Kangg Mas Joe

Blognya Dodo. Tidak semua yang diposting adalah nyata, banyak pencitraan dan fiksinya.

Ketika sedang menjalani isoman, aku sengaja membawa empat buku ke kamar karantina. Tujuannya adalah agar tidak bosan. Hanya dua buku yang akan aku review. Buku pertama adalah novel karya Kang Salamun Ali Mafaz berjudul Mecca, I’m Coming! Sedangkan buku kedua, The Untold Islamic History, karya dari Bang Edgar Hamas. Keduanya menggunakan Bahasa Inggris sebagai judulnya, namun percayalah, isinya tetap Bahasa Indonesia, kok.

Oke, langsung saja. Mari kita mulakan!

Mecca, I’m Coming!

 

Buku ini adalah novel yang aku beli di toko buku Gramedia saat diskon! Hehehe.
Pertama kali mengetahui novel ini, sebenarnya dari Youtube beberapa tahun yang lalu. Saat itu ada video promosi menayangkan trailer film dengan judul yang sama. Dan aku berencana menontonnya di bioskop. Beberapa hari setelah itu, ketika hendak berangkat ke bioskop, tiba-tba batal. Ada kerjaan lain alias ado gawe (Orang Palembang sering bilang gitu 😜).

Maka, aku berencana untuk menontonya pekan depan lagi saja.
Ketika pekan depan tiba, ternyata filmnya sudah tidak tayang lagi. Wokwowkwokkwk.
Sedih sekali, bukan!

Singkat cerita, ketika sedang berjalan-berjalan di Gramedia, dan melihat rak buku diskon. Aku melihat judul buku yang sama dengan film yang batal aku tonton. Fiks, tanpa pikir panjang aku langsung ambil itu buku!
(Tentu saja tetap membayar, bukan cuma ambil lalu bawa pulang, itu namanya mencuri hehe)

Bagaimana kesan terhadap buku ini?
Menurutku di bab-bab awal terkesan agak lambat, membosankan dan sukar difahami. Aku sampai membaca dua kali untuk bab-bab awal. Setelah itu baru faham maksud ceritanya, “Ooh ini toh isinya..”

Novel ini, bisa jadi sangat related dengan kehidupan masyarakat pinggiran kota hingga pedesaaan. Intinya, cerita mengenai seseorang yang tertipu biro perjalanan haji. Kalau kita yang menjadi korban, pasti sangat sedih. Mengumpulkan uang bertahun-tahun, eh tiba masanya, malah tertipu.
Oh yaa, walaupun cerita ini terkesan sedih, penulis mengemasnya dengan gaya komedi. Jadi seolah-olah kita menertawakan kegetiran orang lain.

Cerita diawali dengan masyarakat yang menyambut kepulangan Pak Soleh, Pak “Haji” Soleh. Beliau sangat bangga akan “gelar” hajinya tersebut. Padahal, mah, haji itu ibadah. Tidak perlu dijadikan gelar. Kalau mau pasang gelar ibadah, harusnya juga pasang gelar Sholat, Zakat, Puasa, Infaq, Shodaqoh, Wakaf, dll. Wkwkwk.
Eh, nggak. Bercanda. Mungkin saja, kebiasaan ini karena dianggap untuk ber-haji itu susah. Butuh biaya yang tidak sedikit, jadi diberi semacam penghormatan.
Well, kalau aku nanti sudah berhaji (aamiin kenceng banget), aku tidak mau menambahkan gelar  haji di depan namaku, atau dipanggil Pak Haji. Tidak mau!

Okey, kenapa jadi ngelantur. Mari balik ke cerita.
Haji Soleh adalah ayah dari Eni, gebetannya si Eddy. Haji Soleh tidak merestui hubungan mereka, dan lebih memilih untuk menjodohkan Eni dengan Pietoyo, anak orang kaya kampung sebelah (Eddy pekerjaannya hanya tukang bengkel kampung, jadi agak dipandang sebelah mata, sedangkan Pietoyo masa depannya dianggap cerah).

Singkat cerita, Eni-nya mau dengan Eddy, dia tidak mau dengan jodoh pilihan bapaknya si Pietoyo. Edi pun datang menemui Haji Soleh dan mengatakan ingin melamar anaknya. Haji Soleh mengajukan syarat yang berat; Eddy harus “bergelar” Haji dulu, baru bisa ia menerima lamaran terhadap anaknya.

Syarat ini, nampaknya sulit dipenuhi. Sebab kita tidak bisa daftar hari ini langsung berangkat tahun ini juga. Tidak bisa. Kita harus antre beberapa tahun. Tiap-tiap provinsi punya masa antre berbeda. Rata-rata lebih dari sepuluh tahun. Bahkan, ada beberapa provinsi yang masa antrenya mencapai dua puluh tahun!

Balik ke cerita lagi, Eddy dengan yakin berkata kepada Haji Soleh, “Seandainya saja saya jadi naik haji ke Mekkah, apa saya boleh melamar Eni?”

Sebagai informasi, ketika Eddy datang, Pietoyo juga sedang berada di rumah Haji Soleh. Pietoyo menertawakan tanda meremehkan Eddy.

Apa yang terjadi selanjutnya?
Eddy nekat menjual bengkelnya dan menggunakannya untuk berangkat haji. Kemudian mencari biro perjalanan haji. Jawabannya bagaimana? Tentu saja dia ditolak mentah-mentah oleh biro tersebut. Mana mungkin mau berangkat haji di tahun ini. Mustahil!

Ketika keluar dari ruko biro perjalanan haji dan menuju halaman parkir, Eddy disapa oleh tukang parkir di sana, “Gagal berangkat haji ya mas?” Eddy hanya mengangguk lesu.
Dengan cepat, tukang parkir tersebut menyerahkan sebuah kartu nama, mengatakan kalau temannya bisa membantunya untuk berangkat haji di tahun ini. Di kartu nama tersbut tertulis Second Travel Amri, 08xxxxx.

Apakah Eddy tertarik dengan kartu nama tersebut? Jawabannya terntu saja tertarik, saudara-saudara. Hahaha!
Eddy akhirnya bertemu dengan Amri dari Second Travel. Dan tanpa pikir panjang, langsung menyerahkan sejumlah uang kepada Amri.
Jujur, aku ketika membaca bagian ini merasa miris. Mungkin saja cerita ini benar-benar terjadi. Pasti banyak Eddy-Eddy lain yang tertipu.

