Kangg Mas Joe

Blognya Dodo. Tidak semua yang diposting adalah nyata, banyak pencitraan dan fiksinya.

Baru tadi sore, aku membuka Facebook di ponsel kesayanganku. Aku mendapati notifikasi dari sebuah postingan bapakku. Seseorang berkomentar beberapa menit yang lalu, “Waah selamat yaa anaknya diwisuda!”

Aku kemudian meng-klik notif itu. Postingan tersebut sangat ramai oleh ucapan selamat, hampir seratus dua puluh jumlah komentarnya. Semakin scroll ke atas, semakin aku sadar. Postingan itu sudah sejak delapan bulan lalu, Yaa, artinya aku menjadi pengangguran sudah selama itu.

Dua hari yang lalu, aku diajak oleh seorang teman untuk mengunjungi sebuah coffee shop yang baru saja buka. Sebagai traktiran atas gaji pertama, katanya ketika mengajakku. Aku mengiyakan. Sejujurnya, aku cukup senang mendengar hal ini. Temanku akhirnya mendapat pekerjaan yang telah dia idam-idamkan sejak kecil. Aku telah mengenalnya sejak masih menjadi bocah ingusan. Kami bersekolah di SD hingga SMA yang sama.

Di sisi lain, aku juga masih merasakan getir. Ada suatu ruang hampa yang bergetar. Walaupun sekolah kami sama, nasib kami berbeda. Hampir sembilan puluh lamaran (saat tulisan ini terbit, sudah seratus sepuluh jumlahnya) telah aku apply kemana-mana. Perusahaan milik negara sampai milik swasta. Dari Aceh, kotanya Cut Nyak Dhien hingga Makassar, kerajaannya Sultan Hasanuddin. Hasilnya beragam, ada yang gagal di tahap tes tertulis, ada yang di psikotes, namun lebih banyak yang tiada ber-khabar. Pandemi Covid-19 benar-benar melumpuhkan roda perekonomian. Jangankan orang mau cari kerja, yang ada pekerjaan saja banyak yang di-PHK. 

Apa yang kami obrolkan di coffee shop itu? Tentunya beragam. Mulai dari perkembangan ekonomi dunia, konspirasi elite global, hingga geo-politik di Timur Tengah. Dan pada akhirnya, tiba pada bahasan favorit kita semua. Ghibah. Apalagi tetangga sendiri yang jadi obyeknya. Pasti seru! Hehehe.

Apa itu ghibah? Simpelnya, bisa diartikan sebagai kegiatan nyinyir alias membicarakan keburukan orang lain dari belakang. Hal yang diperbincangkan berupa fakta, memang benar-benar terjadi.

Namun, apabila perbincangannya bukanlah suatu fakta, tidak benar-benar terjadi, kabar bohong alias hoax maka jatuhnya bukanlah ghibah, melainkan fitnah. Maju kena, mundur kena. Sama-sama dosa!

Kemudian, level advanced dari nyinyir adalah namimah. Didefinisikan sebagai membicarakan keburukan orang di depan orangnya langsung. Kadang juga, namimah disebut sebagai adu domba. Sungguh mulia sekali perbuatan ini!
Aku masih sangat hafal definisi dan perbedaan antara ghibah, fitnah dan namimah. Materi ini aku dapatkan ketika pelajaran Pendidikan Agama Islam di SMA kelas sebelas. Hehehe.

Well, berdasarkan definisi yang telah aku paparkan di atas, aku sebenarnya ragu untuk menuliskan cerita ini. Awalnya yang hanya per-ghibah-an antara dua orang, kini menjadi ratusan hingga ribuan orang. Sebab, tulisan ini tersebar di internet dan dapat diakses oleh siapa saja. Haha.
Namun, karena sudah terlanjur. Yaa udah, silahkan menikmati materi pergunjingan duniawi ini! Awkwokwk.

***

So, apa kesibukanku saat ini setelah wisuda? Jawabannya simpel, mencari kesibukan. #Ehh
Selain itu, aku juga membantu ibu berjualan. Kami punya warung kecil di rumah. Menjual berbagai kebutuhan pokok seperti minyak goreng, mie instan, gula, gandum, garam, ciki, permen, pulsa, micin hingga rokok. Aku adalah penjual rokok yang tidak merokok. Aku peduli kepada kesehatan diri sendiri, tapi tidak peduli kepada kesehatan orang lain. Heee~

Saat itu, ada seorang tetangga yang hendak membeli rokok.
“Doo!” Katanya.
“Iya!” Kataku.
“Mau beli nih.”Katanya lagi.
“Beli apa?” Kataku lagi.
“Beli rokok.” Kata orang itu.
“Rokok apa?” Aku mulai kesal.
“Rokok Sam*su.” Orang itu menjawab.
“Berapa batang?” Aku bertanya lagi.
“Dua batang saja.” Dia menjawab pertanyaanku.

“KENAPA KAU TIDAK DARI AWAL LANGSUNG BILANG SAJA, MAU BELI ROKOK SAM*SU DUA BATANG! AKU TIDAK CAPEK BERTANYA TERUS. WOYY!” Aku bergumam kesal dalam hati.

Orang itu kemudian meminjam korek untuk menyalakan rokoknya. Menghisapnya dalam-dalam, sampai ke paru-paru. Setelah itu menghembuskan asapnya ke wajahku. Memang ga ada akhlak.
“Jadi kamu sudah kerja di mana, Doo?” Dia bertanya sambil menghisap rokok.
“Masih mencari, om.” Kataku sambil tersenyum.

“Kalau anakku, si Bejo, kini sudah jadi PNS. Dia jadi guru di salah satu SMA unggulan yang ada di kabupaten sebelah. Nasibnya baik sekali, wisudanya dapat summa-cum-laude. Habis wisuda langsung ngajar di bimbel. Tidak lama setelah itu, ada pendaftaran PNS dan langsung diterima. Tidak ada jadi pengangguran dia. Katanya pun, tidak lama lagi bakal diangkat jadi wakil kepala sekolah.” Orang itu mulai menyombongkan anaknya.

“Padahal, dulu dia pengen jadi polisi. Tapi aku larang, aku suruh kuliah saja jadi guru. Guru itu nasibnya terjamin. Terbukti kan hasilnya sekarang. Coba kamu kuliahnya jadi guru saja, Doo. Tidak usah kuliah di Fakultas Teknik. Pabrik mana yang sekarang mau terima sarjana teknik, sedang pandemi seperti ini. Masa depan tidak cerah. Sudahlah, pokoknya jadi guru saja.” Orang itu kembali meracau tidak jelas.

“Iya, om.” Aku menjawab sekenanya saja, demi menjaga sopan santun. Heyy, apa hak Anda melarang-larang saya berkuliah di Fakultas Teknik dan menyuruh saya menjadi guru. Kenapa Anda mengatur-ngatur hidup saya! Wqwkqk.

Apakah hanya satu tetangga yang kurang ajar seperti itu? Tidak, masih ada lagi.
Ceritanya masih sama, terjadi di warung. Seorang bapak-bapak hendak membeli pulsa. Setelah pulsanya masuk, dia malah mengajakku ngobrol, “Kamu sudah kerja, Doo?”

“Belum, om. Hehe.” Lagi-lagi, aku menjawab sambil tersenyum.

“Waaah. Kalau anakku, kemarin tamat SMA langsung bekerja jadi teknisi di tempat pemasangan CCTV. Kini dia telah sangat ahli. Jadi, kalo ada kerusakan, boss-nya pasti langsung memanggilnya. Lumayanlah, dapat banyak bonus. Satu bulan bisa sampai sembilan juta rupiah. Sekarang dia mau daftar kuliah, jadi sambil kerja sambil kuliah.” Orang ini juga membanggakan anaknya di depanku.

