Dua pekan lalu, sepupuku baru saja melakukan hajatan.
Resepsi pernikahan yang sempat tertunda. Sebelumnya, ia telah melakukan akad nikah lima bulan lalu. Saat itu, yang hadir hanya keluarga dan teman dekat saja.
Bahkan, tetangga kiri-kanan pun tidak diundang.
Di acara resepsi ini, sudah agak sedikit berbeda
dengan acara akad nikah. New normal, kata orang. Acara resepsi di
khalayak ramai sudah mulai diizinkan oleh aparat, namun tetap saja dengan
protokol kesehatan yang tidak ketat. Banyak tetamu yang datang, dari
seluruh penjuru negeri. Maklum saja, keluarga kami besar. Bapakku sembilan
bersaudara, Saudara-saudara bapak (Pakde) tersebar di seluruh Indonesia.
Saat itu, yang menikah adalah anak dari Pakde yang
nomor tiga. Beliau adalah pejabat tinggi di pemerintah pusat. Pangkatnya sudah es-melon
satu alias Esselon 1. Jabatannya juga hanya terpaut satu tingkat di bawah
Direktorat Jenderal (Dirjen) di Kementerian. Itulah sebabnya, beliau banyak
kenal dengan orang penting di negeri ini.
Salah satu tamu penting yang diundang adalah Menko-saurus.
Menteri Koordinator Segala Urusan. Entahlah, segala urusan pasti bapak ini
turun tangan di dalamnya. Mulai dari kemaritiman, investasi, konflik agraria,
penegakkan hukum, kepastian HAM, hingga perkara olahraga sepak bola pun, bapak
ini mesti ikut ambil bagian. Menko-saurus bukan salah satu nama
spesies dinosaurus, yaa. Hahaa.
Walaupun Pak Menko-saurus menjadi salah
satu tamu undangan, sejujurnya aku tidak peduli. Aku ra-urus!
Btw, Menko-saurus
bukan nama jabatan resmi beliau, itu hanyalah satire yang sering
berkembang di media sosial.
Pak Menteri datang bersama rombongan. Tidak banyak
sih, hanya tiga orang. Mungkin mereka adalah ajudan pribadi beliau. Pak Menteri
pasti sangat butuh ajudan dan pengawal. Terang saja, beliau saat ini menjadi public
enemy masyarakat. Terutama dari kelompok oposisi pemerintah. Pernyataan
beliau di media, sering membuat geleng-geleng kepala.
Jadi, kamu pasti tahu siapa Menko-saurus yang aku maksud, kan? Beliau adalah...sebagian teks hilang...
Oke, lanjut. Ada apa di resepsi itu?
Jadi, beliau dan rombongan telah tiba sejak Sabtu malam, padahal acaranya di hariMinggu Ahad. Sebenarnya adalah wajar,
sebab acara resepsi pernikahan ini tidak dilaksanakan di kota besar, melainkan
di sebuah desa. Desa ini terletak di salah satu Kabupaten yang ada di pedalaman
Sumatera.
Mereka menginap di salah satu rumah Pakde-ku. Mereka tidur di ruang tamu, hanya di atas tikar dan di depan televisi. Hanya mengenakan kaus singlet dan celana pendek. Sungguh, ini adalah penampakan yang luar biasa bagiku. Di tengah sosoknya yang sangar dan tampak glamour di media, ternyata menyimpan sosok kesederhanaan luar biasa.
Menurutku, orang sekaliber pak Menteri seharusnya tidur di hotel saja. Namun, ini adalah pilihan beliau. Alasannya ketika aku tanya, katanya agar lebih berbaur dengan masyarakat. Sungguh contoh pejabat publik yang sangat memberi teladan pada kita semua.
Ini yang ingin aku ceritakan. Saat itu, di hari
Sabtu malam. Kami para panitia pasti sangat sibuk. Mempersiapkan tenda,
memasang kursi, menata dekorasi dan ini itu. Pekerjaan itu dilakukan sampai
larut malam, sekira setengah satu dini hari baru selesai. Bahkan, ada di antara
kami yang begadang untuk menjaga peralatan sound system milik organ
tunggal (OT). Bisa saja, apabila seluruh panitia tertidur, maling dengan
mudah menggondol berbagai piranti yang ada di sana.
Tersebab aku tidur sudah cukup larut, ditambah
tubuh yang sudah lelah. Aku bangun kesiangan. Waktu telah menunjukkan pukul
setengah enam pagi. Adzan Shubuh telah berkumandang satu jam yang lalu. Maka,
saat itu aku tidak bisa melaksanakan shalat Shubuh berjama’ah di masjid. Sebab
jama’ah pasti sudah pulang sejak tadi. Haha.
Aku putuskan untuk shalat sendirian di rumah Pakde.
