Kangg Mas Joe

Blognya Dodo. Tidak semua yang diposting adalah nyata, banyak pencitraan dan fiksinya.

Postingan pertama di tahun 2025. Yuhuu!

Saya ingin bercerita tentang anak kami yang telah berusia setahun. Oh yaa ketika postingan ini dibuat, "ulang tahun" nya tidak tepat hari ini ya. Tetapi bulan lalu, hehe..


Alhamdulillah, sudah setahun. Lebih sedikit ketika tulisan ini dibuat. Tidak harus tepat. Sebab kami tidak membiasakan diri memperingati hal semacam itu.

Namanya, Syifa Esa Aljazirah.
Nama ini sudah kami rancang sejak ia masih dalam kandungan. Walaupun sebagian orang menganggap tabu hal itu.
Kata mereka, tidak boleh. Nanti anaknya sakit. Nama itu harusnya ketika bayi sudah lahir, baru diberikan.
Dan memang, pada awal kelahirannya, anak kami sakit. Sempat masuk NICU (Neonatal Intensive Care Unit; Semacam ICU untuk bayi) beberapa hari. Tetapi, tetap saja ini tiada hubungannya. Kepercayaan yang mengarah pada takhayul.
Kami "menghormati" saja kepercayaan semacam itu. Walau terdengar tak masuk akal bagi kami. Hihii..

Syifa.
Berasal dari Bahasa Arab, berarti "penyembuh" atau "kesembuhan". Kenapa harus Syifa? Ceritanya begini.
Umminya ketika sebelum menikah, dalam keadaan sakit. Baru selesai operasi besar. Harus minum obat selama berbulan-bulan. Namun, ketika hendak menikah, dan akhirnya kemudian hamil. Sakitnya perlahan hilang. Nyeri dan perih berangsur sembuh. Boleh jadi ini adalah cara Allah untuk menyembuhkannya. Maka, kejadian ini kami abadikan sebagai nama anak.
Selain itu, kami juga berharap bahwa Syifa akan selalu sehat. Dan ketika Syifa demam (sebab habis dari imunisasi), seorang Ustadz bertanya, "Syifa kok bisa sakit, kan namanya Syifa?" 😅

Esa.
Berasal dari Bahasa Jawa, berarti "satu" atau "tunggal". Ada beberapa makna. Syifa adalah anak pertama. Kemudian, kami mencari kata yang bermakna angka satu. Makna lain, kami ingin Syifa agar selalu menjadi "si nomor satu", menjadi anak yang terbaik dalam prestasinya, kebaikannya dan hal lainnya.
Dan terakhir, kenapa harus diambil dari Bahasa Jawa? Agar Syifa ingat bahwa leluhurnya, mbah buyutnya berasal dari Tanah Jawa. Syifa harus selalu ingat bahwa dia adalah orang Jawa, walau lahir di Pulau Sumatera. Pujakesuma; Puteri Jawa Kelahiran Sumatera. 😊 

Aljazirah.
Berasal dari Bahasa Arab juga. Yang berarti "kepulauan" atau "pulau-pulau". Alasannya adalah, ketika Syifa dalam kandungan, kami, kedua orang tua Syifa berpindah-pindah dari pulau ke pulau. Menikah di Pulau Sumatera, lantas ke Pulau Jawa, dan akhirnya dimutasi ke Pulau Batam. Beberapa kali masih ada urusan, harus kembali ke Pulau Jawa lagi. Kembali ke Sumatera lagi.
Alasan lain, kami ingin Syifa menjelajah ke pulau-pulau lain di Indonesia (sebab negara kita adalah negara kepualuan), hingga menaklukkan pulau-pulau lain di dunia.
Hal terakhir, nama Aljazirah juga terinspirasi dari stasiun televisi Timur Tengah, Aljazeera. Mereka memberikan kabar kepada seluruh dunia, tentang kekejaman yang dilakukan terhadap Palestina oleh Israel. Menjadikan ghirah kita sebagai Muslim, kembali membara untuk membela kemerdekaan Palestina. Secara tidak langsung, kami berharap agar Syifa menjadi pembela utama untuk Palestina merdeka.

Semoga Allah memberkahi anak kami, keluarga kami, dan keluarga kita semua yang membaca tulisan ini! 😄😉

Batam, Desember 2024
With love,
Abi dan Ummi

 


Ini adalah istriku. Dia adalah orang yang paling ku cinta.
Begitu pula sebaliknya. Aku adalah orang yang paling dia cinta. Dia sangat-sangat memprioritaskan diriku, alih-alih dirinya sendiri.
Kami saling mencintai. Bahagia sekali.

Teringat sekitar dua tahun lalu, tepatnya 14 Agustus 2022 (seharusnya diposting tepat di tanggal 14, namun tak apa lah yaa telat sedikit, haha!)
Kami bersua di Bandara Soekarno Hatta (Soetta). Dia menghubungiku karena telah lama tak bertemu. Ku putuskan untuk datang ke sana. Naik sepeda motor, perjalanan diperkirakan satu jam lamanya.

Dia telah tiba di bandara, pukul sebelas tepat. Sedangkan aku, tidak sesuai rencana. Perkiraanku meleset. Telah lewat satu jam, namun aku belum tiba jua. Ada dua faktor. 
Pertama, jalan menuju Bandara Soetta, entah sejak kapan, sedang diperbaiki. Jadi kita harus melalui jalan lain, yang memutar cukup jauh. Memakan waktu yang lama. 
Kedua, dia menggunakan pesawat Garuda Indonesia. Maka landing-nya di Terminal 3. Bukan Terminal 1 atau Terminal 2. Kabar buruknya, aku belum pernah sekalipun ke Terminal 3. Jadi, harus mencari-cari dulu dimana tempat parkirnya, jalannya masuk lewat mana, dan sebagainya.

