“Umur kita sudah dua puluh tiga,” katamu dalam percakapan di malam Sabtu tiga pekan yang lalu. “Hubungan macam apa ini, percakapan macam apa ini? Persis seperti bocah SMA yang sedang menjalin cinta monyet, Joe!” Pesan WhatsApp kali ini benar-benar nampak serius.
Iya, tetapi hanya nampaknya saja.
Bagimana dengan keesokkan harinya? Kamu kembali seperti dulu. Seolah lupa dengan janji dan penyesalan yang telah kau ucapkan kemarin, “Sayangquh, gimana kabarnya nih?” tiba-tiba kamu kembali mengirim pesan WhatsApp kepadaku.
Heyy! Padahal, belum dua puluh empat jam, kau mengatakan bahwa kita persis seperti bocah SMA yang sedang menjalin cinta monyet!
Dasar monyet, kau! Eh, astaghfirullah-al’azhim!
Entahlah, aku tidak mengerti apa nama hubungan kita saat ini. HTS; Hubungan Tanpa Status, kata orang. Tapi istilah itu terlalu kuno, sering digunakan di Facebook sembilan tahun lalu. FWB; Friend With Benefit, kata netizen di Twitter. Tapi tidak cocok untuk keadaan kami saat ini. FWB, yang aku tahu, agak sedikit “kotor”. Berteman, tapi bisa cuddling hingga ber-seks-bebas-ria. Insyaa Allah kami tidak sebablas itu. Jangankan ke arah sana, bersentuhan pun kami tidak pernah.
Jadi, bagaimana status hubungan kita?
Sebenarnya, ada satu yang membuat adanya dinding kokoh di antara kita. Doktrin para Murabbi yang terlampau kuat. Pacaran itu haram! Itu lah yang membuat kita, aku tidak sampai hati mengungkapkan kalimat itu, “Maukah kamu menjadi pacarku?”
Tidak sekalipun aku mampu berujar kata-kata itu.
Bahkan, di sisi lain, aku lebih nyaman kita seperti ini. Tetap terus berteman, tapi dalam artian lebih spesial. Tidak seperti pertemananku dengan perempuan-perempuan lainnya (sebut saja dengan Mega, Wati, Susi, Pujiastuti, Sri, Mulyani, Fatmawati, Puan, Maharani dan sebagainya). Pertemanan denganmu jauh lebih spesial. Mungkin, bisa juga disebut persahabatan (?)
Yaa, logikanya jika berpacaran akan ada “putus” di akhir hubungan, entah sampai kapan. Tapi pertemanan, persahabatan, tidak akan ada istilah “putus”. Oh yaa, mungkin baru akan ada istilah “putus” persahabatan antara laki-laki dan perempuan, ketika ada yang akan hendak menikah.
Oleh karena itu, aku mulai berfikir seperti ini.
Kenapa tidak menikah dengan sahabat sendiri saja?
Kembali lagi ke pacaran. Apa asyiknya, sih? Teman-teman yang punya pacar mungkin bisa bagikan pengalaman kalian di kolom komentar yaak!
Pacaran, dalam kacamataku, hanya sebuah deklarasi sesaat. Kemudian orang-orang hanya menghabiskan waktu untuk bercerita, berbagi keluh kesah, jalan-jalan, nonton bioskop bareng, makan ke cafe hits pinggir kota sambil ketawa-ketiwi dan ghibahin tetangga, hingga hal-hal duniawi lainnya.
Kalau hanya itu definisi pacaran, sorry to say, aku juga telah melakukan hal-hal tersebut dengan sahabatku. Aku telah bersenang-senang seperti itu dengan kamu, kan?
Jadi, pertanyaannya adalah, apa bedanya aku dengan orang yang sudah berpacaran. Secara umum sama saja. Mending tidak usah pacaran, hehehe..
Dan, baru saja kemarin. Nampaknya kamu kembali serius berkomunikasi denganku (sebelumnya bahasan kita hanya hal-hal yang retjeh dan tidak penting). Sebuah link video Youtube; Apakah laki-laki dan perempuan bisa bersahabat?
Aku kembali menelan ludah.
Seingatku, ini adalah sebuah kode yang kembali lagi datang. Boleh jadi merupakan ultimatum ketiga dari dirimu. Jika aku tafsirkan; Joe, hubungan kita cukup sampai sini yaa!
Apakah tafsiranku benar, aku juga tidak tahu. Aku bukan seorang mufassir yang ahli tafsir!
Bagaimana dengan kode atau ultimatum pertama?
Kamu pasti masih ingat, dan aku yakin betul itu adalah sebuah ultimatum. “Joe, kayaknya aku mau masukkin proposal tahun ini, deh.”
“Proposal?” kataku penuh tanda tanya.
“Yaa, masak kamu tidak ngerti maksud proposal itu gimana.”
Well, dalam kelompok pengajian kami, apabila hendak menikah biasanya memasukkan porposal ke ustadz atau ustadzah. Simpelnya, para ustadz dan ustadzah akan menjodohkan melalui media proposal. Ustadz akan menerima proposal dari murid perempuan, untuk kemudian diteruskan kepada murid laki-laki yang siap menikah. Pun begitu juga sebaliknya. Proposal dari kaum lelaki akan diterima oleh pihak perempuan melalui perantara.
