tiba ada seorang girl-friend (baca: teman perempuan) yang menelpon.
"Joe, hari ini kamu kosong, ndak?"

"Hemm.. Ada hal apa, Aini?" kataku dari seberang telepon, sebut saja namanya Aini.

"Jadi gini, aku ada acara. Dapet undangan dari temenku. Kamu bisa temenin aku? Acaranya siang ini jam satu." Aini menjelaskan maksud dirinya menelponku.

Sejujurnya, di siang itu aku ada pekerjaan lain. Harus menyelesaikan desain untuk postingan di Instagram @temanwakaf. Namun, karena sedang malas untuk membuat desain, aku menyanggupi ajakan si Aini, "Hoo, oke bisa!" kataku dengan penuh semangat. "Sebenarnya itu acara apa, dan siapa temanmu yang mengundang ke acara itu, Aini?"

"Oke, kamu coba lihat pesan WhatsApp yang baru saja aku kirimkan."
Aku kemudian membaca dengan cepat isi undangan tersebut. Acara itu bertempat di salah satu restoran yang ada di Palembang.

Relationship Party
Dear Aini and partner..
Undangan ini khusus untuk kamu dan pasanganmu. Aku punya ide dan gagasan menarik. Mari kita berkolaborasi membuat suatu gerakan dan perubahan baru untuk kemajuan di kota kita. 
Salam hangat,
Hamzah

Aku bertanya tanda tak faham, "Jadi, maksud acara Relationship Party ini apaan?"

"Aku juga tidak terlalu faham, mungkin temanku mau buat event atau komunitas atau bisnis baru kali. Aku ajak kamu sebab kamu kan punya bisnis yang sedang dikelola. Siapa tahu ada peluang baru atau bisa berkolaborasi dengan orang-orang di sana."

"Oh yaa, kamu benar juga Aini. Mungkin saja aku bertemu dengan orang yang bisa diajak mengembangkan Teman Wakaf yaa. Terus gimana?"

"Intinya, Hamzah meminta aku untuk datang ke Relationship Party dengan mengajak pasangan. Dan aku minta kamu seolah-olah jadi pacarku, Joe!"

"Haaahh!" aku terseru kaget.

"Iyaa, aku tidak mau kalau dipandang sebelah mata oleh teman-temanku nanti. Jadi, paling tidak aku dianggap udah punya pacar dong."

Aku bersungut-sungut tak percaya, sepenting itu kah mengajak seorang "pacar" ke acara itu. Padahal sebenarnya dia bisa datang sendiri. Tidak ada kewajiban mengajak pacar.

"Jangankan pura-pura menjadi pacarmu. Menjadi pacar yang asli, aku mau kok. Ehehe.." kataku sambil menggodanya.

"Apa? Enak aja, lu! Kan udah lama kita janji untuk tidak saling jatuh cinta. Kita kan selamanya tetap akan jadi bes-pren!" Aini berseru dalam percakapan telepon itu, seolah benar-benar tidak mau menjadi pacarku (?).

"Hahaa.. Ndak, lupakan." aku menyanggah jokes itu, padahal itu dari hati yang terdalam.
"Jadi, gimana? Bisa kan Joe? Pliss.. Nanti besok aku traktir deh."
"Emangnya sepenting apa kamu harus mengajak seorang "pacar" ke acara itu?"
"Joe, sebenarnya Hamzah, yang mengundang acara itu, adalah...."
"Siapa?"
"Dia mantanku, Joe!"

Telepon hening.
Pantas saja Aini ngebet untuk mengajakku agar seolah-olah jadi pacarnya. Seperti di sinetron saja, tidak mau terlihat buruk di depan mantan. Maka Aini "menyewa" aku untuk menjadi pacarnya. Aneh sekali.

"Kita bertemu dimana dan jam berapa?"
"Bagusnya dimana ya?"
"Gimana kalo kita ketemuan di masjid taman kota saja. Sekalian pura-pura hendak shalat Zhuhur di sana. Setelah itu, baru berangkat ke lokasi."
"Kenapa harus pura-pura shalat? Yaa kita shalat saja di sana, Kangg Mas Joeeee!"

Sambungan telepon telah berakhir, aku telah bersiap-siap untuk berangkat ke acara yang dimulai sekitar dua jam lagi.
Tak lama berselang, Aini kembali menghubungiku, kali ini melalui chat di WhatsApp.

"Joe, kamu pake baju apa? Biar aku bisa pilih baju yang senada denganmu untuk dipake ke acara nanti. Jangan dengan style yang biasa kamu kenakan. Baju kaus oblong plus jaket. Mana jaketnya adalah jaket organisasi kampus, ada logo Unsri lagi. Ga pantes untuk dipake ke acara itu."

"Waah, kamu nampaknya sudah sangat ma'rifat kepadaku yaa. Hahha. Aku beneran mau pake style seperti itu loh. Simpel. Kenapa ga boleh?" begitu balasanku terhadap chat dari Aini.

"Yaa, pokoknya jangan. Kamu jangan buat aku malu, Joe. Jangan pula malu-maluin. Arghhhgh."
"Kalo pake baju batik, boleh?"
"Kaku banget kek mau kondangan. Pake kemeja apa kek, kemeja yang lucu, ada?"
"Hoo, aku akan pake kemeja warna kuning dengan lengan panjang, kemudian pake celana bahan."
"Lah, itu style kayak kamu lagi kuliah. Itu mah kayak dosen. Aku tidak mau nanti dikira jalan sama bapac-bapac!"

Aku selalu salah di mata Aini. Tapi mungkin memang ada benarnya juga. Tidak hanya Aini yang berkata seperti itu, tetapi banyak teman yang bilang kalau style berpakaianku mirip Bapac dosen.

Aku kemudian masih di depan lemari pakaian, memilah dan memilih baju mana yang cocok aku kenakan. "Kalo kemeja yang ini gimana?" aku mengirimkan foto kemeja berlengan pendek yang berwarna abu-abu dengan sedikit tambahan aksen berwarna biru.

"Nah, cakep. Itu aja deh, semoga nanti pakaian kita cocok yaa." chat itu berakhir.

Aku tidak mau menjadi "pacar" yang buruk bagi Aini. Maka aku memilih pakaian yang terbaik.
Aku memilih celana termahal yang aku punya. Akhirnya aku putuskan menggunakan celana jins yang aku beli dua bulan lalu. Harganya dua ratus ribu rupiah, beli ketika ada diskon di Matahari yang awalnya seharga enam ratus ribu rupiah. Menarik, bukan. Wkwkkw.

Untuk alas kaki, awalnya aku hendak menggunakan sandal andalan yang sering aku pakai kemana-mana; sandal gunung. Namun, karena tidak mau membuat Aini kecewa dan malu, aku memilih menggunakan sepatu yang aku beli di marketplace saat event Reuni-212, eh bukan, flash sale 1212 maksudnya. Aku memakai sepatu seharga seratus lima puluh ribu rupiah (harga awal sebelum diskon adalah empat ratus ribu rupiah).

Skip skip...

