Kangg Mas Joe

Blognya Dodo. Tidak semua yang diposting adalah nyata, banyak pencitraan dan fiksinya.

Tulisan ini, sesungguhnya sudah ada di draft sejak setahun yang lalu. Sejak awal bulan Muharram 1442 H. Sekarang sudah masuk 1443 H, kan! Di tahun lalu, tidak di-publish karena tidak sempat, belum selesai dan malas. Hehe.
Akhirnya sudah satu tahun sahaja. Tidak terasa.

Beberapa hari yang lalu, di Indonesia (atau, seluruh dunia?), banyak umat Islam merayakan Lebaran Anak Yatim di tanggal 10 Muharram. Dikutip dari Repubika, menurut Ustadz Ahmad Zarkasih, Lc. dalam bukunya Sejarah Kalender Hijriyah, banyak keutamaan (fadhillah) menyantuni anak yatim di tanggal 10 Muharram alias Hari Asyuro.

Jadi, mengapa disebut Lebaran Anak Yatim? Karena banyaknya yang menyantuni anak yatim di tanggal 10 Muharram, menjadikan anak yatim bersenang-senang. Toh, lebaran juga adalah hari dimana kita bersenang-senang. Jadi, secara tidak langsung 10 Muharram adalah bisa disebut sbagai “hari lebaran” bagi mereka karena mereka bersenang-senang di hari tersebut sebab banyak yang menyantuni mereka (?).
Mon maap kalo kata-katanya agak "belibet" ehehehe...

Kegiatan ini, pada hakikatnya adalah bagus dan baik. Membuat anak yatim senang dan bahagia. Namun, aku punya pendapat sendiri yang tidak populer. Mau sepakat monggo, tidak juga no problem.

Dalam kegiatan Lebaran Anak Yatim, biasanya (sebelum wabah Covid-19), para anak yatim diundang oleh Majelis Taklim Ibu-Ibu ke langgar atau mushalla atau masjid atau gedung pertemuan yang acaranya diadakan lembaga tertentu untuk diberi donasi. Pemerintah maupun swasta juga tak mau ketingalan berpartisipasi dalam kegiatan ini. Dinas X, Departemen Y, Kementerian Z juga sering terlihat mengadakan acara serupa.

Para Anak Yatim, wajah mereka yang masih banyak nampak polos difoto seraya menerima donasi. Foto-foto tersebut pun tersebar di Facebook maupun media sosial lainnya.
“Tadi anak-anak yatim di Masjid A pada nangis ketika dipanggil satu-satu ke depan untuk diberikan donasi. Kami juga ikut terharu melihatnya,” kata seorang ibu, setelah meng-upload hasil kegiatan tersebut di Facebook.

Jujur, aku terkadang sangat miris dengan hal ini. Kasihan sama mereka. Seolah-olah gimana gitu. Seolah-olah ibu-ibu itu hanya mencari konten Facebook, untuk kemudian terlihat dramatis dan kemudian. Ehm.. Pokoknya gitu deh.
Tbh, kalo aku jadi posisi anak yatim yang begitu, sungguh tidak nyaman.

Tapi yaa, balik lagi. Kalau kita ingat dengan hadits Arba’in yang pertama, disebutkan bahwa segala perbuatan itu tergantung pada niatnya. Siapa tahu, niat orang-orang yang memposting itu bertujuan untuk mengajak orang lain secara tidak langsung. Ingin “menginspirasi”, kalau-kalau ada orang yang tergerak juga hatinya untuk ikut menyantuni anak yatim di kemudian hari.

So, untuk niat seseorang. Biarkanlah kita serahkan saja pada orangnya masing-masing. Tak boleh di-judge. Toh, niat hanya seorang tersebut dan Allah sajalah yang mengetahui.

Skip. Skip. Skip.

Beberapa hari kemudian, aku melihat postingan Ustadz Dr. Abdul Somad (UAS), menurutku postingannya cukup unik. Dalam postingan tersebut, beliau tengah menyarahkan donasi berupa beras, dari para jama’ah untuk warga yang membutuhkan. Gimana bentuk fotonya, wajah penerima donasi itu disensor. Jadi, kita tidak tahu bagaimana rupa bentuk wajahnya. Bagus juga, sih. Menjaga "marwah" sang penerima donasi.


Dari cara UAS ini, aku terinspirasi untuk membuat konten serupa. Organisasi dimana aku kemarin sempat mengabdi (sekarang sudah tidak lagi), sempat mengadakan suatu bakti sosial. Dan, aku diamanahkan menjadi tim Publikasi dan Dokumentasi (Pubdok). Aku meniru cara UAS, dengan mensensor wajah penerimanya.

Gimana tanggapan orang-orang di organisasi tersebut. Banyak yang bertanya-tanya. Terutama bapak-bapak. Kenapa begitu?

Jadi kemudian aku menjelaskan bahwa aku mengikuti cara UAS dalam postingan media sosialnya, dan akhirnya mereka menerima argumenku. Di samping, memang bapak-bapak tesebut juga fans beratnya UAS. Kalau sudah mendengar kata “UAS”, sudah pasti di-acc. Ehehee.



Dari judul dan gambar pada thumbnail di atas, aku rasa kamu sudah bisa menebak alur cerita postingan ini. Yaa,aku akhirnya terkena Corona, haha.
Ketika postingan ini di-publish, ini adalah hari ketujuh aku melakukan isolasi mandiri. Tepat satu pekan. Insyaa Allah tiga hari lagi selesai.

