Kangg Mas Joe

Blognya Dodo. Tidak semua yang diposting adalah nyata, banyak pencitraan dan fiksinya.


Hai.. Sudah bulan Mei nih. Gimana puasanya, lancar kah? 😁
Aku sekarang sedang duduk sendirian di ruang keluarga di rumah kontrakan (walaupun aku belum berkeluarga). Saat ini sedang gabut, dan sedang ingin melanjutkan cerita yang tidak penting seperti dua postingan sebelumnya.

Masih bercerita tentang culture shock. Ada beberapa hal lagi yang ingin aku ceritakan kepada kamu semua. Tapi sebelumnya aku mohon maaf yaa, kalau ini diambil dari perspektif yang agak aneh, hehehe..
Padahal cerita-cerita sebelumnya diambil dari perspektif yang aneh juga.

Ngomong Kasar

Banyak orang di sini yang berbicara dengan kata-kata yang (menurutku) agak kasar. Anjir, anjay, anjing, goblok dan sebagainya menjadi diksi yang biasa sering diucapkan dalam kalimat-kalimat mereka.
Eh, anjirr. Tugas gua belum selese!
Goblok, lu! Caranya kagak begini.
Waduh, si anjir datang lagi nih!

Aku terkadang tercengang dan termenung mendengar hal seperti itu, wkwkwkw.
Kata temanku, yang telah lahir dan besar di kota ini, kata-kata seperti itu memang sudah sangat biasa. Anjir itu seibarat penggunakan titik dan koma pada kalimat. Sebegitu wajarnya, bukan!

Makananan yang Mahal

Dalam perspektifku, makanan di sini walaupun dirasa murah, tetap saja mahal. Aku sehari-hari rata-rata hanya mengeluarkan biaya sembilan ribu rupiah untuk tiga kali makan (walaupun makanannya jadi sangat sederhana).

Bagi teman-teman yang lain, harga segitu sudah cukup murah. Tapi yaa gitu, aku tetap merasa mahal, sebab ketika masih di rumah bersama orang tua, aku tidak memikirkan biaya makan. Tinggal makan-makan saja. Mau jajan, tinggal ambil saja, sebab ibuku punya warung di rumah! Hiiihi.

Pakaian yang Minim

Ini yang paling aku ingat ketika sampai di bandara. Ciwi-ciwi di sini, ternyata banyak yang memakai pakaian yang sangat minimalis. Pakai celana pendek, tapi di atas lutut. Pakai baju, tapi bajunya kurang bahan. Aku kan jadi penasaran, rasanya jadi pengen ngelihatin mereka terus :((
ASTAGHFIRULLAH PUASA WOY!!

Well, tidak hanya di bandara, penampakan seperti itu juga terjadi di tempat umum. Kereta, bus, pusat perbelanjaan, minimarket, warteg, dan sebagainya. Oh yaa, bahkan di kantor. Ada yang pakai celana panjang, tapi sangat ketat bentuk celananya, memperlihatkan lekukan tubuh mereka. Ada juga yang mengenakan rok, di bawah lutut, sih. Tetapi di bagian samping roknya, malah terbelah sampai ke arah paha atasnya. Yang lagi lagi, membuat aku penasaran terhadap isi di dalamnya. -_-
Tobat, akhi!

By the way, itu tidak satu-dua yaa. Banyak juga. Walaupun tidak semua begitu, tetap saja. Ini penampakan yang unik. Sebab seingatku, sejak dulu di kotaku sangat jarang (bahkan tidak pernah) melihat ciwi-ciwi dengan pakaian seperti itu. Hampir 90% semuanya mengenakan jilbab. Pun, kalau ada yang tidak pakai jilbab, pakaiannya tetap “sopan”, pakai celana panjang.

Naik bus di sore hari, dari dalam sini aku sering melihat"pemandangan" itu, hehee

Protokol kesehatan

Ini nih yang bagus dari sini. Protokol kesehatan cukup ketat, mungkin sebab ini wilayah dimana Covid-19 pertama kali tiba di Indonesia. Di masjid atau mushalla, orang-orang masih sangat banyak yang memakai masker. Kalau aku bisa mentaksir, sekira 90% jama’ah menggunakan masker. Wlaaupun, kalau untuk jaga jarak, tidak terlalu ketat seperti awal-awal Covid-19.

Menariknya, tidak hanya di masjid. Dimana-mana orang tetap patuh menggunakan masker. Di jalan, di bus, di kereta, dan tempat umum lainnya. Salut, deh!
Berbeda dengan kota asalku, yang mana saat itu di mushalla yang ada di depan rumahku tidak ada satu orang jama’ah pun yang menggunakan masker, termasuk aku. Wokwkwk!

Ketika Shalat Jumat, masjidnya ramai sekalii

***

Cukup sekian post kali ini, selesai sudah mencurahkan beberapa hal yang menjadi keresahan yang mengganjal di hati.
Inti dari postingan kali ini adalah; Ambil yang baik, buang yang buruk!
Mohon maaf kalau ada beberapa bagian yang terkesan agak kotor, hehee.. :))
 
Hari ini adalah tanggal satu di bulan Ramadhan, dalam penanggalan Hijriyah. Puasa pertama. Jalan di dekat rumah kontrakan yang sejak dua pekan lalu kami tinggal di sana, sudah ramai oleh masyarakat yang berlalu lalang. Ada yang berjualan takjil, ada pula yang hendak membeli. Mencari makanan untuk buka puasa di waktu Maghrib nanti.

Selaiknya Ramadhan, apalagi puasa di hari pertama. Sudah semestinya kita berkumpul bersama keluarga, bersama ayah ibu dan para saudara. Itu yang biasanya aku lakukan di tahun-tahun sebelumnya. Namun, tidak untuk tahun ini. Ramadhan di hari pertama, malah buka puasa bersama teman-teman yang aku lakukan.

