Kangg Mas Joe

Blognya Dodo. Tidak semua yang diposting adalah nyata, banyak pencitraan dan fiksinya.

Membuat tulisan yang terlalu serius ternyata melelahkan yaa. Telah aku buktikan di beberapa postingan sebelumnya. Kini, aku coba kembali ke khittah dari blog ini. Aku akan menulis hal yang santai-santai saja. Hehe..
 
Aku mau cerita tentang suatu tragedi di awal tahun 2015.
Aku saat itu masih menjadi siswa SMA kelas tiga, menuju Ujian Nasional (UN). Saat-saat terakhir yang menegangkan. Persiapan yang banyak dilakukan oleh siswa adalah mengikuti Bimbel di luar sekolah. Aku juga melakukannya. Aku menjadi siswa salah satu bimbel yang letaknya sangat dekat dari Jembatan Ampera.
 
Bimbel ini cukup murah untuk siswa yang keadaan ekonominya berada pada kelas menengah ke bawah.
Di bimbel lain yang berlogo gajah, menerapkan sistem pembayaran paket per tahun. Bisa empat hingga lima juta rupiah. Di tempat bimbelku yang berlogo ular, sistemnya malah per bulan. Biayanya tidak sampai dua ratus ribu,yang berarti hanya sekira dua juta rupiah saja biaya dalam satu tahun. Bayangkan, cukup jauh perbedaan harganya. Mungkin karena gajah berbobot lebih besar daripada ular, jadi biayanya lebih besar. Wkwk.
Aku sudah becerita tentang Bimbel ini di postingan sebelumnya, dengan judul Santuy-nya Liberalisme.
 
Tragedi apa yang hendak aku ceritakan di sini?
Ceritanya ketika hendak pulang dari Bimbel, di sore hari. Kami pulang sekira pukul 17.40. Waktu shalat Maghrib masih ada dua puluh menit lagi, jadi masih sempat untuk pulang dan shalat di rumah. Eh, bukan. Maksudku, shalat di masjid dekat rumah. #LakiShalatDiMasjid,BukanDiRumah! *eaak
 
Aku pulang berboncengan motor bersama teman satu kelasku. Sebut saja namanya Prabowo alias Bowo. Aku ikut motornya si Bowo, aku selalu pulang diboncengnya. Lumayan, bisa hemat ongkos, wkwk. Aku tidak perlu naik angkot lagi.
Walaupun begitu, aku adalah jenis teman yang tahu diri. Sore itu, aku berencana untuk membayarkan bensin motor si Bowo. Malu dong kalau nebeng terus tapi tidak bayarin bensin si empunya motor.
 
Sore itu berjalan seperti biasa. Di atas motor, kami mengobrol ngalor ngidul. Walaupun kadang tidak terdengar juga kalimat apa yang keluar dari mulut-mulut kami. Kalau kamu sering naik motor, pasti tahu gimana ribetnya ngobrol di atas motor antara pengemudi dan penumpang. Suara kita terkadang tertutup angin.
 
Ketika sedang asyik ngobrolin ukhti di kelas sebelah, tiba-tiba... brakkkk.
Motor yang Bowo dan aku naikki menabrak sebuah motor di depan. Motor itu hendak keluar dari gang menuju jalan raya, Bowo yang mengendarai motor cukup kencang tidak sempat menghindar dan akhirnnya menabraknya.
Orang yang ditabrak oleh Bowo sendirian, kakinya terluka cukup parah. Bagimana dengan Bowo? Tangannya juga terluka. Sedangkan aku juga ikut terjatuh. Lutut dan telapak tangan terluka. Helm yang aku kenakan terlepas, pipiku kemudian menjadi bengkak macam bakpao. Beruntungnya, kacamataku tidak pecah. Wajahku tetap aman.
Dasar orang Indonesia, sudah kecelakaan, masih saja ada untungnya! Hadeh~
 
Orang yang ditabrak marah-marah kepada kami. Bowo tak mau kalah, dia juga melawan. Orang itu, walaupun berusia sekitar 30-an, akhirnya ciut nyalinya berhadapan dengan Bowo. Sebab Bowo berbadan besar dan tinggi, bertubuh gempal dan wajah sangar.
 
“Pokoknya aku minta ganti rugi dengan kalian, dek! Tiga ratus ribu rupiah!” Kata orang itu, nampaknya ia berusaha memeras kami. Memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan.
 
“Kami tidak punya uang, pak. Kami siswa SMA yang baru pulang dari Bimbel.” Bowo menyanggah permintaannya.
 
“Yaa sudah, kau pulang sana minta duit sama orang tua. Sebagai jaminan, sini serahkan SIM kau. Aku tahan dulu!” Orang itu masih tidak mau kalah.
 
“Kalo bapak mau minta ganti rugi, tidak bisa. Toh kami juga luka-luka, tidak hanya bapak saja. Lihat, kaca spion motorku juga pecah. Kami tidak sepenuhnya salah, bapak keluar gang secara tiba-tiba, mana bisa kami mengelak!” Bowo masih ngotot.
 
“Tidak! Aku tadi sudah menyalakan lampu sein, kalian yang tiba-tiba menabrakku. Pokoknya aku mau ganti rugi, cepetan mana SIM dan STNK kau!”
 
“Aku tidak punya SIM. Kalo STNK motor ini aku tidak bawa, ada di bapakku di rumah!” Bowo masih mengulur waktu.
 
Akhirnya, percekcokan itu berakhir setelah dilerai warga. Kami tidak memberi uang sepeserpun kepada orang itu. Kami pulang ke rumah. Rencanaku untuk mentraktir duit bensin kepada Bowo, batal.
 
“Enak saja mau ngasih STNK ke orang itu, emang dia siapa? Polisi, bukan!” Kata Bowo di atas motor, menuju perjalanan pulang.
 
“Udah, tenang aja dulu, bro. Kau fokus saja mengemudi motor ini. Konsentrasi, bisa bahaya. Nanti seperti tadi, kita nabrak orang lagi.” Kataku menenangkan Bowo.
 
***
 
Keesokkan harinya, aku pergi ke sekolah seperti biasa. Wajahku masih ada bekas memar dan pipi bengkak macam bakpao, namun belum ada yang menyadari. Aku ingat betul, saat itu adalah hari Sabtu dan pelajaran pertama adalah Kimia. Wali kelasku yang mengajar pelajaran ini.
 
“Bowo mana, Doo? Kok tidak masuk. Sakit apa dia?” Kata bu guru. Sebab, bangku di sebelahku kosong dan itu tempat duduknya.
 
