(Nyaris) Tercatat PKI, dan Kisah yang Hilang
Hari ini tanggal satu Oktober. Di kalender nasional, kita memperingati Hari Kesaktian Pancasila.
Kenapa? Karena sehari sebelumnya, 30 September, menjadi lembar kelam sejarah bangsa. Tujuh perwira TNI AD terbunuh, peristiwa itu dikenal sebagai G30S/PKI—meski hari ini media ada yang menulis “G30S” saja, ada juga yang menambahkan “PKI”.
Tulisan ini bukan mau berdebat soal sebutan. Saya hanya ingin bercerita sisi lain, dari sudut keluarga kecil kami. Kisah yang saya dengar dari bapak, saat ngobrol santai di beranda.
Aku memulai cerita ini bukan dari tragedi di lubang buaya, tapi dari tragedi yang terjadi di rumah-rumah biasa.
Coba bayangkan ini. Sore itu, di beranda rumah, seorang ibu duduk sendiri, tangannya meremas sarung. Sudah lebih dari tiga malam anaknya yang berusia hampir dua puluh tahun tidak pulang.
Di era itu, pertengahan dan akhir tahun 60-an, suasana di desa kami terasa tebal oleh kecurigaan dan ketakutan. Orang-orang berbisik-bisik, menunjuk siapa yang terlibat, siapa yang nggak tahu apa-apa. Kalau ada yang hilang, tidak ada yang berani bertanya. Mereka yang hilang itu seolah terhisap bumi.
Anak ibu ini, adik dari Mbah Uti, memang ikut organisasi kepemudaan yang ternyata adalah sayap dari PKI. Ibu itu tahu betul, hilangnya anaknya adalah bagian dari pembersihan besar-besaran yang dilakukan setelah peristiwa G30S. Dia harus menerima kenyataan pahit: anaknya kini menjadi statistik tanpa kuburan, korban dari sebuah ideologi yang mungkin saja tidak sepenuhnya ia pahami.
Inilah iklim ketakutan yang membekas, yang kemudian merambat ke segala aspek kehidupan, bahkan ke kantor-kantor pemerintahan dan BUMN Perminyakan tempat Mbah Akung bekerja.
***
Sekitar awal dekade 70-an, Mbah Akung— saat itu seorang pria paruh baya—baru pulang kerja. Sehari-harinya beliau mengayuh sepeda onthel ke sebuah kilang minyak di tepi sungai besar di Sumatera. Helm putih dengan logo kuda laut masih nangkring di kepala, tas cangklong setia menempel di bahu.
Suatu malam, beliau didatangi seorang teman kerja. Membawa formulir, menawarkan bergabung dengan sebuah organisasi pekerja. Namanya Persatuan Pekerja **** (disamarkan).
Mbah awalnya menolak, karena sudah ikut Serikat Pekerja resmi. Tapi temannya ngotot. “Serikat terlalu pro pemerintah. Kita butuh wadah untuk kritis,” desaknya, suaranya pelan. "Kita butuh dukungan. Organisasi lama itu sudah terlalu jinak dengan Orba. Kita harus punya wadah untuk berdiskusi, Mas."
Mbah awalnya menolak, karena sudah ikut Serikat Pekerja resmi. Tapi temannya ngotot. “Serikat terlalu pro pemerintah. Kita butuh wadah untuk kritis,” desaknya, suaranya pelan. "Kita butuh dukungan. Organisasi lama itu sudah terlalu jinak dengan Orba. Kita harus punya wadah untuk berdiskusi, Mas."
Mbah mengingatkan bahaya kalau ucapan itu sampai terdengar aparat. Tapi akhirnya, karena bujukan dan alasan ekonomi temannya, Mbah ikut juga. Tidak aktif, hanya “daftar nama”. Ia akhirnya menandatangani formulir itu, sebuah 'kompromi kecil' yang diyakini hanya akan berakhir di tumpukan arsip. Sebuah keputusan yang dibuat tanpa tahu bahwa di masa itu, satu tanda tangan bisa menjadi vonis.
Tahun-tahun berjalan normal. Hingga suatu hari heboh besar terjadi: organisasi itu ternyata underbow dari PKI. Pemerintah lewat aparat mengeluarkan aturan: anggota organisasi itu akan dipecat dari BUMN.
Mbah nyaris kehilangan segalanya. Untungnya, ia selamat karena faktor usia. Peraturan internal saat itu menyatakan yang dipecat hanya yang usianya di bawah 55 tahun. Mbah sudah hampir pensiun. Ia selamat dari pemecatan, tapi ia merasakan betul rasa bersalah dan kesedihan melihat teman-temannya. Mereka bukan hanya kehilangan gaji; mereka kehilangan status warga negara yang bersih.