Tahun ini, Ramadhan di perantauan.
Itulah sebabnya, tidak bisa berbuka puasa dengan keluarga. Maka, buka puasa bersama teman adalah yang menjadi pilihan. Teman-teman satu batch yang menjadi “keluarga” untuk saat ini. Dan siapa tahu ke depan, beneran menjadi keluarga! #Ehh

Puk..Puk..Puk..
Udah, cukup cerita melow-nya. Sampai sini sahaja. Post kali ini tidak akan membahas hal yang mengharukan dan membuat kamu ikut menangis tersedu-sedu mengingat keluarga, yang banyak di antara kita, sudah tidak tinggal bersama lagi.
Hari ini aku mau cerita tentang makanan. Tentang kekagetanku mengenai rasa makanan di kota eh, kabupaten tempatku tinggal saat ini, yang ternyata berbeda dengan tempat kota asalku.

Muncul kekagetan dan perdebatan-perdebatan kecil yang tidak penting, khususnya ketika buka puasa bersama yang aku ceritakan di paragraf awal.
Jadi, apa saja makanan yang membuat aku kaget dan shock?
Mari kita coba!

Kerupuk
“Kerupuk di sini rasanya aneh. Kok bisa-bisanya, rasanya manis begini.” Aku berseloroh kepada teman ketika kami sedang menikmati hidangan di buka puasa hari pertama.

“Ndak, mas Dodo. Kerupuk kan memang gini rasanya,” seorang teman yang berasal dari Jawa Tengah mengatakan demikian.

Dua orang teman yang lain, yang berasal dari Jawa Timur, kemudian mencicipi kerupuk yang telah kami beli, “Ini nggak manis kok. Kerupuk memang begini. Tidak ada yang aneh dengan rasanya.”

Aku tetap ngotot kalu kerupuk yang aku makan rasanya manis. Teman-teman yang lain jadi ikutan mencoba mencomot kerupuk. Dan ternyata, ada yang sepakat denganku, “Iya, bener. Kerupuknya manis seperti kata Mas Dodo.”

Jadi, gimana kelanjutannya?
Perdebatan kami terhenti karena skor imbang. 5 vs 5. Lima mengatakan manis, 5 mengatakan tidak. Teman yang sepakat denganku, yang mengatakan kerupuk tersebut manis, adalah orang yang berasal dari Sumatera Selatan, Sumatera Barat dan Kepulauan Riau. Sedangkan teman-teman yang berasal dari Pulau Jawa, mengatakan kerupuknya tidak manis.

Sampai sekarang aku masih heran, kok mereka tidak dapat mendeteksi rasa manis pada kerupuk itu, yang menurutku, rasa manis itu menjadi sangat mengganggu.
Oh yaa, jawabannya simpel sebenarnya. Sebab orang-orang di Jawa, sering makan makanan dengan rasa yang cukup manis. Sedangkan makanan di Sumatera jarang yang manis.


Buka Puasa Bersama dengan Makanan yang Kontroversial;
Kerupuk Manis!

Nasi Padang
Baru kemarin, aku membeli Nasi Padang untuk kepentingan insta story makan malam. Terakhir aku makan Nasi Padang sebelumnya, ketika aku baru saja sampai ke sini. Jujur, rasanya sangat-sangat mengecewakan. Kuah santan pada sayur nangkanya benar-benar hambar. Rasanya sangat aneh, seperti sayur nangka yang tidak layak konsumsi. Rasa makanannya tidak seperti sayur nangka yang sehari-hari ibuku masak di rumah.
Well, aku kapok membeli Nasi Padang di sini.

Kembali ke cerita Nasi Padang yang baru saja aku beli kemarin.
Dua hari yang lalu, aku melihat temanku membeli Nasi Padang. Katanya, Warung Nasi Padang di Jalan X itu enak dan harganya cukup wortid, dengan rasa yang lebih enak dari warung sebelumnya. Maka aku memutuskan untuk membeli juga.
Ketika dicoba, lagi-lagi aku menjadi kecewa. Kenapa rasanya seperti ini. Kuah sayur nangkanya kurang nendang, cenderung hambar. Nangkanya juga lebih keras daripada biasanya.

“Lha, mas Dodo gimana. Nasi Padang kan memang begini rasanya, tho? Nangkanya juga tidak keras, memang macam ini, laah.” Seorang teman menjelaskan kepadaku, dengan menirukan dialek bicaraku (yang sebenarnya dia tiru lebih mirip ke Melayu, bukan Palembang).
Bahwa di seluruh Pulau Jawa, rata-rata rasanya memang seperti ini. Kecuali kalau Nasi Padang yang mahal. Mungkin rasanya akan jauh lebih otentik. Dia melajutkan penjelasan.

Aku kembali menyanggah. Di kotaku dulu, Nasi Padang baik yang mahal maupun yang murah, rasanya relatif sama. Sepertinya aku akan kembali kapok makan Nasi Padang di sini.

Oh, yaa. Gini-gini, aku juga berdarah Minang, jadi mungkin punya standar yang tinggi untuk rasa Nasi Padang, hehe..

Nasi Uduk
Ketika di Jakarta, aku sangat terkejut dengan harganya. “Tiga belas rebu,” kata si ibu penjual dengan logat Betawi yang khas. Mahal sekali.

Padahal, di dekat rumahku, satu porsi Nasi Uduk (kalau di Palembang disebut Nasi Gemuk) hanya lima ribu rupiah, bahkan bisa tiga ribu rupiah jika tidak pakai telur.

Sambel Kacang
Salah satu pelengkap makanan yang baru kali ini aku jumpai. Secara tampilan mirip dengan kuah kacang pada sate atau siomay. Namun lebih encer, bahkan aku tidak merasakan rasa kacangnya. Aku juga tidak merasakan dimana rasa pedasnya, padahal katanya ini sambel kacang. Hehe.

Aku pertama kali mengenal Sambel Kacang dari Nasi Uduk seharga tiga belas ribu di atas. Ketika hendak selesai membungkus makananku, si ibu bertanya, “Mau pake sambel kacang atau sambel merah?”
Dan ternyata, lagi-lagi, tidak sesuai ekspetasi. Hihihii..
Kalo tau gitu, aku mendin pilih sambel merah.

Orek Tempe
Makanan ini sangat mudah dijumpai di Warteg. Bisa dikatakan, di sini aku pertama kali makan orek tempe. Walaupun sebenarnya ketika di Palembang ada makanan serupa. Namun namanya disebut Sambel Tempe. Isinya, potongan tempe kecil-kecil yang dikasih sambel. Namanya aja sambel tempe (?)
Selain tempe, isinya kadang ada kacang tanah dan juga teri.