“Iya, om.” Aku hanya menjawab seperti itu. Dia terus nge-bacot tanpa jemu.

Belasan menit kemudian, orang tua itu akhirnya berhenti meracau ketika ada orang lain yang mau belanja di warungku.
“Sudah dulu yaa, Doo.”
“Iya, hati-hati di jalan om!” Aku tetap terlihat ramah pada pelanggan dengan rupa seperti apapun. 

***

Adakah pelajaran yang dapat diambil dari cerita ini? Menurutku, ada dua hikmah dari masing-masing persepsi.

Pertama, dari sisi pembeli di warung alias dari sisi orang yang telah mendapat sesuatu yang diinginkan. Mungkin, kamu boleh bangga, boleh senang hati atas apa yang telah didapatkan. Siapa dong orang tua yang tidak senang terhadap anaknya yang telah mendapat pekerjaan dengan gaji lumayan. Orang tua mana pula yang tidak bangga ketika anaknya menjadi PNS. Pasti orang tua sangat senang dan bangga akan hal itu. Namun, harus diperhatikan tempatnya.

Apabila orang yang menjadi lawan bicara malah menjadi sedih atau kesal atau malah iri hati dengan isi pembicaraanmu, baiknya tidak usah berbicara. Jangan membicarakan anakmu yang telah mendapat pekerjaan, kepada orang yang belum mendapat pekerjaan. Jangan membicarakan tentang penatnya dunia perkuliahan, kepada orang yang tidak kuliah. Jangan membicarakan keuntungan bisnismu yang sedang melimpah ruah, kepada orang yang bisnisnya baru saja hancur berantakan. Jangan bicara tentang lelahnya kaki yang dipakai untuk berjalan dan berlari, kepada orang yang tidak punya kaki. Jangan! Kehadiran dirimu malah menjadi masalah baru.

Pelajaran kedua, dari sisi aku si penjual di warung alias dari sisi orang yang belum mendapat sesuatu yang diinginkan. Baiknya, kita tidak usah terlalu ambil pusing terhadap perkataan orang. Anggap saja angin kentut yang telah berlalu. Tidak usah baper. Kita harus tetap selalu mensyukuri apa-apa yang telah kita dapatkan.

Kita bisa bersekolah, bisa berkuliah di perguruan tinggi, atau bisa hidup di dunia. Adalah perkara-perkara yang harus benar-benar disyukuri. Ada berapa banyak anak-anak yang tidak ada biaya untuk bersekolah. Berapa banyak pula yang tamat SMA, namun tidak lulus tes masuk perguruan tinggi negeri. Berapa banyak yang mau kuliah di swasta, namun terhalang biaya. Banyak sekali kalau dipikir-pikir.

Ingatlah, rezeki tiap-tiap orang berbeda-beda bentuknya, berbeda-beda waktunya. Semuanya ada di tangan-Nya. Kalau kata pepatah, setiap masa ada orangnya, setiap orang ada masanya. Tidak usah risau, apabila memang rezeki kita, sudah pasti rezeki kita. Tidak akan lari. Rezeki tidak akan tertukar.

Oh yaa, terakhir. Toloong, kepada om pertama yang beli rokok dan om kedua yang beli pulsa kalau kau baca tulisan aku ini. Ingat, yaa!  Aku tidak peduli dengan anak kalian. Mau jadi PNS kek, mau jadi teknisi kek, bahkan mau jadi koruptor atau teroris pun. Aku tidak peduli!!
Keuntungan dari rokok dua batang, hanya lima ratus rupiah. Keuntungan pulsa juga tidak besar, hanya seribu rupiah. Untung lima ratus dan seribu rupiah, tidaklah sebanding dengan lelahnya aku mendengar bacotan tentang anak-anak kalian. Sekali lagi, Aku tidak peduli!

***


Jadi, apakah kisah dalam tulisan ini benar-benar terjadi, atau hanya sebuah kisah fiksi?
Aku malas untuk memberi informasi, silahkan nilai sendiri.
Yang terpenting, ada hikmah yang bisa digali. Hihiii..

Eniho, tulisan ini adalah tulisan yang diikutsertakan dalam Paid Guest Post #2-nya Mbak Eno - Creameno, dengan tema dua hal yang dipelajari dari 2020. Namun, saat itu aku belum berkesempatan menang, wkwokw.
Walopun belum menang, belio memberi kami, para peserta berupa hadiah kenang-kenanangan notebook cantiq. Lumayan, di sana aku bisa menulis ide-ide gila untuk tahun 2021. Oh yaa, permohonan maaf kalo fotonya tidak sebagus dengan teman blogger lain. Maklum, aku tidak pandai mengambil foto, ehehe.


Well, semoga tahun depan menjadi lebih baik. Dan post ini, adalah post terkahir di tahun 2020.
Sampai jumpa!



Ponselku baru saja bergetar. Sebuah chat dari aplikasi WhatsApp masuk, Doo, abang bisa telepon ndak? 
Bisa bang, lima menit lagi yaa. Aku membalasnya, pesan itu masuk di malam hari hampir pukul sembilan.

Beberapa menit kemudian,
"Kamu bisa desain kan, Doo? Instagram organisasi **** kamu yang buat desainnya, kan? Jadi, abang mau minta tolong. Bantuin abang di sini, cuma lima hari saja, pagi sampai malam. Tidak usah khawatir desain grafis berubah jadi desain gratis, ini ada bayarannya. Fee-nya seratus ribu rupiah per hari. Makan siang dan malam kami tanggung." kata seseorang di seberang telepon, dia meminta tolong agar aku membantunya di lembaga tempat dia bekerja sebagai desainer.

"Oh iyaa bang, aku yang buat desain di organisasi itu. Yaa gitu, tidak dibayar. Hehehe. Tapi bang, aku cuma bisa buat desain simpel pake PowerPoint doang. Dan satu lagi, aku kalo siang ada ngajar les sampe sore. Gimana, bang?" begitu kataku dalam sambungan telepon, menjelaskan keadaanku yang sebenarnya hanya bisa membuat desain yang simpel dan sederhana.

"Iyaa, ndak masalah. Besok datang saja ke kantor abang. Kalo mau ngajar, silahkan. Pergi saja, tapi setelah itu balik lagi ke kantor. Abang sekarang sedang sibuk, harus take video para pejabat. Jadi, tidak ada yang handle buat desain postingan medsos kami, dan juga desain banner."

"Baik bang kalau begitu."

Sebab aku adalah seorang fresh graduate, sarjana yang tengah mencari pekerjaan tetap. Mau-mau saja jika diajak seperti itu. Lumayan mengisi kekosongan waktu luang dan sedikit tambahan uang jajan.
So, keesokan hari, pagi-pagi sekali aku telah bersiap untuk datang ke kantor si abang. Aku tiba di sana sebelum jam delapan pagi.

"Laptopmu ada Corel Draw versi berapa, Doo?" kata si abang ketika aku sampai.

"Eh, aku tidak punya Corel Draw, bang. Lha, kemarin aku sudah bilang biasa buat desain pake PowerPoint." kataku.

"Jadi, kamu tidak bisa menggunakan Corel Draw?"

"Dulu sih bisa, sedikit. Pernah belajar dasar-dasarnya saja ketika SMA, bang."

"Hemm.. Ya udah, gini saja. Ini desain untuk spanduk yang memuat foto para pejabat. Sudah ada templatenya, kamu tinggal masukkin foto dan ganti nama plus gelarnya saja. Ada delapan belas spanduk untuk ketua tingkat kecamatan, sembilan untuk pengurus inti lembaga, dan lima untuk anggota dewan. Jadi total ada tiga puluh dua spanduk. Mudah kok. Tugasmu hari ini cuma itu saja. Bisa, kan?"

