Kangg Mas Joe

Blognya Dodo. Tidak semua yang diposting adalah nyata, banyak pencitraan dan fiksinya.


Yeey! 
Akhirnya ke bioskop untuk pertama kalinya di tahun 2022. Setelah sebelumnya, di tahun 2021 aku hanya dua kali menonton film di bioskop. Pertama di bulan Februari; Doraemon Stand By Me 2. Kedua di bulan November; Nussa.
(Rencana pengen buat review-nya, tapi lupa mulu. Jadi males, ehehee)

Film tentang apa yang aku tonton hari ini?
Genre-nya adalah Horor! Iya, untuk pertama kalinya, aku menonton film horor di bioskop. Judulnya; Makmum 2.

Kenapa menonton film ini? Yaa karena kami telat sampai ke bioskop, wkwkk!
Ada satu teman yang agak telat datang dari jadwal janjian yang telah ditentukan. Satu teman lagi lupa kalau dia pulang kerja jam satu siang, bukan jam dua belas. Dan kami tiba di bioskop sekitar jam 13.40.
Jadi, rencana berubah. Mencari film yang pas saja jadwalnya. Dapatlah film ini.

Film ini, di awal menampilkan keindahan alam daerah pedesaan Jawa. Sangat indah menurutku. Tergambar pegunungan, sawah, ladang, rumah-rumah penduduk desa yang ramah, dan sebagainya. Sangat nyaman. Tidak sehiruk-pikuk aura perkotaan Jabodetabek.
Oh yaa, aku kurang tahu apakah itu di Jawa Tengah atau Jawa Timur. Yang jelas, di film itu tergambarkan banyak dialog yang menggunakan Bahasa Jawa. Nasib baik aku telah faham Bahasa Jawa, jadi tidak perlu membaca subtitle-nya. Ehehe.

Sesuai namanya, Makmum 2. Jadi ini bercerita tentang hantu yang ikut menjadi makmum ketika shalat. Menghadirkan perasaan was-was dalam diri orang yang diganggu hantu makmum tersebut. Padahal mah, gak perlu was-was. Siapa tahu si hantu pengen tobat dengan ikutan shalat. Menjadi pribadi yang lebih baik. #Eaakk!

Dan film horor ini, menurutku tidaklah menyeramkan. Sesekali saja membuat terkejut. Karena efek suara, pencahayaan yang awalnya gelap tiba-tiba menjadi terang, kemudian si hantu makmum tiba-tiba muncul. Hantunya pun jelek sekali. Eh, iya. Yang namanya hantu pasti jelek. Tidak ada hantu yang ganteng atau cantik. Ahaha!

Kemudian, film yang seharusnya menyeramkan. Menurut kami malah seolah menjadi film lawak. Aku tidak tahu, apakah kami salah atau tidak. Ketika di bioskop orang-orang sedang ketakutan, kami malah tertawa cekikian melihat adegan yang  ada di film itu. Misal, hantu nya yang tiba-tiba terbang, atau hantu nya ikut baca “Allahu Akbar” atau "Sami'allahu-liman hamidah" ketika menjadi makmum (hantu aja ikutan shalat, masak kamu nggak, hehee), dan sebagainya.

Itu semua tidak masuk akal!
WOYY NAMANYA AJA FILM, BANYAK PROTES AJA, LU!

Walaupun cover film ini adalah horor, menurutku ini ada pesan moral tersembunyi. Menjaga lingkungan!
Kok bisa? Yaa, sebab ada pohon yang ditebang, maka kemudian ada hantu yang menjadi gentayangan. Mengganggu dan merasuki tiga orang anak beserta para ibunya.

Bagaimana ending-nya? Ada seorang “dukun” yang menanam kembali pohon yang telah ditebang. Beliau menanam pohon yang masih kecil. Masih di dalam polybag. Dua batang pohon. Dua loh, bukan satu. Dan ketika pohon kedua selesai ditanam. Hantu yang merasuki salah seorang ibu, sirna. Sang ibu sadar dari kesurupan.
Well, jangan-jangan beliau bukanlah dukun, melainkan aktivis lingkungan. Ehehe.
Maaf agak sedikit spolier, yaak. Ehehe.