***
Inilah yang menjadi warisan paling berat bagi anak-cucu mereka. Selama Orde Baru berkuasa, mereka membawa 'dosa turunan.' Jika ingin melamar ke TNI, Polri, PNS, atau BUMN, mereka diwajibkan melewati Penelitian Khusus (Litsus) dan dari situ lahir dokumen yang terkenal: Surat Keterangan Bersih Diri (SKBD). Sebuah sistem yang memaksa mereka membuktikan bahwa mereka layak menjadi warga negara, hanya karena nama leluhur mereka pernah tercatat di daftar hitam. Tanpa surat itu, seseorang sulit jadi PNS, sulit masuk ABRI, bahkan kuliah di universitas negeri tertentu pun bisa ditolak.
Yaa, begitu ironis. Stigma itu tidak berhenti pada orang yang dituduh saja. Anak, cucu, bahkan cicit ikut menanggung. Dicap sebagai “keturunan PKI”. Padahal mereka sama sekali tidak tahu menahu.
Cerita Bapak, ada tetangga yang dagangannya tidak laku hanya karena bisik-bisik: “Jangan belanja di warung itu, orangnya PKI.” Ada yang diasingkan dari pergaulan. Betapa kejamnya tuduhan.
***
Inilah yang menjadi warisan paling berat bagi anak-cucu mereka. Selama Orde Baru berkuasa, mereka membawa 'dosa turunan.' Jika ingin melamar ke TNI, Polri, PNS, atau BUMN, mereka diwajibkan melewati Penelitian Khusus (Litsus) dan dari situ lahir dokumen yang terkenal: Surat Keterangan Bersih Diri (SKBD). Sebuah sistem yang memaksa mereka membuktikan bahwa mereka layak menjadi warga negara, hanya karena nama leluhur mereka pernah tercatat di daftar hitam. Tanpa surat itu, seseorang sulit jadi PNS, sulit masuk ABRI, bahkan kuliah di universitas negeri tertentu pun bisa ditolak.
Yaa, begitu ironis. Stigma itu tidak berhenti pada orang yang dituduh saja. Anak, cucu, bahkan cicit ikut menanggung. Dicap sebagai “keturunan PKI”. Padahal mereka sama sekali tidak tahu menahu.
Cerita Bapak, ada tetangga yang dagangannya tidak laku hanya karena bisik-bisik: “Jangan belanja di warung itu, orangnya PKI.” Ada yang diasingkan dari pergaulan. Betapa kejamnya tuduhan.
Bapak menutup ceritanya dengan refleksi.
“Lihat, Mbah Akung selamat dari cap PKI. Tapi banyak orang lain tidak seberuntung itu. Anak cucunya ikut terbebani, hanya karena organisasi yang mereka sendiri mungkin tidak tahu arah politiknya.”
Hari ini, zaman sudah berbeda. Diskriminasi resmi terhadap keturunan PKI sudah dihapus. Bahkan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa di tahun 2021 pernah menegaskan bahwa anak keturunan PKI boleh mendaftar TNI. Satu langkah maju, meski luka sejarah belum tentu sembuh.
Aku masih termenung di beranda malam itu. Mbah yang “nyaris tercatat PKI”, adik Mbah Uti yang hilang tanpa kabar, tetangga yang dikucilkan, semua kisah itu mengingatkan: sejarah bukan cuma angka dan tanggal. Ia hidup dalam cerita keluarga, dan luka yang diwariskan.
***
Gambar diolah oleh Gemini.
Teks diolah oleh Chat GPT dan Gemini, menggabungkan dua tulisan yang lama, (Hampir) dituduh PKI (2020) dan Ngomongin PKI Lagi! (2022) dengan sedikit perubahan.
Tags:
Cerita
3 komentar
benar2 kondisi yang sangat mencekam ya waktu itu... semoga bangsa Indonesia ke depan makin jaya, dan tentunya tetap menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Jangan sampe lengah...
BalasHapusZaman Soeharto dulu memang keturunan PKI hidupnya sulit, KTPnya katanya ditandai jadi tidak bisa jadi PNS dan kalo mau perpanjang KTP (zaman dulu KTP harus perpanjang 5 tahun sekali) pasti dicurigai.
BalasHapusPadahal banyak yang sebenarnya tidak bersalah, mereka hanya ikut organisasi karena merasa itu membawa manfaat
Serem ya Mas di masa itu.
BalasHapusCoba koruptor yang diperlakukan kayak gitu.