"Eeehmm.. Bisa, bang. Insyaa Allah!"

Kemudian, beliau mulai mencontohkan bagaimana cara membuat desainnya. Memotong gambar, menghilangkan background, menyimpan ke bentuk JPG dan resolusi yang dipilih. Aku memerhatikan dengan saksama.

"Ini laptop abang, pake aja buat nge-desainnya. Abang tinggal, yaa. Mau lanjut keliling lagi ke kantor walikota. Mau take video beliau untuk ucapan selamat acara Musda (Musyawarah Daerah) kita." belio meminjamkanku laptop, sebab sebelumnya laptopku dicoba untuk meng-install Corel Draw, namun gagal.

"Oke, bang!" kataku, kemudian bersiap meninggalkanku sendiri dalam ruangannya yang ber-AC.

"Ini untuk bayaran hari ini. Nanti, kalo kamu mau makan siang, langsung saja ke warung sebelah. Abang sudah bilang ke warung itu." beliau berkata seraya memberiku uang satu lembar seratus ribu rupiah.

Selanjutnya, aku mencoba untuk membuat desain perdana.
Pertama-tama, aku mencari letak fotonya, aku mencari-cari, disimpan di folder mana. Jadi, hampir seluruh folder di laptopnya aku periksa satu-satu, sampai-sampai aku mengetahui folder "rahasia" di laptopnya.

Kemudian, setelah fotonya ketemu. Foto pejabat tersebut di-insert ke aplikasi Corel Draw. Setelah itu, tugasku adalah menghilangkan background foto tersebut. Yang jadi masalah, aku lupa, tidak memahami dan tidak menemukan caranya untuk menghilangkan background. Aku coba klik ini dan klik itu, tidak berhasil. Dicoba tekan Shift atau Ctrl, masih gagal juga. Pusing pala berbi ~. Hahhaa.

Ahha!
Aku ingat cara cepatnya. Aku biasa menghilangkan background di internet, dengan bantuan aplikasi remove.bg. Masalah pertama selesai, background fotonya telah hilang. Hanya menyisakan wajah dan badannya, yang tinggal dimasukkan ke template spanduk yang ada.

Masalah selanjutnya adalah, aku bingung memindahkan tulisan nama si pejabat. Tulisan namanya tertutup oleh gambar yang baru saja aku masukkan. Seperti sebelumnya, aku mencari berbagai macam cara agar memindahkan tulisan nama ke atas. Namun tetap gagal. Jadi, aku menyerah.. :((

Maka, yang aku lakukan adalah mengulang seluruh proses tadi untuk delapan belas spanduk ketua tingkat kecamatan. Menghilangkan background dengan aplikasi internet, memasukkan fotonya ke template yang telah dibuat dan terkahir menuliskan nama beserta jabatannya, namun tulisan nama tersebut tertutup foto si pejabat. Semuanya aku buat seperti itu. Nanti, kalau si abang sudah kembali lagi ke kantor, akan aku tanyakan kembali bagaimana cara yang benar.

Langkah selanjutnya adalah, aku mencoba untuk menyimpan file dalam bentuk gambar (JPEG). Ketika aku tekan menu save, aku tidak menemukan format JPEG. Lagi-lagi kepalaku menjadi pusiing. Fix, aku menyerah! Si abang sudah salah memilih orang. Awokwokkok.

To make short story, setelah shalat Zhuhur dan makan siang, si abang telah kembali ke kantor. Dia memeriksa hasil pekerjaanku dan nampaknya sedikit kecewa dengan hasil desain yang telah aku buat.
"Nah, kan. Kalo menghapus background menggunakan internet, hasilnya tidak bagus. Kualitas gambarya tidak HD, gambarnya menjadi pecah dan buram ketika di-zoom. Nanti, kalau spanduknya dicetak, foto pejabatnya tidak akan bagus. Coba buat ulang seperti yang sudah aku ajarkan tadi." begitu komentar si abang terhadap hasil karyaku.

"Iya, bang. Tapi, aku masih tidak faham bagaimana caranya."

Kemudian, lagi-lagi beliau mengajariku dengan sabar, perlahan-lahan. Aku memerhatikan dengan fokus dan seksama. Beliau juga mengajariku bagaimana cara save gambar dalam bentuk JPEG dan segala perintilannya. Selanjutnya, aku mengaplikasikan apa yang baru saja aku fahami, mencoba membuat yang mudah dahulu. Dan sedikit demi sedikit, akhirnya berhasil.

Waktu telah menunjukkan pukul dua lewat sepuluh menit. Saatnya aku pamit dari kantor, menuju tempat les. Aku harus mengajar di sana, adik-adik emesh sudah menunggu.

***

Setelah sekian jam, pukul setengah enam sore aku kembali ke kantor. Menemui si abang. Aku kembali melanjutkan project desain tersebut.
"Doo, beberapa untuk ketua tingkat kecamatan sudah abang selesaikan. Kamu tinggal lanjutkan saja!"

"Oke, bang!" kataku.
Seperti biasa, aku mengerjakan hal yang mudah dahulu. Apabila ada hal yang sulit, akan aku tinggalkan. Aku bisa bertanya kepada beliau nanti. Aku terus menatap layar laptop hingga adzan Maghrib berkumandang.

Setelah shalat Maghrib usai, si abang mengajakku makan malam di cafe yang ada di sebelah kantor. Aku melanjutkan membuat desain di sana. Si abang kembali mengajariku dengan telaten dan sabar, namun seperti menahan-nahan sesuatu (menahan emosi kali yaak :v).
"Yang ini, klik di sini. Kemudian tekan shift, ditahan!"
"Mouse-nya sambil dimainin juga!"
"Tekan yang ini, bukan yang itu!"




Cara-cara membuat desain yang diajarkan beliau, telah aku fahami (walaupun sedikit). Aku melanjutkan pengeditan desain.
Skip, skip, skip. Si abang meninggalkanku lagi. Aku duduk sendirian di sudut cafe. Masih ada sepuluh spanduk lagi yang belum usai. Di tengah jalan, lagi-lagi aku stuck. Tidak ingat bagaimana langkah selanjutnya. Tekan shift gagal, tekan Ctrl tidak ada hasil, kalau tekan Delete, malah terhapus semua gambarnya. Hahaha!

Aku semakin frustasi. Maka, saat itu aku putuskan untuk pulang saja. Karena sudah pukul setengah sembilan malam, dan juga ibu sudah mengirim pesan, bertanya jam berapa mau pulang.
Aku kembali ke kantor dan meletakkan laptop si abang kembali ke ruangan. Aku telah mengirim pesan ke beliau, bahwa aku hendak pulang.

Singkat cerita, di pagi esok hari. Aku telah bersiap-siap. Aku berencana berangkat lebih pagi dari kemarin. Agar lebih banyak waktu yang tersedia untuk mengerjakan tugas dari si abang. Ketika hendak berangkat menyalakan motor, tiba-tba ada chat masuk.
Doo, desain semalam sudah abang selesaikan. Hari ini, nampaaknya tidak ada desain lagi yang harus dikerjakan.

Jadi, aku tidak harus datang lagi ke kantor, bang?

Iya, tidak usah. Tapi nanti kalo emang ada, akan dikabari.

Makasih yaa, bang atas kesempatannya kemarin. Mohon maaf kalau di luar ekspetasi.

Percakapan di aplikasi WhatsApp pagi itu ditutup. Aku tidak jadi berangkat ke kantor, padahal sudah siap. Wkwkwk.