Terkadang ada juga yang membuat makanan ini dengan hanya kacang tanah saja yang dikasih sambel. Namanya sambel kacang. Kacang yang disambelin (?)

Itulah sebab, ketika aku ditawari sambel kacang oleh si ibu penjual nasi uduk, aku punya ekspetasi yang berbeda. Hahaa.

Terakhir, mohon maaf jika gambar makanan-makannya tidak disertakan karena aku lagi malas, dan pembaca pada lagi puasa, kan.
Nanti kamu tergiur... πŸ˜πŸ˜‹
Matahari baru saja naik sekira tujuh hasta ketika pesawat telah lepas landas meninggalkan bandara yang ada di kota tercinta. Bandara hari itu sibuk sekali. Pesawat yang aku naiki saat itu terbang menuju bandar udara yang terletak  di ibukota negara.

Aku telah tiba di terminal kedatangan, untuk kemudian berjalan menuju keluar area bandara. Samar-samar aku mendengar bapak-bapak taksi mengobrol dengan bahasa yang aneh menurutku. Bahasa yang jarang terdengar di telinga secara langsung. Padahal, bahasa seperti ini aku sering dengar di televisi atau melalui gawai di tangan.
Saat itu, aku merasa seperti masuk ke dunia yang asing.

Yaaaps, elo, guwe, enggak, banget, hingga anjayy, anjim, anjirr dan kata-kata lain yang terdengan asik n gaul, sebenarnya adalah diksi yang biasa-biasa saja. Namun tetap saja, aku merasakan sesuatu yang aneh. Janggal di telinga.

Kekagetan budaya alias culture shock yang saat itu aku alami adalah, kendala bahasa. Walaupun aku terbiasa menulis dengan Bahasa Indonesia, namun tetap saja. Berbicara dan menulis itu adalah sesuatu yang berbeda. Untuk saat ini, aku kalau berbicara masih menggunakan bahasa yang campur-campur. Antara Bahasa Indonesia yang baku, Bahasa Indonesia tidak baku, dan Bahasa Palembang, disispkan sedikit diksi dari Bahasa Jawa.
Imbasnya, terkadang orang tidak faham apa yang aku bicarakan. Dan aku pun terkadang membutuhkan waktu beberapa detik untuk berfikir sejenak untuk menerjemahkan dari Bahasa Palembang ke Bahasa Indonesia, “Kata ***** Bahasa Indonesia nya apa yaa?”

Kembali ke paragraf yang ada di atas. Ngomongin diksi elo-guwe, menurut kabar burung (ga tau burung siapa~), di sini haram menggunakan aku-kamu. Bisa bikin lawan bicara jadi baper. Masalahnya, aku merasa aneh kalau berbicara menggunakan elo-guwe. Jadi, aku menggunakan aku-kamu, biarin deh anak orang pada baper. Siapa tau nanti ke depan bakal ada yang nyangkut, hihiii...

Oh yaa, satu lagi. Aku sangat menyukai logat dan dialek orang-orang di sini. Dulu, aku mengira orang berbicara dengan logat yang sama, ternyata berbeda-beda iramanya. Inilah indahnya Indonesia. Walaupun berbeda-beda, tetapi tetap satu jua #eaakk.

Logat anak gaul di sini, cara bicaranya banyak yang sok asik, tapi beneran asyik didengerin, kok. Orang-orang Betawi, juga asyik didengerin kalo mereka ngomong. Aku seolah-olah menonton Si Doel Anak Betawi, tapi secara live langsung di depan mata. Bapak-bapak taksi di bandara (yang aku ceritakan di paragraf pertama) mengobrol dengan dialek Betawi.

Selain itu, logat lain yang aku jumpai adalah logat Sunda, tapi agak beda dengan yang di Bandung. Ketika aku ke Bandung, logat Sunda di sana agak lembut dan berirama. Tapi di sini punya rasa yang sedikit beda dan keras, namun tetap berirama dengan alunan mendayu yang tetap khas. Seperti Sunda tapi dengan sedikit campuran Betawi.
Ada yang bisa menjelaskan lebih lanjut? Share di kolom komentar, yaaak!

Terakhir, banyak juga orang Jawa aku jumpai di sini. Jawanya beneran medhok. Yaa, aku juga orang Jawa, Pakde dan Budeku terkadang berbicara Bahasa Jawa (walaupun seringnya Bahasa Palembang), tapi logat Jawanya tidak kental. Di sini, bener-bener medhok dan aku sangat menikmati cara mereka bicara.

Ngomong-ngomong, ada hal yang cukup lucu. Aku emang sedikit-sedikit bisa Bahasa Jawa, tapi yang simpel-simpel saja. Saat itu ada mbah-mbah yang jualan sarapan. Menunya ada nasi kuning dan nasi uduk. Aku iseng bicara dengan Bahasa Jawa dengan si mbah, “Nasi uduk’e piro, Mbah?” (nasi uduknya berapa, mbah?)

“Iki enem ewu, mas,” (ini enam ribu, mas) kata si mbah menjawab pertanyaan. Kemudian beliau lanjut bertanya, “Panjenengan Jowo-ne pundhi?”

Aku langsung membatin, KENAPA BAHASA JAWA SI MBAH BEDA DARI TEMPLATE YANG AKU PELAJARI, WOKWOWK.
Untung saja aku masih bisa memahami maksudnya. Aku jawab saja, “Dari Jogjakarta, mbah.”

Beliau kembali mencecar, “Jogja-ne pundhi?”
“Kulonprogo, mbah,” kataku.
“Kulonprogo-ne pundhi?” Si mbah kembali bertanya.
“Wates, mbah. Deket Bandara baru,” aku kelelahan menjawab pertanyaan beliau.

Kini giliran aku pula yang bertanya dengan si Mbah, “Mbah-e dari Jowo-ne nang ndhi?” entah betul atau tidak grammar-nya. Kemudian si Mbah berbicara lebih banyak lagi yang kini aku benar-benar tidak faham. Wowwkkw.