Tempat yang paling pas dan nyaman untuk aku shalat,
adalah ruang tamu. Di sana ada sedikit space yang cukup untuk meletakkan
sajadah. Namun, seperti yang telah aku singgung di awal, di ruang tamu saat ini
ada pak Menteri dan rombongan yang sedang tidur. Seingatku, mereka non-muslim.
Jadi aku tidak mau membangunkan tidur mereka. Tidak mungkin aku mengajak mereka
shalat Shubuh bersama. Biarkan saja mereka ber-istrirahat, eh beristirahat.
Namun, di ruang tamu itu, mereka tidur dengan
televisi yang menyala. Nampaknya, mereka dari semalam menonton televisi dan
lupa mematikannya. Karena aku hendak shalat – tidak mau konsentrasi terganggu –
aku mematikan televisi itu.
Petaka itu terjadi. Ketika aku mematikan televisi,
Pak Menko-saurus malah terbangun. Bak dinosaurus yang baru saja bangun
dari tidur panjangnya. Seram sekali.
Mungkin, suasana yang tiba-tiba menjadi hening membuatnya terbangun.
“Televisinya kenapa kamu matikan? Kamu tidak suka saya
menonton televisi di sini?” Pak Menteri berkata dengan serius kepadaku.
“Apa sih nih orang, baru bangun tidur
langsung marah-marah ga jelas.” Aku bergumam dalam hati. Tidak mungkin aku
katakan langsung ke beliau. Hahha.
“Eh, bukan begitu pak. Saya di sini mau shalat. Biar
bisa konsentrasi dan tidak ada gangguan. Saya juga lihat, bapak sedang tidur.
Jadi saya matikan saja televisinya. Mohon maaf sekali lagi, pak.” Aku meminta
maaf saja. Kalau diteruskan, pasti bakal panjang berurusan dengan pejabat.
“Heeh? Melawan kamu sama saya? Kamu tidak tahu
siapa saya?” Respon Pak Menteri malah seperti itu.
Orang ini benar-benar gila hormat.
Aku kemudian shalat, membaca Surat Al-Fatihah, dan
surat pilihan selanjutnya. Tiba-tiba, televisi kembali menyala. Sayup-sayup aku
mendengar suara televisi, sedang menayangkan serial kartun Sponge Bob. Kemudian,
sambil menonton, Pak Menteri dan para ajudannya tertawa-tawa. Jarak mereka
dengan tempatku shalat, hanya terpaut dua meter saja.
Konsentrasi dalam shalatku terganggu. Aku
menyumpah serapah orang-orang itu.
Dasar orang tua gila! Orang mau shalat, kenapa diganggu. Kataku, di dalam hati. Astaghfirullah!
Apakah kisah ini benar-benar terjadi? Tentu saja
tidak, kawan.
Kisah ini tidak benar-benar terjadi di dunia nyata. Kisah ini hanya terjadi di dalam mimpi, sekira tiga hari yang lalu. Ketika aku (ter-)tidur lagi setelah shalat Shubuh. Btw, jangan ditiru, yaa!
Sebetulnya, aku agak sedikit ragu ketika hendak
menceritakan ini. Kenapa? Sebab dalam pemahamanku, dalam ajaran Islam, tidak
baik menceritakan mimpi buruk.
Eh, tunggu. Apakah dimarahin Pak Menko-saurus termasuk pengalaman mimpi buruk? Aku rasa itu pengalaman kocak.. Wkkwk!
Jadi, kamu pasti tahu siapa Menko-saurus yang aku maksud, kan? Beliau adalah...
Jadi, beliau dan rombongan telah tiba sejak Sabtu malam, padahal acaranya di hari
Mereka menginap di salah satu rumah Pakde-ku. Mereka tidur di ruang tamu, hanya di atas tikar dan di depan televisi. Hanya mengenakan kaus singlet dan celana pendek. Sungguh, ini adalah penampakan yang luar biasa bagiku. Di tengah sosoknya yang sangar dan tampak glamour di media, ternyata menyimpan sosok kesederhanaan luar biasa.
Menurutku, orang sekaliber pak Menteri seharusnya tidur di hotel saja. Namun, ini adalah pilihan beliau. Alasannya ketika aku tanya, katanya agar lebih berbaur dengan masyarakat. Sungguh contoh pejabat publik yang sangat memberi teladan pada kita semua.
Aku putuskan untuk shalat sendirian di rumah Pakde.
Mungkin, suasana yang tiba-tiba menjadi hening membuatnya terbangun.
Dasar orang tua gila! Orang mau shalat, kenapa diganggu. Kataku, di dalam hati. Astaghfirullah!
***
Kisah ini tidak benar-benar terjadi di dunia nyata. Kisah ini hanya terjadi di dalam mimpi, sekira tiga hari yang lalu. Ketika aku (ter-)tidur lagi setelah shalat Shubuh. Btw, jangan ditiru, yaa!
Eh, tunggu. Apakah dimarahin Pak Menko-saurus termasuk pengalaman mimpi buruk? Aku rasa itu pengalaman kocak.. Wkkwk!