Motor telah diparkir. Aku telah berjalan menuju tempat kedatangan. Seperti yang dikatakan di awal, Terminal 3 adalah tempat yang asing bagiku. Saat itu kami sudah sama-sama di Terminal 3, tapi bingung dimana patokannya.

“Aku di depan Alfa express,” sejurus kemudian foto ku kirimkan melalui pesan WhatsApp.
Dia pun membalas dengan cepat, “Sama, aku juga. Tapi kamu dimananya?” dia mengirimkan foto Alfa express juga, tempat yang sama. Namun aku tidak menemukan keberadaannya.


Satu jam berlalu. Sudah menjelang pukul dua belas siang. Sebentar lagi adzan Zhuhur. Akhirnya kami bisa bertemu, setalah banyak drama berlalu.

Semisal, “Aku sudah di dekat Pegadaian yang kamu foto,” tetapi dijawab, “Lah, aku sudah gak di situ lagi. Udah geser ke Mushollah.”
Atau, “Aku sudah di mushollah nih, kamu di dalam ya? Ayok keluar!” dia tetapi berseloroh, “Aduuuh, aku balik ke Pegadaian yang tadi kamu di situ.”
Berat sekali perjuangan hendak bertemu.



Dia saat itu adalah sahabatku, berjenis kelamin perempuan. Dia bilang tidak masalah kan apabila bersahabat dengan lawan jenis. Iya, bagi dia tidak masalah. Tapi bagiku, itu adalah 'masalah'. Sudah barang tentu akan muncul “hal-hal lain” yang kita inginkan. Rasa itu muncul. "Witing tresno jalaran soko kulino," kata Orang Jawa. Bahwa cinta itu tumbuh karena ada kebiasaan.

Baik, kita kembali ke Bandara Soetta. Kenapa kami bisa berjumpa di sana?
Dia hendak memulai kuliah, diterima S-2 dengan beasiswa penuh dari Pemerintah. LPDP namanya. Kampusnya di Bandung. Maka, pesawatnya terbang dari Palembang menuju Bandara Soetta, baru kemudian lanjut ke Bandung menggunakan mobil travel (tidak ada pesawat direct Palembang ke Bandung).

Sedangkan aku, saat itu tengah bekerja di Tangerang. Jadi mudah saja apabila hendak ke Bandara Soetta.
(Oh yaa, sebagai informasi. Secara letak wilayah, Bandara Soekarno Hatta terletak di Kota Tangerang, Provinsi Banten. Agak kurang tepat apabila dikatakan Bandara ini terletak di Jakarta.)

Sekira dua hari sebelumnya, dia mengajakku bertemu di bandara itu. Sebab dia beralasan kita sudah lama tak jumpa. Kemudian dia juga menitip dibawakan makanan. Nasi Padang sepuluh ribuan juga tidak mengapa. Namun di hari H, aku membawakan lebih dari yang diminta. Aku membawakan jajanan warung yang baru saja dibeli dari toko grosir sebelum berangkat ke bandara. Aku membeli jajanan semisal Better, biskuit Roma Kelapa, kacang-kacangan, dan sebagainya. Tidak terlalu ingat detail. Lupa juga.

Saat dia bertanya, “Mana Nasi Padang nya?”
Aku jawab dengan santai, “Udah, gampang. Ayok kita makan di KFC saja!” (saat itu belum ada anjuran untuk boikot yaak, hehe)
Dan kemudian dia berjanji padaku, “Nanti kamu harus ke Bandung. Aku akan balas traktir kamu di sana, ya!”

Kembali ke KFC.
Makan siang kali itu, sederhana saja sebetulnya. Sepotong ayam goreng, nasi dan minuman cola. KFC di Terminal 1 itu cukup ramai. Aku sangat menikmati makan siangku kali ini. Pertama, tak dapat dipungkiri bahwa rasa ayam goreng KFC memang enak. Aku sudah lama sekali tidak makan ayam goreng KFC, biasanya makan ayam goreng abang-abangan di dekat mess seharga delapan ribu rupiah. Kedua, ya karena ‘dengan siapa’ aku makan. Tidak hanya ‘dengan apa’. Itu yang penting.

Obrolan kami mengalir begitu saja. Sesekali aku curi pandang, menatap senyumnya yang manis. Terkadang mata kami beradu, aku kemudian langsung pura-pura fokus kembali ke ayam gorengku. Ah, rasanya aku saat itu adalah manusia paling bahagia di Bandara Soetta.

Apabila makan telah usai, kami lanjut kepada shalat. Selepas itu, kami lanjut ngobrol-ngobrol di salah satu kursi yang disediakan di sana. Dia membuka salah satu makanan yang kubawa. Roti Better yang dia pilih rupanya.
“Jadi apa rencanamu setelah sampai Bandung?” obrolan itu dimulai, sambil menggigit secuil Better.

“Yaa, aku akan tetap tinggal di Bandung selama dua tahun. Menyelesaikan studiku. Sembari berkeliling ke tempat-tempat yang menarik. Mulai dari yang dekat-dekat dari Bandung. Lembang, Cimahi, Tasikmalaya, dan sekitarnya. Sesekali bisa keluar kota. Jika libur bisa keliling Jakarta, bisa ke Jogja, Malang, dan seterusnya. Semua wilayah Pulau Jawa, harus ke sana! Telah lama aku impikan.” Dia bercerita dengan penuh semangat.

“Jadi, kamu tidak akan pulang ke Palembang?” tanyaku penasaran.
“Ya, betul. Tidak akan pulang.” jawabannya mantap.
“Sekali pun?”
“Iya, sekali pun!”

Topik kembali berganti. “Jadi kapan kamu mau menikah?” lagi-lagi aku kembali bertanya sambil memakan Better.