Kami telah bertemu di masjid taman kota sesuai dengan kesepakatan. Aini ternyata menggunnakan baju yang berwarna sama denganku. Kami berdua sama-sama menggunakan pakaian dengan warna abu-abu. Dia mengenakan dari atas ke bawah, dari jilbab hingga rok dengan warna abu-abu. Aini tampak cantik sekali saat itu.
Kami sungguh sangat serasi. Seperti pasangan yang benar-benar hendak merencanakan pergi ke acara dengan warna pakaian yang kompak.

Lima belas menit kemudian, kami tiba di restoran yang dimaksud. Nampaknya, Hamzah adalah anak orang kaya sehingga mem-booking tempat seperti ini. Aku masih meraba-raba maksud dan tujuan Relationship Party hari ini.

Ternyata, di ruangan itu juga terputar lagu yang instrumen musiknya menurutku tidak asing. Setelah sepuluh detik berpikir, aku baru ingat. Lagu itu adalah lagu yang terdapat dari Drama Korea Start-Up. Dan aku juga baru ingat, Relationship Party adalah pesta yang Won (Seo) In Jae mengundang Seo Dal Mi, adiknya. Dan Seo Dal Mi mengajak Nam Do San dalam acara itu agar tidak diremehkan oleh kakaknya.
Apakah Seo Dal Mi adalah Aini, dan Nam Do San adalah aku? Entahlah..

Aku dan Aini telah duduk di meja yang telah tersedia. Selagi menunggu peserta lain yang belum datang, kami berbasa-basi dengan Hamzah.

"Hamzah, kenalin ini Joe. Dia.. ehm.. teman deketku." Aini memperkenalkanku sebagai "teman dekat" ke Hamzah si mantannya.

"Teman dekat?" Hamzah mendelik penasaran.

"Maksudnya kami sekarang pacaran!"

"Oh yaa, selamat yaa! Halo Joe. Salam kenal. Semoga setelah ini kita bisa berkolaborasi. Ngomong-ngomong, pakaian kalian cocok nih. Serasi."
Aku dan Aini hanya tersenyum. Hahaa.

Singkat cerita, pertemuan hari itu selesai. Tepat pukul setengah enam. Hamzah mengucapkan terima kasih telah datang.
Inti acara itu adalah, Hamzah sedang membuat bisnis baru, dia meminta masukan dan saran terhadap produknya. Dia juga mengajak apabila produknya telah launching, agar kami menjadi pelanggannya.

Hamzah selanjutnya mengantar kami sampai ke parkiran. Kali ini dia yang terkejut, "Kalian kenapa bawa motor sendiri-sendiri? Kenapa tidak berboncengan dengan satu motor saja? Kan kalian berpacaran!"

"Bukan mahram. Kami pacaran dengan sistem syariah, bro! Bukan yang konvensional. Haha," kataku sembarang.

***

Hari telah berganti, kali ini aku dan Aini telah berada di salah satu coffee shop yang ada di sudut kota. Aini berusaha menepati janjinya, namun kataku tidak usah repot-repot. Toh aku juga dapat manfaat dari acara kemarin. Bisa dapat teman baru, yang bisa jadi di masa depan menjadi relasi baru.
Karena aku sudah janji, maka harus ditepati, Joe! Katanya, kemarin dalam pesan di WhatsApp.

Pertemuan kami dimulai sebakda shalat Ashar, diakhiri menjelang waktu Maghrib. Hampir dua setengah jam duduk bercengkrama bersama. Tidak terasa, memang. Coba apabila waktu selama itu dipakai untuk kuliah, atau mennghadiri ceramah agama atau kajian kitab kuning. Pasti sangat melelahkan. Baru setengah jam saja, sudah mengantuk.

"Eh, Joe. Kalau aku boleh tebak, ini adalah pertama kali kamu nge-date dengan cewek, kan?"
"Haah? Maksudnya gimana?"
"Makan berdua sama cewek gini, aku pasti adalah orang pertama kan?"

Hening.
Aku berpikir sesaat.

"Kamu benar juga, Aini. Biasanya kita kalo ngumpul kan berlima. Haha."
Fyi, aku dan Aini punya geng persahabatan yang anggotanya lima orang. Tiga laki-laki dan dua perempuan.

"Astaga.."
"Kenapa, Aini?"
"Banyak cowok-cowok yang ketika aku ajak begini, mereka selalu bilang pertama kali "nge-date" nya pasti denganku. Kamu adalah cowok ke delapan, Joe."
"Hahaa, kamu telah merusak anak baik-baik sepertiku, Aini."
Aini tertawa, kemudian memukul tanganku seraya aku menikmati pukulan lembutnya.

"Aini, aku mau bilang sesuatu.." aku kembali memulai percakapan usai tragedi pemukulan.
"Yaa, ngomong aja Joe, ada apa?"
"Daripada kemarin aku jadi pacar bo'ongan, gimana kalo.. ehm, aku jadi pacarmu beneran?" aku berbicara dengan hati-hati.

Coba tebak apa responnya, Aini malah tertawa. "Haha, bisa aja kamu Joe."
"Hehe.." aku tertawa getir.

"Jadi gimana nih, diterima atau tidak? Ehehe.." aku masih mencoba berbicara dengan sangat hati-hati.

Aini tertawa lebih kencang, "Level jokes kamu hari ini sudah sangat meningkat, Joe! Keren banget. Lanjutkan!"

Aku di dalam hati bersungut-sungut kesal.
WOOY GUE INI BENERAN SERIUS. BUKAN LAGI NGELAWAK! -_-

Adzan Maghrib lima menit lagi berkumandang, kami bergegas pulang dari coffee shop. Aini menawariku untuk mampir sejenak ke rumahnya, sebab memang searah dengan jalanku pulang ke rumah. Aku awalnya menolak. Namun karena Aini terus memaksa, akhirnya luluh juga. Aku menebak-nebak, "permainan" seperti apa lagi yang hendak dia tawarkan di rumahnya.

Setelah shalat Maghrib di masjid dekat rumah Aini, aku kini disuguhkan minuman dan makanan ringan di rumahnya. Kembali sedikit berbincang, namun kini ada ibunya di sana.
"Buuk, ini si Joe. Temenku kuliah," kata Aini kepada ibunya. "Sudah berapa banyak teman cowokku yang aku ajak ke rumah yaa, buuk?" 

"Waah kalo itu, sudah banyak sekali." ibunya menjawab sekenanya saja.

Aku mengerti arah pembicaraan itu. Itu sama saja dengan.. Heyy, Joe. Kamu tidak spesial kok. Biasa saja, jadi jangan ngarep!


Malam yang gelap kembali datang, dingin kembali menyelinap. Seorang Joe masih sama seperti malam-malam sebelumnya. Ia kembali gagal untuk memulai hubungan yang agak "serius".
Seorang Kangg Mas Joe, sampai hari ini tetaplah menjadi Kangg Mas Joe-mblo!