Bagaimana keadaanku? Alhamdulillah baik-baik saja. Tidak terlalu parah. Tapi tetap saja tidak boleh menyepelekan. Yang aku rasakan saat ini, “hanya” batuk ringan saja. Tidak lebih. Tidak parah atau sampai drop seperti yang ada di berita-berita ketika orang terinfeksi virus ini.
Sekali lagi, alhamdulillah.

Kok bisa? Beberapa orang sempat bertanya mengenai itu kepadaku.
Yaa, jawabannya simpel. Bisa saja, ehehe.
Ibaratnya, kita sudah ber-ikhtiar semaksimal mungkin. Ketat melaksanakan protokol kesehatan, selalu pakai masker, selalu cuci tangan (tanganku sekrang sampai-sampai menjadi sangat halus, kalau tidak percaya, sini genggam erat tanganku hehe) dan sebagainya.

Well, menurutku, aku dan mungkin banyak di antara kita cukup ketat ketika di luar dan bertemu orang luar. Namun sangat longgar ketika berada di dalam rumah. Padahal, mungkin, bisa jadi, dari dalam rumah itu lah justru kita bisa tertular.

Cerita bermula sekira hari Rabu dua pekan lalu, teman satu kos mengalami demam. Satu hari setelahnya, Kamis, teman yang satu lagi ikut-ikutan sakit. Dan di hari Jumat, aku menyusul ikut sakit pula. Satu rumah, kami ada orang tiga. Tiga-tiganya sakit semua! 😄

Untungnya, saat itu aku yang sakitnya tidak terlalu parah (dasar orang Indonesia, sudah sakit, masih saja ada untungnya!). Hanya demam dan sakit kepala sedikit saja. Dari pagi hari menjelang siang. Ketika adzan berkumandang, aku telah memastikan tempat di masjid. Aku masih kuat untuk shalat Jumat loh saat itu, wowkwok.

Di hari Sabtu dan Ahad. Keadaan dua temanku masih cukup tepar. Mereka hanya berguling-guling di atas kasur. Aku secara tidak langsung yang melayani mereka. Aku sendiri yang memasak nasi, aku yang keluar membeli makanan, dan sebagainya. Coba lihat, aku sebenarnya nampak sehat-sehat saja, bukan?

Di hari Senin, satu teman sudah masuk ke kantor. Sedangkan aku, sebenarnya masih belum fit. Karena sepanjang hari masih batuk-batuk terus. Aku memutuskan untuk WFH (karena memang saat itu adalah jadwalku untuk WFH). Teman yang satu lagi, masih sama seperti hari kemarin. Dia masih belum punya tenaga yang cukup.

Sekira jam sepuluh pagi, dia bilang kepadaku, “Mas Dodo, gimana kalo kita swab antigen saja?”

Aku mengiyakan ajakannya. Sebetulnya, sudah dari kemarin kami saling curiga. Jangan-jangan salah satu di antara kami ada yang positif Covid. Teorinya simpel saja, kok bisa satu orang demam dan flu, yang lain cepat sekali tertularnya. Padahal, kalo demam "biasa", tidak secepat itu, kan.

“Aku sekarang sudah hilang kemampuan untuk mencium aroma. Sebenarnya dari kemarin sih, mas..” teman satu kos itu baru saja membuat pengakuan yang membuatku tercengang.

WOYY KENAPA KAU TIDAK BILANG DARI KEMARIN! DI RUMAH AKU TIDAK ADA MENGGUNAKAN MASKER WOYY! HAHAHA -_-

Setelah dia memberi pengakuan, aku mulai agak menjaga jarak dengannya, dan mengenakan masker di rumah (walaupun sudah sangat terlambat haha).

“Ayo kita ke klinik. Mau naik sepeda atau jalan kaki, nih?” ajakku kepadanya.
Jawabannya gimana? Tentu saja tidak keduanya.

Dia masih tidak kuat untuk berjalan kaki atau bersepeda sejauh itu (padahal tidak jauh, sih, hanya sekitar satu setengah kilo meter).
Maka akhirnya aku mencari pinjaman motor ke teman yang lain. Sebut saja namanya Zul. Tentu saja, aku menjelaskan maksud dan tujuanku, bahwa aku hendak meminjam motor untuk swab antigen yang ada kemungkinan hasilnya bisa saja positif. Jadi, supaya orang yang punya motor nyaman, apakah mengizinkan atau tidak jika motorya aku gunakan.
Setidaknya, kalau kami ada yang positif, Zul harus membersihkan motornya dengan cairan disinfektan, hiiihi.

Long short story, kami telah berada di klinik dengan menaiki motor milik Zul. Setelah antre dan hidungku dicolok, hasilnya kemudian keluar. Dari satu kloter, namaku yang pertama dipanggil. Deg..

“Mas Dodo ada keluhan apa sebelumnya?” Seorang petugas, nampaknya perawat, bertanya tanpa basa-basi kepadaku. Aku kemudian menjelaskan keadaan diriku. Sempat demam, kemudian radang tenggorokan, flu dan batuk.

Setelah aku menjelaskan, tanpa tedeng aling-aling, sang perawat dengan mantap mengatakan, “Masnya positif Covid. Setelah ini ke ruangan sebelah yaa.”

Karena aku memiliki jiwa kepo yang tinggi, aku bertanya keadaan temanku apakah dia positif atau tidak, “Kalau teman saya positif atau negatif, mbak? Saya satu kos dengan dia.”

“Siapa namanya?” tanya si perawat. Aku memberi tahu nama temanku, seraya menjelaskan keadaannya bahwa dia kehilangan kemampuan untuk mencium aroma.

“Kalau dia negatif, mas. Dan kenapa bisa hilang kemampuan mencium aroma, nampaknya dia kemarin juga positif covid. Namun sekarang sudah berangsur sembuh. apabila dia dites PCR, bisa saja hasilnya positif.”