Dia kembali menjawab dengan mantap, “Paling cepat 2024, atau 2025. Pokoknya menyelesaikan studiku dulu.”
“Setelah itu, mau ngapain?”
“Yaa, bekerja. Mau mejadi wanita karir yang berdaya!”
”Kalau suamimu tidak mengizinkan bekerja bagaimana?”
”Tidak apa-apa. Asalkan gajinya sudah menyentuh angka dua digit.”
”Dua digit berapa?” Aku terus bertanya, seperti mengintrogasi.
“Minimal belasan juta, boleh lah.. Eh, kenapa bertanyanya seperti ini?”
Aku manggut-mangut. Gajiku saat itu masih jauh dari angka yang dia bilang.

Tanpa terasa, waktu sudah mendekati pukul tiga sore. Itu adalah jadwal mobil travelnya ke Bandung. Sebenarnya, aku hendak menahannya lebih lama lagi. Tapi kalau dia terlalu sore, bisa menjadi lebih malam sampai Bandung nya. Dari Bandara Soetta menuju Bandung, membutuhkan waktu sekira empat jam.

Aku membantu mendorong trolinya, penuh dengan koper dan tas. Satu momen ketika dia hendak minum, namun kesulitan membuka tutup botolnya, aku membantunya. “Nah begitu, dong. Jadi cowok harus peka. Gitu yang cewek suka..” dia menggodaku.


Akhirnya mobil yang ditunggu telah tiba. Kami hanya berjarak sekian meter dari mobil travel ke Bandung tersebut. Aku dengan sigap membantu memasukkan tas-tas dan koper ke dalam bagasi. Kernet dari travel sambil basa-basi bertanya, “Itu akangnya gak ikut, teh?”

“Iya nih, dia nya gak mau, kang. Padahal sudah ku ajak!” Dia kembali menggodaku. Aku hanya tersenyum seraya ber-heh!

Mobil travel telah berjalan, dia melambaikan tangan seraya tersenyum, “Ku tunggu di Bandung, yaa!”
Aku membalas senyumnya dengan takzim.

**

Selepas pertemuan itu, aku pulang. Kembali ke mess. Mulai kembali berfikir rasional. Dia nampaknya hanya menganggapku teman saja. Tidak lebih. Tidak bisa diajak kepada yang lebih serius. Dari jawabannya semisal, mencari yang gajinya dua digit, itu tak lebih adalah penolakan secara halus. Dia pasti faham maksud pertanyaan kiasanku, dan dia juga menjawab dengan jawaban metafor.
Aku yang saat itu memang hendak ingin menikah, sudah mengambil kesimpulan bulat, cari yang lain sahaja.

Takdir tidak ada yang tahu.
Sampai di Bandung, ternyata dia sakit. Sempat dirawat hingga dioperasi. Sedih sekali. Keinginan untuk jalan-jalan kesana kemari tak dapat dituruti. Singkat cerita, sebab sakit itu, dia merasa perlu menikah (cerita lengkap insyaa Allah akan pada tulisan khusus nanti).

Aku pun, karena memang hendak menikah, mengamalkan shalat Istikharah. Shalat minta petunjuk kepada Sang Maha Pencipta. Biasanya, kata Ustadz Khalid Basalamah yang ceramahnya aku tonton di Youtube, Allah akan memberikan kita pertanda dari doa yang kita gaungkan pada Istikharah tersebut.

Coba tebak, pertanda apa yang aku dapat? 
Ternyata aku harus menikah dengan dia, sang sahabatku itu. Setelah memantapkan hati, atas keyakinan yang tinggi karena ini memang jawaban dan petunjuk dari Allah, aku memberanikan diri lagi. Tanpa pertanyaan metafor, tanpa kalimat-kalimat kiasan. Selepas shalat Maghrib di pertengahan November 2022, aku mengajukan diri untuk menjadi calon suaminya. Dan tanpa banyak drama, jawaban dia dalam sambungan telepon tersebut hanya dua kata, “Iya, boleh!”

**

Singkat cerita, akhirnya kami benar-benar menikah. Aku sangat bahagia saat itu, selepas kalimat “Saya terima nikahnya dengan mahar yang tersebut”.

Janji itu benar-benar ditepati. Dia pernah bilang apabila aku hendak ke Bandung, dia akan balas mentraktirku makan. Dan ternyata, dia membalasnya lebih dari itu. Tak hanya makan, kami jalan-jalan keliling Kota Bandung dan sekitarnya, Lembang hingga ke Tangkuban Perahu. Kami juga menginap di satu kamar yang sama. Tidur berdua.
YAA WAJAR YAA KAN KAMI SUDAH JADI SUAMI ISTRI, HEHE!

**

Apa hubungan dengan foto di awal?
Begitulah takdir bekerja.
Mari sini, ku ingatkan kembali. Dua tahun lalu ketika ku tanya, dia berkata tidak akan pulang selama dua tahun. Nyatanya, dia bahkan pulang beberapa bulan setelah pertanyaan itu. Dia tidak hanya pulang, namun juga bersilaturahmi ke rumah orangtua ku. Kemudian tinggal di Tangerang, bersama sahabat yang kini telah menjadi suami.
Lebih dari itu, hingga akhirnya melakukan penelitian di Kota Batam. Yang sama sekali tidak terbayangkan sebelumnya. 

Kenapa demikian?
Satu bulan setelah menikah, ternyata aku dimutasi ke kota itu. Dari Tangerang ke Batam. Maka untuk mensiasatinya agar kami tidak LDR terlalu lama, maka dia mengambil topik penelitian di kota ini. 
Sekali mendayung, dua-tiga pulau terlampaui.

Selamat telah menyelesaikan studi S-2 nya yaa, sayang!
Dari sahabatmu, yang kini jadi suamimu! 
Apakah laki-laki dan perempuan bisa bersahabat? Atau mungkin mereka akan jatuh cinta. Kemudian, kalau ada di antara mereka yang saling jatuh cinta, bagaimanakah hubungan persahabatan mereka?
Itu adalah pertanyaan yang sering aku renungkan dalam diri. Terlebih ketika sudah mulai dekat dan bersahabat dengan si Doi.

