A’udzubillahi minasy syaythaanir rajiim.
Bismillahir rahmaanir rahiim.
Alhamdulillahir rabbil ‘alamiin.
Hamdan syakirin.
Hamdan, eeehm, eehm, eehm...
Untaian kalimat di atas adalah penggalan doa yang aku bacakan ketika dalam acara Khatam Al-Quran.
Untuk kamu yang belum tahu, Khatam Al-Quran adalah peristiwa ketika kita telah menamatkan dalam pembacaan Al-Quran 30 juz. Namun, kata guruku, adalah tidak tepat ketika kita menggunakan istilah “tamat” dalam baca Al-Quran. Kenapa? Kalau “tamat”, berarti sudah selesai. Tidak akan dibaca lagi setelah tamat. Maka, digunakanlah istilah “khatam”, berarti ketika selesai dibaca 30 juz, A-Quran kembali dibaca dari awal juz pertama.
Sekolahku mewajibkan para siswanya untuk selalu membaca Al-Quran di pagi hari, lima belas menit sebelum masuk. Pukul 06.45 hingga pukul 07.00. Jadi, setiap siswa di kelas akan membaca Al-Quran bersama-sama. Kalau kamu datang ke sekolahku di jam segitu, pasti di tiap-tiap kelas terdengar gaungan para siswa membaca Al-Quran.
Dengan begitu, normalnya para siswa di suatu kelas akan bisa khatam satu kali dalam setahun, alias tiga kali dalam masa sekolahnya. Qodarullah, karena kelas kami paling kece di antara kelas lain. Kami bisa mengkhatamkannya empat kali, melebihi ekspetasi guru-guru di sekolah. Berbangga dikit boleh lah yaa! WQWKQK.
Biasanya, ketika hendak Khataman setiap kelas akan mengadakan semacam Syukuran di Mushallah sekolah. Kami akan membaca beberapa surat di akhir juz 30, kemudian dzikir dan doa bersama. Tak lupa, kegiatan ini juga diikuti oleh guru agama, wali kelas, dan beberapa guru lain. Kemudian akan ada kata sambutan dan wejangan dari mereka agar kami terus membaca Al-Quran walaupun sudah tamat dari sekolah.
(Benar kan “tamat”, bukan “khatam”. Yakali selesai kelas tiga, aku harus mengulang ke kelas satu lagi, wkwk)
Oh yaa, satu lagi. Ini bisa menjadi “ladang bisnis” bagi anak Rohis. Kenapa? Karena acara ini pasti mengajak anak Rohis untuk memimpin acara itu. Dan sudah barang tentu, acara ini akan ada snack berupa kue-kue dan makan siang dalam bentuk nasi kotak. Anak Rohis sangat senang jika ada Khataman. Lumayan, bisa dapat kue dan makan siang gratis, hehehe.
Dan tahukah kamu, salah satu anak Rohis yang memanfaatkan “ladang bisnis” itu adalah.. Aku. Hal ini sangat menarik karena aku dapat menghemat uang jajan dan bisa makan enak.
Dari puluhan kali menjadi panitia Khataman, ini adalah salah satu kisah yang tak terlupakan. Kisah ini terjadi ketika aku duduk di kelas sebelas, semasa sekolah menengah atas, tujuh tahun lalu. Aku menjadi panitia untuk Khataman kelas IPS. Saat itu, aku tidak memikirkan nasi ayam panggang spesial yang akan diterima. Melainkan, aku memikirkan spesial yang lain yang ada di kelas sebelah. Si doi adalah murid kelas sebelah. Ini yang aku maksud spesial. *ups
Ketika menjadi panitia Khataman, aku biasa mengisi posisi sebagai pembaca Al-Quran. Satu kali pun, aku tidak mau mengisi posisi lain seperti pembaca doa atau pemimpin dzikir bersama. Sebab, sehari-hari aku tidak terbiasa melakukanya. Adalah wajar karena cara aku beribadah lebih condong dengan Muhammadiyah, tidak condong ke cara NU. You know lah, dzikir dan doa bersama adalah kebiasaan orang-orang NU.
“Doo, nanti aku saja ya yang baca Al-Quran. Kamu baca doa aja!” Tiba-tiba temanku bilang ketika kami sudah di Mushallah.
“Eh, jangan. Aku aja baca Al-Quran, seperti biasa. Kamu yang baca doa atau pimpin dzikir saja!” Aku menolak ajakan temanku.
“Waah, jangan Doo. Aku belum hafal kalo disuruh pimpin doa. Kamu kan sudah hafal, kamu saja!” Temanku tetap berusaha memintaku untuk menjadi pembaca doa.
“Iya, aku emang udah hafal. Tapi belum pernah pengalaman, aku tidak berani, nanti salah.” Aku masih menyanggah.