Akhirnya aku mengaku, “Mbah, sebenarnya yang dari Jogja itu mbahku saja. Aku dari Palembang, mbah. Tidak terlalu faham Bahasa Jawa, hehehe.”

Si Mbah kini tertunduk lesu,dan akhirnya lanjut menggunakan Bahasa Indonesia lagi, seraya menyerahkan nasi uduk.
“Matur suwun, mbah!” kataku.

Sampai di rumah kontrakan, aku baru sadar. Si Mbah menggunakan Bahasa Jawa Kromo (halus) ketika berbicara denganku, sedangkan aku berbicara dengan beliau menggunakan Bahasa Jawa Ngoko (kasar).
Waah, apakah aku adalah anak yang tidak sopan kepda orang  yang sudah tua?
Maafkan aku, mbah!

Si Mbah jualan nasi uduk dekat masjid, sejak Subuh hari sudah buka



Apa yang ada di pikikanmu tentang merantau? 
Secara umum, biasanya merantau dapat diartikan sebagai kegiatan pergi keluar dari rumah, hidup mandiri dan tidak lagi tinggal bersama orang tua. Entah itu untuk tugas belajar, sekolah atau kuliah, misalnya. Selain itu, bisa juga merantau dalam rangka bekerja. Atau mungkin karena sudah menikah, biasanya akan pisah rumah dengan orang tua.
So, kalau kamu merantau tidak dalam rangka beberapa hal yang telah disebutkan di atas, itu berarti kamu kabur dari rumah, atau jangan-jangan diusir oleh orang tua! πŸ˜‚πŸ˜‚

Kembali ke topik; Merantau.
Jujur, ini adalah "cita-cita" alias keinginan sejak kecil yang sangat aku impikan. Namun akhirnya baru terlaksana saat ini.
Mari kita flash back sekira dua belas tahun lalu.

Saat itu, aku hendak tamat SD dan di dalam hati kecil ingin melanjutkan ke sekolah Islam berasrama alias Pondok Pesantren. Alasannya? Karena ingin merasakan hidup mandiri, tidak bersama orang tua. Pasti seru, pikirku saat itu.
Namun, keinginan itu gagal, lantaran aku dinyatakan diterima di salah satu SMP Negeri melalui jalur undangan tanpa tes (PMDK kalau tidak salah namanya). Ini adalah kesempatan yang sangat sayang dilewatkan.

Fyi, kesempatan ini hanya diberikan kepada orang-orang yang nilainya terbaik di sekolah. Hanya tiga orang dari seluruh angkatan di sekolahku yang berhak mendapat tiket ini.
Jadi, jelek-jelek gini, aku pernah jadi mahasiswa berprestasi, walaupun hanya saat SD, hehehe.. πŸ˜Ž

Lanjut ke bangku SMP.
Saat kelas IX alias kelas 3 SMP, aku punya keinginan untuk melanjutkan pendidikan ke SMA favorit di provinsiku. Kalau sekolah pada umumnya menggunakan nama SMA Negeri 1 Kota Y, atau SMA Negeri 2 Kota Z, dan seterusnya. Sekolah yang hendak aku tuju saat itu cukup berbeda. Tidak ada nomor dan bukan nama kota atau kabupaten di belakangnya, Melainkan provinsi. SMA Negeri Provinsi X. Begitu nama sekolahnya.

Kenapa sekolah ini begitu menarik? Sebab SMA Negeri Provinsi X berstandar internasional dan berasrama. Para siswanya mendapat banyak fasilitas seperti makan tiga kali sehari, pakaian, laundry, dan uang saku. Dan yang palin menarik adalah... Sekolah ini gratis!
Hayoo, siapa yang tidak tergiur dengan fasilitas seperti itu.

Memang sih, seleksinya sangat ketat sekali. Kalau tidak salah, hanya 100 orang yang diterima. Hasilnya? Aku gagal dalam seleksi sekolah tersebut. Jadi, aku masuk ke SMA Negeri "biasa" yang ada di kotaku.
Keinginan untuk merantau (walaupun jaraknya hanya sekitar 6 km dari rumah), kemudian hidup mandiri tidak bersama orang tua kembali kandas.

Skip.. Skip..
Oke, kini aku telah menjadi siswa SMA Negeri yang jaraknya hanya sekira 3 km dari rumah. Cukup dekat memang, tapi tetap saja aku masih sering terlambat! 😁
Ketika duduk di bangku kelas XII alias kelas 3 SMA, aku punya keinginan untuk berkuliah di Pulau Jawa. Entah itu di Kota Depok, kampus yang ada kata Indonesia-nya di namanya, atau ke Institut Teknologi yang ada di ibukota Jawa Barat, atau ke kampus yang pertama kali dibangun oleh Pemerintah Republik Indonesia di provinsi istimewa.

Namun, setelah berdiskusi panjang lebar dengan bapakku, aku tidak diizinkan kuliah di sana. Aku hanya diizinkan untuk kuliah di daerah asal saja. Tidak usah ke luar provinsi, atau bahkan keluar pulau.
Alasannya, realistis saja. Walaupun kuliah itu gratis dan akan ada beasiswa, tetap saja uang itu tidak cukup karena aku makannya banyak! Ehh, nggak, bercanda.
Menurut orang tuaku, uang itu tidak akan cukup untuk biaya kos, makan dan keperluan lainnya. Pun, apabila cukup, bisa jadi pas-pasan sekali. Orang tua ku juga tidak punya uang banyak untuk memberi uang kiriman setiap bulan. Jadi lebih baik realistis, ambil kampus yang dekat dari rumah saja.
Well, lagi-lagi, hasrat untuk merantau kembali gagal.

Singkat cerita.
Akhirnya, aku diterima di PTN (Perguruan Tinggi Negeri) yang ada di provinsiku. Alhamdulillah, SD hingga kuliah di sekolah negeri terus.. 😁

Kampusku, secara umum punya dua lokasi. Ada yang di Palembang, ada yang di Indralaya, Kabupaten Ogan Ilir. Aku mendapat kampus yang terletak di Ogan Ilir, sedangkan aku tinggal di Palembang. Jarak dari rumah ke kampus sekitar 40 km. Kalau naik kendaraaan umum bisa memakan waktu satu setengah hingga dua jam perjalanan.
Aku sudah sempat ngomongin kampusku di postingan Jalan-Jalan ke Kampus.