Aku mengangguk pelan, seolah tidak sepakat kenapa hanya aku yang positif dan temanku yang negatif. Padahal secara fisik aku sehat-sehat saja, sedangkan dia yang sejak kemarin hanya tiduran di atas kasur saja. Hahaha.

Dari ruangan dokter, aku mendapat titah untuk melakukan pertapaan di dalam gua isolasi mandiri selama sepuluh hari.  Aku juga mendapat resep untuk kemudian dibawa ke apotek. Cukup mahal obatnya untuk anak kos seperti aku, walaupun sebenarnya tidak mahal juga sih. Hanya delapan puluh sembilan ribu ruiah, total belanjaanku di apotek saat itu.

Bagaimana dengan temanku? Sebab dia kehilangan kemampuan untuk mencium wanita aroma, dia juga berkonsultasi ke dokter di klinik dan mendapat resep obat. Namun, ketika di apotek, dia punya obat total harganya jauh lebih mahal. Dua ratus lima puluh ribu rupah.

Apa yang terjadi selanjutnya?
Aku menghubungi managerku, mengabari bahwa aku terkonfirmasi positif covid. Kemudian aku mengabari orangtua, dan, aku juga mengabari si dia. Tapi entah kenapa, aku punya salah apa sama dia, responnya saat itu biasa saja. Oh yaa, aku lupa. Aku bukan siapa-siapa baginya. Ahahahaa.

Kembali ke manager.
Sebakda mendapat kabar dariku, beliau memberi kabar di grup bahwa aku terkonfirmasi positif Covid. Sontak saja, si Zul langsung menghubungiku, “Do, kamu positif ya?”

“Iya nih, motormu jadi gimana? Udah buat aku aja yaak, ahaha!” aku membalasnya dengan sedikit berkelakar.

Selain itu, aku juga mengabari seorang seniorku di tempat kerja. Beliau adalah orang yang sering menjadi tempat bertanya, meminta tolong dan sebagainya ke beliau. Beliau juga pernah terjangkit Covid, bahkan sampai dua kali. Jadi, fikirku pasti dia sudah sangat berpengalaman, hehe.

Beliau yang mengurusi pernak-pernik isolasi mandiriku. Beliau menghubungi Bapak A, Bapak B, menghubungi RT juga (Ketua RT kebetulan teman beliau, karena di lingkungan tempatku tinggal, semuanya adalah karyawan di perusahaan yang sama).

Singkat cerita, aku mendapat tempat isolasi mandiri di mess milik perusahaan. Messnya bagus, rapi, bersih. Ada AC, dan televisi. Di kamar mandi bisa air panas pula. Makan tiga kali sehari pun didapat secara cuma-cuma. Alhamdulillah kantongku aman sepuluh hari ke depan. Hehe.

Apalagi yaa ceritanya? Hmm.. mungkin sampai di situ saja untuk kali ini.
Besok udah mau Lebaran Idul Adha, dan aku masih sama seperti lebaran Idul Fitri dua bulan lalu. Masih saja merasa kesepian. Sendirian.
Hehhe.

Jabodetabek, 19 Juli 2021
Dalam kamar isolasi mandiri, ditemani sayup-sayup takbiran Idul Adha..
“Kalo kamu ke Bandung,” kata seorang teman dengan penuh antusias, “Jangan lupa makan surabi. Surabi yang enak, ada di kawasan Cihampelas.”
“Pokoknya,” dia kembali melanjutkan, “Kamu belum ke Bandung kalau belum makan surabi!”

Perkataan itu begitu terngiang-ngiang di kepalaku, hingga akhirnya kesempatan itu muncul. Yaa, akhirnya aku sampai di Bandung. Tepat di awal bulan Juni tanggal satu.

***

Haii, haii, haiii! Apakah kalian merindukanku? Bahkan sampai ada teman yang mengirimku pesan WhatsApp, kenapa sudah tidak update tulisan di Blog lagi. Kemana saja. Ada hal apa.
Tenang, aku masih di sini, kok. Hehee..

Kali ini aku hendak bercerita tentang perjalanan ke Bandung, beberapa waktu yang lalu. Sebenarnya sudah sejak lama hendak menuliskannya, tapi selalu ada aja halangannya.

Well,  untuk sampai ke Bandung,kami membutuhkan waktu sekira empat jam. Tentunya, itu sudah dengan waktu istirahat satu jam. Berangkat sebelum jam tiga dini hari, istirahat di rest area untuk shalat Shubuh, dan kurang dari jam enam pagi akhirnya kembali melanjutkan perjalanan.

Lihatlah pembaca, para anak muda dalam narasi di atas sangat semangat bangun pagi untuk liburan dan jalan-jalan. Padahal, di hari-hari biasa sangat sulit untuk bangun pagi untuk shalat Shubuh. Hadeuuhh.. Dasar aku, hikss! 😭😂

Singkat cerita, aku akhirnya benar-benar kembali ke Cihampelas, setelah terakhir ke sana di tahun 2018 (Baca juga: Malam Hari di Bandung). Tidak ada perubahan berarti. Hanya saja nampak lebih sepi, mungkin efek dari pandemi.
Dan, mumpung sudah di Cihampelas, aku saat itu benar-benar berhasrat untuk membuktikan perkataan temanku di paragraf satu; Makan surabi di Cihampelas.

Aku sudah masuk di restoran surabi yang ada di sana, kalau kamu orang Bandung, atau sudah sering ke Bandung, pasti tahu restoran surabi mana yang aku maksud. Ternyata, tidak terlalu mahal harganya, hanya sembilan ribu rupiah, untuk surabi original. Namun, apabila kamu mau mencoba topping yang lain dan lebih “modern”, tentu saja harganya lebih mahal.

