Kangg Mas Joe

Blognya Dodo. Tidak semua yang diposting adalah nyata, banyak pencitraan dan fiksinya.



Kling klong..

Ponselku berdering, tanda ada pesan masuk dari aplikasi WhatsApp. Apabila aku lihat, ternyata pesan tersebut berasal dari my girl friend. Ia bertanya sesuatu.

"Assalamu'alaykum. Doo, kamu punya kontak ustadz yang faham mengenai fiqih syariah, ndak?"

Aku dengan sigap langsung membalas, takut membuat ia kecewa, "Wa'alaykumussalam. Yaa, ada. Ini kontaknya."
Aku mengirim dua kontak ustadz lulusan Universitas Al-Azhar Cairo Mesir. Sebut saja Ustadz Ahmad dan Ustadz Idrus (bukan nama sebenarnya).

"Kamu dong yang tanyain ke ustadz, kan sesama laki-laki. Aku ndak enak. Ehehee." My girl friend membalas pesanku.

"Eh, emang mau tanya apa? Aku juga tidak kenal sama mereka sih."

"Jadi gini, Doo. Aku kan sedang interview kerja di salah satu perusahaan swasta." Dia mulai menjelaskan.

"Waah, selamat yaa!" Kataku.

"Tolong tanyakan pertanyaannya seperti ini. Kalau kita bekerja di suatu perusahaan teknologi, dan kita ditugaskan menjadi teknisi di bank. Kerjaannya halal atau ndak, yaa?"

"Hemm.."

"Maksudnya gini, Doo. Misal aku kerja nih di Perusahaan X, kemudian Perusahaan X diminta oleh Bank Y untuk memperbaiki sistem pada bank mereka. Itu kan sama saja aku mendapat uang dari bank. Aku ndak mau lah menerima uang haram."

"Kok bisa haram?" Aku bertanya penasaran.

Dia menjawab dengan dalil Al-Quran, "Iya, jelas haram. Di bank kan ada bunga. Bunga merupakan riba. MUI telah berfatwa bahwa bunga dalam bank adalah riba, dan itu adalah haram hukumnya. Kita bisa lihat di Al-Quran surat Al-Baqarah, ayat 275 ... Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba ..."

"Oke, siapp bu bos. Nanti akan aku tanyakan. Tapi tidak dengan kedua ustadz yang tadi, aku tidak kenal. Aku tanyakan dengan guru yang lain yaa."

"Syukran!"
 (terima kasih)

"Oke, 'afwan!"
(sama-sama)

Obrolanku usai dengan my girl friend, alias teman perempuanku. Yaa, my girl friend di sini bukan pacar.
Aku adalah seorang jomlo! Hiksss :((
Fyi, aku punya sebelas girl friend dari program studi di kampusku. Sedangkan untuk boy friend, aku punya sekitar empat puluh orang.
Sungguh informasi nir-faedah!

   Baca juga dong;
  • Perempuan Open-Minded
  • Jadi Kita Sekarang Gimana?
  • Pembatasan Sosial, Aku dan Kamu. Sebuah Auto Kritik?

Aku kemudian menghubungi guru-guruku. Pertama, aku menghubungi Bang Fatih. Beliau guru ngaji-ku ketika SMA. Walaupun sekarang aku sudah tidak lagi ngaji ke beliau, hubungan kami masih tetap baik.

Beliau menjawab pertanyaanku,
"Yang memberi gaji dari bank atau perusahaan? Kalau digaji oleh perusahaan, insyaa Allah halal. Karena tugas itu baik dan bukan kriminal. Kalaupun yang memberi gaji adalah dari pihak bank, itu bukan untuk maksiat, tetapi kemaslahatan. Itu pun sebagian ulama membolehkan karena kita mengambil upah sebagai karyawan. Walaupun, di sisi lain sebagian ulama tetap mengharamkan menerima gaji dari bank."

Bang Fatih melanjutkan, "Coba kamu tanya ke Ustadz Ahmad juga. Siapa tahu dia bisa memberikan jawaban yang lebih memuaskan."
Ustadz Ahmad adalah ustadz yang kontaknya tadi aku berikan ke my girl friend.