“Udahlah, kamu aja Doo. Kamu sudah hafal, aku belum. Fiks, posisi kamu lebih kuat dariku untuk baca doa!”
Aku pasrah. Perdebatan ini dimenangkan oleh temanku. Niat untuk tampil baca Al-Quran, agar dikira keren di depan si doi gagal seketika. Aku harap-harap cemas. Takut-takut salah dalam membaca doa yang sudah aku hafalkan sejak dua pekan lalu.
Akhirnya, pembacaan Al-Quran dan dzikir bersama usai. Kini tiba saatnya untuk pembacaan doa. Microphone telah diserahkan kepadaku. Dengan sedikit gugup aku memulai doa itu. Hingga baru beberapa kalimat, suaraku tercekat. Ehm, ehm, ehm...
Aku menoleh kepada guru agama yang duduk takzim tak jauh dariku. Kontak mata terjadi di antara kami. Belio seolah faham kalau aku sedang butuh bantuan.
“Hamdan na’imin” Kata guruku, melanjutkan kalimat doaku yang terputus.
Aku ulangi kata-kata Pak Guru, “Hamdan na’imin, hamdan ehm, ehm, ehm...” Aku masih lupa apa kelanjutannya.
Aku kembali menoleh ke Pak Guru, beliau memberikan kode apa yang harus aku baca selanjutnya. Namun, aku tidak mengerti gerakan komat-kamit mulutnya. Setelah satu Mushallah hening selama sepuluh detik, aku putuskan untuk langsung menutup doa itu dengan doa sapu jagat alias doa keselamatan dunia dan akhirat.
“Rabbanaa aatina fid dunya hasanah, wa fil akhirati hasanah, wa qiina ‘adzaban naar. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin.” Doa yang harusnya lima menit, aku pangkas menjadi satu menit saja. Sungguh menakjubkan, bukan!
“Dengan berakhirnya doa, berakhir pula acara kita hari ini. Saya selaku pembawa acara...” Pembawa acara Khataman hendak menutup acara itu, namun dicegat oleh Pak Guru Agama.
“Nanti dulu, jangan ditutup. Pak mau ngomong sebentar, sini pinjam microphone-nya!” Kata beliau, aku sudah cemas mendengar itu.
“Kamu siswa kelas mana?”
“Saya anak IPA-1, pak.” Aku menjawab dengan sopan, aku heran dengan Pak Guru, padahal beliau kenal denganku. Kenapa malah bertanya seperti itu.
“Kan kalian anak Rohis sudah biasa memimpin doa seperti ini. Kenapa kamu tidak hafal?” Guruku mencecarku, di depan murid-murid yang menjadi peserta Khataman. Ditambah lagi, Pak Guru memarahiku di depan si doi. Hancur sudah reputasiku selama ini.
“Saya sudah hafal, Pak. Tapi kan biasanya saya baca Al-Quran, bukan baca doa. Ini adalah kali pertama saya membaca doa. Saya tadi agak gugup, Pak!” Aku masih membela diri.
“Anak-anak dan bapak ibu guru sekalian. Inilah contoh murid yang kurang ajar. Saya tahu, dia ini ketika ada kajian taklim di sekolah, bukannya memerhatikan isi kajian. Malahan sibuk main hape. Dikasih tugas hafalan, tidak dikerjakan. Anak-anakku sekalian, jangan kalian tiru murid seperti ini!” Pak Guru seolah membuka aibku di depan teman-teman yang lain.
Aku betul-betul kesal dan malu saat itu. Coba kamu bayangkan, gimana rasanya dipermalukan di depan umum seperti itu. Karena aku murid yang baik, aku diam saja. Aku masih memandang beliau sebagai guru, aku takut kualat. Kalau tidak, bisa saja orang itu aku labrak balik.
Akhirnya, acara Khataman itu benar-benar selesai. Seluruh siswa telah keluar dari Mushallah, kecuali Pak Guru, aku dan beberapa teman anggota Rohis lain. Kami masih harus merapikan Mushallah yang baru saja selesai dipakai. Teman-temanku mengambalikan Al-Quran ke rak-rak buku. Aku dan Pak Guru masih duduk diam saja.
“Doo, kenapa kamu tadi tidak hafal? Sudahlah, tidak usah bohong. Pak tahu!” Pak Guru memecah keheningan.
“Dasar guru kampret, tadi di depan teman-teman pura-pura tidak kenal. Dasar guru tua bangka, niat sekali mau mempermalukanku!” Aku hanya bergumam di dalam hati. Tidak mungkin kata-kata sumpah serapah seperti ini aku keluarkan.
“Eh, iya Pak. Maafkan saya.” Wajahku tertunduk, pura-pura malu.