Eddy akhirnya mengumumkan keberangkatannya ke Tanah Suci. Dia mengadakan semacam acara syukuran. Seluruh warga kampung melepas kepergiannya. Eddy dijemput dengan mobil travel yang mengantarkannya ke hotel di Jakarta. Menurut info dari Amri, Eddy menginap dulu satu malam di sana. Baru keesokkan harinya, akan diantar ke Bandara Soekarno Hatta untuk diterbangkan langung menuju Jeddah.

Di esok hari, ya begitulah. Tidak ada bus yang mengantarkan ke Bandara Soetta. Sedangkan Eddy tertipu. Ia akhirnya sadar bahwa ia telah tertipu.
Kemudian, ia berkenalan dengan Fajrul. Sesama calon jamaah haji yang tertipu oleh Amri.
Eddy dan Fajrul resmi menjadi gelandangan di Jakarta.

Skip Skip Skip..
Mereka mencari kerja dan akhirnya dapat. Mereka bekerja di pasar, Eddy bekerja dengan Haji Rojak, pemilik toko oleh-oleh perlengkapan haji, sedangkan Fajrul bekerja dengan Pak Somad, pemilik studio cuci cetak foto.
Dan ternyata, para pedagang di pasar tersebut juga banyak yang dulunya tertipu, batal berangkat haji.

Coba tebak bagaimana klimaksnya? Ternyata Haji Soleh; Bapaknya si Eni (gebetannya Eddy), juga tertipu biro perjalanan haji. Dia sebenarnya belum berangkat ke Mekkah dan Haji Rojak mengenalnya (karena sama-sama sempat tertipu).

Apalagi yang lucu? Haji Soleh, eh, Pak Soleh berfoto di studio milik pak Somad, dan minta sekalian di-edit menggunakan Photoshop agar dikira beneran berangkat haji. Beliau malu kepada warga untuk mengakui bahwa telah tertipu. Jadi disebarkanlah foto yang seolah-olah berada di Tanah Suci.
Ini, asli beneran kocak banget, sih. Hahahaa.

Bagaimana kelanjutan cinta Eddy dan Eni? Apakah bapaknya tetap memilih Pietoyo?
Silahakan baca bukunya sendiri! Eheehe.


(Review Buku The Untold Islamic History akan ada di postingan selanjutnya, insyaa Allah!)

“Kamu kan udah divaksin, kok masih kena Covid?” 
Pertanyaan ini seringkali muncul kepadaku. Baik ketika sedang menjalani isoman (bertanya melalui WhatsApp), maupun ketika sudah sembuh. 
  
“Yaa, yang sudah vaksin saja bisa kena, apalagi yang belum vaksin!” 
Aku lebih sering menjawab seperti ini. Sekaligus memberikan edukasi. Bahwa vaksin itu penting. Logikanya jangan terbalik. Tuhh.. Yang udah vaksin aja masih kena covid. Mending kita gak usah vaksin. 
Ini keliru, saudara-saudara! 
 
Uhmm... Pertanyaan di atas sebenarnya adalah wajar. Bisa jadi hanya basa-basi belaka. Agar ada yang bisa diobrolkan selanjutnya. Tidak perlu ditanggapi dengan respon “sok merasa paling benar”. Hee.. 
 
Kalau ada orang yang gak mau vaksin, yaudahlah. Gapapa. Terserah mereka. 
Siapa tahu, mereka tidak mau vaksin bukan karena percaya konspirasi wahyudi, elit global, atau akan ditanamkan chip ke dalam tubuh. Bukan. Bisa jadi, mereka.... hanya takut jarum suntik! 😆
 
Jujur saja, aku pun awal-awalnya tidak mau divaksin. Agak ngeri-ngeri juga lah dengan yang namanya suntik. Terakhir disunik pun itu ketika SD. Vaksin juga. Vaksin polio, atau cacar, atau apa yaak. Lupa. Dan, ketika kelas satu SD pun, aku pernah kabur dari sekolah ke rumah gegara ada vaksin dari Puskesmas.
Yaa, itu ketika masih jadi bocil ya. Kalau sekarang mah, gak mungkin aku mau kabur. Hiiihi..
 
Baca Juga : Akhirnya Kena Juga! 
 
Oke, aku divaksin di bulan Maret 2021. Kalau tidak salah, itu masa ketika masih cukup awal ketika vaksin tiba di Indonesia. Saat itu, tidak semua masyarakat umum bisa mendapat vaksin. Yang divaksin baru orang-orang dari kelompok tertentu saja; Manula, Para Pejabat (termasuk PNS, Karyawan BUMN, TNI, Polri, hingga Anggota Dewan), dan Petugas Pelayan Publik. Itu pun masih di sekitaran Jabodetabek. Untuk daerah lain, belum semasif sekarang. Cukup beruntung aku kini tinggal di Jabodetabek. Punya sedikit previlej.
 
Aku masuk yang mana? Rasa-rasanya di kategori ketiga; Petugas Pelayan Publik.
Sebab perusahaan tempat kami bekerja adalah perusahaan jasa. Gitu kali alasannya (?). Oh yaa, satu lagi. Form vaksin yang aku terima ketika di meja pendaftaran, memiliki kop surat dari Kementerian Perhubungan. Atau mungkin, perusahaan tempat aku bekerja sering berhubungan dengan Kementerian Perhubungan, sehingga perusahaan kami mendapat vaksin di awal? Tidak tahu juga. Mungkin sepeti itu adanya.
 
Pokoknya, aku ingat betul. Saat itu aku baru menadi karyawan baru. Sekitar satu pekan. Dan saat itu sedang masa training. Belum benar-benar bekerja. Artinya, aku cukup beruntung. Baru masuk kerja, langsung bisa dapat akses untuk vaksin (bayangkan sampai hari ini pun, di banyak tempat di luar Pulau Jawa, orang-orang masih pada rebutan untuk vaksin).
 