Bagaimana pendapatku tentang surabi ini?
Menurutku, harga sembilan ribu cukup murah dan sangat mengenyangkan. Aku tidak menyangka dengan tempat sebagus itu, bisa menjual makanan dengan harga yang tidak sampai sepuluh ribu. Namun, dari ke-antusias-an temanku di paragraf satu, menurutku ia sangat berlebihan. Surabi memang enak, tapi biasa-biasa saja. Tidak seheboh yang dia beritakan.

***

Singkat cerita, aku pulang ke kos. Hidup kembali seperti sedia kala. Besok hari harus berangkat kerja.

Skip, skip, skipp..
Beberapa hari kemudian, menjelang istirahat makan siang, aku iseng mengunggah foto surabi yang kami makan kemarin. Foto itu sebenarnya dipotret temanku, namun aku meminta izin untuk mengunggahnya di status WhatsApp.

Apa tujuanku?
Tidak ada, iseng saja.


Tring, tetiba ada satu pesan masuk. Merespon status WhatsApp tersebut. “Waah, enak tuh makan-makan terus..”

Aku melihat ponselku, tanpa melakukan read pesan terlebih dahulu. Ternyata dari kakak tingkat di kampus. Aku membalas dengan santai, “Eh iya bang, hehehe..”

“Apa kamu tidak kasihan dengan ibu di kampung, ibumu makan seadanya. Kamu di sini makan makanan mewah,” si kakak tingkat nampak tak berdosa mengirim pesan seperti itu. Aku heran sekali. Apa maksudnya. Tapi aku tetap membercandainya.

“Eh, tidak bang. Ibuku tinggal di kota, bukan di kampung, ehehe.. Lagipula, itu makanan tidak mahal, kok. Cuma sembilan ribu rupiah.” Aku menjawab begini saja. Toh, benar kan. Ibuku memang tinggal di Palembang, kota terbesar nomor dua di Pulau Sumatera. Palembang bukan kampung loh hihiiihi..

“Tetap saja, ibumu di sana makan tekwan murahan yang seharga tiga ribu rupiah. Kamu di sini enak-enak..” respon dari kakak tingkat tidak berhenti. Aku terbelalak melihat responnya. Orang ini ada masalah apa sih hidupnya, sampai-sampai segitunya ngurusin makanan ibuku wowkwokk.

Oh yaa, for your information, tekwan adalah makanan khas Palembang. Silahkan googling yaa!

Kemudian, rasa-rasanya, ingin kembali kubalas pesan darinya, “Mohon maaf bang. Ibuku tidak pernah makan tekwan seharga tiga ribu rupiah. Kami biasa membuat tekwan sendiri, menggunakan ikan gabus asli, harga ikannya bisa sampai delapan puluh ribu rupiah satu kilo nya!”

Namun, pesan itu aku urungkan untuk dikirim. Aku membiarkan chat dari kakak tingkat tidak berbalas.

***

Ngomongin makan enak, apa benar aku di sini makan enak-enak setiap hari? Tentu saja tidak, kawan. Aku di sini berjuang sehemat mungkin. Kalau kamu mengikuti tulisan dari beberapa bulan lalu, aku pernah bercerita kalau aku makan dengan biaya hanya sembilan ribu rupiah sehari (untuk di bulan pertama).

Di bulan selanjutnya? Tentu saja tetap hemat, tapi cost nya sudah lebih dari sembilan ribu rupiah per hari. Karena aku sudah punya uang, hehee.
Toh, jajan seperti itu sesekali. Jajanku hanya surabi seharga sembilan ribu rupiah aja sudah dinyinyirin seperti itu, gimana kalau aku makan seperti Mbak Siskaeee Kohl ya? Gak tau deh, hahahaa!

Ini penampakan makan siangku sehari-hari. Cukup "mewah", bukan?


Terakhir. Apa inti postingan kali ini?
Tidak ada.
Aku hanya ingin mengungkapkan kekesalanku saja. Lihat tuh, buktinya chat satu setengah bulan yang lalu, masih saja aku ingat sampai hari ini, hiiihii!

 

TENTANG KAMU

Sepatuku, kau hadir merubah hidupku.
Kau datang di saat aku benar-benar membutuhkanmu.

Aku masih ingat, di hari Senin sore awal Agustus, dalam keadaan hujan gerimis pada tiga tahun lalu.
Saat itulah kita pertama kali bertemu.

Kemudian, kau langsung ku ajak ke luar kota.
Kita bermanja ria di Kampus Sriwijaya di Kota Indralaya, dalam kegiatan PK2.

Hari kedua, kau langsung ku "pingit".
Aku tak ingin ada lelaki lain yang merasakan betapa manisnya bersamamu.
Maka, kau ku letakkan di sudut bawah rak sepatu.
Lengkap dengan pembungkusnya.

Maafkan aku, sayang.
Setelah kau ku jadikan sepatu "simpanan", aku mulai berkenalan dengan sepatu-sepatu lain.
Karena menurutku, mereka lebih dapat membuat nyaman kaki ini.
Mereka lebih trendy dan sporty, tidak seperti dirimu yang terkesan rigid nan kaku.
Semenjak itu aku mulai melupakan dirimu, dan bermesraan dengan sepatu-sepatu lain.

Sekali lagi, maafkan aku, sayang.
Kini aku sungguh tak dapat memilikimu lagi.
Karena kita sudah tidak cocok satu sama lain.