"Terima kasih banyak, bang."

"Kamu diterima kerja di perusahaan itu?" Bang Fatih kini bertanya kepadaku.

"Eh, tidak bang. Itu temen yang bertanya kepadaku."

Percakapan selesai.
Selanjutnya, aku bertanya kepada adik tingkatku di kampus. Setahuku, dia sering ikut pengajian Habaib.

"Dek, tolong tanyain ke Habib dong!" Aku mengirimnya pesan.

"Tanya apa, mas?" Si adik tingkat membalas pesanku, walaupun setelah satu jam. Dasar slow respon.

Setelah satu jam lagi aku menunggu, adik tingkat itu mengirimku pesan forward dari sang Habib, "Tidak termasuk haram kerjaan seperti itu. Yang haram itu kalau bekerja yang langsung berkaitan dengan riba."

Aku mengucapkan terima kasih.

Terakhir, aku menghubungi Ustadz Egi (bukan nama sebenarnya).
Aku saat ini rutin mengaji dengan beliau sepekan sekali. Jadi, selepas SMA ketika masuk kuliah, aku pindah pengajian. Dari Bang Fatih ke Ustadz Egi.
Sama seperti sebelumnya, isi chat dari girl friend langsung aku copy ke Ustadz Egi, mentah-mentah.

Beliau menjawab, "Wlkmslm. Halal, tapi ada batasannya. Kamu harus mencari atau melamar pekerjaan lain, dan kalau sudah diterima di tempat lain yang lebih jelas, segera tinggalkan pekerjaan yang lama."

Aku membalas chat sang ustadz, mengucapkan terimakasih. Kemudian, aku bertanya perihal jadwal pengajian rutin kami, "Jadi, besok malam kita tetap ngaji seperti biasa ya pak?"

"Gimana kalo kita makan-makan? Pengajian daring menggunakan Zoom kita tunda dulu untuk pekan ini." Jawab sang ustadz, diakhiri dengan emoticon ketawa.
Oh ya, di masa pandemi ini kami tetap melakukan pengajian, tetapi online. Kami sudah lima bulan mengaji dengan tidak bertatap muka.

"Eh, boleh pak. Dimana? Ehehe.." Aku menjawab dengan mengikuti gaya sang ustadz, aku mengakhiri dengan emoticon ketawa juga.

"Terserah kalian saja, silahkan diskusikan dengan teman-teman."

"Baik, pak. Terima kasih banyak."

"Oh ya, nanti uangmu cukup atau tidak? Kalau tidak cukup, nanti akan saya tambahin kekurangannya."

"Eeeeh, iya pak. Siap."

Percakapan kami di WhatsApp berakhir.
Aku merasa ada yang tidak beres. Otakku mencoba menganalisis, tujuh belas detik kemudian aku mendapat kesimpulan.
Ahha!

Kesimpulan pertama, karena sekarang sudah masuk fase new normal. Kami tidak lagi mengaji melalui daring. Maka, untuk merayakan berhentinya pengajian daring, dimulai dengan makan bersama. Prediksiku, pekan depan kami telah akan mengaji dengan tatap muka seperti biasa. Seperti sebelum ada pandemi.

Kesimpulan kedua, sang ustadz mengira bahwa aku baru saja diterima kerja. Dan makan-makan bersama adalah cara untuk merayakan ini. Kemungkinan besar aku yang akan menanggung biaya makan dengan teman-teman. Jika uangku kurang, sang ustadz akan menutupi kekurangan itu.
Sepertinya, kesimpulan kedua adalah tepat, alias... MAMPUS GUE GA PUNYA DUIT!

Aku langsung memberi kabar ke teman-teman pengajianku di grup WhatsApp.
By the way, kami punya dua grup. Grup pertama, ada sang ustadz di dalamnya. Sedangkan grup kedua, tidak ada ustadz di situ. Sudah barang tentu kami sering berkomunikasi di grup yang tidak ada ustadznya, ehehehe.
(Maafkan muridmu, tadz. Semoga ustadz tidak baca blog ini. Hiihihi)

"Teman-teman semua, besok malam kita ngaji-nya tidak daring lagi. Kita diajak ustadz makan-makan ke restoran ********. Harap datang, yaa!" Aku memberi kabar ke teman-teman di grup.

