Kling klong..
Ponselku berdering, tanda ada pesan masuk dari aplikasi WhatsApp. Apabila aku lihat, ternyata pesan tersebut berasal dari my girl friend. Ia bertanya sesuatu.
"Assalamu'alaykum. Doo, kamu punya kontak ustadz yang faham mengenai fiqih syariah, ndak?"
Aku dengan sigap langsung membalas, takut membuat ia kecewa, "Wa'alaykumussalam. Yaa, ada. Ini kontaknya."
Aku mengirim dua kontak ustadz lulusan Universitas Al-Azhar Cairo Mesir. Sebut saja Ustadz Ahmad dan Ustadz Idrus (bukan nama sebenarnya).
"Kamu dong yang tanyain ke ustadz, kan sesama laki-laki. Aku ndak enak. Ehehee." My girl friend membalas pesanku.
"Eh, emang mau tanya apa? Aku juga tidak kenal sama mereka sih."
"Jadi gini, Doo. Aku kan sedang interview kerja di salah satu perusahaan swasta." Dia mulai menjelaskan.
"Waah, selamat yaa!" Kataku.
"Tolong tanyakan pertanyaannya seperti ini. Kalau kita bekerja di suatu perusahaan teknologi, dan kita ditugaskan menjadi teknisi di bank. Kerjaannya halal atau ndak, yaa?"
"Hemm.."
"Maksudnya gini, Doo. Misal aku kerja nih di Perusahaan X, kemudian Perusahaan X diminta oleh Bank Y untuk memperbaiki sistem pada bank mereka. Itu kan sama saja aku mendapat uang dari bank. Aku ndak mau lah menerima uang haram."
"Kok bisa haram?" Aku bertanya penasaran.
Dia menjawab dengan dalil Al-Quran, "Iya, jelas haram. Di bank kan ada bunga. Bunga merupakan riba. MUI telah berfatwa bahwa bunga dalam bank adalah riba, dan itu adalah haram hukumnya. Kita bisa lihat di Al-Quran surat Al-Baqarah, ayat 275 ... Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba ..."
"Oke, siapp bu bos. Nanti akan aku tanyakan. Tapi tidak dengan kedua ustadz yang tadi, aku tidak kenal. Aku tanyakan dengan guru yang lain yaa."
"Syukran!"
(terima kasih)
"Oke, 'afwan!"
(sama-sama)
Obrolanku usai dengan my girl friend, alias teman perempuanku. Yaa, my girl friend di sini bukan pacar.
Aku adalah seorang jomlo! Hiksss :((
Fyi, aku punya sebelas girl friend dari program studi di kampusku. Sedangkan untuk boy friend, aku punya sekitar empat puluh orang.
Sungguh informasi nir-faedah!
Baca juga dong;
Aku kemudian menghubungi guru-guruku. Pertama, aku menghubungi Bang Fatih. Beliau guru ngaji-ku ketika SMA. Walaupun sekarang aku sudah tidak lagi ngaji ke beliau, hubungan kami masih tetap baik.
Beliau menjawab pertanyaanku,
"Yang memberi gaji dari bank atau perusahaan? Kalau digaji oleh perusahaan, insyaa Allah halal. Karena tugas itu baik dan bukan kriminal. Kalaupun yang memberi gaji adalah dari pihak bank, itu bukan untuk maksiat, tetapi kemaslahatan. Itu pun sebagian ulama membolehkan karena kita mengambil upah sebagai karyawan. Walaupun, di sisi lain sebagian ulama tetap mengharamkan menerima gaji dari bank."
Bang Fatih melanjutkan, "Coba kamu tanya ke Ustadz Ahmad juga. Siapa tahu dia bisa memberikan jawaban yang lebih memuaskan."
Ustadz Ahmad adalah ustadz yang kontaknya tadi aku berikan ke my girl friend.
"Terima kasih banyak, bang."
"Kamu diterima kerja di perusahaan itu?" Bang Fatih kini bertanya kepadaku.
"Eh, tidak bang. Itu temen yang bertanya kepadaku."
Percakapan selesai.
Selanjutnya, aku bertanya kepada adik tingkatku di kampus. Setahuku, dia sering ikut pengajian Habaib.
"Dek, tolong tanyain ke Habib dong!" Aku mengirimnya pesan.
"Tanya apa, mas?" Si adik tingkat membalas pesanku, walaupun setelah satu jam. Dasar slow respon.
Setelah satu jam lagi aku menunggu, adik tingkat itu mengirimku pesan forward dari sang Habib, "Tidak termasuk haram kerjaan seperti itu. Yang haram itu kalau bekerja yang langsung berkaitan dengan riba."
Aku mengucapkan terima kasih.
Terakhir, aku menghubungi Ustadz Egi (bukan nama sebenarnya).
Aku saat ini rutin mengaji dengan beliau sepekan sekali. Jadi, selepas SMA ketika masuk kuliah, aku pindah pengajian. Dari Bang Fatih ke Ustadz Egi.
Sama seperti sebelumnya, isi chat dari girl friend langsung aku copy ke Ustadz Egi, mentah-mentah.
Beliau menjawab, "Wlkmslm. Halal, tapi ada batasannya. Kamu harus mencari atau melamar pekerjaan lain, dan kalau sudah diterima di tempat lain yang lebih jelas, segera tinggalkan pekerjaan yang lama."
Aku membalas chat sang ustadz, mengucapkan terimakasih. Kemudian, aku bertanya perihal jadwal pengajian rutin kami, "Jadi, besok malam kita tetap ngaji seperti biasa ya pak?"
"Gimana kalo kita makan-makan? Pengajian daring menggunakan Zoom kita tunda dulu untuk pekan ini." Jawab sang ustadz, diakhiri dengan emoticon ketawa.
