Halo semuanya, apa kabar. Lama tak jumpa! Rasa-rasanya, sudah dua puluh tiga hari aku tidak membuat postingan baru di blog ini. Jadi, apakah kalian semua merindukanku? Hiiihihi.
Well, kita baru saja melewati bulan Ramadhan, kemudian merayakan kemenangan di Hari Raya Idulfitri. Yaa, hari raya ini ternyata masih sama seperti sebelumnya. Pandemi masih eksis. Imbasnya, tidak ada izin dari Pemerintah untuk warga melaksanakan mudik maupun pulang kampung! Padahal keduanya sama saja~
Ini adalah pengalaman pertamaku, berhari raya tidak di rumah. Lebaran pertama shalat Id di masjid yang berbeda (dari kecil selalu shalat di Mushallah yang sama untuk shalat Id, kecuali satu kali di tahun kemarin, shalat di rumah sebab pandemi). Entahlah, rasa-rasanya terasa sangat tidak ada rasa.
Tahun ini, nampaknya, Allah akhirnya mengabulkan doaku belasan tahun yang lalu. Aku seorang anak yang ansos dan introvert, sangat malas kalau lebaran harus ikutan sanjo (silaturahmi ke rumah tetangga, keluarga dan sanak saudara). Bertahun-tahun, bahkan sampai tahun kemarin, sering membatin sendiri, "Duh, males banget kalo lebaran harus sanjo ke rumah tetangga dan ketemu banyak orang."
Yaak, tahun ini, akhirnya aku benar-benar tidak melakukan sanjo kemana-mana di Hari Raya. Setelah shalat Id, kemudian pulang ke mess, sarapan dengan Indomie goreng (biasanya pulang shalat makan ketupat, wkkw), setelah itu mencuci baju. Waktu baru menunjukkan sekira pukul sepuluh pagi, dan aku gabut. Duh mau ngapain lagi nih, haha.
Pasti muncul pertanyaan, kenapa tidak sanjo ke tetangga saja?
Ada beberapa sebab. Pertama, aku baru tinggal di mess sekira satu pekan (sebelumnya mengontrak (semacam kos) di tempat lain), jadi masih belum kenal tetangga-tetangga mess di sini. Oh ya, mess di sini bukan berarti kamar tok yaa. Hanya nama saja. Ini sebenarnya lebih ke rumah dinas untuk karyawan.
Lanjut, kedua. Aku hanya baru mengenal satu tetangga di sini, yang rumahnya persis di sebelahku. Tapi mereka telah mudik (tetangga kami adalah bapac-bapac dengan satu istri dan dua anak. Anaknya masih baby, emesh sekali, loh).
Ketiga, kami tidak ada yang kenal dengan orang di sini. Nggak tau deh, nampaknya orang-orang di sini terkesan individualistik. Jadi, adalah wajar apabila tidak mengenal tetangga satu sama lain (?)
Dan keempat, aku terlalu malas untuk mengenal tetangga! Wkwwk.
Seperti yang telah aku bilang di atas, jiwa ansos dan introvert telah mendarah daging.
Aku tidak bilang ini baik yaa, sebenarnya terlalu ansos adalah buruk. π
Baca juga : Lebarannya Orang Ansos (cerita lebaran tahun lalu)
Aku kemudian merenung, dan mendapat suatu kesimpulan. Aku merasa kesepian, aku merasakan kesendirian.
Dan ternyata, kesendirian adalah keniscayaan!
Suka tidak suka, mau tidak mau, kelak kita akan sendirian. Tinggal waktunya saja yang berbeda, ada yang duluan merasakan, ada yang belakangan. Dalam perenunganku di hari Lebaran, aku berkaca kepada keluarga-keluargaku, yang mereka mungkin saja merasa kesepian di kala keramaian.
Sebagai contoh, Mbahku, beliau berangkat sendirian dari Yogyakarta ke Palembang untuk mencari kerja, hingga akhirnya mendapatkan kerjaan di sana. Beliau menikah di Palembang, tanpa ada saudara, bahkan tanpa orang tua. Mbahku pulang ke Yogyakarta hanya beberapa kali setelah beliau menikah. Pasti, walaupun beliau telah dikaruniai sembilan anak, tetap saja merasa kesepian, sebab merindukan kampung halaman, merindukan orang tua, dan merindukan saudara-saudaranya.
Nenekku, orang tua dari ibuku, juga kasusnya mirip dengan mbahku (kalau mbah adalah orang tua dari bapakku). Nenek dan Kakek menikah di Bukittinggi, Nenek asli orang Minang dari kota tersebut. Dan sekira lima tahun kemudian (ketika ibuku masih bayi), Kakek harus pindah tugas kerja ke Palembang. Setelah pindah, Nenek tidak pernah sekalipun kembali lagi ke Bukittinggi. Boleh jadi, atau bahkan pasti, Nenek sangat merindukan orang tua dan sanak saudaranya di Bukittinggi. Kesepian dan kesendirian di kala keramaian, itu pasti terjadi.
Atau begini, tidak usah jauh-jauh. Kesepian dan kesendirian itu, terkadang juga nampak dari mata ibuku. Di pagi hari, sejak aku mulai sekolah, bapakku berangkat kerja, adikku juga berangkat ke sekolah, pasti beliau merasa kesendirian. Menunggu anak-anaknya pulang lagi beberapa jam ke depan. Tapi ya, seperti yang aku bilang tadi, mau tidak mau, kesendirian adalah keniscayaan.
Tidak mungkin juga kan, ibuku harus ber-drama untuk menemani beliau terus-terusan, melarang anak-anaknya berangkat ke sekolah atau kuliah, atau melarang bapakku berangkat kerja, tidak mungkin.
Sekali lagi, kesendirian adalah keniscayaan.
Kembali ke laptop.
Di sebalik perenungan pada hari Lebaran di kesendirian di sudut pulau seberang. Aku mengambil kesimpulan, kesendirian adalah tidak apa-apa. Karena kesendirian adalah hal niscaya dan pasti terjadi. Sepasti di hari esok matahari akan terbit, sepasti dua bulan lagi Hari Raya Iduladha akan tiba dan sepasti Khilafah akan bangkit kembali! #Ehh
PS.
Tadi, awalnya mau upload foto ketika shalat Idul Fitri di masjid yang ada di sini. Namun gagal terus upload gambarnya. Dan, ini juga salah satu alasanku akhir-akhir ini jarang membuka Blog, tidak bisa lihat gambar, dan tidak bisa upload gambar.
Ada yang begitu juga?
Yeey! Akhirnya bisa upload gambar.... (pake Wi-Fi kantor, hehehe)