"Kita tidak ngaji online lagi, Doo?" Seorang teman bertanya.

Aku jawab, "Mungkin tidak lagi. Sepertinya, pekan depan sudah normal. Kembali bertatap muka seperti biasa. New normal."

"Siapa yang bayar nih?" Teman yang lain ikut bertanya.
Yaa, pertanyaan ini cukup penting, mengingat kami mayoritas di grup itu adalah pengangguran, baru wisuda beberapa bulan yang lalu. Ada juga yang wisudanya tertunda (atau, ditiadakan?) kerana Corona. Ada juga yang masih mengerjakan skripsi.
Kami semua masih missqueen.

Aku menjawab dengan gamblang, "Kita nanti bawa duit aja sendiri-sendiri. Tapi, katanya sih ustadz bakal nambahin."

***

Esok hari, jam delapan malam. Aku dan enam orang boy friend sudah berada di restoran yang disepakati. Aku memesan paket menu yang paling murah saat itu, nasi dengan lele goreng dan es teh. Harganya Rp 13.500. Teman-temanku yang lain memesan makanan yang lebih mahal, nasi ayam panggal Rp 20.000, ditambah jus alpukat Rp 16.000. Totalnya, Rp 36.000 untuk sekali makan satu orang.
Dompetku menangis, uang makan mereka masih lebih besar daripada uang jajan yang ibuku berikan dalam tiga hari. Wkwkwk.

Kami makan seperti biasa, tidak ada yang aneh. Kemudian, sambil berbincang-bincang, salah seorang teman bertanya.
"Jadi pekan depan kita kembali ngaji tatap muka, tadz?" 

Ustadz Egi menjawab, "Tidak, pekan depan kita kembali menggunakan Zoom. Untuk pekan ini saja kita makan-makan di luar."

"Jadi, dalam rangka apa kita makan-makan di sini, tadz? Aku kira ini karena kita hendak ngaji lagi tatap muka. Karena new normal."

"Dodoo tidak memberi tahu kalian kah? Bukanya makan-makan ini karena syukuran dia yang baru diterima kerja." Ustadz Egi memberi penjelasan yang membuat kami semua terkejut.

"Haaah?!" Aku tersedak.

Ustadz Egi tidak mau kalah, "Haaah?"

Kami berdua saling ber-hah-hah.

"Eh, maaf pak. Saya belum diterima kerja kok. Hehee." Aku menjelaskan. Renungan aku kemarin, terbukti.

"Lha, bukannya kamu kemarin bilang bahwa diterima di perusahaan teknisi untuk Bank?"

"Bukan, pak. Itu temanku yang bertanya. Dia mau kerja di sana, tapi ragu takut terkena dosa riba. Jadi, pertanyaan itu akun tanyakan ke bapak."

"Jadi kamu sekarang?"

"Masih menganggur, pak. Mohon doanya agar segera dapat kerja. Ehehehe." Aku menjawab dengan polos.

GUBRAKK

Makan malam kali itu berakhir tepat jam sembilan. Akhirnya, seluruh makanan malam itu ditraktir oleh ustadz.
Aku menyesal.. kenapa pilih makan yang termurah. Seharusnya aku bisa memesan makanan yang lebih mahal.
Hahahaa!



Cerita ini adalah nyata, namun ditambah sedikit bumbu penyedap agar lebih terkesan dramatis.





Namanya Clara. Kami merupakan rekan kerja di kantor. Kami bekerja di salah satu perusahaan swasta di kota Depok, Jawa Barat. Aku pertama kali bertemu ketika tengah berada di dalam bus Trans Jakarta. Ah, Trans Jakarta juga tidak hanya melayani rute dalam Provinsi DKI Jakarta saja. Bus ini juga beroperasi di daerah sekitarnya termasuk Depok.