Kota Depok.
Hayoo, siapa yang tidak kenal dengan kota ini. Kota yang belum lama berdiri, hasil pemekaran dari Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Kota ini berbatasan langsung dengan Provinsi DKI Jakarta, ibukota Indonesia. Kota Depok dalam sejarah demokrasinya, sejak pertama kali diadakan Pilkada, selalu dimenangkan oleh "Partai Dakwah". Pun tahun ini, masih dimenangkan oleh partai yang sama. Ini sudah kali ke-empat rezim tersebut langgeng. Artinya, mereka otewe dua puluh tahun menjadi penguasa di Depok.

Saat ini, yang menjadi Walikota adalah Pak Kyai, tamatan pondok pesantren di Jawa Timur, kemudian S-1 hingga S-3 belio dapat dari Universitas Islam yang ada di Kerajaan Saudi, negerinya sang nabi. Kurang Islami apa lagi. So, partai tersebut benar-benar berkuasa dan (mungkin) ingin menyebarkan ideologinya.

Well, walopun Partai Dakwah berkuasa di Depok. Tidak kemudian seluruh lini terkena dakwah mereka. Bahkan, paham open minded liberalisme cukup subur di sini, hidup beriringan dengan paham Islami yang dibawa penguasa kota.

Siap-siap, cerita akan dimulai. Tentang kedua paham yang hidup beriringan. Setelah sebelumnya aku bercerita tentang Perempuan Open-Minded yang ada di Depok, kini aku mau cerita tentang temanku yang berasal dari Depok. Aku sudah mengenalnya sejak di bangku kuliah, sebab kami berada di jurusan yang sama. Sebut saja namanya Lia.

Bagaimana bentuk orangnya? Wajahnya berkulit sawo matang, namun tetap manis dipandang. Pandangan matanya selalu tertunduk, meneduhkan. Senyumnya manis dan bibirnya tipis. Lia menggunakan hijab yang cukup syar'i; lebar dan besar. Hijabnya terulur hingga menutup hampir seluruh tubuhnya. Pakaiannya benar-benar tertutup.

Ketika menjadi mahasiswi, Lia adalah ukhtivis; Ukhti-ukhti yang juga seorang aktivis. Aktif di berbagai organisasi mahasiswa. Menjadi sekretaris umum Rohis kampus, tahun selanjutnya menjadi Bendahara Umum di BEM. Juga aktif dalam berbagai forum pergerakan, kajian dan pemikiran. Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS), misalnya. Lia dan teman-temannya dengan lantang menolak RUU tersebut, dengan kajian dan data lengkap yang mereka beberkan. Aktivis dari gerakan sebelah dibuat tak berdaya olehnya.

Lia adalah sosok aktivis perempuan yang menjadi teladan. Menjadi role model bagi adik-adik tingkat di kampusnya. Dan sudah barang tentu, para anak Rohis yang berjanggut tipis banyak yang jatuh hati padanya. Tak terkecuali aku, wkowkoqk ~

Waktu terus berjalan, satu persatu dari kami mulai wisuda. Ada yang merantau, ada pula yang kembali ke kampung halaman. Lost contact tak dapat terelakkan. So, bagaimana dengan diriku?
Aku saat ini telah bekerja di perusahaan FMCG yang berkantor di bilangan Rasuna Said, Jakarta Selatan. Namun, aku tinggal di Depok, daerah Margonda. Banyak yang seperti itu, loh. Tinggal di Depok, tapi kerja di Jakarta.

Kini, aku punya kebiasaan baru. Hampir setiap malam selepas Maghrib, selalu mampir di salah satu cafe yang ada di Jalan Margonda Raya. Kalo kamu tinggal di Depok, pasti tau cafe apa yang aku maksud. Aku yang sebelumnya tidak suka kopi, kini menjadi ketagihan minum kopi. Melepas penat setelah bekerja.
Aku memilih tempat duduk favoritku, di sudut ruangan. Aku duduk dengan tenang, sendirian.

Kebiasaan ini terus berlanjut, hingga dua pekan berturut-turut. Sebelum ada sesuatu yang membuatku terkejut. Sebab, seorang perempuan dengan rok setinggi lutut, dan aroma parfumnya membuat aku bersungut-sungut.
"Doo, boleh aku duduk di sini?"

Oh Tuhan, darimana gadis ini mengetahui namaku. Bahkan, aku tidak mengenalnya (atau mungkin, tidak mengingatnya).
"Oh yaa, silahkan!" aku menjawab dengan memberikan senyum terbaik.

"Aku sudah beberapa hari ini memperhatikan kamu di cafe ini. Nampaknya, kamu tidak sadar akan adanya aku di sini. Sama sepertimu, bahkan setiap malam aku selalu ke cafe ini. Tidakkah kau sadar akan hal ini?" perempuan itu merocos saja, sekenanya.

Aku kemudian meneliti wajahnya dengan saksama. Pun juga dengan bentuk tubuhnya. Aku benar-benar tidak punya ide. Siapa orang yang ada di depanku. Seseorang yang rambutnya sebahu, berpakaian semi terbuka, you can see, lekuk tubuh cukup terlihat sebab pakainnya, dan memakai rok selutut. Setelah lima detik, aku baru sadar. Wajahnya tidak asing, namun aku tetap tidak mengenalnya.

"Doo, kenapa bengong? Kamu pangling yaa dengan aku. Aku tahu, kamu pasti bingung kan siapa aku. Coba tebak, siapa hayoo?" perempuan itu mulai sedikit menggodaku, sambil memainkan rambutnya yang dipelintir-pelintir.

"Jujur, aku lupa. Aku tidak mengingatmu. Tapi, wajahmu benar-benar tidak asing. Maafkan aku."

"Doo, ini aku. Lia!"

"HAAAH, LIA! BENERAN?" aku benar-benar terkejut. Drastis sekali perubahannya. Dari sebelumnya seorang ukhti berhijab syar'i dan gamis yang berpakaian sangat tertutup, kini pakainnya cukup terbuka, dengan rok hanya sampai lutut.

"Udah, ga usah sok terkejut. Biasa aja. Eh, tapi kalo pakaianku udah berubah gini, kita tetap masih bisa berteman kan, Doo?" pertanyaannya benar-benar membuat aku tersentak.

"Tentu saja, sejak kapan pertemanan memandang pakaian."

"Bagus, deh. Kemarin juga ada teman kita yang aku ajak ketemuan. Dia masih pake hijab syar'i. Ketika tau aku gini, eh aku malah dijauhin. Kontak WhatsApp pun di-block. Gila bener, coba, percuma aja pake hijab syar'i, tapi akhlaknya tidak syar'i." Lia tampak emosi.

"Huss.. Udah, ga boleh gitu. Biarin aja!"

Begitulah pertemuan pertamaku dengan Lia yang "baru". Lia sudah berubah drastis, namun aku juga tidak punya hak untuk menghakimi, tidak juga ingin bertanya kenapa hal itu terjadi. Lha, aku juga sama saja sepertinya. Sama-sama sedang otewe menuju jalan yang (dianggap) tidak baik.

Kembali ke cafe.
Setelah pertemuan itu, kami menjadi intens berkomunikasi dan bertemu di sana. Aneh ya kalo difikir. Ketika kuliah, di organisasi kami tidaklah lazim laki-laki dan perempuan intens berkomunikasi. Lha, hari ini, kami berdua duduk berhadap-hadapan di sini.
Apa saja, selalu muncul bahan obrolan yang layak untuk diperbincangkan. Kata orang, kami seperti orang yang berpacaran. Padahal bukan.