“Iyaa, bu. Dia sakit, nampaknya masih keseleo sebab kecelakaan kemarin.”
 
“Kecelakaan? Dimana dan bagaimana ceritanya?” Ibu guru mendelik penasaran. Tiba-tiba kelas hening. Seluruh siswa nampaknya hendak fokus mendengarkan ceritaku.
 
“Jadi, kemarin sore kami pulang dari Bimbel, bu. Yaa pokoknya ada orang yang keluar gang tiba-tiba. Kemudian, tertabraklah orang itu.”
 
“Terus, keadaan motornya gimana?”
 
LAAH SI IBOOK MALAH NANYAIN KEADAAN MOTOR -_-
 
“Eh, Doo. Pipimu jadi bengkak gitu yaa? Karena kecelakaan kemarin?” Tanya bu guru.
 
“Iyaa, bu. Tapi ini sudah agak mendingan, kok. Bengkaknya tidak sebesar kemarin.” Kataku menjawab pertanyaan beliau.
 
“Jadi, kenapa bisa kok kalian sampai menabrak orang itu? Kalian ngebut yaa?” Bu guru masih belum puas bak wartawan, terus bertanya kepadaku.
 
“Tidak, bu. Yang ngebut Bowo. Aku kan diem di belakang, dibonceng.” Aku menjawab refleks.
 
Tiba-tiba satu kelas riuh. Seluruh teman yang tadinya hening, fokus mendengar penjelasanku tiba-tiba tertawa. Pecah.
Aku awalnya bingung, dimana salahku. Kenapa tiba-tiba satu kelas tertawa, padahal aku tidak berniat melucu. Aku menjawab serius pertanyaan ibu guru. Aku menjawab dengan benar, jawabanku sesuai logika. Sebab, yang membawa motor kan Bowo, berarti yang menjadikan motor itu ngebut yaa si Bowo. Aku tidak ikut andil membuatnya ngebut, karena hanya sebagai penumpang yang duduk manis di belakang.
 
Entahlah, cara berfikir di dalam otakku telah terbiasa sistematis dan logis sejak kelas satu SMA, setelah belajar bab Logika dalam Matematika. Pelajaran itu sangat meresap ke dalam dada dan jiwa raga.
Cara berfikir semacam ini, menurutku sangat berguna untuk menganalisis dan menelaah sesuatu. Terutama dalam bidang pemrograman komputer. Jikalau kamu membuat suatu coding, perintah yang dituliskan harus jelas. Jangan sampai ambigu dan multi tafsir. Jika itu terjadi, program yang dibuat akan eror, tidak berjalan sebagaimana mestinya.
 
Maka, pertanyaan bu guru yang tepat seharusnya adalah bukan Kalian ngebut yaa? Tetapi, Bowo ngebut yaa?
 
Ehehe..
 
 
Coba tebak, Bowo yang mana, yaa?

 


Hari ini sudah masuk bulan Oktober tanggal satu, diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Kenapa begitu? Sebab satu hari sebelumnya, adalah hari yang kelam bagi sejarah bangsa Indonesia. Tujuh petinggi TNI dibunuh oleh orang-orang yang berfaham Komunis. Peristiwa itu dikenang sebagai G-30S/(PKI).
Aku menggunakan PKI dalam tanda kurung sebab hari ini media hanya menulis G-30S saja, tanpa kata-kata PKI.
 
Bukan perdebatan mengenai apakah PKI atau bukan pelaku peristiwa sejarah itu, aku tidak mau mendebatnya. Di tulisan ini, aku mau bercerita hal-hal lain di sebalik peristiwa ini. Setelah beberapa postingan sebelumnya aku menulis hal-hal retjeh dan tidak penting serta tidak berguna, kali ini aku mencoba menulis hal yang berbeda, sedikit serius. Ehehe..
 
Aku mendengar kisah ini dari bapak, satu tahun lalu.
Kisah ini, kalau tidak salah, terjadi pada sekira awal dekade 70-an, saat itu seorang pria paruh baya baru saja tiba di rumahnya. Baru pulang dari tempat kerja. Ia menggunakan sepeda onthel jadul kesayangannya. Tak lupa, tas cangklong setia bergantung di sana. Helm berwarna putih dengan logo dua ekor kuda laut yang mengapit sebuah bintang, masih terpasang di kepala. Pria ini merupakan pekerja dari salah satu perusahaan milik negara, dengan bidang usaha utamanya pertambangan minyak dan gas. Tempat kerjanya berada di sebidang kilang minyak yang ada di pinggir kota. Kilang ini terletak di tepi sungai terbesar di Pulau Sumatera.
 
Kalau kamu faham, pasti dengan mudah menebak perusahaan apa tempat si pria paruh baya bekerja.
Tapi, tolong jangan disebut nama perusahaan itu di kolom komentar, yaa. Aku tidak mau ada abang tukang bakso lewat di depan rumahku, hehehee~
 
Di malam hari, pria itu kedatangan tamu. Rekan kerjanya di kilang tadi siang telah menawari ikut organisasi Persatuan Pekerja ******* (bukan nama organisasi sebenarnya).
 
“Ayoo, mas. Gimana? Jadi kan ikut organisasi Persatuan Pekerja yang tadi siang aku ajak? Ini aku sudah bawa formulir pendaftaran anggotanya.” Kata teman si pria paruh baya itu.
 
Sambil menyeruput teh panas, si pria paruh baya berupaya menolak dengan halus, “Bukan saya tidak mau ikut ajakan panjenengan, saya kan sudah masuk organisasi Serikat Pekerja ******* (masih bukan nama organisasi sebenarnya), apa bedanya? Toh sama-sama organisasi yang menaungi kita para pekerja di sana.”
 
“Gini, mas. Serikat Pekerja kalau kita lihat terlalu pro terhadap pemerintah, manut-manut saja. Apa bagusnya pemerintah Orba saat ini? Kita butuh wadah untuk mengkritisinya mas! Daripada njenengan masih tetap di Serikat Pekerja, mending pindah ke Persatuan Pekerja saja.” Teman si pria paruh baya masih saja ngotot untuk mengajaknya.
 
“Husssh.. Jangan bilang gitu, kalau omonganmu didengar Babinsa, bisa bahaya. Awas bisa ditangkap kamu. Segenting apa sih, saya harus ikut kamu ke Persatuan Pekerja.” 
 