Kemarin, aku baru teringat dengan dirimu.
Kau hendak ku ajak bercanda ria, namun kau ternyata sudah tidak dapat menerimaku lagi.
Sebab kakiku kini semakin besar.
Dan kau tak dapat menuruti kehendakku.
Kau tak mau berubah, masih sama seperti yang dahulu; rigid nan kaku.
Kakiku kini tak dapat masuk ke dirimu lagi.

Dan kini, aku memutuskan untuk menjual dirimu.
Yang, maaf, menurutku tiada berguna lagi.
Semoga hubungan kita tetap terjaga dengan baik.

Dan semoga dirimu disana mendapat pemilik sepatu yang lebih baik dan lebih romantis.

Dari Mantanmu,
Sang Pemilik Sepatu.
.
.

Maksud teks di atas adalah,
Aku menjual sepatu Pantofel, ukuran 43.
Baru sekali dipakai.
Masih rapi dan bagus.
Disimpan dalam plastik.

Jika berminat dengan sepatuku, kamu dapat Men-Japri diriku! 😏

089********5



Sumber:
Postingan di Instagram, tiga tahun lalu. 

Halo semuanya, apa kabar. Lama tak jumpa! Rasa-rasanya, sudah dua puluh tiga hari aku tidak membuat postingan baru di blog ini. Jadi, apakah kalian semua merindukanku? Hiiihihi.

Well, kita baru saja melewati bulan Ramadhan, kemudian merayakan kemenangan di Hari Raya Idulfitri. Yaa, hari raya ini ternyata masih sama seperti sebelumnya. Pandemi masih eksis. Imbasnya, tidak ada izin dari Pemerintah untuk warga melaksanakan mudik maupun pulang kampung! Padahal keduanya sama saja~

Ini adalah pengalaman pertamaku, berhari raya tidak di rumah. Lebaran pertama shalat Id di masjid yang berbeda (dari kecil selalu shalat di Mushallah yang sama untuk shalat Id, kecuali satu kali di tahun kemarin, shalat di rumah sebab pandemi). Entahlah, rasa-rasanya terasa sangat tidak ada rasa.

Tahun ini, nampaknya, Allah akhirnya mengabulkan doaku belasan tahun yang lalu. Aku seorang anak yang ansos dan introvert, sangat malas kalau lebaran harus ikutan sanjo (silaturahmi ke rumah tetangga, keluarga dan sanak saudara). Bertahun-tahun, bahkan sampai tahun kemarin, sering membatin sendiri, "Duh, males banget kalo lebaran harus sanjo ke rumah tetangga dan ketemu banyak orang."

Yaak, tahun ini, akhirnya aku benar-benar tidak melakukan sanjo kemana-mana di Hari Raya. Setelah shalat Id, kemudian pulang ke mess, sarapan dengan Indomie goreng (biasanya pulang shalat makan ketupat, wkkw), setelah itu mencuci baju. Waktu baru menunjukkan sekira pukul sepuluh pagi, dan aku gabut. Duh mau ngapain lagi nih, haha.

Pasti muncul pertanyaan, kenapa tidak sanjo ke tetangga saja?
Ada beberapa sebab. Pertama, aku baru tinggal di mess sekira satu pekan (sebelumnya mengontrak (semacam kos) di tempat lain), jadi masih belum kenal tetangga-tetangga mess di sini. Oh ya, mess di sini bukan berarti kamar tok yaa. Hanya nama saja. Ini sebenarnya lebih ke rumah dinas untuk karyawan.

Lanjut, kedua. Aku hanya baru mengenal satu tetangga di sini, yang rumahnya persis di sebelahku. Tapi mereka telah mudik (tetangga kami adalah bapac-bapac dengan satu istri dan dua anak. Anaknya masih baby, emesh sekali, loh).

Ketiga, kami tidak ada yang kenal dengan orang di sini. Nggak tau deh, nampaknya orang-orang di sini terkesan individualistik. Jadi, adalah wajar apabila tidak mengenal tetangga satu sama lain (?)

Dan keempat, aku terlalu malas untuk mengenal tetangga! Wkwwk.
Seperti yang telah aku  bilang di atas, jiwa  ansos dan introvert telah mendarah daging.
Aku tidak bilang ini baik yaa, sebenarnya terlalu ansos adalah buruk. 😂

Baca juga : Lebarannya Orang Ansos (cerita lebaran tahun lalu)

Aku kemudian merenung, dan mendapat suatu kesimpulan. Aku merasa kesepian, aku merasakan kesendirian.
Dan ternyata, kesendirian adalah keniscayaan!

Suka tidak suka, mau tidak mau, kelak kita akan sendirian. Tinggal waktunya saja yang berbeda, ada yang  duluan merasakan, ada yang belakangan. Dalam perenunganku di hari Lebaran, aku berkaca kepada keluarga-keluargaku, yang mereka mungkin saja merasa kesepian di kala keramaian.

Sebagai contoh, Mbahku, beliau berangkat sendirian dari Yogyakarta ke Palembang untuk mencari kerja, hingga akhirnya mendapatkan kerjaan di sana. Beliau menikah di Palembang, tanpa ada saudara, bahkan tanpa orang tua. Mbahku pulang ke Yogyakarta hanya beberapa kali setelah beliau menikah. Pasti, walaupun beliau telah dikaruniai sembilan anak, tetap saja merasa kesepian, sebab merindukan kampung halaman, merindukan orang tua, dan merindukan saudara-saudaranya.