Kejutan lain muncul, saat itu di malam minggu. Lia tiba-tiba memohon maaf kepadaku, "Maaf nih Doo. Aku udah ga tahan. Toh kamu sudah tahu aku luar dalam gimana, jadi aku tidak canggung lagi yaak!" Ternyata dia mengeluarkan rokoknya, dia menghisapnya dalam-dalam. Aduhai.. Belajar merokok darimana dia. Aku benar-benar terkejut.

"Oke, tak masalah. Santuy!" aku kemudian ikut mengambil rokok miliknya yang tergeletak di atas meja dan menyalakannya, "Aku minta sebatang yaak!"
Kali ini, Lia yang terkejut.

"By the way, kamu masih ngaji Doo?" obrolan dua orang anak manusia yang sedang merokok dimulai.

"Menurutmu? Jawabannya sama seperti dirimu, lah. Aku tidak ikut pengajian lagi hehehe."

"Heeey, enak saja. Walaupun aku sudah lepas jilbab, aku masih rutin ikut pengajian. Huu!" Lia meledekku, aku ternyata terlalu cepat menilai seseorang hanya dari penampilannya saja.

Di hari yang lain, masih di cafe yang sama. Sebab hubungan kami semakin intens, terjadilah percakapan seperti ini.
"Doo, apa kita pacaran aja yaa. Biar ga jadi omongan orang. Kita resmikan hubungan kita?" suatu saat Lia berkata demikian, di sudut cafe remang-remang.

"Haah, pacaran untuk apa?" aku menjawab pura-pura polos.

"Eh, maafkan aku Doo. Aku tahu, kalo di organisasi kita emang di-doktrin kalo pacaran itu ga boleh. Nampaknya, kamu masih memegang teguh doktrin itu." Lia berbicara dengan hati-hati.

"HAHAHA!" Aku tertawa terbahak-bahak, seolah meledek Lia. Lia balas mencubit pahaku, aku diam saja, untuk menikmati cubitannya dan grepe-grepe darinya.

"Pacaran, tidak ada gunanya. Toh apa yang orang lakukan ketika pacaran, sudah kita lakukan juga. Duduk makan malam berdua, pergi jalan-jalan berdua, nonton bioskop berdua. Kalo hanya sekedar deklarasi ayo kita pacaran. Itu tidak berguna. Hubungan semacam itu hanyalah sekadar main-main saja. Kalo emang kamu mau seperti yang kamu bilang tadi, resmikan hubungan agar ga jadi omongan orang. Yaa, solusinya adalah..." aku menghentikan pembicaraanku sejenak agar lebih dramatis.

"Apa Doo?" sorot matanya tajam memerhatikan mulutku, seolah tidak mau tertinggal satu kata pun yang keluar.

"Kita menikah aja, gimana! Jujur, aku udah suka sama kamu sejak lima tahun lalu, sejak kita kuliah di kelas yang sama dan masuk di organisasi yang sama. Kau tahu, banyak teman di luar sana yang jatuh hati kepadamu. Karena kamu adalah seorang yang cerdas, aktif bersuara lantang dalam menyuarakan kebenaran, menjaga diri dari laki-laki juga berpakaian sopan, rapi dan tertutup. Namun semua itu sirna ketika kamu malah memutuskan untuk melepas hijabmu. Orang-orang banyak yang mundur. Tetapi aku tidak, aku masih sama sejak lima tahun yang lalu, yang tulus mencintaimu. Aduhai, aku bicara apa ini. Aku tidak menyangka aku akhirnya berani juga mengungkapkan rasa kepada sang ukhti idaman di kampus, mantan aktivis dakwah beberapa tahun lalu."

Mata Lia berkaca-kaca, dia tidak menyangka akan kalimat yang baru saja didengarnya. Satu detik kemudian, tubuhnya telah berada di depanku. Satu centimeter jaraknya. Lia langsung memelukku dan membisikkan ke telingaku, "Aku juga cinta kamu, Doo."

***

Malam itu, aku tidak bisa tidur. Aku benar-benar merasa bahagia sebab telah mengungkapkan perasaan yang dipendam selama bertahun-tahun. Ditambah lagi, perasaan itu mendapat respon. Gayung bersambut. Maka, keesokkan hari, aku langsung menghubungi orang tua yang berada di Pulau Sumatera. Intinya, aku meminta izin kepada mereka untuk menikah. Sontak saja mereka terkejut karena sangat mendadak. Wkwkwk.

"Bagaimana orangnya, nak?" kata ibuku dari sambungan telepon.

Aku jelaskan secara detail, tidak ada yang ditutup-tutupi. "Orangnya baik, ramah, waktu kuliah dulu pake jilbab. Tapi sekarang sudah tidak lagi. Pakaiannya juga, kalo aku ketemu agak sedikit terbuka. Selalu mengenakan rok di atas lutut, bu. Tapi itu tidak masalah, aku bisa bimbing dia kembali ke jalan yang benar, bu." kataku kepada ibu, menjawab pertanyaan beliau.

"Kamu serius, mau nikah sama orang yang seperti itu? Ibu tidak yakin kamu bakal kuat. Ibu pokoknya tidak setuju. Cari yang lain saja, yang normal saja. Masih banyak perempuan di luar sana yang menggunakan jilbab dengan baik." ternyata, ibuku tidak setuju atas pilihanku.

"Tenang, bu. Dia itu orangnya penurut, bisa diarahkan kok. Aku janji, akan bimbing dia perlahan-lahan agar kembali mengenakan jilbab." aku tetap membujuk beliau.

"Pokoknya kalau ibu bilang tidak, ya tidak. Logika sederhana saja. Kalo perintah Tuhannya saja dia tidak patuh, apalagi nanti perintah suaminya."

"Tapi, bu.."

"Tidak!"

"Atau begini saja, aku minta dia mengenakan jilbab dari sekarang. Kalau ternyata dia mau, ibu izinkan aku menikah sama dia. Aku rasa itu cukup adil, bu."

Usul dariku diterima oleh ibu. Aku telah mengajak Lia untuk makan malam di tempat yang berbeda, walaupun masih di Jalan Margonda Raya, Depok. Sebagai informasi, pembangunan di Depok terlalu fokus di Margonda, itulah sebab banyak tempat hiburan ada di kawasan ini. Hehehe.

Kami makan malam di cafe rooftop, cafe yang berada di lantai apartemen paling atas. Lantai 25. Suasananya cukup indah. Dapat melihat kemerlap malam Kota Depok. Walaupun hanya gedung-gedung tinggi saja yang dilihat.

"Aku sudah bicara sama ibuku." kataku mulai pembicaraan serius.

"Aku juga, papa dan mama sudah setuju. Mereka bilang kapan kamu dan orang tuamu datang ke rumah. Biar kita cepetan sah, hahaha!"