Kira-klira seperti ini pohon dalam polybag yang ditanam oleh "Dukun" tersebut, ehehee

Dan terakhir, ada hal yang membuatku kecewa. Biasanya kan film horor di Indonesia selalu menampilkan adegan esek-esek. Tapi kenapa di film ini tidak ada yaaa? :((
#Ehh



Edit:
Temanku, Mang Coy, juga membuat review tentang film ini. Silahkan baca tulisannya; Review Film Makmum 2.



Memasuki bulan Februari, yang katanya bulan Cinta, marilah kita membahas tentang cinta-cintaan. #Eaakk.

Apa yang hendak aku bahas? Sebuah novel lama, terbitan pertama di tahun 2005 bulan Mei. Karya Om Puthut Ea, berjudul Cinta Tak Pernah Tepat Waktu.
(Oh yaa, buku yang aku baca adalah cetakan kedelapan, terbitan tahun 2019, diterbitkan oleh Buku Mojok).

Jujur, kesan awal membaca novel ini, aku merasa kasihan dengan tokoh “Aku” di novel tersebut. Terkadang memaki-maki dalam hati kepada si tokoh tersebut, “Geblek! Kok elu gitu, sih!”
Namun, beberapa detik setelah memaki, aku baru sadar akan suatu hal. Tokoh “Aku” adalah aku. Penggambaran aku sendiri (atau mungkin kita semua?). Seorang “sad boy” yang selalu gagal dalam percintaan! :((

Cerita berawal dari sebuah pesta seorang teman. Tokoh “Aku” tiba-tiba didatangi oleh seorang perempuan. Awalnya nampak misterius. Tidak jelas. Namun, setelah ditelaah lebih lanjut, si perempuan adalah mantan pacarnya, yang kini telah bersuami. Dan “Aku”, nampaknya masih memiliki rasa cinta terhadap perempuan itu. Namun apalah daya, si perempuan sudah menjadi istri orang.
Lihat! Sama seperti kisah nyata yang aku alami, bukan!

Entah apa yang memotivasi si perempuan untuk kembali menggoda “Aku”. Menanyakan apakah “Aku” sudah punya pacar lagi, atau masih sendiri. Apakah sedang bahagia atau tidak. Pertanyaan-pertanyaannya seolah mengejek. Waduh. Menurutku, perempuan itu jahad sekali, sih.

Setelah agak lama si perempuan mengganggu, teleponnya berdering. Si suami menelpon, mengatakan bahwa ia telah menunggu di depan. Tanda hendak pulang. Kemudian, si “Aku” bertanya kepada si perempuan. Kenapa suaminya tidak masuk ke sini saja, menemui mereka berdua. Si perempuan menjawab, bahwa suaminya sangat cemburu kepada “Aku”.
Benar-benar perempuan yang aneh, kan!

Tak berselang lama, masih di pesta yang sama, “Aku” kembali didatangi oleh perempuan yang lain lagi. “Boleh pinjam apinya?” kata si perempuan, seraya hendak menyalakan rokok kemudian menghisapnya dalam-dalam.

Dan ketika berbasa-basi dengan si perempuan yang meminjam korek, “Aku” kembali dibuat terkejut. Dia tidak pernah mengenalnya, namun si perempuan bisa tahu beberapa hal detail tentang hidupnya. Dan dengan agresif, si perempuan mengajak “Aku” untuk berjalan-jalan mengelilingi kota Jakarta.
Perempuan agresif ini, membuat “Aku” sangat tidak nyaman.

Lanjut lagi. “Aku” diperkenalkan dengan perempuan lain oleh ibunya. Tidak cocok lagi. Padahal si perempuan nampaknya sudah suka.
Beralih ke perempuan lain yang “Aku” temui, si perempuan sudah cocok. Ada yang sampai mengajak nikah. Si “Aku” masih tidak mau.

Di sini lah aku mulai memaki. Kenapa dia tidak terima saja. Mau mencari seperti apa, sih. Tapi yaa namanya cinta, tidak bisa dipaksakan. Si perempuan mau, laki-lakinya tidak mau. Atau sebaliknya, si laki-laki sudah kesengsem, tapi perempuannya tidak menginginkan. Tidak jadi pula suatu hubungan.