Well, bisa jadi si abang telah tertypu dengan pencitraanku di Instagram dan WhatsApp. Aku kerap meng-upload hasil desainku di media sosial. Padahal itu desain sederhana, dengan aplikasi PowerPoint, yang telah aku bilang di awal tadi.
Pada awalnya, pasti si abang punya ekspetasi tinggi bahwa aku bisa membantu pekerjaannya. Dia bisa enjoy untuk take video para pejabat.
Nyatanya, malah beliau harus mengajariku dari dasar (sangat-sangat dasar, malah) mengenai desain Corel Draw ini. Lumayan sih, aku dapat uang, dapat ilmu pula. Hahaha.

***

By the way, sebelumnya aku meminta maaf kepada teman-teman. Aku belum sempat lagi membalas komentar dan berkunjung balik ke blog kalian. Akan aku guyuri, insyaa Allah. Pada riil lyfe aku saat ini, sedang ada sesuatu yang dikerjakan dan dikejar. Mohon doanya semua agar sesuatu itu lancar jaya.
Oh yaa, jika kamu mau lilhat pencitraanku di Instagram, seperti yang telah aku bilang, silahkan follow akunku @dodonugraha dan @kang_mas.joe yaa! Hihihi...

Terima kasih sudah membaca! :)


Kota Depok.
Hayoo, siapa yang tidak kenal dengan kota ini. Kota yang belum lama berdiri, hasil pemekaran dari Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Kota ini berbatasan langsung dengan Provinsi DKI Jakarta, ibukota Indonesia. Kota Depok dalam sejarah demokrasinya, sejak pertama kali diadakan Pilkada, selalu dimenangkan oleh "Partai Dakwah". Pun tahun ini, masih dimenangkan oleh partai yang sama. Ini sudah kali ke-empat rezim tersebut langgeng. Artinya, mereka otewe dua puluh tahun menjadi penguasa di Depok.

Saat ini, yang menjadi Walikota adalah Pak Kyai, tamatan pondok pesantren di Jawa Timur, kemudian S-1 hingga S-3 belio dapat dari Universitas Islam yang ada di Kerajaan Saudi, negerinya sang nabi. Kurang Islami apa lagi. So, partai tersebut benar-benar berkuasa dan (mungkin) ingin menyebarkan ideologinya.

Well, walopun Partai Dakwah berkuasa di Depok. Tidak kemudian seluruh lini terkena dakwah mereka. Bahkan, paham open minded liberalisme cukup subur di sini, hidup beriringan dengan paham Islami yang dibawa penguasa kota.

Siap-siap, cerita akan dimulai. Tentang kedua paham yang hidup beriringan. Setelah sebelumnya aku bercerita tentang Perempuan Open-Minded yang ada di Depok, kini aku mau cerita tentang temanku yang berasal dari Depok. Aku sudah mengenalnya sejak di bangku kuliah, sebab kami berada di jurusan yang sama. Sebut saja namanya Lia.

Bagaimana bentuk orangnya? Wajahnya berkulit sawo matang, namun tetap manis dipandang. Pandangan matanya selalu tertunduk, meneduhkan. Senyumnya manis dan bibirnya tipis. Lia menggunakan hijab yang cukup syar'i; lebar dan besar. Hijabnya terulur hingga menutup hampir seluruh tubuhnya. Pakaiannya benar-benar tertutup.

Ketika menjadi mahasiswi, Lia adalah ukhtivis; Ukhti-ukhti yang juga seorang aktivis. Aktif di berbagai organisasi mahasiswa. Menjadi sekretaris umum Rohis kampus, tahun selanjutnya menjadi Bendahara Umum di BEM. Juga aktif dalam berbagai forum pergerakan, kajian dan pemikiran. Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS), misalnya. Lia dan teman-temannya dengan lantang menolak RUU tersebut, dengan kajian dan data lengkap yang mereka beberkan. Aktivis dari gerakan sebelah dibuat tak berdaya olehnya.

Lia adalah sosok aktivis perempuan yang menjadi teladan. Menjadi role model bagi adik-adik tingkat di kampusnya. Dan sudah barang tentu, para anak Rohis yang berjanggut tipis banyak yang jatuh hati padanya. Tak terkecuali aku, wkowkoqk ~

Waktu terus berjalan, satu persatu dari kami mulai wisuda. Ada yang merantau, ada pula yang kembali ke kampung halaman. Lost contact tak dapat terelakkan. So, bagaimana dengan diriku?
Aku saat ini telah bekerja di perusahaan FMCG yang berkantor di bilangan Rasuna Said, Jakarta Selatan. Namun, aku tinggal di Depok, daerah Margonda. Banyak yang seperti itu, loh. Tinggal di Depok, tapi kerja di Jakarta.

Kini, aku punya kebiasaan baru. Hampir setiap malam selepas Maghrib, selalu mampir di salah satu cafe yang ada di Jalan Margonda Raya. Kalo kamu tinggal di Depok, pasti tau cafe apa yang aku maksud. Aku yang sebelumnya tidak suka kopi, kini menjadi ketagihan minum kopi. Melepas penat setelah bekerja.
Aku memilih tempat duduk favoritku, di sudut ruangan. Aku duduk dengan tenang, sendirian.

Kebiasaan ini terus berlanjut, hingga dua pekan berturut-turut. Sebelum ada sesuatu yang membuatku terkejut. Sebab, seorang perempuan dengan rok setinggi lutut, dan aroma parfumnya membuat aku bersungut-sungut.
"Doo, boleh aku duduk di sini?"

Oh Tuhan, darimana gadis ini mengetahui namaku. Bahkan, aku tidak mengenalnya (atau mungkin, tidak mengingatnya).
"Oh yaa, silahkan!" aku menjawab dengan memberikan senyum terbaik.

"Aku sudah beberapa hari ini memperhatikan kamu di cafe ini. Nampaknya, kamu tidak sadar akan adanya aku di sini. Sama sepertimu, bahkan setiap malam aku selalu ke cafe ini. Tidakkah kau sadar akan hal ini?" perempuan itu merocos saja, sekenanya.

Aku kemudian meneliti wajahnya dengan saksama. Pun juga dengan bentuk tubuhnya. Aku benar-benar tidak punya ide. Siapa orang yang ada di depanku. Seseorang yang rambutnya sebahu, berpakaian semi terbuka, you can see, lekuk tubuh cukup terlihat sebab pakainnya, dan memakai rok selutut. Setelah lima detik, aku baru sadar. Wajahnya tidak asing, namun aku tetap tidak mengenalnya.

"Doo, kenapa bengong? Kamu pangling yaa dengan aku. Aku tahu, kamu pasti bingung kan siapa aku. Coba tebak, siapa hayoo?" perempuan itu mulai sedikit menggodaku, sambil memainkan rambutnya yang dipelintir-pelintir.

"Jujur, aku lupa. Aku tidak mengingatmu. Tapi, wajahmu benar-benar tidak asing. Maafkan aku."

"Doo, ini aku. Lia!"

"HAAAH, LIA! BENERAN?" aku benar-benar terkejut. Drastis sekali perubahannya. Dari sebelumnya seorang ukhti berhijab syar'i dan gamis yang berpakaian sangat tertutup, kini pakainnya cukup terbuka, dengan rok hanya sampai lutut.

"Udah, ga usah sok terkejut. Biasa aja. Eh, tapi kalo pakaianku udah berubah gini, kita tetap masih bisa berteman kan, Doo?" pertanyaannya benar-benar membuat aku tersentak.

"Tentu saja, sejak kapan pertemanan memandang pakaian."