Mendengar jawaban Lia, aku menelan ludah, kemudian menggaruk kepala yang tidak gatal.
"Ibuku setuju aku menikah denganmu, asalkan kamu mau memakai jilbab lagi. Itu saja syarat dari beliau. Tidak berat, kok." aku langsung to the point saja.

Lia menggeleng, "Tidak bisa, Doo. Aku belum mau mengenakan jilbab lagi. Saat ini aku belum siap, nanti kalau kita sudah menikah, biarlah waktu yang mengalir. Perlahan-lahan, aku akan belajar lagi untuk mengenakan jilbab."

"Sebenarnya, aku juga sudah menawarkan opsi itu kepada ibuku. Namun, beliau menolak. Ayoolah, sayang. Apa susahnya menerima syarat itu. Kau penuhi syarat itu, kemudian kita bisa menikah." aku terus memaksanya.

"Sekali lagi, tidak bisa Doo. Aku tidak mau dipaksa kalau urusan seperti ini. Bukankah dalam agama kita ada ayat yang berbunyi Laa ikraaha fiddiin. Tidak ada paksaan dalam beragama." Lia masih bersikeras menolak, bahkan dia masih hafal salah satu potongan ayat Al-Quran beserta artinya.

"Ayat itu benar, tapi penggunaannya tidak tepat dalam konteks ini, Lia."

"Doo, kau bilang kepadaku bahwa tidak masalah dengan keadaan aku sekarang yang tidak menggunakan jilbab. Tapi kenapa sekarang kau malah memaksaku untuk mengenakannya kembali? Dasar laki-laki sama saja semua. Tidak ada yang konsisten!"

"Bukan begitu, sayang. Aku menghormatimu karena pilihanmu yang tidak mau mengenakan jilbab. Adalah hak setiap individu, mau pakai jilbab atau tidak. Tapi ini soal lain. Perkara kewajiban, ini adalah hal yang wajib yang tidak boleh ditinggalkan. Aku sebagai seorang suami, nantinya, harus memastikan istriku untuk taat pada perintah agamanya."

"Yaa, bener. Kan kau bilang nanti. Bukan sekarang. Aku belum siap kalo sekarang. Ayoolah, Doo. Aku sudah bener-bener cinta sama kamu, dan kamu pun begitu. Aku tahu. Kita kawin lari aja, bukankah laki-laki tak ada kewajiban untuk menikah dengan seizin orang tuanya. Yang harus mendapat izin itu pihak perempuan, laki-laki tidak!"

"Tawaranmu benar. Di dalam agama kita, memang laki-laki tidak harus izin kepada orang tuanya untuk menikah. Tapi, itu sama saja perbuatan yang tidak beradab. Sama saja aku kabur dari orang tua, tidak berkah nanti kalo kita menikah dengan cara seperti itu."

"Terima tawaranku, atau aku lompat dari lantai 25 ini. Aku serius, aku tidak main-main, Doo!" kini Lia yang balik mengancamku.

"Liaaa! Jangan main-main. Tenangkan pikiranmu. Kau bisa mati kalau lompat dari lantai 25 ini."

"Aku serius, aku tidak main-main. Nikahi aku, aku tidak mau memenuhi syarat dari ibumu. Aku benar-benar mau meloncat sekarang." Lia seraya berdiri dari kursinya, aku dengan sigap menahan tangannya.
"Lepaskan tanganku, kita bukan mahram, Doo!"

"Aku akan melepaskan tanganmu, tapi kamu duduk dengan tenang. Berpikirlah dengan jernih, malu dilihatin pengunjung lain yang ada di cafe ini." para pengunjung cafe yang lain sudah mulai memerhatikan keributan kami.

"Lepaskan aku!"
Aku akhirnya melepaskan cengkraman tanganku. Dia kembali memberikan tawaran, "Ini penawaranku terakhir. Kita menikah, tetapi aku tidak mau memenuhi syarat dari ibumu. Atau, aku benar-benar akan melompat."

"Lia!" Aku sedikit membentaknya, "Ayoolah, apa susahnya mengenakan jilbab. Tidak ada yang salah dari itu. Kamu pake jilbabnya besok, bulan depan aku jamin kita bisa menikah! Kalo kamu memang masih tidak mau, ya sudah. Silahkan lompat saja sana, aku tidak peduli lagi!"

"Ya udah, kalo emang begitu maumu, Doo." Lia tertunduk, dia menghabiskan minumannya. Setelah itu, dia berjalan santai ke pinggir pagar. Dan, boom. Lia benar-benar melompat dari lantai 25.

Aku shock sekali melihat kejadian itu. Lia benar-benar melakukannya. Dia benar-benar lompat dari lantai 25.
Keesokkan hari, berita itu tersiar. Viral dari media sosial. SEORANG PEREMPUAN JATUH BUNUH DIRI DARI LANTAI 25, SETELAH BERTENGKAR DENGAN SANG KEKASIH. Begitu judul beritanya.
Praktis, berita kematian Lia menjadi pengalihan isu yang baik. Berita tentang korupsi dana Bansos 17 Milyar, dan berita tewasnya enam anggota FPI, lenyap dari televisi.

***

SEPERTI BIASA, CERITA INI HANYALAH FIKSI.
TIDAK NYATA, CERPEN BELAKA! :)
 
A’udzubillahi minasy syaythaanir rajiim.
Bismillahir rahmaanir rahiim.
Alhamdulillahir rabbil ‘alamiin.
Hamdan syakirin.
Hamdan, eeehm, eehm, eehm...
 
Untaian kalimat di atas adalah penggalan doa yang aku bacakan ketika dalam acara Khatam Al-Quran.
Untuk kamu yang belum tahu, Khatam Al-Quran adalah peristiwa ketika kita telah menamatkan dalam pembacaan Al-Quran 30 juz. Namun, kata guruku, adalah tidak tepat ketika kita menggunakan istilah “tamat” dalam baca Al-Quran. Kenapa? Kalau “tamat”, berarti sudah selesai. Tidak akan dibaca lagi setelah tamat. Maka, digunakanlah istilah “khatam”, berarti ketika selesai dibaca 30 juz, A-Quran kembali dibaca dari awal juz pertama.
 
Sekolahku mewajibkan para siswanya untuk selalu membaca Al-Quran di pagi hari, lima belas menit sebelum masuk. Pukul 06.45 hingga pukul 07.00. Jadi, setiap siswa di kelas akan membaca Al-Quran bersama-sama. Kalau kamu datang ke sekolahku di jam segitu, pasti di tiap-tiap kelas terdengar gaungan para siswa membaca Al-Quran.
Sungguh islamisasi yang sangat baik di sekolah negeri. *eh
 
Dengan begitu, normalnya para siswa di suatu kelas akan bisa khatam satu kali dalam setahun, alias tiga kali dalam masa sekolahnya. Qodarullah, karena kelas kami paling kece di antara kelas lain. Kami bisa mengkhatamkannya empat kali, melebihi ekspetasi guru-guru di sekolah. Berbangga dikit boleh lah yaa! WQWKQK.
 