“Hemm.. Tidak juga sih mas. Yaa sudah, gimana kalau jalan tengahnya njenengan ikut saja keduanya. Serikat Pekerja tetap ikut, sedangkan Persatuan Pekerja cuma daftar nama saja. Tidak usah ngapa-ngapain. Ayoo lah mas, aku sudah jauh-jauh loh datang ke rumah sampeyan.” Temannya sudah merasa frustasi mengajak temannya itu, nampaknya akan gagal. Ia lalu menyalakan rokoknya, kemudian menghisap dalam-dalam.
 
Masih sambil menyeruput teh, pria paruh baya itu kemudian merespon temannya, “Saya minta tolong, matikan rokok panjenengan. Saya tidak mau rumah ini dipenuhi racun dari asap rokok.”
 
Temannya lalu mematikan rokok seraya meminta maaf, “Oh yaa, maafkan saya mas. Jadi gimana? Ayoo lah ikut mas?” Ia masih tidak mau menyerah.
 
“Coba kamu jujur sama saya, ada apa kamu begitu ngotot mengajak saya?”
 
“Sejujurnya, saya dikasih uang kalau berhasil mengajak anggota baru mas. Tahu sama tahu lah, keadaan ekonomi hari ini masih sulit. Tiap-tiap hari hanya makan tempe dan tahu. Ditambah lagi, si bungsu, anak nomor tujuh, sedang butuh susu.”
Akhirnya, si pria paruh baya menerima tawaran dari temannya untuk bergabung bersama organisasi Persatuan Pekerja.
 
Hari-hari kemudian berlangsung normal sebagaimana biasa. Si pria paruh baya kembali mengayuh sepeda onthel kesayangan setiap hari menuju kilang minyak. Hingga akhirnya, sekian tahun selanjutnya. Suatu tragedi terjadi.
 
Pemerintah, melalui badan intelnya berhasil mengungkap apa yang terjadi di belakang organisasi Persatuan Pekerja. Organisasi itu merupakan under-bow dari PKI. Seluruh pekerja di kilang heboh.
Apa yang terjadi? Simpel saja. Pemerintah mengeluarkan fatwa. Barang siapa yang menjadi anggota organisasi Persatuan Pekerja, maka mereka harus dipecat dari perusahaan negara.
 
***
 
“Waah, kasihan juga ya, pak. Para anggota organisasi Persatuan Pekerja menjadi pengangguran, dong. Terus, gimana nasib si pria paruh baya?” Tanyaku kepada bapak, aku masih penasaran kelanjutan ceritanya.
 
“Nasib baik untuk Mbah-mu alias si pria paruh baya. Peraturan dari perusahaan, yang dipecat hanya bagi mereka yang usianya di bawah 55 tahun. Untuk anggota Persatuan Pekerja yang berusia di atas itu, tidak akan dipecat. Nasib baik karena saat itu, dua tahun lagi Mbah sudah akan pensiun.” Bapakku menjelaskan.
 
“Terus, mereka yang dipecat dari sana gimana nasibnya, pak?”
 
“Yaa, mereka akhirnya mencari pekerjaan lain. Ada yang berdagang, ada yang bertani. Ada pula yang bekerja ke perusahaan swasta. Hal lain yang lebih buruk adalah, mereka mendapat sanksi sosial dari masyarakat. Mereka dituduh anggota PKI. Padahal, faktanya mereka tidak tahu apa-apa. Mereka hanya diajak organisasi, yang dikira organisasi biasa.”
 
“Kok bisa mendapat sanksi sosial, pak?”
 
“Yaa, karena itu tadi. Mereka dituduh anggota PKI. Bisik-bisik tetangga mengatakan jangan belanja ke warung Pakde A, dia itu orang komunis. Atau, tidak usah datang ke rumah Om B, di sana sarang pe-ka-i. Begitu tajamnya omongan tetangga. Mereka yang berdagang, dagangannya juga belum tentu laku, karena pembeli tidak mau belanja ke orang PKI.”
 
“Sedih sekali, yaa. Padahal mereka bukan anggota PKI. Hanya tuduhan saja. Alhamdulillah, Mbah tidak dipecat. Kalau dipecat, pasti tuduhan macam-macam terjadi.”
 
“Yaa, betul nak! Jadi, menurutmu hikmah apa yang bisa diambil dari kejadian ini?” Tanya bapakku sambil meminum kopi yang telah dingin dari tadi.
 
“Hikmahnya, Mbah selamat dari gunjingan tetangga, Pak!” Kataku dengan semangat. Bapakku melongo mendengar jawabanku.
 
“Hemm.. Sudah dulu, Doo obrolan malam ini, bapak ngantuk. Mau tidur! Oh yaa, gelas kopi itu tolong dibereskan, letakkan ke dapur.”
 
Bapak meninggalkanku sendirian di beranda rumah.
 
Aku masih termenung, apa salahku sehingga bapak sekenanya langsung meninggalkanku.
 
A’udzubillahi minasy syaythaanir rajiim.
Bismillahir rahmaanir rahiim.
Alhamdulillahir rabbil ‘alamiin.
Hamdan syakirin.
Hamdan, eeehm, eehm, eehm...
 
Untaian kalimat di atas adalah penggalan doa yang aku bacakan ketika dalam acara Khatam Al-Quran.
Untuk kamu yang belum tahu, Khatam Al-Quran adalah peristiwa ketika kita telah menamatkan dalam pembacaan Al-Quran 30 juz. Namun, kata guruku, adalah tidak tepat ketika kita menggunakan istilah “tamat” dalam baca Al-Quran. Kenapa? Kalau “tamat”, berarti sudah selesai. Tidak akan dibaca lagi setelah tamat. Maka, digunakanlah istilah “khatam”, berarti ketika selesai dibaca 30 juz, A-Quran kembali dibaca dari awal juz pertama.
 
Sekolahku mewajibkan para siswanya untuk selalu membaca Al-Quran di pagi hari, lima belas menit sebelum masuk. Pukul 06.45 hingga pukul 07.00. Jadi, setiap siswa di kelas akan membaca Al-Quran bersama-sama. Kalau kamu datang ke sekolahku di jam segitu, pasti di tiap-tiap kelas terdengar gaungan para siswa membaca Al-Quran.
Sungguh islamisasi yang sangat baik di sekolah negeri. *eh
 
Dengan begitu, normalnya para siswa di suatu kelas akan bisa khatam satu kali dalam setahun, alias tiga kali dalam masa sekolahnya. Qodarullah, karena kelas kami paling kece di antara kelas lain. Kami bisa mengkhatamkannya empat kali, melebihi ekspetasi guru-guru di sekolah. Berbangga dikit boleh lah yaa! WQWKQK.
 
