Membuat tulisan yang terlalu serius ternyata melelahkan yaa. Telah aku buktikan di beberapa postingan sebelumnya. Kini, aku coba kembali ke khittah dari blog ini. Aku akan menulis hal yang santai-santai saja. Hehe..
Aku mau cerita tentang suatu tragedi di awal tahun 2015.
Aku saat itu masih menjadi siswa SMA kelas tiga, menuju Ujian Nasional (UN). Saat-saat terakhir yang menegangkan. Persiapan yang banyak dilakukan oleh siswa adalah mengikuti Bimbel di luar sekolah. Aku juga melakukannya. Aku menjadi siswa salah satu bimbel yang letaknya sangat dekat dari Jembatan Ampera.
Bimbel ini cukup murah untuk siswa yang keadaan ekonominya berada pada kelas menengah ke bawah.
Di bimbel lain yang berlogo gajah, menerapkan sistem pembayaran paket per tahun. Bisa empat hingga lima juta rupiah. Di tempat bimbelku yang berlogo ular, sistemnya malah per bulan. Biayanya tidak sampai dua ratus ribu,yang berarti hanya sekira dua juta rupiah saja biaya dalam satu tahun. Bayangkan, cukup jauh perbedaan harganya. Mungkin karena gajah berbobot lebih besar daripada ular, jadi biayanya lebih besar. Wkwk.
Aku sudah becerita tentang Bimbel ini di postingan sebelumnya, dengan judul Santuy-nya Liberalisme.
Tragedi apa yang hendak aku ceritakan di sini?
Ceritanya ketika hendak pulang dari Bimbel, di sore hari. Kami pulang sekira pukul 17.40. Waktu shalat Maghrib masih ada dua puluh menit lagi, jadi masih sempat untuk pulang dan shalat di rumah. Eh, bukan. Maksudku, shalat di masjid dekat rumah. #LakiShalatDiMasjid,BukanDiRumah! *eaak
Aku pulang berboncengan motor bersama teman satu kelasku. Sebut saja namanya Prabowo alias Bowo. Aku ikut motornya si Bowo, aku selalu pulang diboncengnya. Lumayan, bisa hemat ongkos, wkwk. Aku tidak perlu naik angkot lagi.
Walaupun begitu, aku adalah jenis teman yang tahu diri. Sore itu, aku berencana untuk membayarkan bensin motor si Bowo. Malu dong kalau nebeng terus tapi tidak bayarin bensin si empunya motor.
Sore itu berjalan seperti biasa. Di atas motor, kami mengobrol ngalor ngidul. Walaupun kadang tidak terdengar juga kalimat apa yang keluar dari mulut-mulut kami. Kalau kamu sering naik motor, pasti tahu gimana ribetnya ngobrol di atas motor antara pengemudi dan penumpang. Suara kita terkadang tertutup angin.
Ketika sedang asyik ngobrolin ukhti di kelas sebelah, tiba-tiba... brakkkk.
Motor yang Bowo dan aku naikki menabrak sebuah motor di depan. Motor itu hendak keluar dari gang menuju jalan raya, Bowo yang mengendarai motor cukup kencang tidak sempat menghindar dan akhirnnya menabraknya.
Orang yang ditabrak oleh Bowo sendirian, kakinya terluka cukup parah. Bagimana dengan Bowo? Tangannya juga terluka. Sedangkan aku juga ikut terjatuh. Lutut dan telapak tangan terluka. Helm yang aku kenakan terlepas, pipiku kemudian menjadi bengkak macam bakpao. Beruntungnya, kacamataku tidak pecah. Wajahku tetap aman.
Dasar orang Indonesia, sudah kecelakaan, masih saja ada untungnya! Hadeh~
Orang yang ditabrak marah-marah kepada kami. Bowo tak mau kalah, dia juga melawan. Orang itu, walaupun berusia sekitar 30-an, akhirnya ciut nyalinya berhadapan dengan Bowo. Sebab Bowo berbadan besar dan tinggi, bertubuh gempal dan wajah sangar.
“Pokoknya aku minta ganti rugi dengan kalian, dek! Tiga ratus ribu rupiah!” Kata orang itu, nampaknya ia berusaha memeras kami. Memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan.
“Kami tidak punya uang, pak. Kami siswa SMA yang baru pulang dari Bimbel.” Bowo menyanggah permintaannya.
“Yaa sudah, kau pulang sana minta duit sama orang tua. Sebagai jaminan, sini serahkan SIM kau. Aku tahan dulu!” Orang itu masih tidak mau kalah.