Nenekku, orang tua dari ibuku, juga kasusnya  mirip dengan mbahku (kalau mbah adalah orang tua dari bapakku). Nenek dan Kakek menikah di Bukittinggi, Nenek asli orang Minang dari kota tersebut. Dan sekira lima tahun kemudian (ketika ibuku masih bayi), Kakek harus pindah tugas kerja ke Palembang. Setelah pindah, Nenek tidak pernah sekalipun kembali lagi ke Bukittinggi. Boleh jadi, atau bahkan pasti, Nenek sangat merindukan orang tua dan sanak saudaranya di Bukittinggi. Kesepian dan kesendirian di kala keramaian, itu pasti terjadi.

Atau begini, tidak usah jauh-jauh. Kesepian dan kesendirian itu, terkadang juga nampak dari mata ibuku. Di pagi hari, sejak aku mulai sekolah, bapakku berangkat kerja, adikku juga berangkat ke sekolah, pasti beliau merasa kesendirian. Menunggu anak-anaknya pulang lagi beberapa jam ke depan. Tapi ya, seperti yang aku bilang tadi, mau tidak mau, kesendirian adalah keniscayaan.

Tidak mungkin juga kan, ibuku harus ber-drama untuk menemani beliau terus-terusan, melarang anak-anaknya berangkat ke sekolah atau kuliah, atau melarang bapakku berangkat kerja, tidak mungkin.
Sekali lagi, kesendirian adalah keniscayaan.

Kembali ke laptop.
Di sebalik perenungan pada hari Lebaran di kesendirian di sudut pulau seberang. Aku mengambil kesimpulan, kesendirian adalah tidak apa-apa. Karena kesendirian adalah hal niscaya dan pasti terjadi. Sepasti di hari esok matahari akan terbit, sepasti dua bulan lagi Hari Raya Iduladha akan tiba dan sepasti Khilafah akan bangkit kembali! #Ehh



PS.
Tadi, awalnya mau upload foto ketika shalat Idul Fitri di masjid yang ada di sini. Namun gagal terus upload gambarnya. Dan, ini juga salah satu alasanku akhir-akhir ini jarang membuka Blog, tidak bisa lihat gambar, dan tidak bisa upload gambar.
Ada yang begitu juga?

Jama'ah Akhwat di Masjid ketika shalat Id


Jama'ah Ikhwan di Masjid ketika shalat Id


Yeey! Akhirnya bisa upload gambar.... (pake Wi-Fi kantor, hehehe)

Hai.. Sudah bulan Mei nih. Gimana puasanya, lancar kah? 😁
Aku sekarang sedang duduk sendirian di ruang keluarga di rumah kontrakan (walaupun aku belum berkeluarga). Saat ini sedang gabut, dan sedang ingin melanjutkan cerita yang tidak penting seperti dua postingan sebelumnya.

Masih bercerita tentang culture shock. Ada beberapa hal lagi yang ingin aku ceritakan kepada kamu semua. Tapi sebelumnya aku mohon maaf yaa, kalau ini diambil dari perspektif yang agak aneh, hehehe..
Padahal cerita-cerita sebelumnya diambil dari perspektif yang aneh juga.

Ngomong Kasar

Banyak orang di sini yang berbicara dengan kata-kata yang (menurutku) agak kasar. Anjir, anjay, anjing, goblok dan sebagainya menjadi diksi yang biasa sering diucapkan dalam kalimat-kalimat mereka.
Eh, anjirr. Tugas gua belum selese!
Goblok, lu! Caranya kagak begini.
Waduh, si anjir datang lagi nih!

Aku terkadang tercengang dan termenung mendengar hal seperti itu, wkwkwkw.
Kata temanku, yang telah lahir dan besar di kota ini, kata-kata seperti itu memang sudah sangat biasa. Anjir itu seibarat penggunakan titik dan koma pada kalimat. Sebegitu wajarnya, bukan!

Makananan yang Mahal

Dalam perspektifku, makanan di sini walaupun dirasa murah, tetap saja mahal. Aku sehari-hari rata-rata hanya mengeluarkan biaya sembilan ribu rupiah untuk tiga kali makan (walaupun makanannya jadi sangat sederhana).

Bagi teman-teman yang lain, harga segitu sudah cukup murah. Tapi yaa gitu, aku tetap merasa mahal, sebab ketika masih di rumah bersama orang tua, aku tidak memikirkan biaya makan. Tinggal makan-makan saja. Mau jajan, tinggal ambil saja, sebab ibuku punya warung di rumah! Hiiihi.

Pakaian yang Minim

Ini yang paling aku ingat ketika sampai di bandara. Ciwi-ciwi di sini, ternyata banyak yang memakai pakaian yang sangat minimalis. Pakai celana pendek, tapi di atas lutut. Pakai baju, tapi bajunya kurang bahan. Aku kan jadi penasaran, rasanya jadi pengen ngelihatin mereka terus :((
ASTAGHFIRULLAH PUASA WOY!!

Well, tidak hanya di bandara, penampakan seperti itu juga terjadi di tempat umum. Kereta, bus, pusat perbelanjaan, minimarket, warteg, dan sebagainya. Oh yaa, bahkan di kantor. Ada yang pakai celana panjang, tapi sangat ketat bentuk celananya, memperlihatkan lekukan tubuh mereka. Ada juga yang mengenakan rok, di bawah lutut, sih. Tetapi di bagian samping roknya, malah terbelah sampai ke arah paha atasnya. Yang lagi lagi, membuat aku penasaran terhadap isi di dalamnya. -_-
Tobat, akhi!

By the way, itu tidak satu-dua yaa. Banyak juga. Walaupun tidak semua begitu, tetap saja. Ini penampakan yang unik. Sebab seingatku, sejak dulu di kotaku sangat jarang (bahkan tidak pernah) melihat ciwi-ciwi dengan pakaian seperti itu. Hampir 90% semuanya mengenakan jilbab. Pun, kalau ada yang tidak pakai jilbab, pakaiannya tetap “sopan”, pakai celana panjang.