***

Mari kita sedikit me-review cerita sebelumnya; Awal Mula Kenal Istri. Pertemuan pertama terjadi ketika menjadi panita Buka Puasa Bersama, kemudian beberapa hari setelahnya kami kembali bertemu sebab menjadi panitia di Pesantren Ramadhan. Dan kini adalah cerita tentang Pertemuan Ketiga.

Aku tidak terlalu ingat bagaimana detail mulanya. Yang jelas, kami hendak menonton film yang baru saja rilis di bioskop. Rembulan Tenggelam di Wajahmu. Film itu merupakan adaptasi dari  novel dengan judul yang sama, karya Bang Tere Liye.

Saat itu, di tahun 2019, kami sudah semester akhir di kampus. Maka, bebas saja mau main di hari apa, karena tidak ada kuliah lagi. Dan akhirnya, diputuskan di hari Jumat.
Oh yaa, aku belum menjelaskan siapa saja “Kami” yang dimaksud. Kami saat itu ada lima orang; Tiga laki-laki dan dua perempuan. Yang perempuan, sebut saja namanya Mbak dan Doi (yang kini jadi istri, hehe).

Kami para lelaki telah bersepakat untuk berkumpul di Masjid Cheng Hoo. Aku pernah membuat postingan tentang masjid ini (baca; Masjid Cheng Hoo). Sedangkan si Mbak dan si Doi, mereka datang dahulu ke mall untuk membeli tiket. Kemudian selepas kami shalat Jumat, menuju tempat makan. Jadi, makan siang dahulu, baru menonton film. Dan kami saat itu makan seblak di salah satu kafe di Jakabaring.
Ini fotonya. Oh yaa, baru ingat. Satu teman telat hadir. Jadi baru berempat saja makannya, hehe.


Satu hal yang aku masih ingat. Si Doi saat itu cukup histeris ketika ada kucing. Yaps, Doi takut kucing. Gumush sekali saat si Doi hendak menghindar dari kucing yang hendak mendekatinya.
Dan artinya, kami punya kesamaan. Sama-sama tidak suka kucing. Sudah ada kecocokan di awal! *Ge-er banget gue saat itu, wkkw.

Long story short, kami menonton film tersebut. Cukup kecewa dengan filmnya, karena tidak menyelesaikan cerita full seperti di buku. Hanya setengahnya saja. Di akhir film diberikan semacam iklan bahwa akan ada part dua nya. Namun sampai sekarang belum muncul juga lanjutan film Rembulan Tengelam di Wajahmu Part II. 😃


Formasi sudah full-team

Seusai menonton dan sedikit berkeliling di mall. Tibalah waktunya untuk pulang.
Dan aku sebagai orang Jawa yang secara default suka berbasa-basi. Tanpa sadar bilang seperti ini, “Ayoo maen ke rumahku dulu aja, baru setelah itu kalian pulang!”

Harapanku saat itu adalah mereka akan menjawab seperti ini, “Gak usah Doo. Udah kesorean, lain kali aja!”

Nyatanya, tidak demikian. Si Doi saat itu menjawab, “Waah, boleh juga. Iya yaa, kita belum pernah ke rumah kamu!”

Aku saat itu kebingungan, mencari-cari alasan agar mereka tidak jadi datang ke rumah, wkwk. Bukan tanpa alasan, kalau ada yang hendak bertamu, harusnya aku mempersiapkan dahulu. Jikalau mendadak, bisa jadi rumah tidak siap. Apa yang harus aku suguhkan kepada mereka. Aku juga saat itu belum bilang ke mamakku.
Jadi, aku mencari-cari alasan, “Eh, nanti saja. Ini rumahku sedang kebanjiran. Kan habis hujan deres. Biasanya air masuk ke rumah..”

Aku berusaha sekuat tenaga menolak mereka yang hendak datang ke rumah. Dan salah satu teman faham kalau aku hendak menolak mereka datang, tapi dengan cara yang halus. “Yaudah nanti aja kita ke rumah Dodo. Besok-besok bisa. Lagipula sebentar lagi Maghrib, baiknya kita pulang ke rumah masing-masing saja.”

Si Doi masih ngotot, “Kapan lagi ke rumah Dodo. Mumpung ada kesempatan. Besok-besok belum tentu bisaa..”

Si Doi masih tidak mau mengalah. Aku izin sebentar untuk menelpon mamakku, apakah boleh kawan-kawanku ini datang.
Hasilnya? Sudah bisa ditebak.
Mamakku kaget, beliau bilang seharusnya kalau ada teman yang hendak datang bilang dari awal, jangan mendadak. Bingung kita mempersiapkannya. Tetapi aku kembali beragumen ke Mamak, bahwa teman-temanku ngotot pengen datang ke rumah (padahal cuma si Doi yang ngotot, wkwkw). Dan akhirnya mamak mengizinkan.

Kami kemudian berjalan ke arah rumahku. Jaraknya sekira sembilan kilometer. Dan ketika kami dalam perjalanan, itu waktunya sudah sangat mepet dengan waktu azan Maghrib. Jadi kami terpencar. Ada yang shalat di masjid lain, sedangkan aku sudah sampai duluan di rumah. Jadi, shalat di Langgar yang ada di depan rumah.

Mamak sangat ramah menyambut kedatangan mereka, terutama si Doi dan si Mbak. Mereka cepat akrab dengan Mamak. Beliau asyik ngobrol dengan dua kawan perempuanku itu. Gak tau deh apa yang ada di pikiran Mamak saat itu. Sebab aku jarang sekali membawa teman perempuan ke rumah (selain itu juga, aku memang punya teman perempuan yang sedikiiiiit sekali, wkwkw).

Oh yaa, jadi apa yang aku suguhkan kepada mereka?
Setelah shalat Maghrib aku bergegas ke depan gang, beli Model dan Tekwan di Mang Sidik. Kamu tahu kan? Model dan take one Tekwan adalah makanan khas Palembang. Bahannya mirip seperti pempek, terbuat dari campuran tepung sagu, gandum, dan daging ikan giling. Namun dia berkuah segar yang berasal dari kaldu udang.