Sebuah aha moment kemudian terjadi. Biarpun gagal merantau kuliah ke Tanah Jawa, bagaimana kalau aku merantau ke kabupaten tetangga saja. Dua jam perjalanan pergi dan dua jam perjalanan pulang, total empat jam di jalan, cukup melelahkan. Ini bisa menjadi hujjah-ku di depan orang tua untuk diizinkan untuk menjadi anak kos saja ketika kuliah.
Daripada waktu selama itu dihabiskan di jalan, lebih baik dihemat dengan tinggal di dekat kampus saja.

Ada banyak pilihan saat itu. Pihak kampus sendiri menyediakan fasilitas, ada Rusunawa (Rumah Susun Mahasiswa) seharga Rp 150.000,00 per bulan. Kalau mau yang lebih bagus fasilitasnya ada asrama mahasiwa seharga Rp 300.000,00 per bulan. Kalau masih mencari yang lebih baik lagi dan kamar yang lebih luas, ada apartemen mahasiswa seharga Rp 7.200.000 per tahun, atau sama saja dengan Rp 600.000,00 per bulannya.
Kalau harganya salah, mohon dikoreksi yaak!

Bagaimana tanggapan orang tuaku? Seperti yang sudah bisa ditebak, mereka tetap saja menolak. Alasannya, lebih baik capek di jalan, daripada capek di kos harus memikirkan mau cari sarapan apa dan dimana, mau mencuci ini, menncuci itu, belum lagi setelah itu masih mau membuat tugas kuliah, dan sebagainya.
Lebih baik di rumah saja, kalau mau makan tinggal makan, sudah tersedia. Kalau mau berangkat ke kampus tingal bawa bekal. Mau jajan langsung ambil sendiri di warung (ibuku punya warung di rumah). Tidak pusing mau mikir hal-hal lain, dan bisa lebih santai untuk mengerjakan tugas.

Namun, bapakku berjanji. Apabila nanti aku telah tamat kuliah, dan hendak bekerja ke luar kota atau ke luar pulau. Itu beda cerita, tentu saja beliau mengizinkan.

Setelah sekian purnama berkuliah dengan segala drama dan tetek bengeknya, akhirnya aku lulus juga. Alhamdulillah sempat diwisuda secara langsung, tidak online seperti adik-adik tingkatku sekarang. Aku diwisuda di pekan ketiga bulan Februari 2020, sedangkan Corona resmi masuk ke Indonesia di pekan pertama bulan Maret 2020. Aku adalah angkatan terakhir yang diwisuda secara langsung.
Nyaris sekali, bukan! 😎

Kemudian, kehidupan sesungguhnya dimulai. Setelah sedikit kerja serabutan di kota sendiri, dan tetap "menebar jaring" lamaran ke berbagai perusahaan yang ada. Akhirnya jaring tersebut ada yang "nyangkut" juga. Kali ini aku benar-benar diizinkan oleh orang tuaku untuk merantau, setelah penat menunggu sejak SD hingga sekarang. Impian itu ternyata datang juga pada akhirnya.

Aku kini pergi jauh dari rumah dan orang tua, walaupun tidak terlalu jauh juga, sih. Hanya sekitar 7 cm dari peta. Hanya satu jam perjalanan pesawat. Bahkan lebih cepat daripada waktu dari rumah ke kampus! πŸ˜‚

Tantangan baru saja dimulai. Apakah nanti aku akan penat tinggal jauh dari orang tua?
Kita tunggu saja! Hiiihi..

Gambar tidak ada hubungan :)


Seperti biasa, di setiap penghujung bulan, Mbak Eno yang baik hatinya kembali membuat challange. Ini adalah event ketiga dari challange-nya.Makanya bernama CR Challange #3! 😁

Tema dalam kegiatan kali ini adalah, kita diminta untuk memilih tiga Bloggers favorit versi kita sendiri. Jujur, awalnya aku hendak memasukkan nama Creameno sendiri. Namun, rasanya kurang etis karena belio yang buat event, tapi ujung-ujungnya ngomongi belio sendiri lagi. Nanti dikira aku adalah sosok "penjilat" yang ingin hadiahnya doang, padahal mah bener!

Oke, aku rasa cukup sampai di sini basa-basi pembukaannya. Siapa saja ketiga Bloggers yang menjadi favorit dan inspirasi bagiku?
Mari kita mulakan!


1. Om Agus (Blog Sarilah)

Hayuuuk, siapa yang tidak mengenal belio. Dari dunia hingga akhirat, Om Agus dengan Blog Sarilah-nya sudah sangat dikenal oleh khalayak. Aku rasa, belio bisa disebut sebagai seleb-blogger!

Sebelum bercerita lebih jauh, mari kita flash back ke sekira setahun yang lalu. Saat itu aku baru saja memulai menjadi Blogger, dan aku lihat blog-nya banyak sekali mendapat komentar. Aku meminta tips darinya, dan dia mengatakan untuk banyak-banyak Blog Walking (BW) saja. Sebab aku masih belum faham apa itu BW, dia akhirnya menjelaskan bahwa BW adalah kegiatan mengunjungi blog orang lain, kemudian kita meninggalkan komentar di sana dengan harapan orang itu akan mengunjungi balik blog kita dan meninggalkan komentar juga.

So, aku memulai untuk melakukan BW dari melihat kolom komentar adik tingkatku. Seluruh profil yang memberikan komen di sana, aku klik. Dan... salah satu akun yang aku klik adalah akun Agus Warteg. Maka di situlah pertama kali aku mengunjungi belio secara virtual.

Aku begitu terkejut ketika membaca tulisan-tulisan di blog tersebut. Kok absurd-absurd semua, kataku dalam hati. Walaupun absurd, sangat keren. Tidak semua orang bisa berimajinasi liar seperti itu. Satu-satu aku baca tulisan-tulisan belio sebelumnya, membuatku semakin jatuh cinta pada blog ini.