Seperti yang telah aku singgung di awal narasi. Aku awalnya agak sedikit ngeri untuk divaksin. Namun, di sisi lain ini adalah kesempatan langka (termasuk bisa eksis untuk di-upload di story Instagram). Satu sisi juga bermanfaat untuk kesehatan, memperkuat kekekalan tubuh dari virus. Akhirmya, Bismillah.. Aku ikut vaksin.
  
Alurnya, kami diminta mendaftar dahulu. Bawa KTP. Isi nomor HP. Setelah itu kita akan didata oleh petugas.
Kemudian, setelah sekian menit, lanjut ke pos kedua. Screening oleh tim dokter. Hanya ditanyakan pertanyaan simpel saja. Tadi pagi sudah sarapan atau belum. Sarapan apa saja. Sudah pernah terkena Covid atau tidak (kabarnya, kalau kamu sudah terkena Covid, baru boleh divaksin setelah dua atau tiga bulan ke depan).
 
Setelah dinyatakan aman, vaksin siap disuntikkan ke lengan bagian atas. Sang dokter selalu bilang ke setiap orang yang hendak disuntiknya, “Vaksinnya Sinovac, ini baru. Masih disegel ya.”
Nampaknya, SOP mengharuskan begitu. Ntah berapa ratus kali sang dokter mengucapkan kalimat itu dalam satu hari. Pasti lelah juga mulutnya mengucapkan hal yang sama setiap saat. Hiiihi.


Waah, ternyata lenganku belang ya 😅

Setelah disuntik, para peserta vaksin tetap harus diminta menunggu selama 30 menit di area ruang tunggu. Kata petugas, kalau setelah 30 menit tidak ada reaksi apa-apa, boleh pulang. Sebenarnya itu hoax. Coba saja, kalau aku pulang saat itu, pasti dicegat di pos Security, “Mas, jam pulang kerja itu jam setengah enam sore. Ini masih jam sepuluh pagi.” 
 
Tak lama berselang, ponselku berdering. Kalau sudah begitu, biasanya aku mendapat hadiah mobil higga uang tunai ratusan juta rupiah. Namun ternyata, saat itu tidak. SMS itu berisi link untuk mengunduh sertifikat vaksin.
 
Bagaimana dengan vaksin kedua? Sama saja alurnya. Ini adalah hasil unduhan sertifikat vaksinku, yang seperti ini orang-orang sering upload untuk dijadikan story, kan? Hehhe.


Apa efek yang dirasakan setelah vaksin?
Kalau vaksin pertama, aku tidak merasa gejala apapun. Tidak ada masalah apa-apa. Namun, ada beberapa teman yang meraskan tangannya pegal-pegal.
Huu.. Dasar lemah! Kataku dalam hati seraya menghardik teman yang merasakan efek samping dari vaksin.
Astaghfirullah. Jahad sekali aku yaak :(
 
Bagaimana dengan vaksin kedua?
Nah ini yang lumayan terasa efeknya. Tusukan jarum kali ini, rasanya lebih sakit dan tajam. Apa mungkin jarumnya lebih gede, ya? Aku gak tau juga. Tak lama setelah itu, aku merasakan pegal-pegal di sekitar area lengan atas (yang baru saja disuntik). Pegal-pegal ini aku rasakan cukup lama. Seharian, bahkan lebih dari 24 jam rasa pegal-pegal itu tidak hilang (seperti rasa rinduku padamu yang tidak pernah hilang).
 
Efek lainnya adalah rasa kantuk yang berat teramat sangat. Vaksin selesai jam sepuluhpagi. Ketika kembali ke meja, kembali ke kubikel. Aku tertidur. Beneran tertidur, hingga lewat pukul sebelas. Tidurnya seperti ketika kita mendengarkan khotbah Jumat. Senyenyak itu tidurnya. Dan, efek terakhir adalah perut yang keroncongan.
Tapi di paragraf ini aku tahu alasannya. Mungkin bukan karena vaksin, melainkan karena saat itu adalah bulan puasa. Hahahaa.
 
***
 
Berbulan-bulan sejak aku telah divaksin, peraturan dari Pemerintah telah berubah lagi. Pemerintah sedikit “memaksa” warganya untuk divaksin.
Para pakar ilmu pengetahuan banyak yang berbicara di televisi dan kanal media sosial. Bahwa vaksin dapat memutus rantai penyebaran virus. Para ustadz dan tokoh agama lainnya juga berbicara bahwa vaksin itu berpahala karena dapat bermanfaat menjaga diri dan orang lain. Nanti besok-besok masjid dapat penuh lagi.
Ternyata, para pakar dan tokoh agama tidaklah diindahkan oleh masyarakat.
 
Namun, ketika Pemerintah mengeluarkan "fatwa" bahwa barangsiapa yang hendak masuk mall, restoran, tempat wisata atau berpergian melalui bandara, stasiun, terminal, pelabuhan dan sebagainya. Haruslah divaksin. Maka, sejak saat itu masyarakat berbondong-bondong mendaftar vaksin.
 
Nampakya, banyak di antara kita lebih takut tidak bisa masuk mall, yaak. Hehehe.
So, jangan lupa vaksin. Biar kamu bisa masuk mall! #eh

Karyawan yang masih training, juga pengen eksis setelah divaksin 😂

Realita hari ini, banyak di antara kita. Aku, kamu, dia. Kita semua.
Menjadi standar ganda, nampaknya, memang sebuah niscaya di antara segelintir umat manusia.

Kita ambil contoh. Seorang komika yang kerap memperolok agama, tertangkap sebab narkoba. Belakangan diketahui bahwa, dia penyuka sesama pria.

Open minded, katanya. Ketika agama dijadikan bahan bercandaan. Padahal itu sakral.
Namun, ketika posisinya dibalik. Sang komika kita perolok, malah kita yang disebut goblok. Cerita tentang dia penyuka sesama jenis, kata mereka tak perlu di-publish.

Ingatkah, ketika dia ditampilkan ke publik. Dalam sebuah konferensi pers oleh kepolisian. Ada sayup-sayup suara wartawan mengatakan, "Stand up, dong!"

Para netizen pembela sang komika protes, "Dimana nurani lo? Orang sedang kena musibah, malah diperolok?"

C'mon, guys. Kenapa kalian tidak bermasalah ketika agama diperolok. Namun merasa sangat tersinggung ketika sang komika diperlakukan demikian?
Seharusnya, kalian dengan lapang dada menerimanya. Dark jokes, ini namanya. Bukan menyinggung sang komika.
Dan belum tentu pula, sang komika tersinggung dengan singgungan dari wartawan. Hehheee..