Model

Tekwan

Dan di kemudian hari, aku mengetahui bahwa si Doi cukup terkesima atas apa yang aku lakukan. Namun aku katakan, itu hal yang biasa. Bukankan bergegas menyediakan makanan bagi tamu adalah standar minimum bagi seorang muslim?
Sama halnya dengan ketika orang terkesima ada orang yang shalat berjama'ah di masjid di awal waktu. Padahal, itu standar minimum kita. Jadi, biasa aja. Gak ada yang spesial, hehe.

Balik ke cerita di rumahku. Kawan-kawanku akhirnya pulang menjelang pukul sembilan malam. Rencana awal adalah, setelah shalat Isya langsung pulang. Tapi, keasyikan ngobrol, jadi lupa waktu. Hahaha.

Oh yaa, si Doi juga saat itu bertanya, "Doo, katanya rumahmu banjir? Kok ini nggak?"
"Iya, biasanya saat hujan deras, air suka masuk. Alhamdulillah hari ini nggak," aku menjelaskan keadaan sebenarnya. Aku tidak berbohong.

Setelah pulang ke rumah masing-masing, obrolan kami berlanjut di grup WhatsApp yang sejak pagi telah dibuat. Tujuan awalnya sih hanya sekedar untuk kirim-kirim foto kita tadi sejak di tempat seblak hingga malam tadi.
Kami merasa diskusi kami nyambung satu sama lain, dan sering berdiskusi di grup tersebut. Ntah membahas perkembangan politik kampus, perseteruan elit politik nasional dan global, hingga hanya mengirimkan meme retjeh.
Dan kamu tahu apa nama grupnya? Simpel sih; Nasabah BSM. Sebab kami semua adalah nasabah dari bank tersebut, wkwwk.
Fyi, di kemudian hari nama grupnya diubah menjadi Nasabah BSI, karena BSM telah merger dengan BNIS dan BRIS menjadi BSI. :D

Jadi, inti dari cerita ini adalah apa? Kamu masih bingung?
Apakah terjawab pertanyaan kita di paragraf pertama?

Bersambung..


Sepuluh hari lagi insyaa Allah,
Akhirnya akan jumpa doi
yang perutnya udah mulai membulat 😁
Halo semuanya, para pembaca setia blog ini. Apakah kalian merindukan tulisanku, hehe.
Alhamdulillah akhirnya bisa posting lagi setelah begitu banyak ujian yang dihadapi. Terakhir posting tanggal 19 Februari, dan sekarang 20 Mei. Artinya, sudah tiga bulan tidak ada postingan.

Dan kamu tahu aku sekarang berada di mana?
Jika kamu pembaca setia blogku, pasti kamu menjawab Tangerang, atau mungkin Jakarta, tapi mungkin juga pulang ke Palembang.
Tidak, kawan. Jawaban kamu semua salah. Kini aku berada di…. Batam. Iya, Batam. Random bet dah idup gua!
Semoga lain waktu bisa cerita mengenai ini.

Yaa, beberapa bulan belakangan banyak terjadi hal yang tidak terduga. Di luar rencana, tidak sesuai prediksi BMKG!
Makanya sibuk banget untuk ngurusin ini dan itu. Harus banyak beradaptasi dan segala tetek bengeknya. Dan hari ini, setelah azzam yang kuat untuk menulis, akhirnya kesampaian juga. Semoga bisa nulis lagi setidaknya setiap pekan, bukan jadi wacana doang, ehehe.
 
Mukaddimah telah selesai. Mari masuk ke inti cerita.
Ini adalah cerita bagaimana aku mengenal istriku, yang telah aku nikahi lebih dari tiga bulan yang lalu. Namanya Novi. 
 
Awalnya, kami memang satu kampus. Beda fakultas, namun circle pertemanan kami beririsan. Karena kami sama-sama anggota organisasi kampus dengan “aliran” yang sama. Kami beberapa kali berada di grup WhatsApp yang sama. Jadi hanya saling tahu saja. Tanpa pernah bertegur sapa. “Ooh, si Anu, anak Fakultas Teknik,” atau “Ada anak Hukum yang cerdas tuh, cantik pula. Novi namanya!”
 
Suatu hari, sahabatnya Novi pernah bercerita, “Aku punya teman, anak Teknik. Dia anaknya seru. Aku menjadi seperti diri sendiri kalo cerita sama mereka, rombongan anak Teknik itu.”
 
“Lha kok bisa, Mbak?” Novi memanggil sahabatnya dengan sebutan Mbak, “Memangnya berbeda kalau cerita dengan kita?”
 
“Yaa, beda. Gak tau aku yaa. Pokoknya kalau cerita ke sesama cewek itu gak seseru cerita ke temen-temen yang cowok. Karena mereka punya perspektif berbeda dengan kita. Kapan-kapan aku kenalin ke kamu lah yaa!” begitu si Mbak menjelaskan.
 
Novi senang-senang saja saat itu. Di mengira si Mbak sudah punya gebetan (yang orang itu adalah, aku. Padahal mah, kagak wkwk).
 
Singkat cerita, di suatu hari di bulan Ramadhan tahun 2019.
Aku, Novi dan si Mbak merupakan anggota organisasi dengan “aliran” yang sama, maka kami diminta menjadi panitia buka puasa bersama. Bahasa kerennya; Ifthar Jama’i.
 
Acara tersebut diadakan di ballroom hotel yang cukup megah di Palembang, tepatnya tanggal 13 Mei. Buka puasa bersama ini menghadirkan peserta se-kota Palembang. Tamu undangan pun cukup bergengsi. Seingatku, yang hadir meliputi Angota DPR RI, DPRD Provinsi Sumatera Selatan dan DPRD Kota dan Kabupaten se-Sumatera Selatan. Tapi, gak semua anggota dewan yaa. Hanya anggota dewan dari “aliran” kami saja. Hehehe.
 