Tulisan Om Agus dengan judul Cara Meminta Izin kepada Istri Pertama untuk Poligami, dari judulnya saja aku sudah ngakak, hahaa.. πŸ˜‚πŸ˜‚
Awalnya sih, aku mengira ini tulisan bakal serius dan penuh dengan hikmah ilmu agama, ternyata malah zonk wowkwkwk.. πŸ˜‚

Dan jujur, aku menjadi terinspirasi untuk membuat tulisan absurd juga dari blog-nya Om Agus. Blog Sarilah is my inspiration!

Hal lain yang menginspirasi dari Om Agus, belio adalah orang yang rendah hati. Belio pernah mengapresiasi Cerbung tulisanku (Jadi Kita Sekarang Gimana?). Belio juga tak segan-segan untuk melakukan BW dahulu kepadaku, baru kemudian aku BW balik. Well, biasanya aku BW pertama ke orang lain, kemudian orang itu baru melakukan kunjungan balik.

Di sini kadang aku berfikir, kok Om Agus masih mau yaa capek-capek BW ke orang lain. Padahal, belio udah jadi seleb. Hiihi.
Pokoknya, Om Agus sangat rajin deh kalau urusan BW. Setiap orang yang komen ke belio, rasa-rasanya, pasti dikunjungi balik.

Tahukan kamu, ketika aku hedak BW ke blog-blog orang yang baru, yang tidak aku kenal sebelumnya, ternyata selalu saja ada komentar Om Agus. Pantas aja sih blog-nya rame.. 😁

Jadi, kalau urusan per-blog-walking-an, Om Agus juara, deh!


2. Kang Himawan Sant (Dibacain, Yuk!)

Dalam pandanganku, belio adalah sosok yang Mirip dengan Om Agus, keduanya sama-sama blogger yang rendah hatinya.
Seingatku, aku mengenalnya lebih awal daripada Om Agus. Kang Himawan sudah rajin berkomentar di blogku saat aku baru saja memulai menjadi blogger.

Kemudian, seperti yang telah aku bilang di awal mengenai BW, bahwa kita sebaiknya mengunjungi balik orang yang telah memberikan komentar ke blog kita. Saat itu aku belum terlalu faham mengenai "etika tidak tertulis" tersebut. Dan setelah sekian purnama, akhirnya aku mendapat "hidayah" untuk mengunjungi blognya.
Blog-nya juga sangat menarik. Isinya jalan-jalan semua. Aku pikir orangnya pasti asyik nih, tiap hari pasti travelling terooos... πŸ˜„

Dan lagi-lagi, Om Agus dan Kang Himawan punya kemiripan. Ketika aku hendak berkomentar pada blog yang baru aku temui, ternyata di sana ada komentar dari Kang Himawan. Emang rajin banget deh kalau BW.
Oh yaa, terakhir. Kang Himawan ini jaringannya cukup luas. Sampai-sampai yang komen juga banyak dari luar negeri, loh!
Lanjutkeun, kang! 😍


3. Mbak Lia (Words of The Dreamer)

Aku tak terlalu ingat kapan pertama kali bisa saling berekomentar dan saling berkunjung ke blog-nya mbak Lia. Karena aku lupa dan lelah, aku mau istirahat. Aku mau tidur dulu, lanjut besok. Siapa tau nanti sudah ingat, heheee..

Oke, sekarang aku sudah bangun. Kini, hari telah berganti.

Rasa-rasanya, Mbak Lia aku pertama kali menjumpainya di kolom komentar Om Agus. Hampir seluruh orang yang berkomentar di blog-nya Om Agus, aku akan kunjungi. Dan, salah satu orang itu adalah Mbak Lia.. 😁

Membaca blog-nya Mbak Lia menambah "wawasan" baru bagiku. Aku punya perspektif baru tentang kehidupan anak muda yang tinggal di kawasan Jabodetabek. Hoo, ternyata kehidupan orang-orang di sana seperti itu, yaak.

Walaupun kita sama-sama tinggal di Indonesia, tetapi kita punya budaya dan kebiasaan yang berbeda. Dari cerita-ceritanya Mbak Lia, aku dapat menangkap bahwa kehidupannya selalu asyik dan seru. Walaupun, pastinya ada juga banyak bagian tidak serunya. Tidak mungkin bagian ini yang banyak diceritakan, pasti yang seru-seru saja, hehehe.
Aku jadi berfikir, nampaknya asyik yaa kalau hidup merasakan asyik dan kerasnya kehidupan Ibukota Negara, tinggal, merantau dan bekerja di sana.

Terakhir, kalo ngomongin BW, Mbak Lia juga sosok yang rajin. Hampir sama seperti Om Agus maupun Kang Himawan, Mbak Lia nampaknya selalu ada di kolom komentar setiap blog-blog yang aku kunjungi. πŸ˜€

***

Masih ngomongin blog walking. sebelumnya aku meminta maaf kepada teman-teman apabila belum seluruh dari blog-nya aku kunjungi balik. Sebab, beberapa pekan terakhir sedang mendapat kesibukan urusan duniawi~

Penutup dariku, semoga event kali ini bisa menang. Sebab aku baru saja jadi anak kos, uang yang dibekali orang tua sudah sangat menipis dan hampir habis... πŸ˜‚πŸ˜‚

Pertanyaan pada judul postingan ini sering sekali terlontar di antara kita semua. Bank syariah benar-benar syariah atau ndak, yaa?
Umumnya muncul dari dua kelompok besar. Pertama dari kelompok Islamis, yang memandang perkara hukum fiqih Islam secara ketat. Sedangkan kelompok kedua, berasal dari kelompok masyarakat awam yang masih menganggap bank konvensional adalah sama saja.

Kelompok pertama, agak meragukan bank syariah sebab sistem yang ada di bank syariah tidaklah syariah secara keseluruhan. Btw, biasanya kelompok ini berasal dari mereka yang sudah belajar ilmu agama walaupun baru pemula.
 
Sebagai contoh, dalam KPR di (beberapa) bank syariah akan ada denda jika terlambat membayar cicilan. Padahal, denda tidak boleh dilakukan, karena akan menambah harga dari harga awal akad yang telah disepakati sebelumnya. Jadi sama saja jatuhnya akan terkena riba (walaupun denda tadi tidak diambil menjadi keuntungan bank, melainkan untuk kegiatan sosial).
Eh, ngerti kan maksudnya (?)