Aku telah duduk manis di dalam bus sambil mendengar musik yang diputar. Saat itu, pengeras suara di dalam bus memainkan lagu Selow milik Via Vallen. Tiga halte kemudian, ada seorang naik ke dalam bus. Aku tidak terlalu peduli. Dan ketika bus Trans Jakarta yang aku tumpangi telah tiba di halte yang aku tuju. Aku turun, demikian pula dengan perempuan itu. Kami kemudian berjalan bersama, masuk ke gedung yang sama. Namun tanpa bertegur sapa.

Hingga pada hari ke sepuluh. Akhirnya dia yang memecah keheningan. Kebetulan, saat itu bangku yang berada di sebelahku kosong. Perempuan itu langsung duduk di sebelahku.

"Gue boleh duduk sini, mas?" Ujarnya basa-basi.

Jelas saja boleh karena bangku itu kosong. Yang tidak boleh itu, kalau perempuan itu duduk di atas pangkuanku. Itu bisa berbahaya dan mengakibatkan hal-hal yang diinginkan. Hiihi..

Aku menjawab, "Aah, iya. Silahkan, mbak." diakhiri dengan senyuman terbaik yang aku berikan.

"Gue tau, lo pasti kenal sama gue. Dan gue juga tau siapa nama lo." Perempuan itu langsung berbicara bak harimau yang hendak menerkam mangsa.

"Eh, nama mbaknya Clara, kan. Kalau nama saya Dodoo. Kita kan bekerja di satu kantor. Toh, kita turun bareng dari bus ini. Maafkan saya yang tidak pernah menyapa mbak sebelumnya."

"Udah, biasa aja. Eh, lo dari divisi apaan? Kita emang satu kantor tapi kan ketika naik ke lift beda tujuan. Gue dari divisi Marketing."

Karena dia menggunakan lo-gue, aku mencoba juga berbicara dengan bahasa seperti itu, ditambah campur-campur menggunakan Bahasa Inggris. Biar dikira keren. Di daerah Jabodetabek, orang-orang berkomunikasi jarang menggunakan aku-kamu. Katanya, itu sering digunakan untuk orang yang saling memadu kasih alias pacaran. Takutnya, si mbak malah jadi baper.

"Well, gue adalah Engineer di divisi Teknik. Baru keterima di sini sepuluh hari yang lalu, mbak."

Karena aku adalah orang Jawa yang berbicara agak medhok, maka menjadi lucu dengan berbicara seperti itu. Jadinya seperti.. ghu-whe.

"Gak usah panggil mbak. Panggil nama aja. Clara. Gitu doang, cukup."

Begitu awal mula aku mengenal Clara, si perempuan aneh.
Clara adalah seorang yang cukup cantik dan manis. Badanya sangat wangi seperti baru selesai mandi. Aku tidak tahu, parfum apa yang ia gunakan. Awetnya sampai sore. Wajahnya putih bersih, hidungnya kecil, matanya tajam berwarna hitam kecokelatan. Rambutnya berwarna pirang, diikat sebahu. Aku tidak yakin rambut itu asli pirang, tidak mungkin dia seeorang bule. Pasti itu menggunakan pewarna.

Kenapa aku bilang Clara adalah perempuan aneh?
Karena bagiku, ia perempuan yang beda dari kebanyakan yang tinggal di kota besar. Katanya, dia tidak pernah dugem alias clubbing, tidak pernah minum alkohol, dan belum pernah pacaran. Padahal, dengan paras yang menawan dan bodi yang aduhai seperti itu, sudah barang tentu mudah baginya untuk mencari pasangan.
Sungguh berbanding terbalik dengan teman-teman kantorku yang lain, seperti si Bunga atau si Mawar. Mereka seperti biasa-biasa saja datang ke clubbing. Aku mengetahui ini dari insta story mereka.

"Sejauh ini belum ada yang cocok sama gue, Doo." Ujar Clara suatu saat di dalam bus Trans Jakarta sepulang kerja. By the way, kami menjadi selalu pulang bareng dan duduk sebelahan usai kejadian itu.