Terakhir, jangan dikira aku benci dengan sang komika. Tak patut bagi kita untuk membenci pribadi. Ini hanya refleksi bagi kita semua yang sering menggunakan standar ganda. Termasuk aku juga.
.
.
.

Ini foto sepeda di tempat tinggalku. Di sini, pakenya standar tunggal, tidak ada sepeda yang standar ganda.. 😁
“Woyy, kayaknya aku salah naik bus nih..”
Aku memberi kabar kepada teman satu kos melalui grup WhatsApp.

“Hah? Beneran, bang? Abang tadi naik bus yang mana? Aku naik bus yang paling depan. Ehm.. Coba abang share lokasi deh,” respon seorang teman seraya ia mengirim lokasi. Dan, aku pun melakukan hal yang sama. Mengirim lokasi juga.

Lokasi telah terkirim. Layar ponsel menunjukkan aplikasi Google Maps. Kesimpulannya? Fiks. Aku beneran salah bus.




Waah, kocak sekali, pikirku saat itu. Padahal, rencanaku saat itu, ketika sampai kos, langsung hendak makan karena perut sudah lapar. Ditambah lagi, di siang hari aku sudah sangat lelah dengan tugas yang nampaknya tak kunjung selesai. Menjadi bertambah-tambah laparlah perutku.

Well, rencana tinggal rencana. Bukannya makan malam ketika pulang, aku malah salah naik bus yang menjadikan aku belum sampai kos dan tidak jadi makan malam pada jam itu. Aku berada di luar kota, bahkan di luar provinsi. Wowokwkwk.

Kok bisa?
Jadi gini, simpelnya, perusahaan tempatku bekerja menyediakan bus antar jemput untuk para karyawannya. Kantorku yang terletak di sekitaran Kota Tangerang (ciyee pertama kali aku kasih tau di Blog nih), menyediakan bus dengan berbagai rute. Ke Kabupaten Tangerang, ke Bandara Halim Perdanakusumah dan ke Jakarta Pusat (Di Jakpus ada kantor pusat perusahaanku).

Aku yang biasanya naik bus tujuan Kabupaten Tangerang, malah naik bus yang tujuan Jakarta Pusat. Satu ke timur, satu ke barat. Benar-benar malah menjauh dari arah jalan pulang. Haahha.

Jadi ini salah siapa ya? Mungkin human eror, atau aku yang kurang teliti dan kurang aware terhadap keadaan sekitar. Kenapa aku tidak tanya dahulu ke sopirnya itu bus tujuan mana, dan kenapa pula aku tidak keciren dengan penumpang saat itu bahwa orang-orang di sana mukanya asing semua. Bukan penumpang biasa yang sering aku temui di bus setiap harinya.

Lagi-lagi, kok bisa??
Bus tujuan Kabupaten Tangerang itu biasa berjejer beriringan. Dan bus yang menuju Jakarta Pusat, parkir di tempat yang agak jauh. Namun, pada hari itu, bus menuju Kabupaten Tangerang dan Jakarta Pusat parkir di tempat yang berdekatan dan beriringan. Mana aku tahu bus itu tujuannya kemana. Aku tahunya, kalau parkir di situ, pasti tujuan yang biasa aku naikin.

Bus kemudian berjalan. Lima belas menit awal dalam perjalanan tidak ada yang aneh. Jalanan macet cukup parah, tidak seperti biasanya. Di sekitar menit ke dua puluh, aku mulai merasa sesuatu yang janggal. Kenapa busnya menuju jalan yang tidak biasa. Aku saat itu masih berfikir positif. Oh, mungkin karena macet, jadi sopirnya mengambil jalan pintas. Aku masih tetap stay calm sambil memakan ciki seharga seribu rupiah yang tadi siang aku beli.

Bus kemudian masuk ke tol. Sedikit terbelalak, kenapa pula bus ini masuk ke gerbang tol Benda Utama. Seingatku, jalan biasa tidak lewat sini. Tapi, lagi-lagi aku terlalu husnuzhon kepada semesta. Ini pasti sopir masih melewati jalan pintas. Namun, aku tetap harap-harap cemas.

Aku memerhatikan keadaan sekitar. Pemandangan kiri-kanan jalan benar-benar berbeda dengan biasanya. Dan yang mebuat aku terkejut adalah, ada plang petunjuk jalan yang bertuliskan “Tanjung Priok” plus tanda panah ke arah kanan. Aku mulai sadar, ini ada hal yang tidak beres. Setahuku, kalau mau ke Kabupaten Tangerang tidaklah melewati Tanjung Priok, kan?

Aku mulai bertanya dengan penumpang lain di bus, “Mas ini bus kemana ya?”
“Ini ke Tower, mas.” Oh yaa, kantor yang di Jakpus kami sebut sebagai Tower.
“Wadauh...”
“Kenapa mas?"
“Iya, saya mau ke Kabupaten Tangerang, salah bus nih”

Setelah itu, aku langsung  mengabarkan teman satu kos dan terjadilah adegan pada paragraf awal. Dan, tahukah kamu bahwa kunci kos ada padaku. Bisa-bisa mereka tidak bisa masuk hahha.

Kami kemudian berdiskusi bagaimana caranya aku pulang. Akhirnya dapat. Menurut info dari seorang teman (dia juga bertanya kepada orang lain), aku harus naik ojek dahulu ke Terminal Grogol. Kemudian, dari Grogol ada minibus atau travel menuju Kabupaten Tangerang.
Oke, aman. Aku sudah punya planning ke depan harus gimana.

Ketika akhirnya bus yang aku tumpangi tiba di kantor Jakarta Pusat, aku langsung mendatangi sopir, “Pak saya salah naik bus. Masih ada gak ya bus ke Kabupaten Tangerang malam ini dari sini?”

Sang sopir terkejut, mungkin ini adalah penglaman pertama baginya, ada penumpang yang salah bus.