Biasanya, ketika hendak Khataman setiap kelas akan mengadakan semacam Syukuran di Mushallah sekolah. Kami akan membaca beberapa surat di akhir juz 30, kemudian dzikir dan doa bersama. Tak lupa, kegiatan ini juga diikuti oleh guru agama, wali kelas, dan beberapa guru lain. Kemudian akan ada kata sambutan dan wejangan dari mereka agar kami terus membaca Al-Quran walaupun sudah tamat dari sekolah.
(Benar kan “tamat”, bukan “khatam”. Yakali selesai kelas tiga, aku harus mengulang ke kelas satu lagi, wkwk)
 
Oh yaa, satu lagi. Ini bisa menjadi “ladang bisnis” bagi anak Rohis. Kenapa? Karena acara ini pasti mengajak anak Rohis untuk memimpin acara itu. Dan sudah barang tentu, acara ini akan ada snack berupa kue-kue dan makan siang dalam bentuk nasi kotak. Anak Rohis sangat senang jika ada Khataman. Lumayan, bisa dapat kue dan makan siang gratis, hehehe.
Dan tahukah kamu, salah satu anak Rohis yang memanfaatkan “ladang bisnis” itu adalah.. Aku. Hal ini sangat menarik karena aku dapat menghemat uang jajan dan bisa makan enak.
 
Dari puluhan kali menjadi panitia Khataman, ini adalah salah satu kisah yang tak terlupakan. Kisah ini terjadi ketika aku duduk di kelas sebelas, semasa sekolah menengah atas, tujuh tahun lalu. Aku menjadi panitia untuk Khataman kelas IPS. Saat itu, aku tidak memikirkan nasi ayam panggang spesial yang akan diterima. Melainkan, aku memikirkan spesial yang lain yang ada di kelas sebelah. Si doi adalah murid kelas sebelah. Ini yang aku maksud spesial. *ups
 
Ketika menjadi panitia Khataman, aku biasa mengisi posisi sebagai pembaca Al-Quran. Satu kali pun, aku tidak mau mengisi posisi lain seperti pembaca doa atau pemimpin dzikir bersama. Sebab, sehari-hari aku tidak terbiasa melakukanya. Adalah wajar karena cara aku beribadah lebih condong dengan Muhammadiyah, tidak condong ke cara NU. You know lah, dzikir dan doa bersama adalah kebiasaan orang-orang NU.
 
“Doo, nanti aku saja ya yang baca Al-Quran. Kamu baca doa aja!” Tiba-tiba temanku bilang ketika kami sudah di Mushallah.
 
“Eh, jangan. Aku aja baca Al-Quran, seperti biasa. Kamu yang baca doa atau pimpin dzikir saja!” Aku menolak ajakan temanku.
 
“Waah, jangan Doo. Aku belum hafal kalo disuruh pimpin doa. Kamu kan sudah hafal, kamu saja!” Temanku tetap berusaha memintaku untuk menjadi pembaca doa.
 
“Iya, aku emang udah hafal. Tapi belum pernah pengalaman, aku tidak berani, nanti salah.” Aku masih menyanggah.
 
“Udahlah, kamu aja Doo. Kamu sudah hafal, aku belum. Fiks, posisi kamu lebih kuat dariku untuk baca doa!”
 
Aku pasrah. Perdebatan ini dimenangkan oleh temanku. Niat untuk tampil baca Al-Quran, agar dikira keren di depan si doi gagal seketika. Aku harap-harap cemas. Takut-takut salah dalam membaca doa yang sudah aku hafalkan sejak dua pekan lalu.
 
Akhirnya, pembacaan Al-Quran dan dzikir bersama usai. Kini tiba saatnya untuk pembacaan doa. Microphone telah diserahkan kepadaku. Dengan sedikit gugup aku memulai doa itu. Hingga baru beberapa kalimat, suaraku tercekat. Ehm, ehm, ehm...
Aku menoleh kepada guru agama yang duduk takzim tak jauh dariku. Kontak mata terjadi di antara kami. Belio seolah faham kalau aku sedang butuh bantuan.
 
“Hamdan na’imin” Kata guruku, melanjutkan kalimat doaku yang terputus.
 
Aku ulangi kata-kata Pak Guru, “Hamdan na’imin, hamdan ehm, ehm, ehm...” Aku masih lupa apa kelanjutannya.
 
Aku kembali menoleh ke Pak Guru, beliau memberikan kode apa yang harus aku baca selanjutnya. Namun, aku tidak mengerti gerakan komat-kamit mulutnya. Setelah satu Mushallah hening selama sepuluh detik, aku putuskan untuk langsung menutup doa itu dengan doa sapu jagat alias doa keselamatan dunia dan akhirat.
 
“Rabbanaa aatina fid dunya hasanah, wa fil akhirati hasanah, wa qiina ‘adzaban naar. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin.” Doa yang harusnya lima menit, aku pangkas menjadi satu menit saja. Sungguh menakjubkan, bukan!
 
“Dengan berakhirnya doa, berakhir pula acara kita hari ini. Saya selaku pembawa acara...” Pembawa acara Khataman hendak menutup acara itu, namun dicegat oleh Pak Guru Agama.
 
“Nanti dulu, jangan ditutup. Pak mau ngomong sebentar, sini pinjam microphone-nya!” Kata beliau, aku sudah cemas mendengar itu.
 
“Kamu siswa kelas mana?”
 
“Saya anak IPA-1, pak.” Aku menjawab dengan sopan, aku heran dengan Pak Guru, padahal beliau kenal denganku. Kenapa malah bertanya seperti itu.
 
“Kan kalian anak Rohis sudah biasa memimpin doa seperti ini. Kenapa kamu tidak hafal?” Guruku mencecarku, di depan murid-murid yang menjadi peserta Khataman. Ditambah lagi, Pak Guru memarahiku di depan si doi. Hancur sudah reputasiku selama ini.
 
“Saya sudah hafal, Pak. Tapi kan biasanya saya baca Al-Quran, bukan baca doa. Ini adalah kali pertama saya membaca doa. Saya tadi agak gugup, Pak!” Aku masih membela diri.
 
“Anak-anak dan bapak ibu guru sekalian. Inilah contoh murid yang kurang ajar. Saya tahu, dia ini ketika ada kajian taklim di sekolah, bukannya memerhatikan isi kajian. Malahan sibuk main hape. Dikasih tugas hafalan, tidak dikerjakan. Anak-anakku sekalian, jangan kalian tiru murid seperti ini!” Pak Guru seolah membuka aibku di depan teman-teman yang lain.
 