Di suatu sore, ketika sedang sok sibuk menjadi panita, kalo gak salah waktu itu sedang bawa-bawain piring, ada seorang perempuan yang menyapa dengan sangat ramah, “Dodo!”
Namun, bukannya balik menyapa, aku hanya tersenyum bingung karena disapa perempuan (kami menyebutnya Akhwat) yang tidak aku kenal. “Jarang-jarang loh ada akhwat yang menyapa,” pikirku saat itu. Ehehe..
 
Coba tebak, siapa akhwat yang tidak ku kenal yang menyapa saat itu?
Yaps, jawabannya Novi! 😁
Novi merasa tidak asing dengan wajah dan namaku, karena sering diceritakan oleh si Mbak, makanya Novi hendak memastikan. Kayaknya sih, Novi saat itu jadi bete karena responku yang tidak sesuai harapan. Maafin aku saat itu yaa, sayang! Hehehe.
 
Oh yaa, ini foto acara tersebut. Fotonya aku upload di undangan pernikahan kami di Instagram.
Untuk mendapat fotonya penuh perjuangan sih.
 

Awalnya aku mencari ke Instagram organisasi “aliran” kami yang tingkat kota dan provinsi. Aku scroll sampai ke tahun 2019. Scroll nya satu-satu melihat postingan lawasnya. Tidak ketemu. Dapatnya hanya satu video. Tidak ada fotonya. Yakali mau screenshot dari video, wkwk.
 
Kemudian, aku juga berusaha untuk menghubungi beberapa teman yang memang menjadi tim humas dan dokumentasi di organisasi tersebut. Aku bertanya meminta foto-foto Ifthar Jama’i tahun 2019 itu. Mereka semua kompak menjawab, tidak punya lagi.
 
Dan saat hampir menyerah, teringat dengan salah satu yang hadir. Anggota DPR RI Dapil Sumsel 1 dari “aliran” kami, aku scroll akun Facebook-nya ke bawah dengan sabar, sedikit demi sedikit, hingga tiba ke postingan tahun 2019.
Jebret!
Akhirnya dapat fotonya, walaupun cuma satu. Senangnya bukan main saat itu, kwwkk.
 
Skip. Skip. Skip..
Beberapa hari setelah itu, tanggal 27 Mei 2019, ada acara Pesantren Ramadhan di salah satu SD Islam di Palembang. Si Mbak adalah kepala sekolahnya. Maka, dia meminta bantuan teman-temannya untuk menjadi panitia acara tersebut. Acara Pesantren Ramadhan ini, ditujukan untuk anak-anak yang tinggal di sekitar sekolah tersebut. Diisi dengan tausiyah, perlombaan dan ada acara mendongeng.
 
Saat itu, ternyata Novi juga diminta menjadi panitia. Kami bertemu lagi untuk kedua kali. Tapi saat itu, aku sudah mengenalnya. Minimal, tahu siapa namanya. Hehehe.
 
Dan saat Novi mendongeng, Masyaa Allah. Bener-bener istri-able. Bener-bener bunda-able. Mengayomi anak-anak yang mendengarkan dongeng, mereka menurut, diam, menyimak kata demi kata yang keluar dari mulut Novi. Seolah gak mau ketinggalan hatta satu kata pun. Ekspresinya juga sangat-sangat luar biasa. Intinya, aku sangat terpana saat itu.
“Novi harus jadi bini gue nih!”

 
Dan selepas acara itu, kami mulai saling follow Instagram dan saling save kontak WhatsApp. Dan akhirnya kami berteman baik. Menjadi sahabat. Kalau kamu ingat, aku pernah cerita tentang kelompok pertemanan kami yang bernama Nasabah BSM, salah satunya adalah Novi. Hehehe.

Ditulis dari Rusun lantai empat, pukul setengah sebelas malam,
dalam kerinduan kepada istri tercinta yang teramat dalam,
yang tengah berada di Tanah Pasundan,
dan suaminya berada di Kota Batam.


Bersambung..


Dari membaca judulnya, kamu pasti sudah tahu arah tulisan ini kemana. Yaps. Aku sudah resmi melepas masa lajang. Tanggal 5 Februari 2023. Sekira dua pekan lalu. Alhamdulillah.

Dengan siapakah aku berjodoh?
Jika kamu pembaca blogku sejak lama, kamu akan menemukan salah satu tokoh fiksi, yang sebetulnya tidak fiksi sih. Dia adalah sahabat perempuanku, yang beberapa kali aku ceritakan dalam narasi seolah fiksi.
Yaa, akhirnya perempuan yang sudah aku suka sejak lama, bisa aku nikahi. Alhamdulillah.

Bagaimana prosesnya?
Benar-benar skenario Allah. Tidak dibuat-buat. Saat itu, tanggal 10 November 2022. Ntah kenapa, aku merasa rindu dengan aktivitas blogging. Karena (sok) sibuk bekerja sebagai budak korporat swasta.
Seteguk air kemudian, aku membaca tulisan-tulisan lama dan men-share link tulisan itu ke status WhatsApp.
Seorang sahabat yang sudah lama tak bertukar kabar, sebut saja “doi” kemudian merespon status WA itu.
OMG, baru pertama kali ini aku baca semua tulisan Dodo😂
Thankyou udah menulis sesuatu tentang diriku. Aku udah lama banget gak ketawa kayak pagi ini doo. I'm lucky to having you as my best friend.
Tulisannya kayak tulus banget hahahaha.

Oh yaa, selepas itu, doi langsung buat twit dan aku sejujurnya sangat senang dengan twit itu, ehhee.


