Hai.. Sudah bulan Mei nih. Gimana puasanya, lancar kah? π
Aku sekarang sedang duduk sendirian di ruang keluarga di rumah kontrakan (walaupun aku belum berkeluarga). Saat ini sedang gabut, dan sedang ingin melanjutkan cerita yang tidak penting seperti dua postingan sebelumnya.
Masih bercerita tentang culture shock. Ada beberapa hal lagi yang ingin aku ceritakan kepada kamu semua. Tapi sebelumnya aku mohon maaf yaa, kalau ini diambil dari perspektif yang agak aneh, hehehe..
Ngomong Kasar
Banyak orang di sini yang berbicara dengan kata-kata yang (menurutku) agak kasar. Anjir, anjay, anjing, goblok dan sebagainya menjadi diksi yang biasa sering diucapkan dalam kalimat-kalimat mereka.
Eh, anjirr. Tugas gua belum selese!
Goblok, lu! Caranya kagak begini.
Waduh, si anjir datang lagi nih!
Aku terkadang tercengang dan termenung mendengar hal seperti itu, wkwkwkw.
Kata temanku, yang telah lahir dan besar di kota ini, kata-kata seperti itu memang sudah sangat biasa. Anjir itu seibarat penggunakan titik dan koma pada kalimat. Sebegitu wajarnya, bukan!
Makananan yang Mahal
Dalam perspektifku, makanan di sini walaupun dirasa murah, tetap saja mahal. Aku sehari-hari rata-rata hanya mengeluarkan biaya sembilan ribu rupiah untuk tiga kali makan (walaupun makanannya jadi sangat sederhana).
Bagi teman-teman yang lain, harga segitu sudah cukup murah. Tapi yaa gitu, aku tetap merasa mahal, sebab ketika masih di rumah bersama orang tua, aku tidak memikirkan biaya makan. Tinggal makan-makan saja. Mau jajan, tinggal ambil saja, sebab ibuku punya warung di rumah! Hiiihi.
Pakaian yang Minim
Ini yang paling aku ingat ketika sampai di bandara. Ciwi-ciwi di sini, ternyata banyak yang memakai pakaian yang sangat minimalis. Pakai celana pendek, tapi di atas lutut. Pakai baju, tapi bajunya kurang bahan. Aku kan jadi penasaran, rasanya jadi pengen ngelihatin mereka terus :((
ASTAGHFIRULLAH PUASA WOY!!
Well, tidak hanya di bandara, penampakan seperti itu juga terjadi di tempat umum. Kereta, bus, pusat perbelanjaan, minimarket, warteg, dan sebagainya. Oh yaa, bahkan di kantor. Ada yang pakai celana panjang, tapi sangat ketat bentuk celananya, memperlihatkan lekukan tubuh mereka. Ada juga yang mengenakan rok, di bawah lutut, sih. Tetapi di bagian samping roknya, malah terbelah sampai ke arah paha atasnya. Yang lagi lagi, membuat aku penasaran terhadap isi di dalamnya. -_-
Tobat, akhi!
By the way, itu tidak satu-dua yaa. Banyak juga. Walaupun tidak semua begitu, tetap saja. Ini penampakan yang unik. Sebab seingatku, sejak dulu di kotaku sangat jarang (bahkan tidak pernah) melihat ciwi-ciwi dengan pakaian seperti itu. Hampir 90% semuanya mengenakan jilbab. Pun, kalau ada yang tidak pakai jilbab, pakaiannya tetap “sopan”, pakai celana panjang.
Naik bus di sore hari, dari dalam sini aku sering melihat"pemandangan" itu, hehee |
Protokol kesehatan
Ini nih yang bagus dari sini. Protokol kesehatan cukup ketat, mungkin sebab ini wilayah dimana Covid-19 pertama kali tiba di Indonesia. Di masjid atau mushalla, orang-orang masih sangat banyak yang memakai masker. Kalau aku bisa mentaksir, sekira 90% jama’ah menggunakan masker. Wlaaupun, kalau untuk jaga jarak, tidak terlalu ketat seperti awal-awal Covid-19.
Menariknya, tidak hanya di masjid. Dimana-mana orang tetap patuh menggunakan masker. Di jalan, di bus, di kereta, dan tempat umum lainnya. Salut, deh!
Berbeda dengan kota asalku, yang mana saat itu di mushalla yang ada di depan rumahku tidak ada satu orang jama’ah pun yang menggunakan masker, termasuk aku. Wokwkwk!
Ketika Shalat Jumat, masjidnya ramai sekalii |
***
Cukup sekian post kali ini, selesai sudah mencurahkan beberapa hal yang menjadi keresahan yang mengganjal di hati.
Inti dari postingan kali ini adalah; Ambil yang baik, buang yang buruk!
Mohon maaf kalau ada beberapa bagian yang terkesan agak kotor, hehee.. :))