Biasanya, ketika hendak Khataman setiap kelas akan mengadakan semacam Syukuran di Mushallah sekolah. Kami akan membaca beberapa surat di akhir juz 30, kemudian dzikir dan doa bersama. Tak lupa, kegiatan ini juga diikuti oleh guru agama, wali kelas, dan beberapa guru lain. Kemudian akan ada kata sambutan dan wejangan dari mereka agar kami terus membaca Al-Quran walaupun sudah tamat dari sekolah.
(Benar kan “tamat”, bukan “khatam”. Yakali selesai kelas tiga, aku harus mengulang ke kelas satu lagi, wkwk)
 
Oh yaa, satu lagi. Ini bisa menjadi “ladang bisnis” bagi anak Rohis. Kenapa? Karena acara ini pasti mengajak anak Rohis untuk memimpin acara itu. Dan sudah barang tentu, acara ini akan ada snack berupa kue-kue dan makan siang dalam bentuk nasi kotak. Anak Rohis sangat senang jika ada Khataman. Lumayan, bisa dapat kue dan makan siang gratis, hehehe.
Dan tahukah kamu, salah satu anak Rohis yang memanfaatkan “ladang bisnis” itu adalah.. Aku. Hal ini sangat menarik karena aku dapat menghemat uang jajan dan bisa makan enak.
 
Dari puluhan kali menjadi panitia Khataman, ini adalah salah satu kisah yang tak terlupakan. Kisah ini terjadi ketika aku duduk di kelas sebelas, semasa sekolah menengah atas, tujuh tahun lalu. Aku menjadi panitia untuk Khataman kelas IPS. Saat itu, aku tidak memikirkan nasi ayam panggang spesial yang akan diterima. Melainkan, aku memikirkan spesial yang lain yang ada di kelas sebelah. Si doi adalah murid kelas sebelah. Ini yang aku maksud spesial. *ups
 
Ketika menjadi panitia Khataman, aku biasa mengisi posisi sebagai pembaca Al-Quran. Satu kali pun, aku tidak mau mengisi posisi lain seperti pembaca doa atau pemimpin dzikir bersama. Sebab, sehari-hari aku tidak terbiasa melakukanya. Adalah wajar karena cara aku beribadah lebih condong dengan Muhammadiyah, tidak condong ke cara NU. You know lah, dzikir dan doa bersama adalah kebiasaan orang-orang NU.
 
“Doo, nanti aku saja ya yang baca Al-Quran. Kamu baca doa aja!” Tiba-tiba temanku bilang ketika kami sudah di Mushallah.
 
“Eh, jangan. Aku aja baca Al-Quran, seperti biasa. Kamu yang baca doa atau pimpin dzikir saja!” Aku menolak ajakan temanku.
 
“Waah, jangan Doo. Aku belum hafal kalo disuruh pimpin doa. Kamu kan sudah hafal, kamu saja!” Temanku tetap berusaha memintaku untuk menjadi pembaca doa.
 
“Iya, aku emang udah hafal. Tapi belum pernah pengalaman, aku tidak berani, nanti salah.” Aku masih menyanggah.
 
“Udahlah, kamu aja Doo. Kamu sudah hafal, aku belum. Fiks, posisi kamu lebih kuat dariku untuk baca doa!”
 
Aku pasrah. Perdebatan ini dimenangkan oleh temanku. Niat untuk tampil baca Al-Quran, agar dikira keren di depan si doi gagal seketika. Aku harap-harap cemas. Takut-takut salah dalam membaca doa yang sudah aku hafalkan sejak dua pekan lalu.
 
Akhirnya, pembacaan Al-Quran dan dzikir bersama usai. Kini tiba saatnya untuk pembacaan doa. Microphone telah diserahkan kepadaku. Dengan sedikit gugup aku memulai doa itu. Hingga baru beberapa kalimat, suaraku tercekat. Ehm, ehm, ehm...
Aku menoleh kepada guru agama yang duduk takzim tak jauh dariku. Kontak mata terjadi di antara kami. Belio seolah faham kalau aku sedang butuh bantuan.
 
“Hamdan na’imin” Kata guruku, melanjutkan kalimat doaku yang terputus.
 
Aku ulangi kata-kata Pak Guru, “Hamdan na’imin, hamdan ehm, ehm, ehm...” Aku masih lupa apa kelanjutannya.
 
Aku kembali menoleh ke Pak Guru, beliau memberikan kode apa yang harus aku baca selanjutnya. Namun, aku tidak mengerti gerakan komat-kamit mulutnya. Setelah satu Mushallah hening selama sepuluh detik, aku putuskan untuk langsung menutup doa itu dengan doa sapu jagat alias doa keselamatan dunia dan akhirat.
 
“Rabbanaa aatina fid dunya hasanah, wa fil akhirati hasanah, wa qiina ‘adzaban naar. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin.” Doa yang harusnya lima menit, aku pangkas menjadi satu menit saja. Sungguh menakjubkan, bukan!
 
“Dengan berakhirnya doa, berakhir pula acara kita hari ini. Saya selaku pembawa acara...” Pembawa acara Khataman hendak menutup acara itu, namun dicegat oleh Pak Guru Agama.
 
“Nanti dulu, jangan ditutup. Pak mau ngomong sebentar, sini pinjam microphone-nya!” Kata beliau, aku sudah cemas mendengar itu.
 
“Kamu siswa kelas mana?”
 
“Saya anak IPA-1, pak.” Aku menjawab dengan sopan, aku heran dengan Pak Guru, padahal beliau kenal denganku. Kenapa malah bertanya seperti itu.
 
“Kan kalian anak Rohis sudah biasa memimpin doa seperti ini. Kenapa kamu tidak hafal?” Guruku mencecarku, di depan murid-murid yang menjadi peserta Khataman. Ditambah lagi, Pak Guru memarahiku di depan si doi. Hancur sudah reputasiku selama ini.
 
“Saya sudah hafal, Pak. Tapi kan biasanya saya baca Al-Quran, bukan baca doa. Ini adalah kali pertama saya membaca doa. Saya tadi agak gugup, Pak!” Aku masih membela diri.
 
“Anak-anak dan bapak ibu guru sekalian. Inilah contoh murid yang kurang ajar. Saya tahu, dia ini ketika ada kajian taklim di sekolah, bukannya memerhatikan isi kajian. Malahan sibuk main hape. Dikasih tugas hafalan, tidak dikerjakan. Anak-anakku sekalian, jangan kalian tiru murid seperti ini!” Pak Guru seolah membuka aibku di depan teman-teman yang lain.
 
Aku betul-betul kesal dan malu saat itu. Coba kamu bayangkan, gimana rasanya dipermalukan di depan umum seperti itu. Karena aku murid yang baik, aku diam saja. Aku masih memandang beliau sebagai guru, aku takut kualat. Kalau tidak, bisa saja orang itu aku labrak balik.
 
Akhirnya, acara Khataman itu benar-benar selesai. Seluruh siswa telah keluar dari Mushallah, kecuali Pak Guru, aku dan beberapa teman anggota Rohis lain. Kami masih harus merapikan Mushallah yang baru saja selesai dipakai. Teman-temanku mengambalikan Al-Quran ke rak-rak buku. Aku dan Pak Guru masih duduk diam saja.
 