"Kok bisa gitu?" Aku pura-pura antusias, padahal tengah mengagumi indahnya ciptaan Tuhan.

"Yaa, belum cocok aja. Gue masih belum sreg sama orang-orang yang ngedeketin gue. Si Adit perokok. Kalo Paijo hobinya mabok. Ga ada yang bener."

"Hemm.." Aku masih terus memerhatikan wajah manisnya.

"Woyy, Doo! Istighfar. Lo lagi mikirin apaan? Gue tau, lo dari tadi merhatiin wajah gue. Inget, di dalam agama lo kan disuruh jaga pandangan. Kalo ga salah dalilnya Surat An-Nur ayat 30 yaa."

Aku tersadar dari fantasiku.

Yaa, begitulah Clara, lagi-lagi keanehannya muncul. Ia tahu beberapa dalil dari ayat Al-Quran, padalah dia seorang non-muslim. Berbeda dengan kita yang muslim namun banyak tidak tahu dalil apapaun. Hiksss :((

"Doo, lo tau gak. Gue sebenernya suka saama lo. Dan gue juga tau. Lo suka sama gue, haha!" Tanpa tedeng aling-aling, Clara berbicara kepadaku di bus. Saat itu kami hendak berangkat kerja di pagi hari. Ucapannya membuatku gagal fokus di kantor sepanjang hari.

"Ghhu-whhe ssu-khha sha-ma lhhoo?" Aku berbicara sedikit gugup, terkejut. Dan sudah barang tentu, logat Jawaku kembali keluar.

"Udaah, woles ajee. Gue tau kok, kita gak mungkin bisa menikah. Kan agama lo melarang nikah beda agama. Eh, bahkan kita pacaran aja gak boleh yaa?"

Aku masih diam saja.

"Gak usah gugup, woy! Gue suka sama lo sebagai temen. Ga usah baper. Kita gak bakal bisa menikah. Lo enak diajak diskusi, apalagi soal agama, walaupun gue tau. Lo bukan penganut agama yang taat. Hahhaa."

"Enak aja, gini-gini gue shalat lima waktu gak pernah tinggal, kok!"

"Bisa aja, lo! Haha." Clara tertawa sambil menyubit gemas lenganku. Awalnya aku hendak bilang bahwa aku dilarang bersentuhan dengan perempuan yang bukan mahram. Namun aku biarkan, karena menikmatinya. WKWKWKWK.

WOY TOBAT WOY, TOBAT!

   Baca juga dong;
  • Write "hi" and I will Post Something about You!
  • Jadi Kita Sekarang Gimana?
  • Serial Perjalanan KKL

Suatu hari, di dalam kedai kopi Starbaks di malam minggu. Kami pergi berdua, nampaknya aku terperangkap friendzone beda agama. Obrolan kami nampak seru.

"Doo, aku sebenernya kasihan sama perempuan dari agama lo."

"Kenapa gitu?"

"Kalo kita lihat di sini, yang sering clubbing, dugem, yang sering pake pakaian ketat, hingga open BO. Itu mayoritas dari umat lo."

"Hemm.. Iya juga, ya."

"Jangan iya-iya aja. Kasih solusi dong. Umat agama lo, yang gue lihat udah banyak yang kek kehilangan jati diri. Kalian pake jilbab di masjid doang. Pulang dari sono, lepas lagi."

"Biarin, namanya juga proses."

"Harusnya lo dakwahin mereka!"

"HEEH! Mana bisa gitu! Gini aja, lo aja yang dakwahin mereka. Kan yang gue lihat pakaian lo, jujur, lebih sopan daripada mereka. Pakaian lo tertutup dari atas ampe bawah, longgar, celana lo ga ketat. Lekuk tubuh juga ga nampak. Cuma satu yang kurang, sih dari pakaian lo."

"Apaan?" Clara bertanya penasaran.

"Lo ga pake jilbab, wakakwak." Aku tertawa, namun segera tersadar jokes tersebut menurutku kurang sopan sebab ia seorang non-muslim.