Aku betul-betul kesal dan malu saat itu. Coba kamu bayangkan, gimana rasanya dipermalukan di depan umum seperti itu. Karena aku murid yang baik, aku diam saja. Aku masih memandang beliau sebagai guru, aku takut kualat. Kalau tidak, bisa saja orang itu aku labrak balik.
 
Akhirnya, acara Khataman itu benar-benar selesai. Seluruh siswa telah keluar dari Mushallah, kecuali Pak Guru, aku dan beberapa teman anggota Rohis lain. Kami masih harus merapikan Mushallah yang baru saja selesai dipakai. Teman-temanku mengambalikan Al-Quran ke rak-rak buku. Aku dan Pak Guru masih duduk diam saja.
 
“Doo, kenapa kamu tadi tidak hafal? Sudahlah, tidak usah bohong. Pak tahu!” Pak Guru memecah keheningan.
 
“Dasar guru kampret, tadi di depan teman-teman pura-pura tidak kenal. Dasar guru tua bangka, niat sekali mau mempermalukanku!” Aku hanya bergumam di dalam hati. Tidak mungkin kata-kata sumpah serapah seperti ini aku keluarkan.
 
“Eh, iya Pak. Maafkan saya.” Wajahku tertunduk, pura-pura malu.
 
“Bapak mau menyampaikan pikiran, bisa benar bisa salah. Kamu tadi gugup karena salah satu murid yang duduk di sana, katanya sedang dekat denganmu. Betul kan? Pak tahu, intel bapak berkeliaran dimana-mana. Haha.”
 
Aku langsung terkejut, tau darimana Pak Guru akan hal itu. Aku masih diam saja.
 
“Sudahlah, masalah seperti itu tidak usah kamu pikirkan. Buang jauh-jauh perempuan itu dalam hati dan pikiranmu. Apalagi kini, kamu pengen tampil di depan agar dilihat perempuan itu. Harapanmu setelah acara ini pasti agar dikira keren oleh perempuan itu. Nyatanya, kamu malah dipermalukan oleh dirimu sendiri. Niatmu sudah salah dari awal, Doo!” Pak Guru menasihatiku dengan bijak, aku masih menyimak dengan seksama.
 
“Kalau kamu ingat, kajian di awal semester yang Pak sampaikan kepada kalian. Hadits nomor pertama dari Kitab Hadits Arba’in, karya Imam Nawawi. Kenapa hadits ini diletakkan pertama, karena saking penting kandungan isinya. Diriwayatkan dari Amirul Mukminin, Umar bin Khaththab. Sesungguhnya, setiap perbuatan tergantung kepada niatnya. Dan sesungguhnya, setiap orang akan dibalas dari apa yang menjadi niatnya. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijjrahnya adalah karena Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena harta dunia, atau karena wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya akan bernilai sebagaimana yang diniatkannya.” Beliau melanjutkan dengan penjelasan suatu hadits.
 
“Astaghfirullah..” Aku bergumam dalam hati.
 
“Nih, Doo. Dengerin. Nabi sudah dari 14 abad yang lalu menyinggung akan hal ini. Niat hijrah jangan karena wanita, luruskan niatmu. Berbuat baiklah untuk mengharap ridha Allah saja. Kalo yang kamu harapkan adalah wanita, yaa belum tentu dapet. Pak ulang sekali lagi, kalo kamu mengharap ridha Allah, yang lain sudah pasti aman. Sudah ya, Doo. Pak mau masuk ke kelas dulu, lima menit lagi ada jadwal ngajar ke kelas IPA-2.”
 
“Baik, pak. Terima kasih atas wejangannya.”
 
***
 
Selepas kejadian itu, aku mulai melupakan si doi. Aku mulai fokus belajar dan terus berbuat baik dengan mengharap ridha Allah saja.
Kami memilih jalur hidup masing-masing. Info yang aku dapat, doi merantau ke Pulau Kalimantan, diterima di Fakultas Kedokteran di salah satu universitas negeri yang ada di Pontianak. Sedangkan aku, memilih kampus yang dekat. Simpelnya, kami lost contact.
 
Singkat cerita, selepas kuliah aku telah diterima bekerja di Kota Pontianak. Saat itu, aku sedang duduk santai bersama beberapa teman di salah satu coffee shop yang ada di kota itu.
 
Ketika tengah asyik berbincang, seseorang yang tidak asing bagiku masuk. Orang itu adalah si doi.
 
“Hey, apa kabar? Waah tidak menyangka kita bertemu di sini ya. Sudah lama tidak berjumpa.” Aku mulai menyapanya.
 
“Eh, iya Doo. Sudah lama sekali ya. Kamu ternyata merantau ke kota ini juga, ya?” Kata si doi.
 
“Iyaa, baru bulan lalu diterima di pabrik yang ada di sini. Kamu sendirian aja nih ke sini? Kebetulan sekali yah bisa bertemu setelah sekian lama. Jangan-jangan semesta bekerja, ehehe.”
 
“Tidak, Doo. Aku ke sini bersama suami. Baru dua pekan lalu kami menikah, kenalin Doo. Ini suamiku. Bang, sinii cepetan!” Suaminya bertubuh tinggi besar, bergegas turun dari mobilnya.
 
“Kenalin bang, ini Dodoo. Teman satu SMA dulu, ini looh. Ketua Rohis yang semalam aku ceritain. Semesta beneran bekerja yaa, baru aja semalem kita omongin. Eh hari ini malahan ketemu di sini.” Kata si doi kepada suaminya. Aku melongo mendengar perkataan itu.
 
“Waah, senang sekali bisa berjumpa di sini. Salam kenal ya mas Dodoo. Jadi gimana, udah hafal kah doa Khataman-nya? Hehhe.” Aku kembali melongo.
 
Tujuh tahun telah berlalu, wejangan dari Pak Guru masih terngiang hingga hari ini. Ucapan belio terbukti. Wanita yang aku harapkan, benar-benar tidak aku dapatkan.
Sudahlah, yang paling benar memang hanya mengharap ridha Allah saja, jangan mengharapkan yang lain. Nanti bakal kecewa!
 
Cerita ini hanya fiksi!  :)

Saat ini menunjukkan pukul sepuluh pagi. Aku sedang duduk santai di ruang tamu, sedang membuka Twitter, membaca perdebatan netizen. Banyak hal yang diperdebatkan, mulai dari yang penting sampai hal yang retjeh. Sesekali, aku ikut mendebat para Libertard yang open-minded. 
Sementara itu, adikku tengah duduk di depan laptop. Nampaknya sedang mengerjakan tugas dari dosennya yang bertubi-tubi tiada henti.
 