"Bagus, deh. Kemarin juga ada teman kita yang aku ajak ketemuan. Dia masih pake hijab syar'i. Ketika tau aku gini, eh aku malah dijauhin. Kontak WhatsApp pun di-block. Gila bener, coba, percuma aja pake hijab syar'i, tapi akhlaknya tidak syar'i." Lia tampak emosi.

"Huss.. Udah, ga boleh gitu. Biarin aja!"

Begitulah pertemuan pertamaku dengan Lia yang "baru". Lia sudah berubah drastis, namun aku juga tidak punya hak untuk menghakimi, tidak juga ingin bertanya kenapa hal itu terjadi. Lha, aku juga sama saja sepertinya. Sama-sama sedang otewe menuju jalan yang (dianggap) tidak baik.

Kembali ke cafe.
Setelah pertemuan itu, kami menjadi intens berkomunikasi dan bertemu di sana. Aneh ya kalo difikir. Ketika kuliah, di organisasi kami tidaklah lazim laki-laki dan perempuan intens berkomunikasi. Lha, hari ini, kami berdua duduk berhadap-hadapan di sini.
Apa saja, selalu muncul bahan obrolan yang layak untuk diperbincangkan. Kata orang, kami seperti orang yang berpacaran. Padahal bukan.

Kejutan lain muncul, saat itu di malam minggu. Lia tiba-tiba memohon maaf kepadaku, "Maaf nih Doo. Aku udah ga tahan. Toh kamu sudah tahu aku luar dalam gimana, jadi aku tidak canggung lagi yaak!" Ternyata dia mengeluarkan rokoknya, dia menghisapnya dalam-dalam. Aduhai.. Belajar merokok darimana dia. Aku benar-benar terkejut.

"Oke, tak masalah. Santuy!" aku kemudian ikut mengambil rokok miliknya yang tergeletak di atas meja dan menyalakannya, "Aku minta sebatang yaak!"
Kali ini, Lia yang terkejut.

"By the way, kamu masih ngaji Doo?" obrolan dua orang anak manusia yang sedang merokok dimulai.

"Menurutmu? Jawabannya sama seperti dirimu, lah. Aku tidak ikut pengajian lagi hehehe."

"Heeey, enak saja. Walaupun aku sudah lepas jilbab, aku masih rutin ikut pengajian. Huu!" Lia meledekku, aku ternyata terlalu cepat menilai seseorang hanya dari penampilannya saja.

Di hari yang lain, masih di cafe yang sama. Sebab hubungan kami semakin intens, terjadilah percakapan seperti ini.
"Doo, apa kita pacaran aja yaa. Biar ga jadi omongan orang. Kita resmikan hubungan kita?" suatu saat Lia berkata demikian, di sudut cafe remang-remang.

"Haah, pacaran untuk apa?" aku menjawab pura-pura polos.

"Eh, maafkan aku Doo. Aku tahu, kalo di organisasi kita emang di-doktrin kalo pacaran itu ga boleh. Nampaknya, kamu masih memegang teguh doktrin itu." Lia berbicara dengan hati-hati.

"HAHAHA!" Aku tertawa terbahak-bahak, seolah meledek Lia. Lia balas mencubit pahaku, aku diam saja, untuk menikmati cubitannya dan grepe-grepe darinya.

"Pacaran, tidak ada gunanya. Toh apa yang orang lakukan ketika pacaran, sudah kita lakukan juga. Duduk makan malam berdua, pergi jalan-jalan berdua, nonton bioskop berdua. Kalo hanya sekedar deklarasi ayo kita pacaran. Itu tidak berguna. Hubungan semacam itu hanyalah sekadar main-main saja. Kalo emang kamu mau seperti yang kamu bilang tadi, resmikan hubungan agar ga jadi omongan orang. Yaa, solusinya adalah..." aku menghentikan pembicaraanku sejenak agar lebih dramatis.

"Apa Doo?" sorot matanya tajam memerhatikan mulutku, seolah tidak mau tertinggal satu kata pun yang keluar.

"Kita menikah aja, gimana! Jujur, aku udah suka sama kamu sejak lima tahun lalu, sejak kita kuliah di kelas yang sama dan masuk di organisasi yang sama. Kau tahu, banyak teman di luar sana yang jatuh hati kepadamu. Karena kamu adalah seorang yang cerdas, aktif bersuara lantang dalam menyuarakan kebenaran, menjaga diri dari laki-laki juga berpakaian sopan, rapi dan tertutup. Namun semua itu sirna ketika kamu malah memutuskan untuk melepas hijabmu. Orang-orang banyak yang mundur. Tetapi aku tidak, aku masih sama sejak lima tahun yang lalu, yang tulus mencintaimu. Aduhai, aku bicara apa ini. Aku tidak menyangka aku akhirnya berani juga mengungkapkan rasa kepada sang ukhti idaman di kampus, mantan aktivis dakwah beberapa tahun lalu."

Mata Lia berkaca-kaca, dia tidak menyangka akan kalimat yang baru saja didengarnya. Satu detik kemudian, tubuhnya telah berada di depanku. Satu centimeter jaraknya. Lia langsung memelukku dan membisikkan ke telingaku, "Aku juga cinta kamu, Doo."

***

Malam itu, aku tidak bisa tidur. Aku benar-benar merasa bahagia sebab telah mengungkapkan perasaan yang dipendam selama bertahun-tahun. Ditambah lagi, perasaan itu mendapat respon. Gayung bersambut. Maka, keesokkan hari, aku langsung menghubungi orang tua yang berada di Pulau Sumatera. Intinya, aku meminta izin kepada mereka untuk menikah. Sontak saja mereka terkejut karena sangat mendadak. Wkwkwk.

"Bagaimana orangnya, nak?" kata ibuku dari sambungan telepon.

Aku jelaskan secara detail, tidak ada yang ditutup-tutupi. "Orangnya baik, ramah, waktu kuliah dulu pake jilbab. Tapi sekarang sudah tidak lagi. Pakaiannya juga, kalo aku ketemu agak sedikit terbuka. Selalu mengenakan rok di atas lutut, bu. Tapi itu tidak masalah, aku bisa bimbing dia kembali ke jalan yang benar, bu." kataku kepada ibu, menjawab pertanyaan beliau.

"Kamu serius, mau nikah sama orang yang seperti itu? Ibu tidak yakin kamu bakal kuat. Ibu pokoknya tidak setuju. Cari yang lain saja, yang normal saja. Masih banyak perempuan di luar sana yang menggunakan jilbab dengan baik." ternyata, ibuku tidak setuju atas pilihanku.

"Tenang, bu. Dia itu orangnya penurut, bisa diarahkan kok. Aku janji, akan bimbing dia perlahan-lahan agar kembali mengenakan jilbab." aku tetap membujuk beliau.

"Pokoknya kalau ibu bilang tidak, ya tidak. Logika sederhana saja. Kalo perintah Tuhannya saja dia tidak patuh, apalagi nanti perintah suaminya."

"Tapi, bu.."

"Tidak!"

"Atau begini saja, aku minta dia mengenakan jilbab dari sekarang. Kalau ternyata dia mau, ibu izinkan aku menikah sama dia. Aku rasa itu cukup adil, bu."

Usul dariku diterima oleh ibu. Aku telah mengajak Lia untuk makan malam di tempat yang berbeda, walaupun masih di Jalan Margonda Raya, Depok. Sebagai informasi, pembangunan di Depok terlalu fokus di Margonda, itulah sebab banyak tempat hiburan ada di kawasan ini. Hehehe.

Kami makan malam di cafe rooftop, cafe yang berada di lantai apartemen paling atas. Lantai 25. Suasananya cukup indah. Dapat melihat kemerlap malam Kota Depok. Walaupun hanya gedung-gedung tinggi saja yang dilihat.

