Hampir tiap-tiap hari, media sosial kita dipenuhi dengan riuh RUU yang telah sah menjadi UU. Ominbus Law. Eh bukan, Omnibus Low. Eh gimana sih. Nulisnya aja susah! -_-
Mari lupakan sejenak tentang pronouncation RUU yang susah itu. Fyi, ada RUU lain yang masih mandeg di DPR. Apa itu? RUU P-KS; Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Dan saat ini, ada satu fraksi yang kekeuh menolak RUU tersebut. Partai apakah itu? Yang unik, partai ini memiliki nama yang sama dengan RUU-nya. PKS; Partai Keadilan Sejahtera.
Kenapa bisa gitu? Entahlah. Mungkin kapan-kapan akan ada RUU P-DIP, misalnya kepanjangan dari Penghapusan Deradikalisasi Intoleransi Pemerintah. Dan yang menolak, malah dari Fraksi PDI-P. Haha!
Tolong bagi pihak Pemerintah, terutama Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) kalo baca Blog ini jangan dianggap serius. Becanda doang, Pak!
Atau mungkin, nanti juga akan muncul RUU lain dengan nama yang sama dengan partai yang telah ada. RUU P-KB ditolak oleh Fraksi PKB, RUU P-PP ditolak oleh Fraksi PPP, hingga RUU P-SI ditolak oleh Fraksi PSI. Eh, wait.. PSI kan gak punya kursi di DPR RI, chuakkzzzz.
Well, kali ini gue akan menulis dengan gaya yang sedikit berbeda, gak seperti biasa. Gue akan menggunakan kata “gue”, bukan “aku”. Karena kalo ngomongin RUU P-KS, pasti kita akan bersinggungan dengan para kaum open-minded.
You know lah, mereka suka banget ngomong pake bahasa gaul yang tidak baku dan bahasanya di-mix English and Indonesian. Jadi, gue mau coba lakukan juga. Ehehe..
Kenapa RUU P-KS berhubungan dengan kaum open-minded?
Sorry to say, faktanya emang gitu. RUU ini sarat akan kepentingan ideologi. Baik yang menolak maupun yang mendukung. Walaupun gak bisa kita pukul rata semua. Kaum open-minded dan liberal cenderung mendukung RUU ini, namun tidak semua yang mendukung RUU ini berarti liberal. Sedangkan kaum Islam konservatif, cenderung menolak RUU ini, dan bukan berarti yang menolak RUU ini adalah semuanya konservatif.
Namun, kedua kelompok ini yang cukup vokal terkait RUU ini. Baik menolak maupun menentang.
Sebelum masuk lebih jauh, gue mau mengajak lo semua untuk ber-husnuzhon, berbaik sangka, ber-positive thinking. Kedua pihak yang menolak maupun mendukung RUU ini, punya niatan baik semua. Hanya saja, niat baik itu memiliki style masing-masing. Gue yakin 100%, keduanya setuju untuk melindungi masyarakat dari kekerasan dan kejahatan seksual. Itu adalah masalah kita bersama.
Dimana masalah RUU ini?
Kontroversi sudah dimulai sejak awal. Pasal pertamanya saja multi tafsir. Di ayat satu, disebutkan seperti ini.
Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.
Ayo fokus ke kalimat yang udah gue bold.
Pertama, mengenai hasrat seksual seseorang. Seandainya gue "menyerang" hasrat seksual seseorang, bisa-bisa gue kena pidana. Hasrat seksual itu gimana? Kecenderungan atau ketertarikan seksual kepada orang lain. Jika ditelaah lebih lanjut, hasrat ini bisa aja ke lawan jenis, atau bahkan ke sesama jenis. Kalo udah begitu, bisa aja terjadi kisah seperti ini. Misalnya, seorang ibu menasihati anaknya yang gay, "Udahlah nak, tobat lu jadi gay. Ngapain suka ke sesama jenis. Jangan kek Umat Nabi Luth! Itu perbuatan yang sangat keji dan menjijikkan!"
Apakah kemudian si ibu bisa dilaporkan anaknya, karena dianggap menyerang dan merendahkan hasrat seksualnya? Jawabannya, tentu saja bisa!
Kontroversi kedua. Ada diksi secara paksa, bertentangan dengan kehendak, dan tidak mampu memberikan persetujuan. Kesemua ini sangat multi tafsir. Kenapa? Jika logikanya dibalik, apakah perbuatan seksual yang dilakukan secara tidak paksa, tidak bertentangan dengan kehendak, dan mampu memberikan persetujuan, adalah kejahatan? Tentu saja tidak, jika RUU ini menjadi acuan. So, definisi ini sangat berbahaya. Anak-anak muda kita bisa aja akan menganggap kalo mereka sama-sama setuju alias consensual sex, berhubungan badan sah-sah saja menurut negara. Apalagi, jika consensual sex yang dilakukan terjadi dalam hubungan sesama jenis. Hal ini sangat berbahaya dan meresahkan bagi kaum konservatif.
Jangankan mau skidipapap-wadidaw, pacaran saja diharamkan menurut kaum konservatif. Ehehe.
Masih ada lagi? Ada dong!
Di pasal 11 ayat (1) poin g, disebutkan bahwa kekerasan seksual terdiri dari pemaksaan pelacuran. Sekilas memang poin ini nampak baik. Namun, coba logikanya dibalik. Jika pelacuran dilakukan tanpa paksaan, dilakukan secara sukarela, apakah itu dibenarkan menurut negara inil? Tentunya hal ini menjadi se-fruit polemik baru di tengah-tengah kita. Alamak!
Jadi, apabila RUU P-KS disahkan. Akan sangat berbahaya bagi moral bangsa. RUU ini tidak sesuai dengan agama, norma dan adat. Itulah sebab kaum konservatif Islam sangat menolak RUU ini. Mereka tidak mau moral bangsa ini rusak.
Namun, kenapa ada pula yang mendukung RUU ini? Kalo gue boleh jujur, RUU ini pasal-pasalnya emang sangat bagus. Para korbal kejahatan seksual bisa jadi lebih mendapat keadilan daripada undang-undang yang lama. Satu lagi, para korban menjadi lebih terlindungi apabila RUU ini disahkan.
Solusinya gimana? Menurut gue, fraksi-fraksi di DPR harusnya lakukan rapat lagi. Rembug dengan kepala dingin, jangan saling tuding. Lo mau jadiin negara ini liberal, yaa! Atau Heyy, mentang-mentang agama lo mayoritas, negara ini bukan berarti cuma milik umat lo doang, ada banyak agama!
Saran gue, revisi beberapa pasal yang dianggap kontroversial, agar bisa diterima semua pihak. Jadikan norma agama dan budaya ketimuran sebagai landasan. Jangan norma-norma barat yang cenderung liberal.
Dan ending-nya, kejahatan seksual di negeri ini bisa menjadi lebih minim.
***
Kembali ngomongin kaum “open-minded”. Mereka emang sering berulah dan bikin statement “out of the box” di media sosial. Pendapat mereka bukan jadi bahan perdebatan atau diskusi, malah dijadikan bahan meme. Gue juga mencoba membuat meme, merupakan parodi dari meme yang telah ada.
Semoga terhibur!