“Kalo bapak mau minta ganti rugi, tidak bisa. Toh kami juga luka-luka, tidak hanya bapak saja. Lihat, kaca spion motorku juga pecah. Kami tidak sepenuhnya salah, bapak keluar gang secara tiba-tiba, mana bisa kami mengelak!” Bowo masih ngotot.
“Tidak! Aku tadi sudah menyalakan lampu sein, kalian yang tiba-tiba menabrakku. Pokoknya aku mau ganti rugi, cepetan mana SIM dan STNK kau!”
“Aku tidak punya SIM. Kalo STNK motor ini aku tidak bawa, ada di bapakku di rumah!” Bowo masih mengulur waktu.
Akhirnya, percekcokan itu berakhir setelah dilerai warga. Kami tidak memberi uang sepeserpun kepada orang itu. Kami pulang ke rumah. Rencanaku untuk mentraktir duit bensin kepada Bowo, batal.
“Enak saja mau ngasih STNK ke orang itu, emang dia siapa? Polisi, bukan!” Kata Bowo di atas motor, menuju perjalanan pulang.
“Udah, tenang aja dulu, bro. Kau fokus saja mengemudi motor ini. Konsentrasi, bisa bahaya. Nanti seperti tadi, kita nabrak orang lagi.” Kataku menenangkan Bowo.
***
Keesokkan harinya, aku pergi ke sekolah seperti biasa. Wajahku masih ada bekas memar dan pipi bengkak macam bakpao, namun belum ada yang menyadari. Aku ingat betul, saat itu adalah hari Sabtu dan pelajaran pertama adalah Kimia. Wali kelasku yang mengajar pelajaran ini.
“Bowo mana, Doo? Kok tidak masuk. Sakit apa dia?” Kata bu guru. Sebab, bangku di sebelahku kosong dan itu tempat duduknya.
“Iyaa, bu. Dia sakit, nampaknya masih keseleo sebab kecelakaan kemarin.”
“Kecelakaan? Dimana dan bagaimana ceritanya?” Ibu guru mendelik penasaran. Tiba-tiba kelas hening. Seluruh siswa nampaknya hendak fokus mendengarkan ceritaku.
“Jadi, kemarin sore kami pulang dari Bimbel, bu. Yaa pokoknya ada orang yang keluar gang tiba-tiba. Kemudian, tertabraklah orang itu.”
“Terus, keadaan motornya gimana?”
LAAH SI IBOOK MALAH NANYAIN KEADAAN MOTOR -_-
“Eh, Doo. Pipimu jadi bengkak gitu yaa? Karena kecelakaan kemarin?” Tanya bu guru.
“Iyaa, bu. Tapi ini sudah agak mendingan, kok. Bengkaknya tidak sebesar kemarin.” Kataku menjawab pertanyaan beliau.
“Jadi, kenapa bisa kok kalian sampai menabrak orang itu? Kalian ngebut yaa?” Bu guru masih belum puas bak wartawan, terus bertanya kepadaku.
“Tidak, bu. Yang ngebut Bowo. Aku kan diem di belakang, dibonceng.” Aku menjawab refleks.
Tiba-tiba satu kelas riuh. Seluruh teman yang tadinya hening, fokus mendengar penjelasanku tiba-tiba tertawa. Pecah.
Aku awalnya bingung, dimana salahku. Kenapa tiba-tiba satu kelas tertawa, padahal aku tidak berniat melucu. Aku menjawab serius pertanyaan ibu guru. Aku menjawab dengan benar, jawabanku sesuai logika. Sebab, yang membawa motor kan Bowo, berarti yang menjadikan motor itu ngebut yaa si Bowo. Aku tidak ikut andil membuatnya ngebut, karena hanya sebagai penumpang yang duduk manis di belakang.
Entahlah, cara berfikir di dalam otakku telah terbiasa sistematis dan logis sejak kelas satu SMA, setelah belajar bab Logika dalam Matematika. Pelajaran itu sangat meresap ke dalam dada dan jiwa raga.
Cara berfikir semacam ini, menurutku sangat berguna untuk menganalisis dan menelaah sesuatu. Terutama dalam bidang pemrograman komputer. Jikalau kamu membuat suatu coding, perintah yang dituliskan harus jelas. Jangan sampai ambigu dan multi tafsir. Jika itu terjadi, program yang dibuat akan eror, tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Maka, pertanyaan bu guru yang tepat seharusnya adalah bukan Kalian ngebut yaa? Tetapi, Bowo ngebut yaa?
Ehehe..