"Aku sudah bicara sama ibuku." kataku mulai pembicaraan serius.

"Aku juga, papa dan mama sudah setuju. Mereka bilang kapan kamu dan orang tuamu datang ke rumah. Biar kita cepetan sah, hahaha!"

Mendengar jawaban Lia, aku menelan ludah, kemudian menggaruk kepala yang tidak gatal.
"Ibuku setuju aku menikah denganmu, asalkan kamu mau memakai jilbab lagi. Itu saja syarat dari beliau. Tidak berat, kok." aku langsung to the point saja.

Lia menggeleng, "Tidak bisa, Doo. Aku belum mau mengenakan jilbab lagi. Saat ini aku belum siap, nanti kalau kita sudah menikah, biarlah waktu yang mengalir. Perlahan-lahan, aku akan belajar lagi untuk mengenakan jilbab."

"Sebenarnya, aku juga sudah menawarkan opsi itu kepada ibuku. Namun, beliau menolak. Ayoolah, sayang. Apa susahnya menerima syarat itu. Kau penuhi syarat itu, kemudian kita bisa menikah." aku terus memaksanya.

"Sekali lagi, tidak bisa Doo. Aku tidak mau dipaksa kalau urusan seperti ini. Bukankah dalam agama kita ada ayat yang berbunyi Laa ikraaha fiddiin. Tidak ada paksaan dalam beragama." Lia masih bersikeras menolak, bahkan dia masih hafal salah satu potongan ayat Al-Quran beserta artinya.

"Ayat itu benar, tapi penggunaannya tidak tepat dalam konteks ini, Lia."

"Doo, kau bilang kepadaku bahwa tidak masalah dengan keadaan aku sekarang yang tidak menggunakan jilbab. Tapi kenapa sekarang kau malah memaksaku untuk mengenakannya kembali? Dasar laki-laki sama saja semua. Tidak ada yang konsisten!"

"Bukan begitu, sayang. Aku menghormatimu karena pilihanmu yang tidak mau mengenakan jilbab. Adalah hak setiap individu, mau pakai jilbab atau tidak. Tapi ini soal lain. Perkara kewajiban, ini adalah hal yang wajib yang tidak boleh ditinggalkan. Aku sebagai seorang suami, nantinya, harus memastikan istriku untuk taat pada perintah agamanya."

"Yaa, bener. Kan kau bilang nanti. Bukan sekarang. Aku belum siap kalo sekarang. Ayoolah, Doo. Aku sudah bener-bener cinta sama kamu, dan kamu pun begitu. Aku tahu. Kita kawin lari aja, bukankah laki-laki tak ada kewajiban untuk menikah dengan seizin orang tuanya. Yang harus mendapat izin itu pihak perempuan, laki-laki tidak!"

"Tawaranmu benar. Di dalam agama kita, memang laki-laki tidak harus izin kepada orang tuanya untuk menikah. Tapi, itu sama saja perbuatan yang tidak beradab. Sama saja aku kabur dari orang tua, tidak berkah nanti kalo kita menikah dengan cara seperti itu."

"Terima tawaranku, atau aku lompat dari lantai 25 ini. Aku serius, aku tidak main-main, Doo!" kini Lia yang balik mengancamku.

"Liaaa! Jangan main-main. Tenangkan pikiranmu. Kau bisa mati kalau lompat dari lantai 25 ini."

"Aku serius, aku tidak main-main. Nikahi aku, aku tidak mau memenuhi syarat dari ibumu. Aku benar-benar mau meloncat sekarang." Lia seraya berdiri dari kursinya, aku dengan sigap menahan tangannya.
"Lepaskan tanganku, kita bukan mahram, Doo!"

"Aku akan melepaskan tanganmu, tapi kamu duduk dengan tenang. Berpikirlah dengan jernih, malu dilihatin pengunjung lain yang ada di cafe ini." para pengunjung cafe yang lain sudah mulai memerhatikan keributan kami.

"Lepaskan aku!"
Aku akhirnya melepaskan cengkraman tanganku. Dia kembali memberikan tawaran, "Ini penawaranku terakhir. Kita menikah, tetapi aku tidak mau memenuhi syarat dari ibumu. Atau, aku benar-benar akan melompat."

"Lia!" Aku sedikit membentaknya, "Ayoolah, apa susahnya mengenakan jilbab. Tidak ada yang salah dari itu. Kamu pake jilbabnya besok, bulan depan aku jamin kita bisa menikah! Kalo kamu memang masih tidak mau, ya sudah. Silahkan lompat saja sana, aku tidak peduli lagi!"

"Ya udah, kalo emang begitu maumu, Doo." Lia tertunduk, dia menghabiskan minumannya. Setelah itu, dia berjalan santai ke pinggir pagar. Dan, boom. Lia benar-benar melompat dari lantai 25.

Aku shock sekali melihat kejadian itu. Lia benar-benar melakukannya. Dia benar-benar lompat dari lantai 25.
Keesokkan hari, berita itu tersiar. Viral dari media sosial. SEORANG PEREMPUAN JATUH BUNUH DIRI DARI LANTAI 25, SETELAH BERTENGKAR DENGAN SANG KEKASIH. Begitu judul beritanya.
Praktis, berita kematian Lia menjadi pengalihan isu yang baik. Berita tentang korupsi dana Bansos 17 Milyar, dan berita tewasnya enam anggota FPI, lenyap dari televisi.

***

SEPERTI BIASA, CERITA INI HANYALAH FIKSI.
TIDAK NYATA, CERPEN BELAKA! :)


Jangan terkejut sama judulnya. Ini cuma click-bait! Ini bukan cerita tentang aku yang hendak ketemu istri kedua. Gimana, yaa.. Istri pertama aja, aku belum punya.. Wkwkw.

Cerita ini berawal di waktu sore, dua hari yang lalu. Saat itu sedang hujan, sangat deras. Aku tengah memacu motorku, hendak pulang ke rumah dari suatu tempat. Total jaraknya sekira dua puluh dua kilometer. Namun, baru jalan tujuh kilometer, motorku mogok. Tiba-tiba mati. Ini lah penyakit motorku, kalau hujan dan terkena air dengan intensitas yang tinggi, tidak kuat.

Maka, aku memberhentikan motor di tepi jalan. Berteduh di bawah stasiun LRT di tengah kota. Aku terus mencoba untuk men-starter dan meng-engkol motorku. Masih saja tidak nyala. Maklum saja, motor ini sudah agak tua. Biasanya, motor ini akan nyala kembali jika didiamkan agak lama. Jika sudah kering dan tidak basah lagi.

Kebetulan Qadarullah, tidak jauh dari situ, ada toko buku Gramedia. Maka aku putuskan untuk mampir ke sana saja. Aku mendorong motor ke Gramedia. Lelah juga, ternyata. Ditambah lagi, tempat parkirnya luas dan naik turun. Tempat parkir motor terletak di paling belakang dan di basement bawah tanah. Untungnya, satpam di sana baik hati. Beliau mempersilahkan aku untuk memarkirkan motor di dekat pos satpam saja. Kasihan melihatku lelah mendorong motor, katanya.

Sebetulnya, niat utamaku ke Gramedia adalah hanya untuk numpang baca, sambil menunggu motor kering agar kemudian bisa nyala lagi. Namun, karena tidak enak sama pak satpam yang sudah baik hati, maka aku jadi kepengen beli buku di sana.
"ATM di sini ada di mana, pak?" Aku bertanya pada satpam.
"Waah, di sini kita sudah tidak ada ATM lagi, dek." Kata beliau.
Artinya, fiks. Berarti aku tidak jadi beli buku di sini. Numpang baca doang!