Naik bus di sore hari, dari dalam sini aku sering melihat"pemandangan" itu, hehee

Protokol kesehatan

Ini nih yang bagus dari sini. Protokol kesehatan cukup ketat, mungkin sebab ini wilayah dimana Covid-19 pertama kali tiba di Indonesia. Di masjid atau mushalla, orang-orang masih sangat banyak yang memakai masker. Kalau aku bisa mentaksir, sekira 90% jama’ah menggunakan masker. Wlaaupun, kalau untuk jaga jarak, tidak terlalu ketat seperti awal-awal Covid-19.

Menariknya, tidak hanya di masjid. Dimana-mana orang tetap patuh menggunakan masker. Di jalan, di bus, di kereta, dan tempat umum lainnya. Salut, deh!
Berbeda dengan kota asalku, yang mana saat itu di mushalla yang ada di depan rumahku tidak ada satu orang jama’ah pun yang menggunakan masker, termasuk aku. Wokwkwk!

Ketika Shalat Jumat, masjidnya ramai sekalii

***

Cukup sekian post kali ini, selesai sudah mencurahkan beberapa hal yang menjadi keresahan yang mengganjal di hati.
Inti dari postingan kali ini adalah; Ambil yang baik, buang yang buruk!
Mohon maaf kalau ada beberapa bagian yang terkesan agak kotor, hehee.. :))
 
Hari ini adalah tanggal satu di bulan Ramadhan, dalam penanggalan Hijriyah. Puasa pertama. Jalan di dekat rumah kontrakan yang sejak dua pekan lalu kami tinggal di sana, sudah ramai oleh masyarakat yang berlalu lalang. Ada yang berjualan takjil, ada pula yang hendak membeli. Mencari makanan untuk buka puasa di waktu Maghrib nanti.

Selaiknya Ramadhan, apalagi puasa di hari pertama. Sudah semestinya kita berkumpul bersama keluarga, bersama ayah ibu dan para saudara. Itu yang biasanya aku lakukan di tahun-tahun sebelumnya. Namun, tidak untuk tahun ini. Ramadhan di hari pertama, malah buka puasa bersama teman-teman yang aku lakukan.

Tahun ini, Ramadhan di perantauan.
Itulah sebabnya, tidak bisa berbuka puasa dengan keluarga. Maka, buka puasa bersama teman adalah yang menjadi pilihan. Teman-teman satu batch yang menjadi “keluarga” untuk saat ini. Dan siapa tahu ke depan, beneran menjadi keluarga! #Ehh

Puk..Puk..Puk..
Udah, cukup cerita melow-nya. Sampai sini sahaja. Post kali ini tidak akan membahas hal yang mengharukan dan membuat kamu ikut menangis tersedu-sedu mengingat keluarga, yang banyak di antara kita, sudah tidak tinggal bersama lagi.
Hari ini aku mau cerita tentang makanan. Tentang kekagetanku mengenai rasa makanan di kota eh, kabupaten tempatku tinggal saat ini, yang ternyata berbeda dengan tempat kota asalku.

Muncul kekagetan dan perdebatan-perdebatan kecil yang tidak penting, khususnya ketika buka puasa bersama yang aku ceritakan di paragraf awal.
Jadi, apa saja makanan yang membuat aku kaget dan shock?
Mari kita coba!

Kerupuk
“Kerupuk di sini rasanya aneh. Kok bisa-bisanya, rasanya manis begini.” Aku berseloroh kepada teman ketika kami sedang menikmati hidangan di buka puasa hari pertama.

“Ndak, mas Dodo. Kerupuk kan memang gini rasanya,” seorang teman yang berasal dari Jawa Tengah mengatakan demikian.

Dua orang teman yang lain, yang berasal dari Jawa Timur, kemudian mencicipi kerupuk yang telah kami beli, “Ini nggak manis kok. Kerupuk memang begini. Tidak ada yang aneh dengan rasanya.”

Aku tetap ngotot kalu kerupuk yang aku makan rasanya manis. Teman-teman yang lain jadi ikutan mencoba mencomot kerupuk. Dan ternyata, ada yang sepakat denganku, “Iya, bener. Kerupuknya manis seperti kata Mas Dodo.”

Jadi, gimana kelanjutannya?
Perdebatan kami terhenti karena skor imbang. 5 vs 5. Lima mengatakan manis, 5 mengatakan tidak. Teman yang sepakat denganku, yang mengatakan kerupuk tersebut manis, adalah orang yang berasal dari Sumatera Selatan, Sumatera Barat dan Kepulauan Riau. Sedangkan teman-teman yang berasal dari Pulau Jawa, mengatakan kerupuknya tidak manis.

Sampai sekarang aku masih heran, kok mereka tidak dapat mendeteksi rasa manis pada kerupuk itu, yang menurutku, rasa manis itu menjadi sangat mengganggu.
Oh yaa, jawabannya simpel sebenarnya. Sebab orang-orang di Jawa, sering makan makanan dengan rasa yang cukup manis. Sedangkan makanan di Sumatera jarang yang manis.


Buka Puasa Bersama dengan Makanan yang Kontroversial;
Kerupuk Manis!

Nasi Padang
Baru kemarin, aku membeli Nasi Padang untuk kepentingan insta story makan malam. Terakhir aku makan Nasi Padang sebelumnya, ketika aku baru saja sampai ke sini. Jujur, rasanya sangat-sangat mengecewakan. Kuah santan pada sayur nangkanya benar-benar hambar. Rasanya sangat aneh, seperti sayur nangka yang tidak layak konsumsi. Rasa makanannya tidak seperti sayur nangka yang sehari-hari ibuku masak di rumah.
Well, aku kapok membeli Nasi Padang di sini.