“Kenapa kamu tadi sebelum naik tidak tanya dulu?” Beliau dengan sigap membuka ponselnya dan mengecek grup WhatsApp nya. Grup yang isinya para sopir di perusahaan ini, “Tadi ada sih yang berangkat ke sana, tapi kayaknya sekarang udah jauh,”

Kemudian, sang sopir turun dari bus. Aku mengikuti dari belakang.
Beliau berdiskusi dengan teman-temannya, sesama sopir, sambil menjelaskan bahwa ada seorang penumpangnya yang salah bus.

“Ada mas, tapi nanti sekitar jam sembilan malam pulangnya. Ada tiga mobil. Sekarang mereka sedang rapat. Tunggu aja,” kata teman sang sopir.
“Siapa saja drivernya?”
“Ada si A, si B, sama si X kang..”
Aku langsung nyeletuk, “Mas X itu tetangga saya, pak!”
“Yaudah, coba aja kamu hubungi dia. Dia ada di atas kok.”

Sayangnya, aku tidak mempunyai nomor ponsel beliau. Namun, tenang saja. Aku memanfaatkan jaringan yang aku punya dan akhirnya mendapatkan nomor beliau.

Satu masalah sudah selesai. Aman. Aku tinggal menunggu mas X saja untuk pulang. Sekarang saatnya shalat Maghrib. Sesibuk apapun kita, jangan sampai lupa beribadah yaak guys! #Eaakkk

Baru sekira jam setengah delapan malam, aku akhirnya bertemu dengan mas X. Dia bilang, “Ayo pulang!”
Untung saja tidak pulang jam sembilan yaa. Ternyata lebih cepat dari perkiraan. Dan, lagi-lagi, untung saja tetanggaku sedang berada di sana. Ini tetangga persis di sebelah rumah. loh. Kami tinggal di nomor 13, sedangkan mas X tinggal di nomor 12. Kebetulan Qodarullah sekali, yaak!
Orang Indonesia mah gitu, selalu ada untung di setiap musibah.. Hehhee..

Akhirnya, aku pulang dengan selamat dan tiba di kos sekira pukul sembilan malam.

Apabila hari esok telah datang, cerita bahwa aku salah naik bus menjadi tersebar ke banyak orang di kantor. Dan orang-orang bertanya dengan pertanyaan yang sama. “Kok bisa?”
Yaa, jadi aku harus bercerita dengan cerita yang sama untuk beberapa kali di hari itu. Huuuhuu...

Tulisan ini, sesungguhnya sudah ada di draft sejak setahun yang lalu. Sejak awal bulan Muharram 1442 H. Sekarang sudah masuk 1443 H, kan! Di tahun lalu, tidak di-publish karena tidak sempat, belum selesai dan malas. Hehe.
Akhirnya sudah satu tahun sahaja. Tidak terasa.

Beberapa hari yang lalu, di Indonesia (atau, seluruh dunia?), banyak umat Islam merayakan Lebaran Anak Yatim di tanggal 10 Muharram. Dikutip dari Repubika, menurut Ustadz Ahmad Zarkasih, Lc. dalam bukunya Sejarah Kalender Hijriyah, banyak keutamaan (fadhillah) menyantuni anak yatim di tanggal 10 Muharram alias Hari Asyuro.

Jadi, mengapa disebut Lebaran Anak Yatim? Karena banyaknya yang menyantuni anak yatim di tanggal 10 Muharram, menjadikan anak yatim bersenang-senang. Toh, lebaran juga adalah hari dimana kita bersenang-senang. Jadi, secara tidak langsung 10 Muharram adalah bisa disebut sbagai “hari lebaran” bagi mereka karena mereka bersenang-senang di hari tersebut sebab banyak yang menyantuni mereka (?).
Mon maap kalo kata-katanya agak "belibet" ehehehe...

Kegiatan ini, pada hakikatnya adalah bagus dan baik. Membuat anak yatim senang dan bahagia. Namun, aku punya pendapat sendiri yang tidak populer. Mau sepakat monggo, tidak juga no problem.

Dalam kegiatan Lebaran Anak Yatim, biasanya (sebelum wabah Covid-19), para anak yatim diundang oleh Majelis Taklim Ibu-Ibu ke langgar atau mushalla atau masjid atau gedung pertemuan yang acaranya diadakan lembaga tertentu untuk diberi donasi. Pemerintah maupun swasta juga tak mau ketingalan berpartisipasi dalam kegiatan ini. Dinas X, Departemen Y, Kementerian Z juga sering terlihat mengadakan acara serupa.

Para Anak Yatim, wajah mereka yang masih banyak nampak polos difoto seraya menerima donasi. Foto-foto tersebut pun tersebar di Facebook maupun media sosial lainnya.
“Tadi anak-anak yatim di Masjid A pada nangis ketika dipanggil satu-satu ke depan untuk diberikan donasi. Kami juga ikut terharu melihatnya,” kata seorang ibu, setelah meng-upload hasil kegiatan tersebut di Facebook.

Jujur, aku terkadang sangat miris dengan hal ini. Kasihan sama mereka. Seolah-olah gimana gitu. Seolah-olah ibu-ibu itu hanya mencari konten Facebook, untuk kemudian terlihat dramatis dan kemudian. Ehm.. Pokoknya gitu deh.
Tbh, kalo aku jadi posisi anak yatim yang begitu, sungguh tidak nyaman.

Tapi yaa, balik lagi. Kalau kita ingat dengan hadits Arba’in yang pertama, disebutkan bahwa segala perbuatan itu tergantung pada niatnya. Siapa tahu, niat orang-orang yang memposting itu bertujuan untuk mengajak orang lain secara tidak langsung. Ingin “menginspirasi”, kalau-kalau ada orang yang tergerak juga hatinya untuk ikut menyantuni anak yatim di kemudian hari.

So, untuk niat seseorang. Biarkanlah kita serahkan saja pada orangnya masing-masing. Tak boleh di-judge. Toh, niat hanya seorang tersebut dan Allah sajalah yang mengetahui.

Skip. Skip. Skip.

Beberapa hari kemudian, aku melihat postingan Ustadz Dr. Abdul Somad (UAS), menurutku postingannya cukup unik. Dalam postingan tersebut, beliau tengah menyarahkan donasi berupa beras, dari para jama’ah untuk warga yang membutuhkan. Gimana bentuk fotonya, wajah penerima donasi itu disensor. Jadi, kita tidak tahu bagaimana rupa bentuk wajahnya. Bagus juga, sih. Menjaga "marwah" sang penerima donasi.