Aku menuju lantai tiga. Melihat-lhat tempat buku novel. Pekan lalu aku juga ke sini, membaca novel karya Bang Tere Liye. Namun, ketika sampai di sana, tidak ada lagi novel yang plastiknya sudah terbuka. Semua dibungkus rapi. Harapan melanjutkan bacaan pekan kemarin, sirna.
Akhirnya, aku berkeliling ke rak-rak yang lain. Aku tertuju pada buku karya Bunda Asma Nadia, judulnya Istri Kedua. Buku ini, merupakan lanjutan dari buku CHSI. Catatan Hati Seorang Istri. CHSI sukses menjadi buku best seller, sampai-sampai dijadikan sinetron di televisi. CHSI berisi curhatan ibu-ibu kepada Bunda Asma. Ada yang suaminya selingkuh, kawin lagi, nikah siri, poligami, anak terlantar dan sebagainya. Kira-kira itu isinya.
Aku mengetahui hal ini dari kata pengantar buku Istri Kedua.

Kemudian, apa beda dengan buku selanjutnya? Buku Istri Kedua, menurutku cukup unik. Jika selama ini, masyarakat umum memandang negatif kepada istri kedua, di buku ini istri kedua dikesankan positif. Maksudku, buku ini berasal dari perspektif istri kedua. Mereka adalah manusia biasa, sama seperti kita. Tidak berhak mendapat judge yang sedemikian rupa.


Banyak kisah unik dan inspiratif dari buku ini. Ada yang seorang suami berpoligami, diam-diam. Istri pertama menjadi sangat benci kepada istri kedua. Anak-anaknya juga. Istri pertama "men-doktrin" anak-anaknya untuk ikut benci kepada istri kedua.
Hingga di penghujung usia, istri pertama jatuh sakit. Maka si suami merawatnya sebab anak-anak mereka semua berada di luar kota. Artinya, si suami menjadi lebih intens kepada istri pertama, jadwal kunjungan ke istri kedua menjadi berkurang.
Singkat cerita, si suami menjadi ikut sakit. Suami dan istri pertamanya sama-sama sakit. Apa yang terjadi? Ternyata istri kedua datang kepada mereka, dan merawat mereka berdua. Sungguh di luar dugaan.

Cerita belum usai. Di luar dugaan, ternyata si suami yang lebih dahulu meninggal. Setelah itu, rupa-rupanya istri kedua tetap dengan ikhlas merawat istri pertama. Tidak dapat dibayangkan betapa akward momen itu. Orang yang sudah berpuluh-puluh tahun dibenci, tiba-tiba hari ini menjadi orang yang merawat ketika diri sudah lemah tak berdaya. Di akhir cerita, istri pertama akhirnya meninggal, menyusul sang suami. Anak-anak dari istri pertama kemudian dapat akur kepada ibu tiri mereka, alias si istri kedua.
Ini kisah nyata teman-teman, benar-benar terjadi!

Kisah di bab selanjutnya, ada dari perspektif seorang pria dewasa yang punya komunitas poligami. The Poligamiers, namanya komunitasnya memang begitu kalo gak salah, wkkwqk. Beliau menceritakan anggota dari komunitas itu, aku benar-benar berdecak "kagum" ingin mengikuti jejak komunitas ini. #Ehh, bukan gitu maksudnya.
Salah satunya adalah begini. Ada cerita dari anggotanya, yang istrinya membolehkan poligami seandainya si suami telah memiliki penghasilan 10 juta rupiah per bulan. Si istri memberikan syarat yang dianggap tidak masuk akal untuk saat itu, sebab gaji suaminya hanya 700 ribu rupiah. Harapan si istri, suaminya tidak akan bisa poligami.
Namun, tak disangka, beberapa tahun setelah itu si suami benar-benar memiliki penghasilan 10 juta rupiah per bulan. Sebab janji telah diucapkan, akhirnya sang suami benar-benar melakukan poligami. Hahaha!

Btw, aku tidak bisa bercerita banyak tentang buku ini. Sebab saat itu aku hanya membaca sekitar 40 halaman saja. Baru tiga bab yang aku baca. Baru tiga cerita dari belasan cerita yang disajikan di buku tersebut.

Sejujurnya, setelah membaca sedikit dari buku tersebut, terutama bab mengenai komunitas The Poligamiers, aku jadi punya keinginan untuk melakukan poligami juga. Awkwkokw. Tapi nanti dulu mau poligami, monogami pun belum.
Buat si doi kalo baca paragraf ini, jangan dianggap serius. Becanda doang!

Masyarakat kita hari ini, sering menganggap poligami sebagai sunnah rasul. Padahal... bener sih. Eh, tapi sunnah rasul tidak hanya itu. Ada banyak sunnah yg lain. Membaca Al-Qur'an, shalat Dhuha, shalat Rawatib, bersedekah dan lain sebagainya. Masih banyak sekali.

Tapi, apabila memang ada yang melakukan poligami, kita tidak boleh nyinyir, men-judge, apalagi sampai memperolok mereka. Sebab pertama, itu adalah pilihan pribadi dan tidak menyalahi hukum agama. Poligami adalah halal! Sebab kedua, poligami adalah aturan agama yang dibenarkan syariat, maka tidak patut untuk kita jika memperolok aturan agama.

Apakah aku akan ber-poligami? Aku tidak tahu. Tunggu saja puluhan tahun ke depan!
Semoga tidak, tapi kalo memang terjadi yaa apa boleh buat. EHEHEHEE.





Dua pekan lalu, sepupuku baru saja melakukan hajatan. Resepsi pernikahan yang sempat tertunda. Sebelumnya, ia telah melakukan akad nikah lima bulan lalu. Saat itu, yang hadir hanya keluarga dan teman dekat saja. Bahkan, tetangga kiri-kanan pun tidak diundang.

Di acara resepsi ini, sudah agak sedikit berbeda dengan acara akad nikah. New normal, kata orang. Acara resepsi di khalayak ramai sudah mulai diizinkan oleh aparat, namun tetap saja dengan protokol kesehatan yang tidak ketat. Banyak tetamu yang datang, dari seluruh penjuru negeri. Maklum saja, keluarga kami besar. Bapakku sembilan bersaudara, Saudara-saudara bapak (Pakde) tersebar di seluruh Indonesia.
 
Saat itu, yang menikah adalah anak dari Pakde yang nomor tiga. Beliau adalah pejabat tinggi di pemerintah pusat. Pangkatnya sudah es-melon satu alias Esselon 1. Jabatannya juga hanya terpaut satu tingkat di bawah Direktorat Jenderal (Dirjen) di Kementerian. Itulah sebabnya, beliau banyak kenal dengan orang penting di negeri ini.
 
Salah satu tamu penting yang diundang adalah Menko-saurus. Menteri Koordinator Segala Urusan. Entahlah, segala urusan pasti bapak ini turun tangan di dalamnya. Mulai dari kemaritiman, investasi, konflik agraria, penegakkan hukum, kepastian HAM, hingga perkara olahraga sepak bola pun, bapak ini mesti ikut ambil bagian. Menko-saurus bukan salah satu nama spesies dinosaurus, yaa. Hahaa.
 
Walaupun Pak Menko-saurus menjadi salah satu tamu undangan, sejujurnya aku tidak peduli. Aku ra-urus!
Btw, Menko-saurus bukan nama jabatan resmi beliau, itu hanyalah satire yang sering berkembang di media sosial.