“Bapak mau menyampaikan pikiran, bisa benar bisa salah. Kamu tadi gugup karena salah satu murid yang duduk di sana, katanya sedang dekat denganmu. Betul kan? Pak tahu, intel bapak berkeliaran dimana-mana. Haha.”
Aku langsung terkejut, tau darimana Pak Guru akan hal itu. Aku masih diam saja.
“Sudahlah, masalah seperti itu tidak usah kamu pikirkan. Buang jauh-jauh perempuan itu dalam hati dan pikiranmu. Apalagi kini, kamu pengen tampil di depan agar dilihat perempuan itu. Harapanmu setelah acara ini pasti agar dikira keren oleh perempuan itu. Nyatanya, kamu malah dipermalukan oleh dirimu sendiri. Niatmu sudah salah dari awal, Doo!” Pak Guru menasihatiku dengan bijak, aku masih menyimak dengan seksama.
“Kalau kamu ingat, kajian di awal semester yang Pak sampaikan kepada kalian. Hadits nomor pertama dari Kitab Hadits Arba’in, karya Imam Nawawi. Kenapa hadits ini diletakkan pertama, karena saking penting kandungan isinya. Diriwayatkan dari Amirul Mukminin, Umar bin Khaththab. Sesungguhnya, setiap perbuatan tergantung kepada niatnya. Dan sesungguhnya, setiap orang akan dibalas dari apa yang menjadi niatnya. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijjrahnya adalah karena Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena harta dunia, atau karena wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya akan bernilai sebagaimana yang diniatkannya.” Beliau melanjutkan dengan penjelasan suatu hadits.
“Astaghfirullah..” Aku bergumam dalam hati.
“Nih, Doo. Dengerin. Nabi sudah dari 14 abad yang lalu menyinggung akan hal ini. Niat hijrah jangan karena wanita, luruskan niatmu. Berbuat baiklah untuk mengharap ridha Allah saja. Kalo yang kamu harapkan adalah wanita, yaa belum tentu dapet. Pak ulang sekali lagi, kalo kamu mengharap ridha Allah, yang lain sudah pasti aman. Sudah ya, Doo. Pak mau masuk ke kelas dulu, lima menit lagi ada jadwal ngajar ke kelas IPA-2.”
“Baik, pak. Terima kasih atas wejangannya.”
***
Selepas kejadian itu, aku mulai melupakan si doi. Aku mulai fokus belajar dan terus berbuat baik dengan mengharap ridha Allah saja.
Kami memilih jalur hidup masing-masing. Info yang aku dapat, doi merantau ke Pulau Kalimantan, diterima di Fakultas Kedokteran di salah satu universitas negeri yang ada di Pontianak. Sedangkan aku, memilih kampus yang dekat. Simpelnya, kami lost contact.
Singkat cerita, selepas kuliah aku telah diterima bekerja di Kota Pontianak. Saat itu, aku sedang duduk santai bersama beberapa teman di salah satu coffee shop yang ada di kota itu.
Ketika tengah asyik berbincang, seseorang yang tidak asing bagiku masuk. Orang itu adalah si doi.
“Hey, apa kabar? Waah tidak menyangka kita bertemu di sini ya. Sudah lama tidak berjumpa.” Aku mulai menyapanya.
“Eh, iya Doo. Sudah lama sekali ya. Kamu ternyata merantau ke kota ini juga, ya?” Kata si doi.
“Iyaa, baru bulan lalu diterima di pabrik yang ada di sini. Kamu sendirian aja nih ke sini? Kebetulan sekali yah bisa bertemu setelah sekian lama. Jangan-jangan semesta bekerja, ehehe.”
“Tidak, Doo. Aku ke sini bersama suami. Baru dua pekan lalu kami menikah, kenalin Doo. Ini suamiku. Bang, sinii cepetan!” Suaminya bertubuh tinggi besar, bergegas turun dari mobilnya.
“Kenalin bang, ini Dodoo. Teman satu SMA dulu, ini looh. Ketua Rohis yang semalam aku ceritain. Semesta beneran bekerja yaa, baru aja semalem kita omongin. Eh hari ini malahan ketemu di sini.” Kata si doi kepada suaminya. Aku melongo mendengar perkataan itu.
“Waah, senang sekali bisa berjumpa di sini. Salam kenal ya mas Dodoo. Jadi gimana, udah hafal kah doa Khataman-nya? Hehhe.” Aku kembali melongo.
Tujuh tahun telah berlalu, wejangan dari Pak Guru masih terngiang hingga hari ini. Ucapan belio terbukti. Wanita yang aku harapkan, benar-benar tidak aku dapatkan.
Sudahlah, yang paling benar memang hanya mengharap ridha Allah saja, jangan mengharapkan yang lain. Nanti bakal kecewa!
Cerita ini hanya fiksi! :)