Kembali ke cerita Nasi Padang yang baru saja aku beli kemarin.
Dua hari yang lalu, aku melihat temanku membeli Nasi Padang. Katanya, Warung Nasi Padang di Jalan X itu enak dan harganya cukup wortid, dengan rasa yang lebih enak dari warung sebelumnya. Maka aku memutuskan untuk membeli juga.
Ketika dicoba, lagi-lagi aku menjadi kecewa. Kenapa rasanya seperti ini. Kuah sayur nangkanya kurang nendang, cenderung hambar. Nangkanya juga lebih keras daripada biasanya.

“Lha, mas Dodo gimana. Nasi Padang kan memang begini rasanya, tho? Nangkanya juga tidak keras, memang macam ini, laah.” Seorang teman menjelaskan kepadaku, dengan menirukan dialek bicaraku (yang sebenarnya dia tiru lebih mirip ke Melayu, bukan Palembang).
Bahwa di seluruh Pulau Jawa, rata-rata rasanya memang seperti ini. Kecuali kalau Nasi Padang yang mahal. Mungkin rasanya akan jauh lebih otentik. Dia melajutkan penjelasan.

Aku kembali menyanggah. Di kotaku dulu, Nasi Padang baik yang mahal maupun yang murah, rasanya relatif sama. Sepertinya aku akan kembali kapok makan Nasi Padang di sini.

Oh, yaa. Gini-gini, aku juga berdarah Minang, jadi mungkin punya standar yang tinggi untuk rasa Nasi Padang, hehe..

Nasi Uduk
Ketika di Jakarta, aku sangat terkejut dengan harganya. “Tiga belas rebu,” kata si ibu penjual dengan logat Betawi yang khas. Mahal sekali.

Padahal, di dekat rumahku, satu porsi Nasi Uduk (kalau di Palembang disebut Nasi Gemuk) hanya lima ribu rupiah, bahkan bisa tiga ribu rupiah jika tidak pakai telur.

Sambel Kacang
Salah satu pelengkap makanan yang baru kali ini aku jumpai. Secara tampilan mirip dengan kuah kacang pada sate atau siomay. Namun lebih encer, bahkan aku tidak merasakan rasa kacangnya. Aku juga tidak merasakan dimana rasa pedasnya, padahal katanya ini sambel kacang. Hehe.

Aku pertama kali mengenal Sambel Kacang dari Nasi Uduk seharga tiga belas ribu di atas. Ketika hendak selesai membungkus makananku, si ibu bertanya, “Mau pake sambel kacang atau sambel merah?”
Dan ternyata, lagi-lagi, tidak sesuai ekspetasi. Hihihii..
Kalo tau gitu, aku mendin pilih sambel merah.

Orek Tempe
Makanan ini sangat mudah dijumpai di Warteg. Bisa dikatakan, di sini aku pertama kali makan orek tempe. Walaupun sebenarnya ketika di Palembang ada makanan serupa. Namun namanya disebut Sambel Tempe. Isinya, potongan tempe kecil-kecil yang dikasih sambel. Namanya aja sambel tempe (?)
Selain tempe, isinya kadang ada kacang tanah dan juga teri.

Terkadang ada juga yang membuat makanan ini dengan hanya kacang tanah saja yang dikasih sambel. Namanya sambel kacang. Kacang yang disambelin (?)

Itulah sebab, ketika aku ditawari sambel kacang oleh si ibu penjual nasi uduk, aku punya ekspetasi yang berbeda. Hahaa.

Terakhir, mohon maaf jika gambar makanan-makannya tidak disertakan karena aku lagi malas, dan pembaca pada lagi puasa, kan.
Nanti kamu tergiur... 😁😋
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

ABOUT AUTHOR

Kang Mas Joe adalah seorang yang berpengalaman dalam pahit dan getirnya kehidupan, walaupun nyatanya tidak terlalu pahit. Mencoba berbagi tulisan melalui blog, semoga ada hikmah yang bisa diambil. Apabila ada kritik, saran, nasihat dan mau kerjasama. Silahkan DM melalui Instagram dan Twitter @KanggMas_Joe. Terimakasih!

POPULAR POSTS

  • Pencitraan Jilid Dua; Buku yang Aku Baca di Tahun 2020
      Beberapa hari ke belakang, rumahku sedang direnovasi. Maka buku-buku yang ada di rumah sedang tidak ada di rak buku seperti biasa. Begini ...
  • Masjid Cheng Hoo
    Masjid Muhammad Cheng Hoo, adalah salah satu masjid yang cukup terkenal di Palembang. Sering dijadikan sebagai tempat wisata religi. Menurut...
  • Balonku Ada Lima
    Jangan terkejut, ini bukan jimat, mantra, doa atau sebagainya!  Untuk kamu yang sudah jago membaca Al-Quran sejak kecil, aku yakin kamu past...
  • Menjadi Pacar Sewaan
    Hari ini adalah hari Ahad, pukul sepuluh pagi. Aku sedang duduk bersantai di rumah, sedang menatap layar laptop untuk melakukan blog walking...
  • 3 Bloggers yang Rajin BW
    Seperti biasa, di setiap penghujung bulan, Mbak Eno yang baik hatinya kembali membuat challange. Ini adalah event ketiga dari challange- nya...

Categories

  • Bisnis
  • Cerita
  • Opini
  • Perjalanan
  • Pernikahan
  • Sajak
  • Tutorial

Copyright © 2021 Kangg Mas Joe. Created by OddThemes