Contoh kedua, kalau kita menabung dengan akad Wadi'ah. Itu tidaklah benar-benar Wadi'ah.
Arti dari Wadi'ah dalam Bahasa Indonesia adalah titipan. Yang namanya menitip, ya harusnya "beneran menitip". Misalnya, aku "menitipkan uang" ke bank Rp 50.000 dengan nomor seri LOF166783 (yang tertera pada lembar uangnya). Besok, apabila aku ingin mengambil "uang titipan" yang ada di bank, seharusnya mereka memberikanku uang dengan nomor seri yang sama (LOF166783). Nyatanya, mereka akan memberikan uang dengan nomor serial berbeda.
Yaa, sebenarnya memang agak susah sih kalau harus seperti itu, hahaa... πŸ˜‚

Uang dengan nomor seri LOF166783

Bener, kan? Akadnya titip. Jadi orang yang kita kasih amanah untuk dititipi, tidak boleh mengelola uang yang kita titip. F
aktanya, uang titipan kita dikelola oleh Bank Syariah sehingga mereka mendapat keuntungan. Itu namanya sama saja kita meminjamkan uang ke bank, bukan menitipkan uang ke bank.

Contoh kasus ketiga, ada lagi. Namun karena aku belum terlalu faham dan ini membahas agama, takutnya malah menjadi salah. Jadi aku cukupkan sampai sini saja yaak untuk bagian pertama.. 😁😊 

Baca juga : Akad pada Bank Syariah

Lanjut ke Kelompok kedua.
Meraka pada umumnya berasal dari masyarakat umum yang belum faham mengenai bank syariah. Beberapa oknum pun sampai menganggap 'bunga' pada bank tidaklah sesuatu yang berdosa. So, kelompok ini kebanyakan menganggap bahwa bank syariah dan bank konvensional adalah sama saja.

Seperti pada postingan sebelumnya, aku telah menjelaskan bahwa bank konvensional dan bank syariah jelas-jelas berbeda sistemnya. Jadi kita tidak bisa mengatakan bahwa kedua bank itu adalah sama. Ditambah lagi, di bank syariah memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang merupakan para pakar yang berasal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Kita siapa mau mengingkari fatwa dari MUI? Heehe..
Intinya, bank konvensional dan bank syariah itu berbeda!

Kembali ke pertanyaan awal kita. Jadi, apakah bank syariah sudah syariah?
Menurut Ustadz Abdul Somad, dan beberapa ustadz lainnya, jawabannya adlah sudah sesuai syariah, namun belum 100%.

Kenapa begitu?
Jawabannya adalah seperti yang telah aku terangkan di atas. Beberapa hal masih belum terkategorikan dalam standar syariah. Paling tidak, walaupun belum 100% syariah, hari ini mereka sedang menuju ke syariah secara kaaffah alias menyeluruh.

Bagaimana sikap kita akan hal ini?
Tentu saja seperti biasa, pertengahan. Kita moderat sahaja.
Sebab hal ini adalah darurat, maka diperbolehkan. Makan babi saja boleh, apabila tidak ditemukan makanan lain. Maka menggunakan bank syariah yang belum 100% syariah juga boleh sebab tidak ada pilihan lain.
Begitchuu..

***

Netizen julid be lyke, "Dari kemarin, kritik terus. Kamu ada solusi nggak?"
Tentu saja ada, bossque!

Setidaknya, yang aku ketahui ada tiga cara untuk mengubah sesuatu yang tidak kita sukai; Edukasi, Regulasi dan Kombinasi.

1. Edukasi
Kita mengedukasi masyarakat, dalam hal ini riba, bahwa hal itu tidaklah dibenarkan dalam agama. Berikan pengatahuan seharusnya kita begini, begini dan begini. Bukan begitu, begitu dan begitu.

Apakah cara ini efektif? Tentu saja iya. Namun cukup lambat implementasinya. Namanya juga cuma edukasi, ada masyarakat yang menerima, ada juga yang tidak. Butuh proses yang panjang untuk "mendoktrin" pemahaman kita kepada masyarakat.

Tetapi yaa tidak masalah. Perjuangan ini dikatakan berhasil bukan cepat atau lambatnya, banyak atau sedikitnya orang yang tersadarkan. Namun seberapa gigih dan konsisten kita dalam perjuangan! #Eaakk

2. Regulasi
Cara ini cukup cepat untuk mengubah suatu aturan. Teorinya simpel saja. Misalnya, kita ikut pemilu. Jadi Presiden atau Anggota DPR. Setelah terpilih, langsung saja buat undang-undang. Kita buat undang-undang yang menyatakan bahwa bank konvensional dihapus, dan seluruh bank digantikan dengan sistem syariah. Masalah selesai, bukan!

Tetapi, teorinya tidak sesimpel itu, kawan!
Tentu saja akan ada pergolakan di masyarakat. Mereka pasti akan protes, kenapa peraturan tiba-tiba langsung berubah. Pemerintah seperti pasti akan dituduh diktator, tidak mengakomodir keinginan rakyat, mengacaukan ekonomi makro, meruntuhkan daaya beli masyarakat, membuat inflasi, hanya mementingkan kelompok golongan tertentu hingga bisa saja pemerintahnya dituduh aNTeK KiLApAh dan KauM kADruN!

Jadi, cara ini memang cepat, namun kurang efektif.

3. Kombinasi
Kita gunakan cara pertama dan kedua. Sejak saat ini kita mulai mengedukasi masyarakat, perlahan-lahan, sedikit demi sedikit. Pasti akan mendapatkan hasilnya walaupun lama. Nanti, ketika waktu yang lama itu telah cukup, telah punya massa yang banyak, atau mayoritas masyarakat telah sadar den sepakat atas ide dan gagasan yang kita bawa (tentang keharaman riba, misalnya), kita terjun ke ranah politik praktis. Maksudnya; Kita ikut Pemilu!

