Pertanyaan ini terlontar dari si dia dalam obrolan kami dua malam lalu melalui sambungan telepon. Aku tidak ingat pasti, sejak kapan kebiasaan ini muncul. Mungkin sekira dua atau tiga tahun lalu, kami mulai rutin melakukan panggilan telepon sepekan sekali, setiap Rabu malam.
Aku pertama kali mengenalnya ketika menjadi mahasiswa baru. Saat itu, aku mendapat undangan untuk menghadiri suatu acara organisasi di kampus. Aku baru mendaftarkan diri di organisasi tersebut, dan diharuskan menghadiri pertemuan pertama, semacam acara perkenalan untuk para anggota baru.
Aku ingat betul, itu hari Jumat. Seusai melaksanakan shalat Jumat di Masjid kampus, aku langsung menuju aula di Fakultas Hukum.
Ketika sedang berjalan kaki sendirian ke sana, tiba-tiba ada yang menyapa,
"Do, kamu mau ke aula Fakultas Hukum, kan? Aku juga mau ke sana. Bareng aja jalannya!"
Aku yang seorang introvert cukup terkejut disapa sedemikian rupa seperti itu. Pertama, aku tidak mengenal siapa perempuan berhijab di depanku. Kenapa dia tiba-tiba menyapa, dan kenapa dia tahu namaku. Aku saat itu hanya terdiam selama empat detik.
Karena aku menjadi patung selama beberapa saat, perempuan itu kembali berceloteh,
"Hey, kenapa diam saja. Ayo sambil jalan. Ntar kita keburu telat. Oh ya, kamu pulang naik bus ke **** kan? Kita sering satu bus, loh. Aku sering lihat kamu."
*hening*
Heyyy... Aku masih bertanya-tanya. Siapa orang yang kini berada di sebelahku.
Apakah dia intel yang menyamar? Apakah aku ternyata seorang buronan yang dimata-matai oleh negara? Aku rasa tidak mungkin.
Apakah dia intel yang menyamar? Apakah aku ternyata seorang buronan yang dimata-matai oleh negara? Aku rasa tidak mungkin.
Aku masih diam saja, kami berjalan beriringan menuju lokasi acara.
Begitulah kisah pertama kali kami bertemu.
Belakangan, setelah kami akrab. Aku akhirnya dapat menguak informasi lebih banyak. Aku dan dia berasal dari SMA yang berbeda. Aku dari SMA Negeri X, dan dia dari SMA Negeri Y. Namun, semesta sering mempertemukan kami dalam berbagai acara yang diadakan antar sekolah. Mulai dari forum silaturahmi OSIS, forum silaturahmi Rohis, lomba karya tulis ilmiah, lomba majalah dinding (mading), hingga lomba nasyid. Jelek-jelek gini, aku adalah anggota nasyid ketika sekolah dulu. Ehehehe...
Satu lagi fakta menarik. Kami mengaji di tempat yang sama.
Setiap akhir pekan, di hari Ahad sore. Aku dan teman-teman selalu datang ke rumah Pak Ahmad. Beliau adalah seorang ustadz, juga seorang pebisnis. Ketika mengaji di rumahnya, selalu ada banyak makanan yang melimpah. Istri Pak Ahmad, sebut saja Bu Ahmad, selalu menyuguhkan makanan dan minuman kepada kami. Makannya sangat enak.
Terkadang aku minta dibungkus untuk dibawa pulang, wkwk.
Dan, yang namanya seorang ustadz, pasti istrinya juga seorang ustadzah yang tentu memiliki murid juga. Salah satu murid dari Bu Ahmad adalah... si dia.
Semesta kembali bekerja.
Baca juga dong ;
- Terpaksa (tidak) Merokok
- Pernikahan Impiannya Orang Ansos
- Pembatasan Sosial, Aku dan Kamu. Sebuah Auto Kritik?
Selepas pertemuan di aula Fakultas Hukum, sudah barang tentu kami menjadi sering bertemu. Aku dan dia menjadi anggota di divisi yang sama dalam organisasi tersebut. Hingga kemudian, aku menjadi ketua pelaksana dalam suatu acara, dan dia yang menjadi sekretaris. Di organisasi ini, sebutan ketua disebut Mas`ul, sedangkan sekretaris terkadang merangkap juga sebagai bendahara, yang pasti tugasnya diemban oleh perempuan. Jabatan ini disebut Korwat; Kordinator Akhwat.
Kamu pasti tahu, organisasi apa yang aku ikuti.
Well, sejak saat itu, seiring waktu berjalan, kami mulai menjadi lebih dekat. Entahlah, setan apa yang merasukiku.
Karena posisiku sebagai Mas`ul, maka sah-sah saja bagiku untuk mengirim chat kepada Korwat. Padahal, di organisasi yang kami ikuti. Adalah tabu seorang ikhwan (laki-laki) mengirim chat kepada anggota akhwat (perempuan). Bahkan, banyak dari kami yang tidak saling kenal.
Aku pernah bercerita di sini.
Awalnya hanya bertanya ringan.
"Gimana, proposal sudah kelar atau belum?"
"Uang dari Fakultas sudah bisa dicairkan, kah?"
Namun, aku kebablasan sampai acara selesai. Kepanitiaan telah dibubarkan.
"Eh, cicak kok kakinya empat ya?"
"Gajah kok punya belalai?"
Ada hal yang membuatku tertarik pada dia. Suatu saat, kami sedang melakukan outbond. Semua teman perempuanku; para akhwat kompak menggunakan celana panjang training. Satu orang yang tidak mau mengenakan itu, orang itu adalah dia. Bukan celana panjang training yang digunakan, melainkan rok.
Oh yaa, satu lagi. Karena kegiatan outbond adalah berlumpur-lumpuran, mereka juga melepas kaus kaki. Lha, si dia tidak mau melepas kaus kaki. Katanya, suatu hari ketika aku tanya, dia melakukan itu agar auratnya tidak terlihat oleh lawan jenis.
Akhwat satu ini benar-benar menjaga dirinya.
Entahlah. Semakin hari kami menjadi semakin dekat.
Beberapa teman mengetahui 'hubungan terlarang' kami. Banyak yang menasihati agar aku mengurangi interaksi dengan lawan jenis. aku jawab dengan, "Iri bilang, bos!"
Beberapa yang lain malah bergunjing dari belakang. Ada yang menuduh aku telah mengguna-guna si dia dengan pelet. Padahal, tidak mungkin aku melakukan itu. Aku tahu itu perbuatan syirik.
Kecuali, pakai pelet ikan, tak masalah kali, yaa! Wkwkwkw.
Beberapa teman mengetahui 'hubungan terlarang' kami. Banyak yang menasihati agar aku mengurangi interaksi dengan lawan jenis. aku jawab dengan, "Iri bilang, bos!"
Beberapa yang lain malah bergunjing dari belakang. Ada yang menuduh aku telah mengguna-guna si dia dengan pelet. Padahal, tidak mungkin aku melakukan itu. Aku tahu itu perbuatan syirik.
Kecuali, pakai pelet ikan, tak masalah kali, yaa! Wkwkwkw.