Setelah sebelumnya menulis tentang Komunis, kali ini aku akan menulis mengenai faham lain yang cukup bertolak belakang. Liberal.
Aku
mengenal faham ini ketika menjadi siswa SMA kelas satu. Rasanya,
istilah Liberal pertama kali aku dengar dari mata pelajaran PPKn (Pendidikan Propaganda dan Kewarganegaraan), dan mata pelajaran Sejarah.
Kata guruku, Liberal adalah faham yang menganut rasa kebebasan. Simpelnya, orang-orang Liberal ingin santuy dan bebas sebebas-bebasnya dari aturan agama dan budaya ketimuran yang mengekang.
Namun,
temanku nampaknya salah memahami definisi ini. Saat itu, di sekolah ada
seorang teman yang tidak memakai dasi di kelas. Katanya, dasi cuma
dipakai untuk upacara bendera saja. Di kelas mah, tidak perlu.
Salah seorang mem-bully temanku
itu, “Huu.. dasar liberal, santuy sekali ente! Dasar mau jadi orang
bebas yang tidak mau taat aturan!” Tapi, itu hanya dalam rangka
bercanda, yaa. Bukan serius. Hehe.
Selain dari pelajaran PPKn dan Sejarah, aku mengenal faham Liberal dari Rohis. Yaa, betul. Rohis mengajari kami Liberalisme.
Eh tunggu, bukan gitu maksudnya! -_-
***
Aku
menjadi siswa di salah satu Bimbel (bimbingan belajar) yang ada di
Palembang, letaknya sangat dekat dengan Jembatan Ampera yang telah
mejadi ikon kota. Jarak gedung Bimbel dan Jembatan Ampera hanya
sepelemparan batu. Dekat sekali.
Selepas
shalat Ashar, seorang teman berkata kepadaku, “Doo, kamu dicariin Mbak
Zie. Katanya dia lagi cari anak Rohis.” Mbak Zie adalah tutor Bahasa
Inggris di bimbel itu.
Sekejap kemudian, aku telah menemui Mbak Zie yang bernama asli Fauziyah. “Mbak Zie mencariku? Ada apa, mbak?” Tanyaku.
“Iya, dek. Kamu anak Rohis kan? Mbak sama temen-temen boleh main ke sekolahmu? Kami mau sosialisasi.”
“Boleh, mbak. Datang aja Sabtu ini. Sosialisasi untuk apa? Promosi bimbel ke anak Rohis yaa?”
“Yaa,
bukan lah! Promosi Bimbel gak harus ke anak Rohis, lah. Seluruh orang
boleh ikut bimbel! -_-” Mbak Zie terlihat kesal dengan responku. Aku
hanya tertawa kecil.
“Yaah, aku kira anak Rohis mendapat diskon khusus, mbak! Hehehe.“
Beberapa dialog terakhiir adalah fiksi, yaa! Hihihii...
Hari Sabtu, Mbak Zie dan teman-temannya benar-benar datang ke sekolah. Katanya, mereka dari komunitas ITJ; Indonesia Tanpa JIL. Apa pula JIL? Itu adalah Jaringan Islam Liberal. Nama komunitas yang unik, sebab ada singkatan di dalam singkatan. Wkqwk!
Saat
itu, ada dua orang mas-mas dan empat orang mbak-mbak. Mas-masnya
berjanggut tipis, mbak-mbaknya semua berhijab lebar, lebar sekali hampir
menutup seluruh badan. Karena aku adalah laki-laki yang normal, sudah
barang tentu aku jadi sering memerhatikan mbak-mbak tersebut. Karena di
sekolahku, adalah langka orang yang menggunakan hijab selebar itu. Aku
tidak memerhatikan mas-masnya. Untuk apa, aku bukan penyuka sesama
jenis! #eh
Sosialisasi dari mereka dimulai, aku masih fokus ke mbak-mbak berhijab lebar, bukan ke materi.
Salah satu materi yang aku ingat adalah, mereka menununjukkan tulisan-tulisan orang Liberal nan open-minded, kebanyakkan memang dari Twitter.
Berciuman adalah sedekah dan akan mendapat pahala karena kita menyenangkan orang lain.
Haah! Aku menganga, tidak habis thinking. Kok bisa ada orang se-gobloq itu menarik kesimpulan. Saat itu, aku masih postive thinking. Siapa
tahu, itu hanya sebuah lelucon. Konteks berciuman disana adalah dalam
rangka suami yang mencium istrinya. Tidak masalah memang. Halal 100%.