Ketika kita terjun ke gelanggang pertempuran politik, kita sudah punya massa. Kita sudah punya banyak pendukung. Dan apabila terpilih, kemudian kita membuat regulasi agar misalnya seluruh bank kita perbaiki sistemnya menjadi benar-benar syariah 100%, masyarakat tidak akan kaget lagi. Masyarakat tidak akan melakukan protes kepada Pemerintah, sebab hal itu lah yang telah sangat lama mereka nanti-nantikan.

Dan, jalan ketiga inilah yang sedang aku rintis perlahan-lahan. Hehehe..
Gambar hanya pemanis! πŸ˜‚


Di awal bulan Februari lalu, pemerintah meluncurkan bank baru. Bank Syariah Indonesia (BSI), dengan slogan Kuliah, BSI aja!
Eh, ndak. Itu BSI yang lain, salah tempat wowkwkkw.. πŸ˜‚πŸ˜‚

BSI merupakan merger dari tiga Bank Syariah milik BUMN, Bank Syariah Mandiri, BNI Syariah dan BRI Syariah. Dengan bergabungnya ketiga bank tersebut, menjadikan BSI menjadi bank dengan aset terbesar ke-7 di Indonesia.

Akan tetapi, di postingan kali ini aku tidak akan membahas lebih lanjut mengenai Bank Syariah Indonesia, melainkan hanya akan membahas bank syariah saja. Paragraf di atas cuma basa-basi doang. Heeehee...

Apa itu Bank Syariah?
Menurut Wikipedia, Bank Syariah adalah suatu sistem perbankan yang pelaksanaannya berdasarkan hukum Islam (syariah). Pembentukan sistem ini berdasarkan adanya larangan dalam agama Islam untuk meminjamkan atau memungut pinjaman dengan mengenakan bunga pinjaman (riba), serta larangan untuk berinvestasi pada usaha-usaha yang bersifat (haram).

Apa yang membedakan bank syariah dengan bank konvensional? Tentu saja pada akad-nya. Aku telah membahas ini sebelumnya di sini.
Pada bank konvensional, apabila kamu hendak mendaftar menjadi nasabah mereka, kamu akan mendapat bunga sekian persen dari jumlah tabunganmu. Walaupun nantinya akan dipotong dengan biaya administrasi. Dan kalau kamu punya jumlah tabungan yang sedikit, sesungguhnya kamu akan rugi karena biaya administrasi akan lebih besar daripada bunga yang didapat! 😜

Sedangkan bank syariah, ketika hendak mendaftar, calon nasabah akan dihadapkan pada dua opsi akad. Yaitu mudharabah dan wadi'ah. Apa yang membedakannya?

Mudharabah adalah akad bagi hasil. Jadi uang yang kita simpan di bank syariah akan dikelola oleh mereka. Nanti keuntungan yang didapat dari pengelolaan tersebut akan diberikan kepada kita. Hal ini lah yang disebut sebagai bagi hasil.
Jadi, akad mudharabah ini mirip dengan akad bunga pada bank konvensional, bukan?

Oh yaa, satu lagi. Dalam akad mudharabah terdapat biaya administrasi per bulan. Lagi-lagi, hal ini mirip dengan bank konvensional. Dan sekali lagi, aku mengingatkan kalau kamu punya jumlah tabungan yang sedikit, sesungguhnya kamu akan rugi karena biaya administrasi akan lebih besar daripada bagi hasil yang didapat! 😝😝

Wadi'ah adalah akad titipan. Sesuai namanya, menitip. Jadi, kita tidak mendapat keuntungan apa-apa. Tidak mendapat bagi hasil. Tidak juga mengeluarkan biaya administrasi per bulan. Jadi, apabila uang kamu ada satu juta rupiah selama satu tahun dan uangnya tidak diambil-ambil selama kurun waktu tersebut, maka uangmu tetap berjumlah segitu. Tidak bertambah, tidak berkurang, insyaa Allah.
Sekali lagi, sesuai namanya. Kita cuma menitip uang ke bank. Jadi uangnya tetap.

Sebenarnya ada keuntungan lain dari akad Wadi'ah pada bank syariah ini. Terkhusus kaum mahasiswa sepertiku pada waktu itu. Butuh tempat untuk nyimpen duit yang aman, tapi kalo di bank biasa takut dengan biaya administrasi yang setiap bulan akan dipotong dari saldo kita.
Solusinya adalah di sini, di akad Wadi'ah pada bank syariah. Uangmu tidak akan berkurang!

Ayoo pindah ke bank syariah dengan akad Wadi'ah! πŸ˜€

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

ABOUT AUTHOR

Kang Mas Joe adalah seorang yang berpengalaman dalam pahit dan getirnya kehidupan, walaupun nyatanya tidak terlalu pahit. Mencoba berbagi tulisan melalui blog, semoga ada hikmah yang bisa diambil. Apabila ada kritik, saran, nasihat dan mau kerjasama. Silahkan DM melalui Instagram dan Twitter @KanggMas_Joe. Terimakasih!

POPULAR POSTS

  • Pencitraan Jilid Dua; Buku yang Aku Baca di Tahun 2020
      Beberapa hari ke belakang, rumahku sedang direnovasi. Maka buku-buku yang ada di rumah sedang tidak ada di rak buku seperti biasa. Begini ...
  • Masjid Cheng Hoo
    Masjid Muhammad Cheng Hoo, adalah salah satu masjid yang cukup terkenal di Palembang. Sering dijadikan sebagai tempat wisata religi. Menurut...
  • Balonku Ada Lima
    Jangan terkejut, ini bukan jimat, mantra, doa atau sebagainya!  Untuk kamu yang sudah jago membaca Al-Quran sejak kecil, aku yakin kamu past...
  • Menjadi Pacar Sewaan
    Hari ini adalah hari Ahad, pukul sepuluh pagi. Aku sedang duduk bersantai di rumah, sedang menatap layar laptop untuk melakukan blog walking...
  • 3 Bloggers yang Rajin BW
    Seperti biasa, di setiap penghujung bulan, Mbak Eno yang baik hatinya kembali membuat challange. Ini adalah event ketiga dari challange- nya...

Categories

  • Bisnis
  • Cerita
  • Opini
  • Perjalanan
  • Pernikahan
  • Sajak
  • Tutorial

Copyright © 2021 Kangg Mas Joe. Created by OddThemes