Dari cara UAS ini, aku terinspirasi untuk membuat konten serupa. Organisasi dimana aku kemarin sempat mengabdi (sekarang sudah tidak lagi), sempat mengadakan suatu bakti sosial. Dan, aku diamanahkan menjadi tim Publikasi dan Dokumentasi (Pubdok). Aku meniru cara UAS, dengan mensensor wajah penerimanya.

Gimana tanggapan orang-orang di organisasi tersebut. Banyak yang bertanya-tanya. Terutama bapak-bapak. Kenapa begitu?

Jadi kemudian aku menjelaskan bahwa aku mengikuti cara UAS dalam postingan media sosialnya, dan akhirnya mereka menerima argumenku. Di samping, memang bapak-bapak tesebut juga fans beratnya UAS. Kalau sudah mendengar kata “UAS”, sudah pasti di-acc. Ehehee.



Dari judul dan gambar pada thumbnail di atas, aku rasa kamu sudah bisa menebak alur cerita postingan ini. Yaa,aku akhirnya terkena Corona, haha.
Ketika postingan ini di-publish, ini adalah hari ketujuh aku melakukan isolasi mandiri. Tepat satu pekan. Insyaa Allah tiga hari lagi selesai.

Bagaimana keadaanku? Alhamdulillah baik-baik saja. Tidak terlalu parah. Tapi tetap saja tidak boleh menyepelekan. Yang aku rasakan saat ini, “hanya” batuk ringan saja. Tidak lebih. Tidak parah atau sampai drop seperti yang ada di berita-berita ketika orang terinfeksi virus ini.
Sekali lagi, alhamdulillah.

Kok bisa? Beberapa orang sempat bertanya mengenai itu kepadaku.
Yaa, jawabannya simpel. Bisa saja, ehehe.
Ibaratnya, kita sudah ber-ikhtiar semaksimal mungkin. Ketat melaksanakan protokol kesehatan, selalu pakai masker, selalu cuci tangan (tanganku sekrang sampai-sampai menjadi sangat halus, kalau tidak percaya, sini genggam erat tanganku hehe) dan sebagainya.

Well, menurutku, aku dan mungkin banyak di antara kita cukup ketat ketika di luar dan bertemu orang luar. Namun sangat longgar ketika berada di dalam rumah. Padahal, mungkin, bisa jadi, dari dalam rumah itu lah justru kita bisa tertular.

Cerita bermula sekira hari Rabu dua pekan lalu, teman satu kos mengalami demam. Satu hari setelahnya, Kamis, teman yang satu lagi ikut-ikutan sakit. Dan di hari Jumat, aku menyusul ikut sakit pula. Satu rumah, kami ada orang tiga. Tiga-tiganya sakit semua! 😄

Untungnya, saat itu aku yang sakitnya tidak terlalu parah (dasar orang Indonesia, sudah sakit, masih saja ada untungnya!). Hanya demam dan sakit kepala sedikit saja. Dari pagi hari menjelang siang. Ketika adzan berkumandang, aku telah memastikan tempat di masjid. Aku masih kuat untuk shalat Jumat loh saat itu, wowkwok.

Di hari Sabtu dan Ahad. Keadaan dua temanku masih cukup tepar. Mereka hanya berguling-guling di atas kasur. Aku secara tidak langsung yang melayani mereka. Aku sendiri yang memasak nasi, aku yang keluar membeli makanan, dan sebagainya. Coba lihat, aku sebenarnya nampak sehat-sehat saja, bukan?

Di hari Senin, satu teman sudah masuk ke kantor. Sedangkan aku, sebenarnya masih belum fit. Karena sepanjang hari masih batuk-batuk terus. Aku memutuskan untuk WFH (karena memang saat itu adalah jadwalku untuk WFH). Teman yang satu lagi, masih sama seperti hari kemarin. Dia masih belum punya tenaga yang cukup.

Sekira jam sepuluh pagi, dia bilang kepadaku, “Mas Dodo, gimana kalo kita swab antigen saja?”

Aku mengiyakan ajakannya. Sebetulnya, sudah dari kemarin kami saling curiga. Jangan-jangan salah satu di antara kami ada yang positif Covid. Teorinya simpel saja, kok bisa satu orang demam dan flu, yang lain cepat sekali tertularnya. Padahal, kalo demam "biasa", tidak secepat itu, kan.

“Aku sekarang sudah hilang kemampuan untuk mencium aroma. Sebenarnya dari kemarin sih, mas..” teman satu kos itu baru saja membuat pengakuan yang membuatku tercengang.

WOYY KENAPA KAU TIDAK BILANG DARI KEMARIN! DI RUMAH AKU TIDAK ADA MENGGUNAKAN MASKER WOYY! HAHAHA -_-

Setelah dia memberi pengakuan, aku mulai agak menjaga jarak dengannya, dan mengenakan masker di rumah (walaupun sudah sangat terlambat haha).

“Ayo kita ke klinik. Mau naik sepeda atau jalan kaki, nih?” ajakku kepadanya.
Jawabannya gimana? Tentu saja tidak keduanya.

Dia masih tidak kuat untuk berjalan kaki atau bersepeda sejauh itu (padahal tidak jauh, sih, hanya sekitar satu setengah kilo meter).
Maka akhirnya aku mencari pinjaman motor ke teman yang lain. Sebut saja namanya Zul. Tentu saja, aku menjelaskan maksud dan tujuanku, bahwa aku hendak meminjam motor untuk swab antigen yang ada kemungkinan hasilnya bisa saja positif. Jadi, supaya orang yang punya motor nyaman, apakah mengizinkan atau tidak jika motorya aku gunakan.
Setidaknya, kalau kami ada yang positif, Zul harus membersihkan motornya dengan cairan disinfektan, hiiihi.

Long short story, kami telah berada di klinik dengan menaiki motor milik Zul. Setelah antre dan hidungku dicolok, hasilnya kemudian keluar. Dari satu kloter, namaku yang pertama dipanggil. Deg..

“Mas Dodo ada keluhan apa sebelumnya?” Seorang petugas, nampaknya perawat, bertanya tanpa basa-basi kepadaku. Aku kemudian menjelaskan keadaan diriku. Sempat demam, kemudian radang tenggorokan, flu dan batuk.