Setelah melewati banyak perempuan, yang tentu saja ditolak mentah-mentah oleh “Aku”. Terungkap suatu fakta kenapa hal ini bisa terjadi. Rasa cinta terhadap sang mantan (perempuan yang ada di awal), belumlah sirna. Tokoh “Aku” mau menyembuhkan rasa itu dahulu. Menyelesaikannya. Baru kemudian menjalin hubungan dengan perempuan baru. Percuma saja ketika menjalin hubungan baru, tapi yang ada di hati adalah orang yang lama. Hubungan itu akan menyakitkan.
(SOK IYES BANGET GUE HAHAHA!)

Dan yaa, dari novel ini aku merasa cinta datang benar-benar tak tepat waktu. Ada yang kita cinta, ternyata dia sudah ada yang punya. Ada orang yang cinta kepada kita, tetapi di hati kita masih ada orang lain yang nun jauh di sana. Namun, orang itu pun tidak cinta kita. Benar-benar sulit nampaknya, mencari ketepatan waktu dalam bercinta!

Dua ribu dua puluh dua! 
Akhirnya kita telah memasuki tahun yang baru. Semoga kita punya semangat baru dengan target dan capaian yang baru, lebih baik dari tahun sebelumnya. Aamiin!

Beberapa hari yang lalu, aku mendapat kiriman tanpa nama, walaupun akhirnya aku tahu siapa pengirimnya, berupa sebuah paket kotak kecil. Berisi sebuah surat mungil yang terikat rapi dalam sebuah botol.

Mon maap kalo fotonya gak estetik 😢

Dan apa yang terjadi? Tentu saja teman satu mess pada heboh; Woyy Mas Dodo, dapet surat cinta tuuh!
Aku hanya meng-ngakak saja.

Jadi, dari siapakah surat ini?
Sebenarnya itu adalah dari aku sendiri, yang ditulis di akhir tahun 2020. Berisikan harapan-harapan yang ingin dicapai di tahun depan, di tahun 2021.

Oh yaa, kegiatan menulis surat untuk diri sendiri di masa depan ini, terlaksana atas prakarsa Mbak Eno (pemilik blog creameno.com). Surat itu, aku kirimkan kepada belio di akhir 2020 (melalui kolom komentar di postingan blog nya). Kemudian disimpan di tahun 2021, dan di awal 2022 dikirimkan kepada seluruh peserta yang ikut event tersebut di blog nya.

Dan aku, sebenarnya sudah lupa juga pernah ikut event ini, hingga mbak Eno mengirimku email, menanyakan alamat.
So, yang mengirim paket tentu saja belio yaa. Hehehe.

Kembali ke isi surat.
Di sana, aku menuliskan beberapa rencana-rencana yang ingin dicapai di tahun 2021. Hasilnya? Alhamdulillah ada yang tercapai. Tapi ada juga yang tak tercapai.
Dari empat hal yang aku tuliskan, yang tercapai baru satu. Tidak apa-apa. Namanya juga harapan. Toh, usaha mungkin sudah maksimal. Insyaa Allah di tahun 2022, semoga hal itu bisa tercapai. Hehe.

Beberapa hari yang lalu ketika tengah asyik blogwalking, aku melihat tulisan Mba Eno mengenai suaminya yang botak. Katanya, suaminya hendak mengenang masa-masa ketika wajib militer dulu, ketika masih muda (sekarang tetap masih muda, kok hehee 😜)

Aku juga pernah botak. Walaupun tak terlalu botak sih. Ini terjadi ketika aku menjadi Mahasiswa Baru (Maba) di tahun 2015 lalu.  Ceritanya, ketika Ospek kami diwajibkan potong rambut. Dengan panjang maksimal hanya 1 cm saudara-saudara! Jadi sebenarnya, nyaris botak.

Tapi itu sebenarnya masih mending. Dari seluruh jurusan di Fakultas Teknik, ada satu jurusan yang lebih parah; Teknik Pertambangan. Rambut mereka hanya boleh 1mm. Iya. Satu mili meter! Gimana ngitungnya coba, kwkwkw! Jadi mereka fiks botak, sih.

Dan, tahukah kamu ada satu fakultas yang menurutku cukup enak. Apa itu? Jawabannya adalah Fakultas Ekonomi. Mereka tidak ada aturan harus potong rambut botak. Jadi rambut mereka “normal” saja.