Lagi-lagi, Clara mencubitku. Aku masih diam saja di-grepe seperti itu.
"Geblek, lu! Haahaa. Eh, tapi gimana kalo gue beneran pake jilbab, terus gue jadi ehm, muallaf. Apa lo jadi tambah suka sama gue?"

Aku tersedak mendengar pertanyaan Clara. Lagi-lagi, gadis ini benar-benar aneh.

"Terus kita bisa menikah, Doo. Lo dan gue bisa membangun peradaban Islami yang lo idam-idamkan." Clara melanjutkan celotehannya.

Aku kembali tersedak. Es kopi yang hendak aku minum, tumpah.

"HAHAHHAA. LO TERSEDAK DUA KALI. ARTINYA LO BENERAN SUKA SAMA GUE." Clara sangat girang, seolah telah membunuh raja terakhir dalam sebuah game.

"Well, kita ga tau masa depan. Gue sih ga berharap gitu. Gue ga memaksa lo masuk Islam kok. Gue hanya pengen berteman sama lo. Yang gue suka sama lo, lo itu orangnya open-minded yang benar." Obrolan kali ini menjadi serius. Aku berbicara dengan sedikit sok berwibawa.

"Maksudnya gimana tuh open-minded yang benar?"

Clara mencondongkan badannya menjadi lebih dekat denganku daripada sebelumnnya, tanda ia tertarik dengan topik pembicaraan.
Jika Clara menjauhkan badannya dan sering membuka hape, tanda ia tidak tertarik dengan topik obrolan.
Jika Clara berada di lantai -  tidak berada di kursi yang seharusnya - itu berarti ia sedang terjatuh.

"Open-minded yang sering berisik di Twitter itu sesat. Inti ocehan mereka adalah malas beribadah, anti agama, memperolok-olok agama, pengennya mabok, minum alkohol, hidup bebas, dan cuma pendapat mereka yang benar. Lha, elo yang gue kenal ini beda. Open-minded dalam pikiran lo adalah menghargai toleransi, tidak men-judge orang berusaha taat dalam beragama, dan hal-hal positif lainnya." Aku menjelaskan opiniku.

Clara menyimak dengan seksama.

Aku melanjutkan, "Oh yaa, satu lagi. Lo ga pernah bilang kalo agama gue teroris. Beda sama temen-temen lo yang ngaku open-minded, cuma berani bilang agama gue yang teroris. Nyatanya, di dunia ini orang-orang agama gue lah yang sering tertindas. Orang-orang Uighur, Rohingya, Gaza, dan belahan bumi lainnya."

"Jadi, itu yang membuat lo suka sama gue?" Kali ini, Clara bertanya dengan hati-hati.

Aku mengangguk pelan.

"Gue juga suka sama lo. Daripada kita gini terus, hubungan ga jelas. Ayo kita ke hubungan yang lebih serius. Hemm.. Pacaran kek, gimana nantinya, itu urusan lain. Nanti kita pikirkan."

"Hemm.. Gue rasa ga bisa. Kita beda iman, dan itu jelas dilarang dalam agama gue. Gue lebih nyaman kita gini aja, berteman dan saling tukar pikiran mengenai perspektif kita masing-masing."

"Lo bener juga, itu adalah iman lo yang ga bisa gue paksakan. Gue terlalu naif, maafin gue, Doo."

"Gak, lo ga perlu minta maap. Woles ajaa kali."

*hening*

"Jadi, makanan dan minuman kali ini siapa yang bayar, nih?" Aku sedikit menggodanya lagi, untuk memecah suasana canggung kami.

"Yeeeh, elo. Masih aja. Padahal suasana lagi intim banget tadi." Clara kembali mencubit lenganku.

Kemudian ia menyandarkan kepalanya ke bahuku dan tangannya menggenggam tanganku.
Aku masih diam saja terhadap perlakuan Clara si gadis aneh. Si perempuan non-muslim, yang secara tampilan dan pemikiran jauh lebih islami dari perempuan-perempuan muslimah mainstream yang aku kenal.