Aku kemudian sedikit bertanya tentang keadaannya, doi sedang sakit. Baru saja operasi di Bandung. Setelah banyak obrolan yang dibahas, melalui chat WA tersebut, kemudian doi bilang bahwa doi hendak ingin menikah. Doi memintaku untuk mencarikan calon suami yang sekira cocok. Doi sekaligus mengirimkan proposalnya. Biodata untuk ta’aruf, dan meminta agar menyerahkan proposal itu ke orang yang tepat.
Doi sudah sangat percaya kepadaku untuk mencarikan jodohnya.

Di sisi lain, aku juga memang sedang mencari istri. Izin dari orangtua sudah dikantongi. Dan hari-hari sebelumnya, aku selalu berdoa. Dalam doa Istikharah-ku, kumunajatkan kepada-Nya bahwa aku menginginkan jodoh yang terbaik. Hampir setiap malam, doa itu selalu aku ulang-ulang.
Dan dengan datangnya proposal doi, (walaupun konteksnya doi tidak menawarkan dirinya, melainkan meminta tolong kepadaku untuk mencarikan calon suami buatnya) aku menganggap itu adalah suatu pertanda dari Allah. Jawaban atas istikharah-ku.

Jadi, yaudah, bismillah. 14 November 2022, empat hari setelah itu, aku mengabarkan ke doi. Sore aku chat doi di WA, minta izin apakah malam setelah Maghrib free, ada hal penting yang ingin aku bicarakan.

Dan akhirnya, dalam sambungan telepon, seusai shalat Maghrib dan setelah sedikit basa-basi, doi bertanya, “Mau ngobrolin apa?”

Dengan mantap (walaupun sangat grogi saat itu), aku bilang kepadanya, “Terkait proposal Ta’aruf kamu kemarin. Ehmm.. apakah.. boleh.. aku.. yang.. mengajukan.. diri.. untukmu… Maksudku, aku mau ajak kamu Ta’aruf!”
Yaps, saat itu aku bicara dengan sangat patah-patah. Ehehe..

Dan apa katanya?
Dengan sangat enteng doi menjawab, “Iya, boleh!”
Deg! Rasanya saat itu senang sekali hati ini. Terharu. Kayak pengen nangis. Dalam hati ini ingin salto, dan berteriak.. MAMAKK ANAKMU BENTAR LAGI MAU KAWIN!!

Bersambung..

Setelah sekian bulan gak ikutan challange nya #JanexLiaRC, akhirnya ikutan lagi. Walaupun di menit-menit akhir, eheehe.

Kali ini, aku akan menceritakan kepada kamu buku yang sangat fenomenal di kelompok tertentu saja. Judulnya; Karena Menikah tak Sebercanda itu!
Buku ini karya dari Bang Amar Ar-Risalah, seorang selebgram, yang hampir setiap hari posting. Tokoh pemuda dari Depok, berdakwah melalui tulisan di akun media sosialnya.

Benar sesuai tema warna bulan ini kan?
(cokelat atau oranye)


Yang aku fahami setelah membacanya, buku ini ditulis atas keresahan Bang Amar, kawula muda-mudi hari ini, seolah menggampangkan pernikahan. Padahal, nikah memang benar-benar gak sebercanda itu. Butuh banyak persiapan A sampai Z. Gak bisa modal cinta doang!

Ini sebagian kecil daftar isinya.
Tapi tenang saja, aku tidak membaca buku bajakan, kok. Aku kemarin memang dapat kesempatan untuk me-
review sebagian kecil dari bukunya sebelum terbit. 


Bang Amar mengingatkan kita tentang persiapan diri dulu. Dari hal internal kita. Kemudian, beliau juga mengigatkan adakah "luka" masa lalu yang belum sembuh. Apabila ada, sebaiknya disembuhkan dulu, baru bisa menikah. Beliau juga mengigatkan bahwa jalur nafkah itu, haruslah dari hal-hal yang halal, jangan sampai kita masih bekerja di tempat yang riba dan semacamnya. Mosok mau kasih makan anak orang dengan uang yang haram?

Inti dari buku ini adalah, kita jangan termakan propaganda so called "aktivis dakwah" agar menikah muda. Tidak semua orang bisa seperti mereka. Tidak semua orang siap. Nikah muda itu boleh, tapi nikah buru-buru itu jangan. 
Ada orang yang menikah di usia 23 tahun. Tapi mempersiapkannya sudah sejak umur 20 tahun. Ada pula orang lain yang menikah di usia 30 tahun, tapi baru mempersiapkannya di usia 29.5 tahun.

Tentu kita bisa menilai sendiri, bukan?

Pokoknya, buku ini sangat aku rekomendasikan untuk kamu yang mau nikah!
Oh yaa, ini buku ditulis dari perspektif aktivis Islam ya. Jadi, tentu saja akan dijelaskan proses ta'aruf, tukar proposal biodata, didampingi ustadz dan ustadzah, dan seterusnya.
Kalau kamu mau menikah lewat jalur pacaran, buku ini bukanlah buku yang cocok. Tapi, gapapa. Baca aja, biar kita sama-sama faham mana jalan yang benar mana yang keliru! :) 


Udah lama nih, gak posting! Terakhir posting tanggal 4 Juli 2022; sekira empat bulan yang lalu. Tau gak, sampai-sampai aku di-kick dari grup komunitas gara-gara tidak setor tulisan di sana! Hihihi.


Setelah mengumpulkan tekad yang cukup, akhirnya aku siap untuk nulis lagi. Tapi, mau cerita apa yaa?
Hemm.. Mungkin akan ada beberapa kejadian yang mau aku ceritakan.
 
Pertama.
Beberapa hari yang lalu, aku iseng buka lagi Blog, kemudian lihat-lihat statistik. Weeh, kok ada yang sampe ribuan nih yang read. Jujur, jadi semangat buat nulis lagi, wokowk.
 