Tanpa angin dan hujan, tiba-tiba adikku berseloroh, "Mas, minta kontak Mbak Fulanah dong!"

"Eh, untuk apa?" Aku bertanya penasaran, ada hal apa dia menanyai kontak sahabat-ku. Fulanah adalah 'sahabat'ku, dalam 'tanda kutip' yaa. Ehehehe.

"Ndak, mas. Aku ada perlu saja." Jawab adikku polos.
 
"Beneran?"
 
"Iya, bener mas."
 
Oh yaa, adikku adalah seorang mahasiswa baru di fakultas yang sama denganku. Aku berbeda usia satu setengah tahun dengannya. Kata orang, kami seperti kembar karena saking miripnya. Hanya berbeda di kaca mata. Aku pakai kaca mata, dia tidak.

Kembali ke twitter.  Setelah melayani permintaan adikku, aku kembali berselancar di dunia maya. Aku begitu kesal dengan netizen yang punya pemikiran aneh. Ada yang bikin twit begini. "Aktivitas hubungan seksual tidak harus dilakukan dalam bingkai pernikahan. Kalo udah sama-sama suka, ga masalah."
 
Aku tidak habis thinking. Kok bisa ada yang berpikir begitu. Apakah penduduk Indonesia hari ini semakin sekuler dan liberal? Entahlah, semoga saja tidak.

Dua hari kemudian, pada sore hari di terminal bus kampus. Aku dan adikku hendak pulang ke rumah menggunakan bus. Di sana juga ada Fulanah yang sedang duduk manis di halte. Saat itu, ia menggunakan gamis berwarna ungu dan hijab putih lebar yang menjulur sampai ke bawah  dada.
 
"Waah, ada mbak juga di sini. Akhirnya kita ketemu juga nih, setelah dari kemarin hanya mengobrol di WhatsApp." Adikku menyapa si Fulanah.
 
"Hehe, iya dek. Akhirnya bertemu juga. Tumben nih, bareng masnya. Biasanya kalian pulang sendiri-sendiri. Lagi akur, nih!" Fulanah merespon basa-basi adikku.
 
Adikku kemudian memberikan sebuah kotak kardus ke Fulanah. Kotaknya cukup besar, dua kali lipat dari kardus Indo*mie.
"Mbak, ini ada hadiah dari Mas Dodoo. Katanya selamat ulang tahun. Dia malu mau ngasih sendiri, jadi aku yang mewakilkannya."

Fulanah menoleh ke arahku, "Heeh?"

Aku terkejut. Sekarang aku melotot ke adikku. "Haah?!"
 
Kami saling ber-hah-heh.
 
Fulanah tertawa kecil melihatku yang tengah melotot ke adikku.
"Hiihii, makasih ya Doo. Makasih juga, dek." Dia mengucapkan terima kasih kepada adikku dan aku.

"Emm... Sa.. sama-sama." Aku berujar sambil menggaruk kepala yang tidak gatal.
 
"Doo, dek. Duluan yaa. Assalamu'alaykum!" Fulanah masuk ke bus yang hendak berangkat, sedang aku dan adikku masih duduk di halte. Kami lebih memilih untuk naik bus selanjutnya.

"Yaa, 'alaykumussalam!" Kami berdua menjawab dengan kompak.

Sepuluh menit kemudian, bus selanjutnya tiba. Kami naik ke bus itu, aku ingin mengintrogasi adikku dalam perjalanan pulang.
 
"Kamu ngapain tadi ngasih hadiah?" Aku memulai sesi introgasi di dalam bus yang sedang berjalan.
 
"Memberikan surprise ke mbak Fulanah, mas. Dia kan ulang tahun, dan sebenarnya aku sekalian mau bantuin mas. Setahuku, mbak Fulanah kan saat ini lagi deket sama mas. Siapa tau berjodoh dengan njenengan, mas. Hehehe." Adikku menjawab dengan jujur.

"Astaga!" Aku terkejut mendengar responnya. Sepertinya adikku penonton setia story Instagram si Fulanah. Itulah sebabnya kedekatan kami diketahui adikku.
 
"Terus, kamu beliin apa saja tadi untuk kado itu. Kenapa besar sekali box-nya?"

"Aku beliin magic-com, tas, gamis, kerudung, buku tulis, pulpen dan pensil. Oh ya, satu lagi. Kertas A4 80 gram satu rim beserta tinta juga,untuk nge-print. Sebagai seorang mahasiswi, mbak Fulanah pasti butuh barang-barang seperti itu, mas."

Hening.
Aku bengong sejadi-jadinya.

"Banyak sekali yang dibeli, berapa total harganya?"

"Enam ratus lima puluh ribu, mas." Adikku masih menjawab dengan polosnya.

"Astaghfirullah." Hanya ini respon yang bisa ku berikan.
 
"Kenapa, mas?"
 
"Uang darimana kamu? Kok bisa belanja sebanyak itu?"

"Kan aku ada uang beasiswa Bidikmisi. Lha, kan mas juga dapat itu uang Bidikmisi. Piye, tho?"

Hening kembali.

"Yaudah, mau diganti ndak uangmu?"

"Eeh, boleh deh mas. Hehehe."

"Mas ganti setengahnya yaa. Nih, tiga ratus lima puluh ribu, kontan!" Aku mengeluarkan uang dari dompet, memberikannya ke adikku.

Aku kembali penasaran dengan kepolosan adikku. "Terus, apalagi yang kamu lakukan ke mbak Fulanah?"

"Oh ya, aku beliin sate, mas."

"SATE?" Aku berseru tanda tidak faham.

"Iya, mas. Kan itu ada magic-com yang aku kasih. Mungkin sampai di rumah nanti, mbak Fulanah lapar dan kepengen makan sate. Bisa langsung makan, dengan cara dihangatkan dulu menggunakan magic-com baru itu." Adikku menjawab dengan benar-benar lugu, bukan hendak bercanda.

"ASTAGA ADIKKU!!" Aku kali ini benar-benar speech less.
 
Kemudian, entah darimana. Ada ibuku di dalam bus itu, dia mendekati tempat duduk kami.
Kemudian beliau berkata dengan suara melengking khas emak-emak, "Dodoo, banguun. Sudah jam tujuh pagi masih aja di atas kasur. Udah dibilangin, habis shalat Shubuh, jangan tidur lagi!"
 

Ternyata, cerita di atas hanyalah mimpi belaka.
 



Kling klong..

Ponselku berdering, tanda ada pesan masuk dari aplikasi WhatsApp. Apabila aku lihat, ternyata pesan tersebut berasal dari my girl friend. Ia bertanya sesuatu.

