Matahari baru saja naik sekira tujuh hasta ketika pesawat telah lepas landas meninggalkan bandara yang ada di kota tercinta. Bandara hari itu sibuk sekali. Pesawat yang aku naiki saat itu terbang menuju bandar udara yang terletak di ibukota negara.
Aku telah tiba di terminal kedatangan, untuk kemudian berjalan menuju keluar area bandara. Samar-samar aku mendengar bapak-bapak taksi mengobrol dengan bahasa yang aneh menurutku. Bahasa yang jarang terdengar di telinga secara langsung. Padahal, bahasa seperti ini aku sering dengar di televisi atau melalui gawai di tangan.
Saat itu, aku merasa seperti masuk ke dunia yang asing.
Yaaaps, elo, guwe, enggak, banget, hingga anjayy, anjim, anjirr dan kata-kata lain yang terdengan asik n gaul, sebenarnya adalah diksi yang biasa-biasa saja. Namun tetap saja, aku merasakan sesuatu yang aneh. Janggal di telinga.
Kekagetan budaya alias culture shock yang saat itu aku alami adalah, kendala bahasa. Walaupun aku terbiasa menulis dengan Bahasa Indonesia, namun tetap saja. Berbicara dan menulis itu adalah sesuatu yang berbeda. Untuk saat ini, aku kalau berbicara masih menggunakan bahasa yang campur-campur. Antara Bahasa Indonesia yang baku, Bahasa Indonesia tidak baku, dan Bahasa Palembang, disispkan sedikit diksi dari Bahasa Jawa.
Imbasnya, terkadang orang tidak faham apa yang aku bicarakan. Dan aku pun terkadang membutuhkan waktu beberapa detik untuk berfikir sejenak untuk menerjemahkan dari Bahasa Palembang ke Bahasa Indonesia, “Kata ***** Bahasa Indonesia nya apa yaa?”
Kembali ke paragraf yang ada di atas. Ngomongin diksi elo-guwe, menurut kabar burung (ga tau burung siapa~), di sini haram menggunakan aku-kamu. Bisa bikin lawan bicara jadi baper. Masalahnya, aku merasa aneh kalau berbicara menggunakan elo-guwe. Jadi, aku menggunakan aku-kamu, biarin deh anak orang pada baper. Siapa tau nanti ke depan bakal ada yang nyangkut, hihiii...
Oh yaa, satu lagi. Aku sangat menyukai logat dan dialek orang-orang di sini. Dulu, aku mengira orang berbicara dengan logat yang sama, ternyata berbeda-beda iramanya. Inilah indahnya Indonesia. Walaupun berbeda-beda, tetapi tetap satu jua #eaakk.
Logat anak gaul di sini, cara bicaranya banyak yang sok asik, tapi beneran asyik didengerin, kok. Orang-orang Betawi, juga asyik didengerin kalo mereka ngomong. Aku seolah-olah menonton Si Doel Anak Betawi, tapi secara live langsung di depan mata. Bapak-bapak taksi di bandara (yang aku ceritakan di paragraf pertama) mengobrol dengan dialek Betawi.
Selain itu, logat lain yang aku jumpai adalah logat Sunda, tapi agak beda dengan yang di Bandung. Ketika aku ke Bandung, logat Sunda di sana agak lembut dan berirama. Tapi di sini punya rasa yang sedikit beda dan keras, namun tetap berirama dengan alunan mendayu yang tetap khas. Seperti Sunda tapi dengan sedikit campuran Betawi.
Ada yang bisa menjelaskan lebih lanjut? Share di kolom komentar, yaaak!
Terakhir, banyak juga orang Jawa aku jumpai di sini. Jawanya beneran medhok. Yaa, aku juga orang Jawa, Pakde dan Budeku terkadang berbicara Bahasa Jawa (walaupun seringnya Bahasa Palembang), tapi logat Jawanya tidak kental. Di sini, bener-bener medhok dan aku sangat menikmati cara mereka bicara.
Ngomong-ngomong, ada hal yang cukup lucu. Aku emang sedikit-sedikit bisa Bahasa Jawa, tapi yang simpel-simpel saja. Saat itu ada mbah-mbah yang jualan sarapan. Menunya ada nasi kuning dan nasi uduk. Aku iseng bicara dengan Bahasa Jawa dengan si mbah, “Nasi uduk’e piro, Mbah?” (nasi uduknya berapa, mbah?)
“Iki enem ewu, mas,” (ini enam ribu, mas) kata si mbah menjawab pertanyaan. Kemudian beliau lanjut bertanya, “Panjenengan Jowo-ne pundhi?”
Aku langsung membatin, KENAPA BAHASA JAWA SI MBAH BEDA DARI TEMPLATE YANG AKU PELAJARI, WOKWOWK.
Untung saja aku masih bisa memahami maksudnya. Aku jawab saja, “Dari Jogjakarta, mbah.”
Beliau kembali mencecar, “Jogja-ne pundhi?”
“Kulonprogo, mbah,” kataku.
“Kulonprogo-ne pundhi?” Si mbah kembali bertanya.
“Wates, mbah. Deket Bandara baru,” aku kelelahan menjawab pertanyaan beliau.
Kini giliran aku pula yang bertanya dengan si Mbah, “Mbah-e dari Jowo-ne nang ndhi?” entah betul atau tidak grammar-nya. Kemudian si Mbah berbicara lebih banyak lagi yang kini aku benar-benar tidak faham. Wowwkkw.
Akhirnya aku mengaku, “Mbah, sebenarnya yang dari Jogja itu mbahku saja. Aku dari Palembang, mbah. Tidak terlalu faham Bahasa Jawa, hehehe.”
Si Mbah kini tertunduk lesu,dan akhirnya lanjut menggunakan Bahasa Indonesia lagi, seraya menyerahkan nasi uduk.
“Matur suwun, mbah!” kataku.
Sampai di rumah kontrakan, aku baru sadar. Si Mbah menggunakan Bahasa Jawa Kromo (halus) ketika berbicara denganku, sedangkan aku berbicara dengan beliau menggunakan Bahasa Jawa Ngoko (kasar).
Waah, apakah aku adalah anak yang tidak sopan kepda orang yang sudah tua?
Maafkan aku, mbah!