Setelah aku menjelaskan, tanpa tedeng aling-aling, sang perawat dengan mantap mengatakan, “Masnya positif Covid. Setelah ini ke ruangan sebelah yaa.”

Karena aku memiliki jiwa kepo yang tinggi, aku bertanya keadaan temanku apakah dia positif atau tidak, “Kalau teman saya positif atau negatif, mbak? Saya satu kos dengan dia.”

“Siapa namanya?” tanya si perawat. Aku memberi tahu nama temanku, seraya menjelaskan keadaannya bahwa dia kehilangan kemampuan untuk mencium aroma.

“Kalau dia negatif, mas. Dan kenapa bisa hilang kemampuan mencium aroma, nampaknya dia kemarin juga positif covid. Namun sekarang sudah berangsur sembuh. apabila dia dites PCR, bisa saja hasilnya positif.”

Aku mengangguk pelan, seolah tidak sepakat kenapa hanya aku yang positif dan temanku yang negatif. Padahal secara fisik aku sehat-sehat saja, sedangkan dia yang sejak kemarin hanya tiduran di atas kasur saja. Hahaha.

Dari ruangan dokter, aku mendapat titah untuk melakukan pertapaan di dalam gua isolasi mandiri selama sepuluh hari.  Aku juga mendapat resep untuk kemudian dibawa ke apotek. Cukup mahal obatnya untuk anak kos seperti aku, walaupun sebenarnya tidak mahal juga sih. Hanya delapan puluh sembilan ribu ruiah, total belanjaanku di apotek saat itu.

Bagaimana dengan temanku? Sebab dia kehilangan kemampuan untuk mencium wanita aroma, dia juga berkonsultasi ke dokter di klinik dan mendapat resep obat. Namun, ketika di apotek, dia punya obat total harganya jauh lebih mahal. Dua ratus lima puluh ribu rupah.

Apa yang terjadi selanjutnya?
Aku menghubungi managerku, mengabari bahwa aku terkonfirmasi positif covid. Kemudian aku mengabari orangtua, dan, aku juga mengabari si dia. Tapi entah kenapa, aku punya salah apa sama dia, responnya saat itu biasa saja. Oh yaa, aku lupa. Aku bukan siapa-siapa baginya. Ahahahaa.

Kembali ke manager.
Sebakda mendapat kabar dariku, beliau memberi kabar di grup bahwa aku terkonfirmasi positif Covid. Sontak saja, si Zul langsung menghubungiku, “Do, kamu positif ya?”

“Iya nih, motormu jadi gimana? Udah buat aku aja yaak, ahaha!” aku membalasnya dengan sedikit berkelakar.

Selain itu, aku juga mengabari seorang seniorku di tempat kerja. Beliau adalah orang yang sering menjadi tempat bertanya, meminta tolong dan sebagainya ke beliau. Beliau juga pernah terjangkit Covid, bahkan sampai dua kali. Jadi, fikirku pasti dia sudah sangat berpengalaman, hehe.

Beliau yang mengurusi pernak-pernik isolasi mandiriku. Beliau menghubungi Bapak A, Bapak B, menghubungi RT juga (Ketua RT kebetulan teman beliau, karena di lingkungan tempatku tinggal, semuanya adalah karyawan di perusahaan yang sama).

Singkat cerita, aku mendapat tempat isolasi mandiri di mess milik perusahaan. Messnya bagus, rapi, bersih. Ada AC, dan televisi. Di kamar mandi bisa air panas pula. Makan tiga kali sehari pun didapat secara cuma-cuma. Alhamdulillah kantongku aman sepuluh hari ke depan. Hehe.

Apalagi yaa ceritanya? Hmm.. mungkin sampai di situ saja untuk kali ini.
Besok udah mau Lebaran Idul Adha, dan aku masih sama seperti lebaran Idul Fitri dua bulan lalu. Masih saja merasa kesepian. Sendirian.
Hehhe.

Jabodetabek, 19 Juli 2021
Dalam kamar isolasi mandiri, ditemani sayup-sayup takbiran Idul Adha..
“Kalo kamu ke Bandung,” kata seorang teman dengan penuh antusias, “Jangan lupa makan surabi. Surabi yang enak, ada di kawasan Cihampelas.”
“Pokoknya,” dia kembali melanjutkan, “Kamu belum ke Bandung kalau belum makan surabi!”

Perkataan itu begitu terngiang-ngiang di kepalaku, hingga akhirnya kesempatan itu muncul. Yaa, akhirnya aku sampai di Bandung. Tepat di awal bulan Juni tanggal satu.

***

Haii, haii, haiii! Apakah kalian merindukanku? Bahkan sampai ada teman yang mengirimku pesan WhatsApp, kenapa sudah tidak update tulisan di Blog lagi. Kemana saja. Ada hal apa.
Tenang, aku masih di sini, kok. Hehee..

Kali ini aku hendak bercerita tentang perjalanan ke Bandung, beberapa waktu yang lalu. Sebenarnya sudah sejak lama hendak menuliskannya, tapi selalu ada aja halangannya.

Well,  untuk sampai ke Bandung,kami membutuhkan waktu sekira empat jam. Tentunya, itu sudah dengan waktu istirahat satu jam. Berangkat sebelum jam tiga dini hari, istirahat di rest area untuk shalat Shubuh, dan kurang dari jam enam pagi akhirnya kembali melanjutkan perjalanan.

Lihatlah pembaca, para anak muda dalam narasi di atas sangat semangat bangun pagi untuk liburan dan jalan-jalan. Padahal, di hari-hari biasa sangat sulit untuk bangun pagi untuk shalat Shubuh. Hadeuuhh.. Dasar aku, hikss! 😭😂

Singkat cerita, aku akhirnya benar-benar kembali ke Cihampelas, setelah terakhir ke sana di tahun 2018 (Baca juga: Malam Hari di Bandung). Tidak ada perubahan berarti. Hanya saja nampak lebih sepi, mungkin efek dari pandemi.
Dan, mumpung sudah di Cihampelas, aku saat itu benar-benar berhasrat untuk membuktikan perkataan temanku di paragraf satu; Makan surabi di Cihampelas.