"Assalamu'alaykum. Doo, kamu punya kontak ustadz yang faham mengenai fiqih syariah, ndak?"

Aku dengan sigap langsung membalas, takut membuat ia kecewa, "Wa'alaykumussalam. Yaa, ada. Ini kontaknya."
Aku mengirim dua kontak ustadz lulusan Universitas Al-Azhar Cairo Mesir. Sebut saja Ustadz Ahmad dan Ustadz Idrus (bukan nama sebenarnya).

"Kamu dong yang tanyain ke ustadz, kan sesama laki-laki. Aku ndak enak. Ehehee." My girl friend membalas pesanku.

"Eh, emang mau tanya apa? Aku juga tidak kenal sama mereka sih."

"Jadi gini, Doo. Aku kan sedang interview kerja di salah satu perusahaan swasta." Dia mulai menjelaskan.

"Waah, selamat yaa!" Kataku.

"Tolong tanyakan pertanyaannya seperti ini. Kalau kita bekerja di suatu perusahaan teknologi, dan kita ditugaskan menjadi teknisi di bank. Kerjaannya halal atau ndak, yaa?"

"Hemm.."

"Maksudnya gini, Doo. Misal aku kerja nih di Perusahaan X, kemudian Perusahaan X diminta oleh Bank Y untuk memperbaiki sistem pada bank mereka. Itu kan sama saja aku mendapat uang dari bank. Aku ndak mau lah menerima uang haram."

"Kok bisa haram?" Aku bertanya penasaran.

Dia menjawab dengan dalil Al-Quran, "Iya, jelas haram. Di bank kan ada bunga. Bunga merupakan riba. MUI telah berfatwa bahwa bunga dalam bank adalah riba, dan itu adalah haram hukumnya. Kita bisa lihat di Al-Quran surat Al-Baqarah, ayat 275 ... Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba ..."

"Oke, siapp bu bos. Nanti akan aku tanyakan. Tapi tidak dengan kedua ustadz yang tadi, aku tidak kenal. Aku tanyakan dengan guru yang lain yaa."

"Syukran!"
 (terima kasih)

"Oke, 'afwan!"
(sama-sama)

Obrolanku usai dengan my girl friend, alias teman perempuanku. Yaa, my girl friend di sini bukan pacar.
Aku adalah seorang jomlo! Hiksss :((
Fyi, aku punya sebelas girl friend dari program studi di kampusku. Sedangkan untuk boy friend, aku punya sekitar empat puluh orang.
Sungguh informasi nir-faedah!

   Baca juga dong;
  • Perempuan Open-Minded
  • Jadi Kita Sekarang Gimana?
  • Pembatasan Sosial, Aku dan Kamu. Sebuah Auto Kritik?

Aku kemudian menghubungi guru-guruku. Pertama, aku menghubungi Bang Fatih. Beliau guru ngaji-ku ketika SMA. Walaupun sekarang aku sudah tidak lagi ngaji ke beliau, hubungan kami masih tetap baik.

Beliau menjawab pertanyaanku,
"Yang memberi gaji dari bank atau perusahaan? Kalau digaji oleh perusahaan, insyaa Allah halal. Karena tugas itu baik dan bukan kriminal. Kalaupun yang memberi gaji adalah dari pihak bank, itu bukan untuk maksiat, tetapi kemaslahatan. Itu pun sebagian ulama membolehkan karena kita mengambil upah sebagai karyawan. Walaupun, di sisi lain sebagian ulama tetap mengharamkan menerima gaji dari bank."

Bang Fatih melanjutkan, "Coba kamu tanya ke Ustadz Ahmad juga. Siapa tahu dia bisa memberikan jawaban yang lebih memuaskan."
Ustadz Ahmad adalah ustadz yang kontaknya tadi aku berikan ke my girl friend.

"Terima kasih banyak, bang."

"Kamu diterima kerja di perusahaan itu?" Bang Fatih kini bertanya kepadaku.

"Eh, tidak bang. Itu temen yang bertanya kepadaku."

Percakapan selesai.
Selanjutnya, aku bertanya kepada adik tingkatku di kampus. Setahuku, dia sering ikut pengajian Habaib.

"Dek, tolong tanyain ke Habib dong!" Aku mengirimnya pesan.

"Tanya apa, mas?" Si adik tingkat membalas pesanku, walaupun setelah satu jam. Dasar slow respon.

Setelah satu jam lagi aku menunggu, adik tingkat itu mengirimku pesan forward dari sang Habib, "Tidak termasuk haram kerjaan seperti itu. Yang haram itu kalau bekerja yang langsung berkaitan dengan riba."

Aku mengucapkan terima kasih.

Terakhir, aku menghubungi Ustadz Egi (bukan nama sebenarnya).
Aku saat ini rutin mengaji dengan beliau sepekan sekali. Jadi, selepas SMA ketika masuk kuliah, aku pindah pengajian. Dari Bang Fatih ke Ustadz Egi.
Sama seperti sebelumnya, isi chat dari girl friend langsung aku copy ke Ustadz Egi, mentah-mentah.

Beliau menjawab, "Wlkmslm. Halal, tapi ada batasannya. Kamu harus mencari atau melamar pekerjaan lain, dan kalau sudah diterima di tempat lain yang lebih jelas, segera tinggalkan pekerjaan yang lama."

Aku membalas chat sang ustadz, mengucapkan terimakasih. Kemudian, aku bertanya perihal jadwal pengajian rutin kami, "Jadi, besok malam kita tetap ngaji seperti biasa ya pak?"

"Gimana kalo kita makan-makan? Pengajian daring menggunakan Zoom kita tunda dulu untuk pekan ini." Jawab sang ustadz, diakhiri dengan emoticon ketawa.
Oh ya, di masa pandemi ini kami tetap melakukan pengajian, tetapi online. Kami sudah lima bulan mengaji dengan tidak bertatap muka.

"Eh, boleh pak. Dimana? Ehehe.." Aku menjawab dengan mengikuti gaya sang ustadz, aku mengakhiri dengan emoticon ketawa juga.

"Terserah kalian saja, silahkan diskusikan dengan teman-teman."

"Baik, pak. Terima kasih banyak."

"Oh ya, nanti uangmu cukup atau tidak? Kalau tidak cukup, nanti akan saya tambahin kekurangannya."

"Eeeeh, iya pak. Siap."

Percakapan kami di WhatsApp berakhir.
Aku merasa ada yang tidak beres. Otakku mencoba menganalisis, tujuh belas detik kemudian aku mendapat kesimpulan.
Ahha!