Bagaimana kabar selepas Ospek? Sebagian kecil di antara kami balas dendam dengan cara memanjangkan rambut. Menggondrongkan diri. Dan aku masuk ke kelompok kecil tersebut. Ingin merasakan bagaimana rasanya gondrong.

Seberapa panjang? Tidak juga sih. Rekorku cuma enam bulan tidak potong rambut. Aku ingat betul. Saat itu sedang terjadi gerhana matahari, yang baru saja aku cek di Google, tanggal 9 Maret 2016. Tidak penting sekali, bukan? Kwkwkw.

Rambut enam bulan itu, sepanjang apa sih. Menurutku, untuk ukuran cowok, itu sudah dianggap cukup panjang. Dianggap tidak lazim untuk cowok yang lingkungannya berambut pendek. Kalau aku masih berstatus siswa SMA, guruku pasti sudah gatal tangannya untuk menggunting rambutku dan membuatnya “tokak”.

Sudah terbayang? Jadi pokoknya rambutku saat itu tidak terlalu gondrong, tapi sudah dianggap panjang oleh kebanyakan orang (?). Atau gini deh, kalo kamu lihat ada cewek tomboy yang berambut pendek. Nah, kira-kira gitu deh.

Dalam perspektif cowok sudah dianggap panjang, tapi kalau perspektif cewek, masih dianggap pendek. Yaa, jadi saat itu aku sempat dikira cewek tomboy. Beneran.

Saat itu, aku dan teman-temanku pergi ke suatu sekolah untuk mempromosikan acara kampusku. Coba tebak, aku dipanggil “mbak” oleh salah satu guru di sekolah tersebut. “Mbaknya boleh duduk di sebelah sini,” kira-kira begitu kata guru tersebut. Suaraku berat macam bapac-bapac begini, kok bisa dipanggil “mbak”, ahahaa! -_-

Oke, kembali ke peristiwa gerhana tadi. Setelah gerhana matahari total selesai, aku membulatkan tekad. Bapak aku beritahu bahwa aku hendak potong rambut. Dan tahukah kamu, hingga umurku sekarang yang hampir seperempat abad, aku belum pernah potong rambut di tukang pangkas, salon, barbershop dan sejenisnya. Dari kecil hingga sekarang, rambutku hanya dipotong oleh satu orang saja; Bapak.

Nah, “masalah” baru muncul. Aku kini sudah tidak tinggal di bersama orangtua. Tinggal di pulau yang berbeda dengan bapak. Bagaimana pula nanti aku mau potong rambut? Sebenarnya jawabanya simpel. Aku tinggal pulang, awwkwowkowk.

Setidaknya, aku punya “alibi” untuk sering pulang. Toh jaraknya cuma satu jam kalau naik pesawat. Jadi, aku sudah pulang beberapa kali dan hanya beberapa hari. Sabtu dan Ahad di rumah. Senin pagi sudah berangkat lagi.

Marilah pulang, temui orang tua selagi sempat, selagi jarak dekat, dan uang di kantong bersahabat. 😁😁
The Untold Islamic History, adalah buku hasil karya Bang Edgar Hamas. Aku mengetahui belio dari media sosial Instagram dan Twitter. Bang Edgar sering membuat postingan mengenai keislaman, terutama sejarah Islam. Selain akun pribadi, belio juga punya akun media sosial yang bernama Gen Saladin. Aku sangat merekomendasikan kalian untuk mem-follow kedua akun tersebut, biar bisa dapat insight baru mengenai Islam.


Kemudian, dari profil penulis di halaman akhir buku, tertulis bahwa Bang Edgar berkuliah di Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar di Cairo, Mesir dan setelah itu melanjutkan ke Universitas Islam Madinah di Arab Saudi. Jadi, insyaa Allah argumen, dalil dan referensi yang ada di buku ini cukup kuat dan bisa dipertanggung jawabkan.

Oh yaa, post ini adalah lanjutan dari post yang sebelumnya, mengenai review buku yang aku baca ketika isoman. Buku yang sebelumnya di-review merupakan vovel dengan judul Mecca, I’m Coming.