Ini judul-judulnya;
Nikah Muda
Nge-date (?)
Masjid Cheng Hoo
Balonku Ada Lima
SKCK


Monggo dibaca! :))
 
Kedua.
Di akhir bulan Agustus, aku mendapat undangan acara di jama’ah pengajian yang aku ikuti. Ternyata itu acara untuk Kaum Milenial yang berusia maksimal 30 tahun. Sebenarnya acaranya biasa saja, pengajian umum yang dilaksanakan di masjidnya Ketua Fraksi di DPR RI. Ustadz Dr. Jazuli Juwaini. 

Intinya sih, kaum milenial dikumpulkan untuk persiapan menjadi pemimpin di masa depan. Makanya digembleng dari sekarang. Akan ada kajian lanjutan rutin. Sampai hari ini sudah ada tiga kajian.

Kajian kedua, diagendakan Bang Ismail Bachtiar, anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan (walaupun beliau pada akhirnya berhalangan hadir, digantikan oleh rekannya yang merupakan anggota DPRD di salah satu kabupaten yang ada di Sulawesi Selatan). Dan untuk kajian ketiga, baru beberapa pekan lalu dilaksanakan. Ketua DPP Bidang Kepemudaan, Mas Dokter Gamal Albinsaid yang menjadi pembicaranya. Walaupun, kajian kedua dan ketiga hanya dilaksanakan secara online melalui Zoom. Tetap saja, itu tidak mengurangi esensi acaranya.
 
Apa yang menarik dari acara ini?
Menurutku, simpel. Hanya perkara sapaan dari panitia dan pembicara kepada kami para peserta. Karena sehari-hari di kantor, ketika meeting atau kegiatan apapun, aku seringnya dipanggil "mas" atau "pak".
Jujur, dipanggil seperti itu capek, loh! Alias.. Menjadi orang dewasa itu bener-bener melelahkan! Wkwkwk.
Lu kepikiran hal yang sama kayak gue gak sih?
 
Namun, di acara tersebut, kami dipanggil dengan sebutan “nak” atau “anak-anakku sekalian”. Ustadz Jazuli sering sekali menyapa kami seperti itu di tengah-tengah materi beliau.
Aku merasa kayak… Wahhh. Jadi flashback masa-masa sekolah, masa-masa sepuluh hingga belasan tahun yang lalu. Aku merasa bahwa, kami di jama’ah ini, benar-benar diayomi oleh para sesepuh dan tetuanya.
Jadi, ketika ada yang memanggil “nak”, jadi merasa seperti anak yang masih butuh figur orang tua. Yaa, nampaknya ketika aku menjadi anak kos, aku merasa kehilangan figur orang tua. Telepon atau video call setiap pekan, tetap tidak dapat menggantikan itu, sih. Hehehe.
 
Ketiga.
Kejadian di kerata Commuter Line alias KRL. Saat itu di Stasiun Duri. Aku baru saja berpindah kereta. Dari Jakarta apabila hendak ke Tangerang, harus ganti kereta di Stasiun Duri. Karena stasiun tersebut adalah stasiun transit, maka kereta berhenti cukup lama. Tidak seperti di stasiun lain.
 
Long short story, aku telah berada di dalam kereta di Stasiun Duri, walaupun keretanya belum berjalan. Karena perutku sangat lapar, maka aku mengeluarkan roti dari tas dan memakannya dengan santai (Fyi, aku sebelumnya sudah membeli roti untuk dimakan kalau lapar, dan rasa lapar itu akhirnya muncul).
 
Tetiba, ada anak kecil merengek ke orang tuanya, mau makan juga. Tetapi orang tuanya melarang, “Nanti yaa nak, pas turun aja. Di kereta ga boleh makan”.
Anaknya tetap bersikeras tidak pantang menyerah, “Lha, om itu kok boleh?”
Coba tebak, apa responku?
Bodoamat karena gue laper, dan rotinya udah nanggung kebuka. Yaudah habisin aja, hehe.
Alias… MALU BANGET GUEE WOOYYY!!
 
Akhirnya sejak saat itu, aku tahu bahwa di KRL tidak boleh makan dan minum yaa. Hehee.
Oh yaa, satu lagi. Di KRL juga tidak boleh mengobrol. Tapi aku tahu aturan ini karena sempat ditegur oleh petugasnya. 
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

ABOUT AUTHOR

Kang Mas Joe adalah seorang yang berpengalaman dalam pahit dan getirnya kehidupan, walaupun nyatanya tidak terlalu pahit. Mencoba berbagi tulisan melalui blog, semoga ada hikmah yang bisa diambil. Apabila ada kritik, saran, nasihat dan mau kerjasama. Silahkan DM melalui Instagram dan Twitter @KanggMas_Joe. Terimakasih!

POPULAR POSTS

  • Pencitraan Jilid Dua; Buku yang Aku Baca di Tahun 2020
      Beberapa hari ke belakang, rumahku sedang direnovasi. Maka buku-buku yang ada di rumah sedang tidak ada di rak buku seperti biasa. Begini ...
  • Masjid Cheng Hoo
    Masjid Muhammad Cheng Hoo, adalah salah satu masjid yang cukup terkenal di Palembang. Sering dijadikan sebagai tempat wisata religi. Menurut...
  • Balonku Ada Lima
    Jangan terkejut, ini bukan jimat, mantra, doa atau sebagainya!  Untuk kamu yang sudah jago membaca Al-Quran sejak kecil, aku yakin kamu past...
  • Menjadi Pacar Sewaan
    Hari ini adalah hari Ahad, pukul sepuluh pagi. Aku sedang duduk bersantai di rumah, sedang menatap layar laptop untuk melakukan blog walking...
  • 3 Bloggers yang Rajin BW
    Seperti biasa, di setiap penghujung bulan, Mbak Eno yang baik hatinya kembali membuat challange. Ini adalah event ketiga dari challange- nya...

Categories

  • Bisnis
  • Cerita
  • Opini
  • Perjalanan
  • Pernikahan
  • Sajak
  • Tutorial

Copyright © 2021 Kangg Mas Joe. Created by OddThemes