Kemudian, ada pulai yang menulis begini.
Jilbab itu pakaian khusus dipake buat shalat dan pengajian. Kalo keluar dari situ, di tempat umum ya kudu dibuka. Bego lu!
Aku melongo, ini yang bego siapa sih!
Lagi-lagi, aku masih ber-husnuzhon. Berbaik sangka. Sebab aku saat itu tidak pernah melihat tulisan semacam itu di Twitter. Isi dari timeline-ku hanya twit-twit galau, retjeh dan tidak jelas dari teman-teman di sekolah.
***
Hari terus berjalan, Twitter sudah jarang aku buka selama bertahun-tahun. Hingga akhirnya, sejak pandemi ini melanda, dan aku memang tidak ada kerjaan, aku kembali aktif ke dunia itu.
Pertemananku semakin luas. Timeline sudah semakin beragam. Mulai dari isu agama, politik, ekonomi, iptek hingga gosip para artis. Semuanya muncul di timeline.
Omongan
dari mba-mba ITJ mulai terbukti. Saat itu, ada sesuatu yang viral.
Seorang anak muda berusia 17 tahun. Perempuan cantik, good looking, selebriti dan punya banyak followers.
Kasusnya? Pacarnya (tidak) sengaja meraba payudaranya, dan kegiatan itu terekam di media sosialnya.
Bagaimana tanggapan netizen? Beragam.
Banyak yang berkomentar seperti ini.. Jika mereka hendak melakukan itu, harusnya tidak di depan umum. Jangan direkam dan disebar ke publik.
Tidak satu-dua orang yang berkomentar seperti ini. Banyak sekali pendapat seperti itu berseliweran. Aku bingung.
Dalam benakku, komentar yang benar adalah.. Harusnya mereka tidak melakukan itu. Udah,
cukup sampe situ. Tidak usah ditambah-tambahin. Komentar sebelumnya,
seolah-olah mengindikasikan bahwa perbuatan tersebut boleh-boleh saja
dilakukan, namun tidak boleh disebar. Padahal, menurutku perbuatan
seperti itu. Mau direkam ataupun tidak, yaa tidaklah patut dilakukan.
Apa yang terjadi hari ini?
Nampak
di media sosial, anak-anak muda kita santai sekali. Seolah biasa saja
dengan pemikiran liberal dan pergaulan bebas seperti itu. Aduhaii..
Padahal, apabila kita bertanya kepada hati nurani. Apakah kegiatan semacam itu dibenarkan? Apakah kita boleh menggrepe-grepe payudara seseorang, walaupun konteksnya si empunya santuy saja? Tentu saja jawabnya tidak.
Ah yaa.. akan tetapi, lagi-lagi, itu sebenarnya adalah urusan pribadi orang. Kita tidak berhak mencampuri urusan mereka.
***
Masih ngomongin liberalisme. Satu lagi yang membuat aku kesal dan bingung adalah Consensual sex. Hubungan seks dalam kerangka persetujuan, suka sama suka, mau sama mau, sukarela. Aritnya, kita boleh skidipapap-wadidaw jika laki-laki dan perempuan sama-sama setuju tanpa paksaan.
HOOY! MAU SAMA-SAMA SUKA ATAU TIDAK ITU TETAP HARAM KALO BELUM JADI PASANGAN SAH SUAMI ISTRI!
Kalau kami mau skidipapap-wadidaw, masalahnya dimana? Apa hak orang lain ikut melarang? Kata beberapa orang di kolom komentar suatu media sosial.
Menurutku,
orang lain jelas punya hak, walaupun secara tidak langsung. Apa itu?
Hak untuk melindungi generasi muda dari pikiran liberal nan gobloq seperti ini.
Kenapa?
Seandainya pikiran dan pemahaman ini terus dibiarkan berkembang,
terutama di kalangan para pemuda Muslim. Lama kelamaan, mereka bisa saja
akan berfikir. Ooh, ternyata kalo skidipapap-wadidaw atas dalih suka sama suka, itu tidak ada masalah, sah-sah saja!
Duhai, jangan sampai pikiran seperti ini dibenarkan oleh generasi di masa mendatang.
Lagi. Jika kamu masih menganggap hal tersebut tidak masalah. Coba kita tanyakan ke orangtua kita. Misalnya, coba izin sama mama.
Ma, aku mau skidipapap-wadidaw sama pacarku besok, di Hotel X. Boleh yaa!
Kira-kira, apa reaksi si mama?
Berikan pendapatmu di kolom komentar, yaa! :)