Oh ya, di masa pandemi ini kami tetap melakukan pengajian, tetapi online. Kami sudah lima bulan mengaji dengan tidak bertatap muka.
"Eh, boleh pak. Dimana? Ehehe.." Aku menjawab dengan mengikuti gaya sang ustadz, aku mengakhiri dengan emoticon ketawa juga.
"Terserah kalian saja, silahkan diskusikan dengan teman-teman."
"Baik, pak. Terima kasih banyak."
"Oh ya, nanti uangmu cukup atau tidak? Kalau tidak cukup, nanti akan saya tambahin kekurangannya."
"Eeeeh, iya pak. Siap."
Percakapan kami di WhatsApp berakhir.
Aku merasa ada yang tidak beres. Otakku mencoba menganalisis, tujuh belas detik kemudian aku mendapat kesimpulan.
Ahha!
Kesimpulan pertama, karena sekarang sudah masuk fase new normal. Kami tidak lagi mengaji melalui daring. Maka, untuk merayakan berhentinya pengajian daring, dimulai dengan makan bersama. Prediksiku, pekan depan kami telah akan mengaji dengan tatap muka seperti biasa. Seperti sebelum ada pandemi.
Kesimpulan kedua, sang ustadz mengira bahwa aku baru saja diterima kerja. Dan makan-makan bersama adalah cara untuk merayakan ini. Kemungkinan besar aku yang akan menanggung biaya makan dengan teman-teman. Jika uangku kurang, sang ustadz akan menutupi kekurangan itu.
Sepertinya, kesimpulan kedua adalah tepat, alias... MAMPUS GUE GA PUNYA DUIT!
Aku langsung memberi kabar ke teman-teman pengajianku di grup WhatsApp.
By the way, kami punya dua grup. Grup pertama, ada sang ustadz di dalamnya. Sedangkan grup kedua, tidak ada ustadz di situ. Sudah barang tentu kami sering berkomunikasi di grup yang tidak ada ustadznya, ehehehe.
(Maafkan muridmu, tadz. Semoga ustadz tidak baca blog ini. Hiihihi)
"Teman-teman semua, besok malam kita ngaji-nya tidak daring lagi. Kita diajak ustadz makan-makan ke restoran ********. Harap datang, yaa!" Aku memberi kabar ke teman-teman di grup.
"Kita tidak ngaji online lagi, Doo?" Seorang teman bertanya.
Aku jawab, "Mungkin tidak lagi. Sepertinya, pekan depan sudah normal. Kembali bertatap muka seperti biasa. New normal."
"Siapa yang bayar nih?" Teman yang lain ikut bertanya.
Yaa, pertanyaan ini cukup penting, mengingat kami mayoritas di grup itu adalah pengangguran, baru wisuda beberapa bulan yang lalu. Ada juga yang wisudanya tertunda (atau, ditiadakan?) kerana Corona. Ada juga yang masih mengerjakan skripsi.
Kami semua masih missqueen.
Aku menjawab dengan gamblang, "Kita nanti bawa duit aja sendiri-sendiri. Tapi, katanya sih ustadz bakal nambahin."
***
Esok hari, jam delapan malam. Aku dan enam orang boy friend sudah berada di restoran yang disepakati. Aku memesan paket menu yang paling murah saat itu, nasi dengan lele goreng dan es teh. Harganya Rp 13.500. Teman-temanku yang lain memesan makanan yang lebih mahal, nasi ayam panggal Rp 20.000, ditambah jus alpukat Rp 16.000. Totalnya, Rp 36.000 untuk sekali makan satu orang.
Dompetku menangis, uang makan mereka masih lebih besar daripada uang jajan yang ibuku berikan dalam tiga hari. Wkwkwk.
Kami makan seperti biasa, tidak ada yang aneh. Kemudian, sambil berbincang-bincang, salah seorang teman bertanya.
"Jadi pekan depan kita kembali ngaji tatap muka, tadz?"
Ustadz Egi menjawab, "Tidak, pekan depan kita kembali menggunakan Zoom. Untuk pekan ini saja kita makan-makan di luar."
"Jadi, dalam rangka apa kita makan-makan di sini, tadz? Aku kira ini karena kita hendak ngaji lagi tatap muka. Karena new normal."
"Dodoo tidak memberi tahu kalian kah? Bukanya makan-makan ini karena syukuran dia yang baru diterima kerja." Ustadz Egi memberi penjelasan yang membuat kami semua terkejut.
"Haaah?!" Aku tersedak.
Ustadz Egi tidak mau kalah, "Haaah?"
Kami berdua saling ber-hah-hah.
"Eh, maaf pak. Saya belum diterima kerja kok. Hehee." Aku menjelaskan. Renungan aku kemarin, terbukti.
"Lha, bukannya kamu kemarin bilang bahwa diterima di perusahaan teknisi untuk Bank?"
"Bukan, pak. Itu temanku yang bertanya. Dia mau kerja di sana, tapi ragu takut terkena dosa riba. Jadi, pertanyaan itu akun tanyakan ke bapak."
"Jadi kamu sekarang?"
"Masih menganggur, pak. Mohon doanya agar segera dapat kerja. Ehehehe." Aku menjawab dengan polos.
GUBRAKK
Makan malam kali itu berakhir tepat jam sembilan. Akhirnya, seluruh makanan malam itu ditraktir oleh ustadz.
Aku menyesal.. kenapa pilih makan yang termurah. Seharusnya aku bisa memesan makanan yang lebih mahal.
Hahahaa!
Cerita ini adalah nyata, namun ditambah sedikit bumbu penyedap agar lebih terkesan dramatis.