“Oh yaa, semoga dapat jodoh yang shalih!” aku membalas pesan WhatsApp tersebut, kemudian langsung membanting ponsel ke kasur. Posisiku saat itu masih menganggur setelah lulus kuliah beberapa bulan sebelumnya. Rasa-rasanya, aku juga hendak masukkin proposal, kemudian bilang ke ustadz, “Tolong proposalku serahkan ke dia (maksudya; kamu) saja, tadz!”
Tapi saat itu aku belum siap. Toh, aku belum punya penghasilan apa-apa. Aku belum bisa menafkahi kamu saat itu! Eh tapi kalo nafkah bathin mah siap sejak bertahun tahun yang lalu hehhee.
Ultimatum kedua.
Kamu kembali mengomunikasikan hal yang sama, “Nampknya aku mau masukkin proposal tahun ini, deh.”
Entah kamu lupa atau bagaimana, bukankah itu sudah kamu bincangkan sebelumnya? Hal itu kembali aku tanyakan, dalam komunikasi rutin kita di setiap hari Sabtu.
“Oh iya, hehe.” begitu saja responmu saat itu ,di ujung sambungan telepon.
Yaa.. Yaa.. Yaa..
Setidaknya, ketika ultimatum kedua ini keluar. Kondisiku sudah jauh lebih baik daripada ultimatum sebelumnya. Aku telah bekerja, menjadi budak korporat, di salah satu sudut wilayah Jabodetabek (walaupun baru satu bulan, dan saat itu belum gajian).
Aku kembali merenung, menganalisa kemungkinan-kemungkinan yang terjadi atas peristiwa ini.
Kesimpulanku, ada dua probabilitas.
Pertama, kamu menginginkanku untuk mengirimkan proposal juga. Kita akhiri hubungan pesahabatan tidak resmi ini. Diganti menjadi hubungan resmi yang diridhoi Illahi, kemudian Pak Jokowi (aku bawa nama Presiden, karena hubungan resmi kan dicatat oleh negara melalui KUA, yang berarti hubungan kita direstui oleh Pak Jokowi, hehhee).
Atau, bahasa vulgarnya begini, “Joe, lo cepetan lamar gue, atau gue bakal dilamar orang lain!”
Terlalu ekstrem dan naif memang khayalanku saat ini, hahaha!
Probabilitas kedua, kamu memang benar-benar mau mengakhiri hubungan ini. Putus. Selesai. Tamat. The End. Kamu memang hendak menikah, tapi dengan orang lain. Jadi, kehadiran diriku akan menganggu proses-proses yang terjadi pada dirimu, dan bakal calon suamimu.
Kita memang jauh dari kata cocok dan se-kufu. Kamu pasti tau sejauh apa perbezaan kita. Aku hanya hafal juz 30 (kadang-kadang masih lupa beberapa surat). Kamu? 30 juz! Bagai air dan api, kan!
Nampaknya, pro-babi-litas yang kedua memang lebih besar peluangnya.
Babi, emang!
Kembali ke channel Youtube. Channel itu dikelola oleh so called influencer (?) yang mereka awalnya bersahabat kemudian menikah. Setelah menonton video mereka, aku rasa-rasanya setuju dengan pendapat mas dan mbak pasutri yang ada di video itu. Laki-laki dan perempuan tidak bisa bersahabat, semaksimal mungkin, paling hanya sampai teman dekat saja. Kalau sahabat, bisa saling bercerita dari A sampai Z. Namun, kalau teman dekat, tidak bisa sejauh itu. Setidaknya, paling mentok A sampai Y.
Kira-kira siapa yaa Youtuber itu? Aku terlalu malas untuk membuka history.
Mungkin, setelah postingan ini terbit, aku tidak akan lagi se-intens sebelumnya untuk menghubungimu. Aku sadar. Hubungan kita sudah tidak sehat. Kayak orang pacaran, tapi tidak pacaran.
Eh, tunggu. KAYAKNYA CUMA AKU YANG MERASA KAYAK PACARAN, KAMU NYA TIDAK, BIASA SAJA, HAHAHA!!
Semoga, janji-janji kita benar-benar dapat terealisasi untuk benar-benar bertaubat menjadi pribadi yang lebih baik. Tidak ber-chatting ria hingga larut malam selaiknya orang berpacaran. Tidak saling bergombal dan menggoda satu sama lain. Tidak mengirim pesan untuk hal yang tidak perlu. Tidak.
Mulai besok, kamu akan aku anggap sama seperti teman-teman perempuanku pada umumnya. Sama seperti Mega, Wati, Susi, Pujiastuti, Sri, Mulyani, Fatmawati, Puan, Maharani dan sebagainya.
Bismillah!
Jadi, apakah tulisan ini murni isi hati dari diri ini?
Ah, sudahlah. Itu tidak penting. Jangan pedulikan hal itu. Siapa tahu, ada hikmah-hikmah yang bisa dipetik dari episode kali ini. Hiiihi.
Jabodetabek, 8 Juni 2021
Menjelang tengah malam