Di bawah langit kota Depok yang gemerlap, dua anak manusia telah tersadar mereka saling mencinta.
Namun, cinta kepada Tuhan mereka masing-masing, jauh teramat besar. Menghalangi cinta mereka.






Suasana pedesaan hari ini begitu bahagia. Suasana sukacita tergambar dari raut muka anak-anak yang sejak pagi telah ramai di masjid. Ya, hari ini adalah Hari Raya Iduladha. Anak-anak berkumpul di masjid karena hendak melaksanakan Sholat ‘Id. Setelah itu akan diadakan pemotongan hewan qurban. Seekor sapi dari Bupati disumbangkan ke warga desa untuk disembelih. Anak-anak menunggu agar mereka ikut kebagian makan siang bersama dari hasil daging qurban.

Walaupun suasana di luar sedang sangat gembira. Lain hal dengan di dalam rumah. Di ruang tengah, televesi sedang menyala menyiarkan saluran TVRI. Wakil Presiden RI Letjen TNI (Purn.) Soedharmono tengah diwawancara karena baru saja menyumbangkan dua ekor sapi Australia untuk dijadikan hewan qurban di Masjid Istiqlal Jakarta. Kala itu, tahun 1991 beliau menjadi pimpinan tertinggi lembaga eksekutif negara untuk sementara karena Presiden Soeharto tengah menunaikan ibadah haji.

“Pakde, tolonglah keponakanmu ini. Anakku butuh biaya kuliah di Jakarta, dua puluh lima juta rupiah saja.” 
Permadi tengah bersimpuh di depan televisi yang menyala, hendak meminjam uang kepada Pakdenya yang tak lain adalah kakak kandung dari ayahnya.

“Bukanya tak mau meminjamkan. Panjenengan tahu sendiri, Pakdemu ini hanya seorang petani yang tak memiliki uang banyak. Anakmu tak usah diturut mau kuliah jauh. Kuliahnya di ibukota provinsi ini saja.” 
Pakde Sumijo menolak untuk memberikan pinjaman, walaupun sebenarnya ia memiliki uang yang cukup.

“Begini saja Pakde. Rumahku yang di pinggir jalan sana, bisa Pakde bayarin. Jadi ndak perlu takut kalau aku tidak mengembalikan uangnya.” 
Permadi kembali melakukan permohonan agar Pakdhe Sumijo mau meminjamkan uang.
 
Setelah negoisasi yang cukup alot, akhirnya Pakde Sumijo memberikan Permadi uang,
“Ya sudah, ini uangnya dua puluh lima juta, rumahmu yang di sana Pakde bayarin!”

       Baca juga ;
  • Epilog
  • Kunci Motor
  • Pernikahan Impiannya Orang Ansos

Dua puluh lima tahun berlalu. Pakde Sumijo telah meninggal. Dokumen satu lembar pun tidak tercatat di atas kertas, saksi walau satu orang pun tidak ada yang melihat kejadian di depan televisi kala itu secara langsung.
Anak Pakde Sumijo hendak mengambil alih rumah tersebut.

“Lha, bukannya bapakku sudah membeli rumah ini ke sampeyan, Mas Permadi?” 
Yanto menolak uang dari Permadi yang dimaksudkan untuk melunasi hutang.

“Bukan, Njenengan salah faham. Saya meminjam uang ke bapakmu dan rumah itu sebagai jaminan. Saya tidak menjualnya. Jika hutang tersebut tidak mampu dibayar, kalian bisa ambil rumah tersebut. Hari ini saya datang untuk melunasi hutang.”
Permadi menyanggah pernyataan Yanto yang merupakan anak Pakde Sumijo.

“Ndak, Mas Permadi! Bapak bilang ke kami bahwa sampeyan butuh uang, maka rumah tersebut dijual ke bapak. Bapak ndak pernah bilang sampeyan pinjam uang. Kami sekarang hanya mau meminta hak kami! Kalau sampeyan tidak mau menyerahkan rumah tersebut, kita bawa saja masalah ini ke pengadilan!”
Yanto mulai tersulut emosi.