Aku sudah masuk di restoran surabi yang ada di sana, kalau kamu orang Bandung, atau sudah sering ke Bandung, pasti tahu restoran surabi mana yang aku maksud. Ternyata, tidak terlalu mahal harganya, hanya sembilan ribu rupiah, untuk surabi original. Namun, apabila kamu mau mencoba topping yang lain dan lebih “modern”, tentu saja harganya lebih mahal.

Bagaimana pendapatku tentang surabi ini?
Menurutku, harga sembilan ribu cukup murah dan sangat mengenyangkan. Aku tidak menyangka dengan tempat sebagus itu, bisa menjual makanan dengan harga yang tidak sampai sepuluh ribu. Namun, dari ke-antusias-an temanku di paragraf satu, menurutku ia sangat berlebihan. Surabi memang enak, tapi biasa-biasa saja. Tidak seheboh yang dia beritakan.

***

Singkat cerita, aku pulang ke kos. Hidup kembali seperti sedia kala. Besok hari harus berangkat kerja.

Skip, skip, skipp..
Beberapa hari kemudian, menjelang istirahat makan siang, aku iseng mengunggah foto surabi yang kami makan kemarin. Foto itu sebenarnya dipotret temanku, namun aku meminta izin untuk mengunggahnya di status WhatsApp.

Apa tujuanku?
Tidak ada, iseng saja.


Tring, tetiba ada satu pesan masuk. Merespon status WhatsApp tersebut. “Waah, enak tuh makan-makan terus..”

Aku melihat ponselku, tanpa melakukan read pesan terlebih dahulu. Ternyata dari kakak tingkat di kampus. Aku membalas dengan santai, “Eh iya bang, hehehe..”

“Apa kamu tidak kasihan dengan ibu di kampung, ibumu makan seadanya. Kamu di sini makan makanan mewah,” si kakak tingkat nampak tak berdosa mengirim pesan seperti itu. Aku heran sekali. Apa maksudnya. Tapi aku tetap membercandainya.

“Eh, tidak bang. Ibuku tinggal di kota, bukan di kampung, ehehe.. Lagipula, itu makanan tidak mahal, kok. Cuma sembilan ribu rupiah.” Aku menjawab begini saja. Toh, benar kan. Ibuku memang tinggal di Palembang, kota terbesar nomor dua di Pulau Sumatera. Palembang bukan kampung loh hihiiihi..

“Tetap saja, ibumu di sana makan tekwan murahan yang seharga tiga ribu rupiah. Kamu di sini enak-enak..” respon dari kakak tingkat tidak berhenti. Aku terbelalak melihat responnya. Orang ini ada masalah apa sih hidupnya, sampai-sampai segitunya ngurusin makanan ibuku wowkwokk.

Oh yaa, for your information, tekwan adalah makanan khas Palembang. Silahkan googling yaa!

Kemudian, rasa-rasanya, ingin kembali kubalas pesan darinya, “Mohon maaf bang. Ibuku tidak pernah makan tekwan seharga tiga ribu rupiah. Kami biasa membuat tekwan sendiri, menggunakan ikan gabus asli, harga ikannya bisa sampai delapan puluh ribu rupiah satu kilo nya!”

Namun, pesan itu aku urungkan untuk dikirim. Aku membiarkan chat dari kakak tingkat tidak berbalas.

***

Ngomongin makan enak, apa benar aku di sini makan enak-enak setiap hari? Tentu saja tidak, kawan. Aku di sini berjuang sehemat mungkin. Kalau kamu mengikuti tulisan dari beberapa bulan lalu, aku pernah bercerita kalau aku makan dengan biaya hanya sembilan ribu rupiah sehari (untuk di bulan pertama).

Di bulan selanjutnya? Tentu saja tetap hemat, tapi cost nya sudah lebih dari sembilan ribu rupiah per hari. Karena aku sudah punya uang, hehee.
Toh, jajan seperti itu sesekali. Jajanku hanya surabi seharga sembilan ribu rupiah aja sudah dinyinyirin seperti itu, gimana kalau aku makan seperti Mbak Siskaeee Kohl ya? Gak tau deh, hahahaa!

Ini penampakan makan siangku sehari-hari. Cukup "mewah", bukan?


Terakhir. Apa inti postingan kali ini?
Tidak ada.
Aku hanya ingin mengungkapkan kekesalanku saja. Lihat tuh, buktinya chat satu setengah bulan yang lalu, masih saja aku ingat sampai hari ini, hiiihii!

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

ABOUT AUTHOR

Kang Mas Joe adalah seorang yang berpengalaman dalam pahit dan getirnya kehidupan, walaupun nyatanya tidak terlalu pahit. Mencoba berbagi tulisan melalui blog, semoga ada hikmah yang bisa diambil. Apabila ada kritik, saran, nasihat dan mau kerjasama. Silahkan DM melalui Instagram dan Twitter @KanggMas_Joe. Terimakasih!

POPULAR POSTS

  • Pencitraan Jilid Dua; Buku yang Aku Baca di Tahun 2020
      Beberapa hari ke belakang, rumahku sedang direnovasi. Maka buku-buku yang ada di rumah sedang tidak ada di rak buku seperti biasa. Begini ...
  • Masjid Cheng Hoo
    Masjid Muhammad Cheng Hoo, adalah salah satu masjid yang cukup terkenal di Palembang. Sering dijadikan sebagai tempat wisata religi. Menurut...
  • Balonku Ada Lima
    Jangan terkejut, ini bukan jimat, mantra, doa atau sebagainya!  Untuk kamu yang sudah jago membaca Al-Quran sejak kecil, aku yakin kamu past...
  • Menjadi Pacar Sewaan
    Hari ini adalah hari Ahad, pukul sepuluh pagi. Aku sedang duduk bersantai di rumah, sedang menatap layar laptop untuk melakukan blog walking...
  • 3 Bloggers yang Rajin BW
    Seperti biasa, di setiap penghujung bulan, Mbak Eno yang baik hatinya kembali membuat challange. Ini adalah event ketiga dari challange- nya...

Categories

  • Bisnis
  • Cerita
  • Opini
  • Perjalanan
  • Pernikahan
  • Sajak
  • Tutorial

Copyright © 2021 Kangg Mas Joe. Created by OddThemes