Pak Menteri datang bersama rombongan. Tidak banyak sih, hanya tiga orang. Mungkin mereka adalah ajudan pribadi beliau. Pak Menteri pasti sangat butuh ajudan dan pengawal. Terang saja, beliau saat ini menjadi public enemy masyarakat. Terutama dari kelompok oposisi pemerintah. Pernyataan beliau di media, sering membuat geleng-geleng kepala.
Jadi, kamu pasti tahu siapa Menko-saurus yang aku maksud, kan? Beliau adalah... sebagian teks hilang...
 
Oke, lanjut. Ada apa di resepsi itu?
Jadi, beliau dan rombongan telah tiba sejak Sabtu malam, padahal acaranya di hari Minggu Ahad. Sebenarnya adalah wajar, sebab acara resepsi pernikahan ini tidak dilaksanakan di kota besar, melainkan di sebuah desa. Desa ini terletak di salah satu Kabupaten yang ada di pedalaman Sumatera.
Mereka menginap di salah satu rumah Pakde-ku. Mereka tidur di ruang tamu, hanya di atas tikar dan di depan televisi. Hanya mengenakan kaus singlet dan celana pendek. Sungguh, ini adalah penampakan yang luar biasa bagiku. Di tengah sosoknya yang sangar dan tampak glamour di media, ternyata menyimpan sosok kesederhanaan luar biasa.
Menurutku, orang sekaliber pak Menteri seharusnya tidur di hotel saja. Namun, ini adalah pilihan beliau. Alasannya ketika aku tanya, katanya agar lebih berbaur dengan masyarakat. Sungguh contoh pejabat publik yang sangat memberi teladan pada kita semua.
 
Ini yang ingin aku ceritakan. Saat itu, di hari Sabtu malam. Kami para panitia pasti sangat sibuk. Mempersiapkan tenda, memasang kursi, menata dekorasi dan ini itu. Pekerjaan itu dilakukan sampai larut malam, sekira setengah satu dini hari baru selesai. Bahkan, ada di antara kami yang begadang untuk menjaga peralatan sound system milik organ tunggal (OT). Bisa saja, apabila seluruh panitia tertidur, maling dengan mudah menggondol berbagai piranti yang ada di sana.
 
Tersebab aku tidur sudah cukup larut, ditambah tubuh yang sudah lelah. Aku bangun kesiangan. Waktu telah menunjukkan pukul setengah enam pagi. Adzan Shubuh telah berkumandang satu jam yang lalu. Maka, saat itu aku tidak bisa melaksanakan shalat Shubuh berjama’ah di masjid. Sebab jama’ah pasti sudah pulang sejak tadi. Haha.
Aku putuskan untuk shalat sendirian di rumah Pakde.
 
Tempat yang paling pas dan nyaman untuk aku shalat, adalah ruang tamu. Di sana ada sedikit space yang cukup untuk meletakkan sajadah. Namun, seperti yang telah aku singgung di awal, di ruang tamu saat ini ada pak Menteri dan rombongan yang sedang tidur. Seingatku, mereka non-muslim. Jadi aku tidak mau membangunkan tidur mereka. Tidak mungkin aku mengajak mereka shalat Shubuh bersama. Biarkan saja mereka ber-istrirahat, eh beristirahat.
 
Namun, di ruang tamu itu, mereka tidur dengan televisi yang menyala. Nampaknya, mereka dari semalam menonton televisi dan lupa mematikannya. Karena aku hendak shalat – tidak mau konsentrasi terganggu – aku mematikan televisi itu.
 
Petaka itu terjadi. Ketika aku mematikan televisi, Pak Menko-saurus malah terbangun. Bak dinosaurus yang baru saja bangun dari tidur panjangnya. Seram sekali.
Mungkin, suasana yang tiba-tiba menjadi hening membuatnya terbangun.
 
“Televisinya kenapa kamu matikan? Kamu tidak suka saya menonton televisi di sini?” Pak Menteri berkata dengan serius kepadaku.
 
“Apa sih nih orang, baru bangun tidur langsung marah-marah ga jelas.” Aku bergumam dalam hati. Tidak mungkin aku katakan langsung ke beliau. Hahha.
 
“Eh, bukan begitu pak. Saya di sini mau shalat. Biar bisa konsentrasi dan tidak ada gangguan. Saya juga lihat, bapak sedang tidur. Jadi saya matikan saja televisinya. Mohon maaf sekali lagi, pak.” Aku meminta maaf saja. Kalau diteruskan, pasti bakal panjang berurusan dengan pejabat.
 
“Heeh? Melawan kamu sama saya? Kamu tidak tahu siapa saya?” Respon Pak Menteri malah seperti itu.
 
Orang ini benar-benar gila hormat.
 
Aku kemudian shalat, membaca Surat Al-Fatihah, dan surat pilihan selanjutnya. Tiba-tiba, televisi kembali menyala. Sayup-sayup aku mendengar suara televisi, sedang menayangkan serial kartun Sponge Bob. Kemudian, sambil menonton, Pak Menteri dan para ajudannya tertawa-tawa. Jarak mereka dengan tempatku shalat, hanya terpaut dua meter saja.
 
Konsentrasi dalam shalatku terganggu. Aku menyumpah serapah orang-orang itu.
Dasar orang tua gila! Orang mau shalat, kenapa diganggu. Kataku, di dalam hati. Astaghfirullah!
 
***
 
Apakah kisah ini benar-benar terjadi? Tentu saja tidak, kawan.
Kisah ini tidak benar-benar terjadi di dunia nyata. Kisah ini hanya terjadi di dalam mimpi, sekira tiga hari yang lalu. Ketika aku (ter-)tidur lagi setelah shalat Shubuh. Btw, jangan ditiru, yaa!
 
Sebetulnya, aku agak sedikit ragu ketika hendak menceritakan ini. Kenapa? Sebab dalam pemahamanku, dalam ajaran Islam, tidak baik menceritakan mimpi buruk.
Eh, tunggu. Apakah dimarahin Pak Menko-saurus termasuk pengalaman mimpi buruk? Aku rasa itu pengalaman kocak.. Wkkwk!

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

ABOUT AUTHOR

Kang Mas Joe adalah seorang yang berpengalaman dalam pahit dan getirnya kehidupan, walaupun nyatanya tidak terlalu pahit. Mencoba berbagi tulisan melalui blog, semoga ada hikmah yang bisa diambil. Apabila ada kritik, saran, nasihat dan mau kerjasama. Silahkan DM melalui Instagram dan Twitter @KanggMas_Joe. Terimakasih!

POPULAR POSTS

  • Pencitraan Jilid Dua; Buku yang Aku Baca di Tahun 2020
      Beberapa hari ke belakang, rumahku sedang direnovasi. Maka buku-buku yang ada di rumah sedang tidak ada di rak buku seperti biasa. Begini ...
  • Masjid Cheng Hoo
    Masjid Muhammad Cheng Hoo, adalah salah satu masjid yang cukup terkenal di Palembang. Sering dijadikan sebagai tempat wisata religi. Menurut...
  • Balonku Ada Lima
    Jangan terkejut, ini bukan jimat, mantra, doa atau sebagainya!  Untuk kamu yang sudah jago membaca Al-Quran sejak kecil, aku yakin kamu past...
  • Menjadi Pacar Sewaan
    Hari ini adalah hari Ahad, pukul sepuluh pagi. Aku sedang duduk bersantai di rumah, sedang menatap layar laptop untuk melakukan blog walking...
  • 3 Bloggers yang Rajin BW
    Seperti biasa, di setiap penghujung bulan, Mbak Eno yang baik hatinya kembali membuat challange. Ini adalah event ketiga dari challange- nya...

Categories

  • Bisnis
  • Cerita
  • Opini
  • Perjalanan
  • Pernikahan
  • Sajak
  • Tutorial

Copyright © 2021 Kangg Mas Joe. Created by OddThemes