“Sabar Yanto, kita ini keluarga, sedhulur. Harus hidup rukun dan damai. Aku dan bapakmu saat itu benar-benar keliru, seharusnya saat itu kami membuat catatan di atas kertas agar tak terjadi keributan ini. Aku berani bersumpah, aku tidak menjual rumah itu. Hanya menjadi jaminan. Panjenengan harus percaya sama saya!”

“Bapak bilang ke kami bahwa rumah Mas Permadi yang di pinggir jalan sana mau dibayarin. Piye tho, Mas?”

“Iya, begitu. Maskud dibayarin adalah sebagai jaminan. Bukan mau  dijual!”
 
“Ini akad nya harus jelas, saat itu jual beli atau pinjaman. Apalagi uangnya besar, harusnya ada saksi ketika kejadian dua puluh lima tahun yang lalu. Ya sudahlah, daripada debat kita tak kunjung selesai, aku terima saja pembayaran hutangnya!”
Akhirnya Yanto melunak.
 
“Ini ya, uangnya. Dua puluh lima juta rupiah. Saya bayar lunas. Semoga bapakmu tenang di sana!”
Permadi hendak menyerahkan uang.
 
“Astaga mas, sampeyan ini gimana sih. Baru saja beberapa detik yang lalu kita sudah dingin. Kenapa dibikin panas lagi. Yang benar saja, tahun 1991 harga emas satu gram sekitar Rp 13.500. Harusnya disesuaikan dengan keadaan sekarang, dong. Saat ini harga emas sekitar 600 ribu rupiah. Artinya, 25 juta rupiah saat itu setara dengan 1,1 Milyar rupiah hari ini. Mas Permadi harus bayar hutang dengan nominal tersebut.”
 
“Sampeyan kurang ajar sekali. Mentang-mentang saya punya hutang sama bapakmu. Sampeyan mau memeras saya?”
 
Karena tidak ditemukan titik temu, akhirnya mereka membawa masalah ini ke pengadilan agar dapat diselesaikan secara adil.

◼◼◼

Cerpen ini ditulis pada bulan November 2019, diterbitkan oleh Penerbit Anlitera, buku kumpulan Cerpen "Gemintang Malam".
Dipublikasikan di blog dengan sedikit perubahan.
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

ABOUT AUTHOR

Kang Mas Joe adalah seorang yang berpengalaman dalam pahit dan getirnya kehidupan, walaupun nyatanya tidak terlalu pahit. Mencoba berbagi tulisan melalui blog, semoga ada hikmah yang bisa diambil. Apabila ada kritik, saran, nasihat dan mau kerjasama. Silahkan DM melalui Instagram dan Twitter @KanggMas_Joe. Terimakasih!

POPULAR POSTS

  • Pencitraan Jilid Dua; Buku yang Aku Baca di Tahun 2020
      Beberapa hari ke belakang, rumahku sedang direnovasi. Maka buku-buku yang ada di rumah sedang tidak ada di rak buku seperti biasa. Begini ...
  • Masjid Cheng Hoo
    Masjid Muhammad Cheng Hoo, adalah salah satu masjid yang cukup terkenal di Palembang. Sering dijadikan sebagai tempat wisata religi. Menurut...
  • Balonku Ada Lima
    Jangan terkejut, ini bukan jimat, mantra, doa atau sebagainya!  Untuk kamu yang sudah jago membaca Al-Quran sejak kecil, aku yakin kamu past...
  • Menjadi Pacar Sewaan
    Hari ini adalah hari Ahad, pukul sepuluh pagi. Aku sedang duduk bersantai di rumah, sedang menatap layar laptop untuk melakukan blog walking...
  • 3 Bloggers yang Rajin BW
    Seperti biasa, di setiap penghujung bulan, Mbak Eno yang baik hatinya kembali membuat challange. Ini adalah event ketiga dari challange- nya...

Categories

  • Bisnis
  • Cerita
  • Opini
  • Perjalanan
  • Pernikahan
  • Sajak
  • Tutorial

Copyright © 2021 Kangg Mas Joe. Created by OddThemes