“Doo, kenapa kamu tadi tidak hafal? Sudahlah, tidak usah bohong. Pak tahu!” Pak Guru memecah keheningan.
 
“Dasar guru kampret, tadi di depan teman-teman pura-pura tidak kenal. Dasar guru tua bangka, niat sekali mau mempermalukanku!” Aku hanya bergumam di dalam hati. Tidak mungkin kata-kata sumpah serapah seperti ini aku keluarkan.
 
“Eh, iya Pak. Maafkan saya.” Wajahku tertunduk, pura-pura malu.
 
“Bapak mau menyampaikan pikiran, bisa benar bisa salah. Kamu tadi gugup karena salah satu murid yang duduk di sana, katanya sedang dekat denganmu. Betul kan? Pak tahu, intel bapak berkeliaran dimana-mana. Haha.”
 
Aku langsung terkejut, tau darimana Pak Guru akan hal itu. Aku masih diam saja.
 
“Sudahlah, masalah seperti itu tidak usah kamu pikirkan. Buang jauh-jauh perempuan itu dalam hati dan pikiranmu. Apalagi kini, kamu pengen tampil di depan agar dilihat perempuan itu. Harapanmu setelah acara ini pasti agar dikira keren oleh perempuan itu. Nyatanya, kamu malah dipermalukan oleh dirimu sendiri. Niatmu sudah salah dari awal, Doo!” Pak Guru menasihatiku dengan bijak, aku masih menyimak dengan seksama.
 
“Kalau kamu ingat, kajian di awal semester yang Pak sampaikan kepada kalian. Hadits nomor pertama dari Kitab Hadits Arba’in, karya Imam Nawawi. Kenapa hadits ini diletakkan pertama, karena saking penting kandungan isinya. Diriwayatkan dari Amirul Mukminin, Umar bin Khaththab. Sesungguhnya, setiap perbuatan tergantung kepada niatnya. Dan sesungguhnya, setiap orang akan dibalas dari apa yang menjadi niatnya. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijjrahnya adalah karena Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena harta dunia, atau karena wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya akan bernilai sebagaimana yang diniatkannya.” Beliau melanjutkan dengan penjelasan suatu hadits.
 
“Astaghfirullah..” Aku bergumam dalam hati.
 
“Nih, Doo. Dengerin. Nabi sudah dari 14 abad yang lalu menyinggung akan hal ini. Niat hijrah jangan karena wanita, luruskan niatmu. Berbuat baiklah untuk mengharap ridha Allah saja. Kalo yang kamu harapkan adalah wanita, yaa belum tentu dapet. Pak ulang sekali lagi, kalo kamu mengharap ridha Allah, yang lain sudah pasti aman. Sudah ya, Doo. Pak mau masuk ke kelas dulu, lima menit lagi ada jadwal ngajar ke kelas IPA-2.”
 
“Baik, pak. Terima kasih atas wejangannya.”
 
***
 
Selepas kejadian itu, aku mulai melupakan si doi. Aku mulai fokus belajar dan terus berbuat baik dengan mengharap ridha Allah saja.
Kami memilih jalur hidup masing-masing. Info yang aku dapat, doi merantau ke Pulau Kalimantan, diterima di Fakultas Kedokteran di salah satu universitas negeri yang ada di Pontianak. Sedangkan aku, memilih kampus yang dekat. Simpelnya, kami lost contact.
 
Singkat cerita, selepas kuliah aku telah diterima bekerja di Kota Pontianak. Saat itu, aku sedang duduk santai bersama beberapa teman di salah satu coffee shop yang ada di kota itu.
 
Ketika tengah asyik berbincang, seseorang yang tidak asing bagiku masuk. Orang itu adalah si doi.
 
“Hey, apa kabar? Waah tidak menyangka kita bertemu di sini ya. Sudah lama tidak berjumpa.” Aku mulai menyapanya.
 
“Eh, iya Doo. Sudah lama sekali ya. Kamu ternyata merantau ke kota ini juga, ya?” Kata si doi.
 
“Iyaa, baru bulan lalu diterima di pabrik yang ada di sini. Kamu sendirian aja nih ke sini? Kebetulan sekali yah bisa bertemu setelah sekian lama. Jangan-jangan semesta bekerja, ehehe.”
 
“Tidak, Doo. Aku ke sini bersama suami. Baru dua pekan lalu kami menikah, kenalin Doo. Ini suamiku. Bang, sinii cepetan!” Suaminya bertubuh tinggi besar, bergegas turun dari mobilnya.
 
“Kenalin bang, ini Dodoo. Teman satu SMA dulu, ini looh. Ketua Rohis yang semalam aku ceritain. Semesta beneran bekerja yaa, baru aja semalem kita omongin. Eh hari ini malahan ketemu di sini.” Kata si doi kepada suaminya. Aku melongo mendengar perkataan itu.
 
“Waah, senang sekali bisa berjumpa di sini. Salam kenal ya mas Dodoo. Jadi gimana, udah hafal kah doa Khataman-nya? Hehhe.” Aku kembali melongo.
 
Tujuh tahun telah berlalu, wejangan dari Pak Guru masih terngiang hingga hari ini. Ucapan belio terbukti. Wanita yang aku harapkan, benar-benar tidak aku dapatkan.
Sudahlah, yang paling benar memang hanya mengharap ridha Allah saja, jangan mengharapkan yang lain. Nanti bakal kecewa!
 
Cerita ini hanya fiksi!  :)

Saat ini menunjukkan pukul sepuluh pagi. Aku sedang duduk santai di ruang tamu, sedang membuka Twitter, membaca perdebatan netizen. Banyak hal yang diperdebatkan, mulai dari yang penting sampai hal yang retjeh. Sesekali, aku ikut mendebat para Libertard yang open-minded. 
Sementara itu, adikku tengah duduk di depan laptop. Nampaknya sedang mengerjakan tugas dari dosennya yang bertubi-tubi tiada henti.
 
Tanpa angin dan hujan, tiba-tiba adikku berseloroh, "Mas, minta kontak Mbak Fulanah dong!"

"Eh, untuk apa?" Aku bertanya penasaran, ada hal apa dia menanyai kontak sahabat-ku. Fulanah adalah 'sahabat'ku, dalam 'tanda kutip' yaa. Ehehehe.

"Ndak, mas. Aku ada perlu saja." Jawab adikku polos.
 
"Beneran?"
 
"Iya, bener mas."
 
Oh yaa, adikku adalah seorang mahasiswa baru di fakultas yang sama denganku. Aku berbeda usia satu setengah tahun dengannya. Kata orang, kami seperti kembar karena saking miripnya. Hanya berbeda di kaca mata. Aku pakai kaca mata, dia tidak.

Kembali ke twitter.  Setelah melayani permintaan adikku, aku kembali berselancar di dunia maya. Aku begitu kesal dengan netizen yang punya pemikiran aneh. Ada yang bikin twit begini. "Aktivitas hubungan seksual tidak harus dilakukan dalam bingkai pernikahan. Kalo udah sama-sama suka, ga masalah."
 