Kesimpulan pertama, karena sekarang sudah masuk fase new normal. Kami tidak lagi mengaji melalui daring. Maka, untuk merayakan berhentinya pengajian daring, dimulai dengan makan bersama. Prediksiku, pekan depan kami telah akan mengaji dengan tatap muka seperti biasa. Seperti sebelum ada pandemi.

Kesimpulan kedua, sang ustadz mengira bahwa aku baru saja diterima kerja. Dan makan-makan bersama adalah cara untuk merayakan ini. Kemungkinan besar aku yang akan menanggung biaya makan dengan teman-teman. Jika uangku kurang, sang ustadz akan menutupi kekurangan itu.
Sepertinya, kesimpulan kedua adalah tepat, alias... MAMPUS GUE GA PUNYA DUIT!

Aku langsung memberi kabar ke teman-teman pengajianku di grup WhatsApp.
By the way, kami punya dua grup. Grup pertama, ada sang ustadz di dalamnya. Sedangkan grup kedua, tidak ada ustadz di situ. Sudah barang tentu kami sering berkomunikasi di grup yang tidak ada ustadznya, ehehehe.
(Maafkan muridmu, tadz. Semoga ustadz tidak baca blog ini. Hiihihi)

"Teman-teman semua, besok malam kita ngaji-nya tidak daring lagi. Kita diajak ustadz makan-makan ke restoran ********. Harap datang, yaa!" Aku memberi kabar ke teman-teman di grup.

"Kita tidak ngaji online lagi, Doo?" Seorang teman bertanya.

Aku jawab, "Mungkin tidak lagi. Sepertinya, pekan depan sudah normal. Kembali bertatap muka seperti biasa. New normal."

"Siapa yang bayar nih?" Teman yang lain ikut bertanya.
Yaa, pertanyaan ini cukup penting, mengingat kami mayoritas di grup itu adalah pengangguran, baru wisuda beberapa bulan yang lalu. Ada juga yang wisudanya tertunda (atau, ditiadakan?) kerana Corona. Ada juga yang masih mengerjakan skripsi.
Kami semua masih missqueen.

Aku menjawab dengan gamblang, "Kita nanti bawa duit aja sendiri-sendiri. Tapi, katanya sih ustadz bakal nambahin."

***

Esok hari, jam delapan malam. Aku dan enam orang boy friend sudah berada di restoran yang disepakati. Aku memesan paket menu yang paling murah saat itu, nasi dengan lele goreng dan es teh. Harganya Rp 13.500. Teman-temanku yang lain memesan makanan yang lebih mahal, nasi ayam panggal Rp 20.000, ditambah jus alpukat Rp 16.000. Totalnya, Rp 36.000 untuk sekali makan satu orang.
Dompetku menangis, uang makan mereka masih lebih besar daripada uang jajan yang ibuku berikan dalam tiga hari. Wkwkwk.

Kami makan seperti biasa, tidak ada yang aneh. Kemudian, sambil berbincang-bincang, salah seorang teman bertanya.
"Jadi pekan depan kita kembali ngaji tatap muka, tadz?" 

Ustadz Egi menjawab, "Tidak, pekan depan kita kembali menggunakan Zoom. Untuk pekan ini saja kita makan-makan di luar."

"Jadi, dalam rangka apa kita makan-makan di sini, tadz? Aku kira ini karena kita hendak ngaji lagi tatap muka. Karena new normal."

"Dodoo tidak memberi tahu kalian kah? Bukanya makan-makan ini karena syukuran dia yang baru diterima kerja." Ustadz Egi memberi penjelasan yang membuat kami semua terkejut.

"Haaah?!" Aku tersedak.

Ustadz Egi tidak mau kalah, "Haaah?"

Kami berdua saling ber-hah-hah.

"Eh, maaf pak. Saya belum diterima kerja kok. Hehee." Aku menjelaskan. Renungan aku kemarin, terbukti.

"Lha, bukannya kamu kemarin bilang bahwa diterima di perusahaan teknisi untuk Bank?"

"Bukan, pak. Itu temanku yang bertanya. Dia mau kerja di sana, tapi ragu takut terkena dosa riba. Jadi, pertanyaan itu akun tanyakan ke bapak."

"Jadi kamu sekarang?"

"Masih menganggur, pak. Mohon doanya agar segera dapat kerja. Ehehehe." Aku menjawab dengan polos.

GUBRAKK

Makan malam kali itu berakhir tepat jam sembilan. Akhirnya, seluruh makanan malam itu ditraktir oleh ustadz.
Aku menyesal.. kenapa pilih makan yang termurah. Seharusnya aku bisa memesan makanan yang lebih mahal.
Hahahaa!



Cerita ini adalah nyata, namun ditambah sedikit bumbu penyedap agar lebih terkesan dramatis.



Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

ABOUT AUTHOR

Kang Mas Joe adalah seorang yang berpengalaman dalam pahit dan getirnya kehidupan, walaupun nyatanya tidak terlalu pahit. Mencoba berbagi tulisan melalui blog, semoga ada hikmah yang bisa diambil. Apabila ada kritik, saran, nasihat dan mau kerjasama. Silahkan DM melalui Instagram dan Twitter @KanggMas_Joe. Terimakasih!

POPULAR POSTS

  • Pencitraan Jilid Dua; Buku yang Aku Baca di Tahun 2020
      Beberapa hari ke belakang, rumahku sedang direnovasi. Maka buku-buku yang ada di rumah sedang tidak ada di rak buku seperti biasa. Begini ...
  • Masjid Cheng Hoo
    Masjid Muhammad Cheng Hoo, adalah salah satu masjid yang cukup terkenal di Palembang. Sering dijadikan sebagai tempat wisata religi. Menurut...
  • Balonku Ada Lima
    Jangan terkejut, ini bukan jimat, mantra, doa atau sebagainya!  Untuk kamu yang sudah jago membaca Al-Quran sejak kecil, aku yakin kamu past...
  • Menjadi Pacar Sewaan
    Hari ini adalah hari Ahad, pukul sepuluh pagi. Aku sedang duduk bersantai di rumah, sedang menatap layar laptop untuk melakukan blog walking...
  • 3 Bloggers yang Rajin BW
    Seperti biasa, di setiap penghujung bulan, Mbak Eno yang baik hatinya kembali membuat challange. Ini adalah event ketiga dari challange- nya...

Categories

  • Bisnis
  • Cerita
  • Opini
  • Perjalanan
  • Pernikahan
  • Sajak
  • Tutorial

Copyright © 2021 Kangg Mas Joe. Created by OddThemes