Aku tidak habis thinking. Kok bisa ada yang berpikir begitu. Apakah penduduk Indonesia hari ini semakin sekuler dan liberal? Entahlah, semoga saja tidak.

Dua hari kemudian, pada sore hari di terminal bus kampus. Aku dan adikku hendak pulang ke rumah menggunakan bus. Di sana juga ada Fulanah yang sedang duduk manis di halte. Saat itu, ia menggunakan gamis berwarna ungu dan hijab putih lebar yang menjulur sampai ke bawah  dada.
 
"Waah, ada mbak juga di sini. Akhirnya kita ketemu juga nih, setelah dari kemarin hanya mengobrol di WhatsApp." Adikku menyapa si Fulanah.
 
"Hehe, iya dek. Akhirnya bertemu juga. Tumben nih, bareng masnya. Biasanya kalian pulang sendiri-sendiri. Lagi akur, nih!" Fulanah merespon basa-basi adikku.
 
Adikku kemudian memberikan sebuah kotak kardus ke Fulanah. Kotaknya cukup besar, dua kali lipat dari kardus Indo*mie.
"Mbak, ini ada hadiah dari Mas Dodoo. Katanya selamat ulang tahun. Dia malu mau ngasih sendiri, jadi aku yang mewakilkannya."

Fulanah menoleh ke arahku, "Heeh?"

Aku terkejut. Sekarang aku melotot ke adikku. "Haah?!"
 
Kami saling ber-hah-heh.
 
Fulanah tertawa kecil melihatku yang tengah melotot ke adikku.
"Hiihii, makasih ya Doo. Makasih juga, dek." Dia mengucapkan terima kasih kepada adikku dan aku.

"Emm... Sa.. sama-sama." Aku berujar sambil menggaruk kepala yang tidak gatal.
 
"Doo, dek. Duluan yaa. Assalamu'alaykum!" Fulanah masuk ke bus yang hendak berangkat, sedang aku dan adikku masih duduk di halte. Kami lebih memilih untuk naik bus selanjutnya.

"Yaa, 'alaykumussalam!" Kami berdua menjawab dengan kompak.

Sepuluh menit kemudian, bus selanjutnya tiba. Kami naik ke bus itu, aku ingin mengintrogasi adikku dalam perjalanan pulang.
 
"Kamu ngapain tadi ngasih hadiah?" Aku memulai sesi introgasi di dalam bus yang sedang berjalan.
 
"Memberikan surprise ke mbak Fulanah, mas. Dia kan ulang tahun, dan sebenarnya aku sekalian mau bantuin mas. Setahuku, mbak Fulanah kan saat ini lagi deket sama mas. Siapa tau berjodoh dengan njenengan, mas. Hehehe." Adikku menjawab dengan jujur.

"Astaga!" Aku terkejut mendengar responnya. Sepertinya adikku penonton setia story Instagram si Fulanah. Itulah sebabnya kedekatan kami diketahui adikku.
 
"Terus, kamu beliin apa saja tadi untuk kado itu. Kenapa besar sekali box-nya?"

"Aku beliin magic-com, tas, gamis, kerudung, buku tulis, pulpen dan pensil. Oh ya, satu lagi. Kertas A4 80 gram satu rim beserta tinta juga,untuk nge-print. Sebagai seorang mahasiswi, mbak Fulanah pasti butuh barang-barang seperti itu, mas."

Hening.
Aku bengong sejadi-jadinya.

"Banyak sekali yang dibeli, berapa total harganya?"

"Enam ratus lima puluh ribu, mas." Adikku masih menjawab dengan polosnya.

"Astaghfirullah." Hanya ini respon yang bisa ku berikan.
 
"Kenapa, mas?"
 
"Uang darimana kamu? Kok bisa belanja sebanyak itu?"

"Kan aku ada uang beasiswa Bidikmisi. Lha, kan mas juga dapat itu uang Bidikmisi. Piye, tho?"

Hening kembali.

"Yaudah, mau diganti ndak uangmu?"

"Eeh, boleh deh mas. Hehehe."

"Mas ganti setengahnya yaa. Nih, tiga ratus lima puluh ribu, kontan!" Aku mengeluarkan uang dari dompet, memberikannya ke adikku.

Aku kembali penasaran dengan kepolosan adikku. "Terus, apalagi yang kamu lakukan ke mbak Fulanah?"

"Oh ya, aku beliin sate, mas."

"SATE?" Aku berseru tanda tidak faham.

"Iya, mas. Kan itu ada magic-com yang aku kasih. Mungkin sampai di rumah nanti, mbak Fulanah lapar dan kepengen makan sate. Bisa langsung makan, dengan cara dihangatkan dulu menggunakan magic-com baru itu." Adikku menjawab dengan benar-benar lugu, bukan hendak bercanda.

"ASTAGA ADIKKU!!" Aku kali ini benar-benar speech less.
 
Kemudian, entah darimana. Ada ibuku di dalam bus itu, dia mendekati tempat duduk kami.
Kemudian beliau berkata dengan suara melengking khas emak-emak, "Dodoo, banguun. Sudah jam tujuh pagi masih aja di atas kasur. Udah dibilangin, habis shalat Shubuh, jangan tidur lagi!"
 

Ternyata, cerita di atas hanyalah mimpi belaka.
 

Postingan Lama Beranda

ABOUT AUTHOR

Kang Mas Joe adalah seorang yang berpengalaman dalam pahit dan getirnya kehidupan, walaupun nyatanya tidak terlalu pahit. Mencoba berbagi tulisan melalui blog, semoga ada hikmah yang bisa diambil. Apabila ada kritik, saran, nasihat dan mau kerjasama. Silahkan DM melalui Instagram dan Twitter @KanggMas_Joe. Terimakasih!

POPULAR POSTS

  • Pencitraan Jilid Dua; Buku yang Aku Baca di Tahun 2020
      Beberapa hari ke belakang, rumahku sedang direnovasi. Maka buku-buku yang ada di rumah sedang tidak ada di rak buku seperti biasa. Begini ...
  • Masjid Cheng Hoo
    Masjid Muhammad Cheng Hoo, adalah salah satu masjid yang cukup terkenal di Palembang. Sering dijadikan sebagai tempat wisata religi. Menurut...
  • Balonku Ada Lima
    Jangan terkejut, ini bukan jimat, mantra, doa atau sebagainya!  Untuk kamu yang sudah jago membaca Al-Quran sejak kecil, aku yakin kamu past...
  • Menjadi Pacar Sewaan
    Hari ini adalah hari Ahad, pukul sepuluh pagi. Aku sedang duduk bersantai di rumah, sedang menatap layar laptop untuk melakukan blog walking...
  • 3 Bloggers yang Rajin BW
    Seperti biasa, di setiap penghujung bulan, Mbak Eno yang baik hatinya kembali membuat challange. Ini adalah event ketiga dari challange- nya...

Categories

  • Bisnis
  • Cerita
  • Opini
  • Perjalanan
  • Pernikahan
  • Sajak
  • Tutorial

Copyright © 2021 Kangg Mas Joe. Created by OddThemes