Well, ada yang menarik ketika aku membaca buku ini di kamar karantina. Dari perusahaan, menyediakan satu kamar yang cukup luas dengan isi dua orang. Dan saat itu, aku sekamar dengan seorang mas-mas kafir yang bukan beragama Islam.

Ketika dia melihat di samping ranjangku ada tumpukan buku, dia menanyakan perihal itu, “Waah, hobi baca buku ya mas, buku apa aja tuh? Saya boleh pinjam gak?”
“Tentu saja, boleh mas,” aku menjawab dengan senang hati.
“Ada buku apa saja emangnya yang dibawa?”
“Ooh ini ada novel, satunya mengenai sejarah,”
“Sejarah ya, menarik itu. Saya suka kalau buku-buku mengenai sejarah,” kata mas-mas yang sekamar denganku. Dia kemudian Kembali bertanya, “Memangnya itu sejarah tentang apa, mas?”
“Eumm.. Sejarah Islam, mas.”

Dengan raut muka kecewa dia berkata, “Kalau sejarahnya mengenai itu, saya tidak bisa membacanya, mas..”
Aku hanya ber-hehe saja.


Lanjut mengenai tampilan  buku. Fisiknya sangat baik. Dengan harga hanya sembilan puluh ribu-an, buku ini punya hard cover. Biasanya buku dengan harga segitu covernya adalah soft, bukan hard. Jumlah halamannya lebih dari 250 dan buku ini menggunakan kertas majalah dan full color saudara-saudara!
Menarik sekali memang kemasannya.

Apa isi buku ini?
Sesuai judulnya, buku ini menceritakan sejarah-sejarah Islam yang jarang diceritakan, yang jarang diketahui oleh kita, atau bahkan cerita sejarah yang kita ketahui, ternyata tidak seperti itu adanya. Aku akan menceritakan beberapa bagian dari buku ini. Mari kita mulakan!


Ka’bah
Banyak dari kita sebagai orang awam, mengetahui bahwa Ka’bah dibangun oleh Nabi Ibrahim. Padahal (menurut penjelasan buku ini), Nabi Ibrahim hanya “meninggikan” bangunan Ka’bah, bukan “membangun” Ka’bah dari awal.
Dalilnya? Surat Al-Baqarah ayat 127.
Dan ingatlah ketika Ibrahim meninggikan fondasi Baitullah bersama Ismail...

Betul, kan? Lihat yang dicetak tebal. Meninggikan fondasi. Itulah yang dilakukan Nab Ibrahim.
Lalu, siapa yang membangun Ka’bah dari awal? Menurut Ibnu Al-Jauzi, Ibnu Hajar Al-Asqalani dan ulama lainnya, jawabnya ialah... Nabi Adam.

Thariq bin Ziyad
Salah satu bab yang menurutku cukup menarik, mengenai Thariq bin Ziyad. Ia adalah pemimpin pasukan Muslim di Afrika Utara yang hendak berhadapan dengan pasukan Kafir di Spanyol. Kita sering mendengar bahwa Thariq bin Ziyad membakar kapalnya untuk “memaksa” pasukannya agar memenangkan pertempuran dan tidak kabur dari medan perang.
“Wahai pasukanku, lautan ada di belakangmu dan musuh ada di depanmu! Tidak ada pilihan lain selain berjuang!” beginilah quote yang terkenal  yang katanya berasal dari Thariq bin Ziyad.

Pertanyaannya adalah, apakah kalimat tersebut benar-benar keluar dari mulut Thariq bin Ziyad?
Ternyata, kisah tersebut baru muncul 400 tahun setelah Thariq bin Ziyad menaklukkan Spanyol. Faktanya, tidak mungkin beliau melakukan itu. Pertama, sebab mubazir. Kapal itu pun adalah kapal sewa. Kedua, dalam Islam tidak pernah ada paksaan dalam berjuang.

Mitos pembakaran kapal ini, dihembuskan oleh Sejarawan Eropa masa lalu untuk menutupi “ketakjuban” mereka bagaimana mungkin pasukan Muslim yang sedikit (sekitar 12 ribu pasukan) mengalahkan 100 ribu pasukan dari kaum Kafir.
“Kok bisa?” gumam mereka saat itu.

Bangsa Barbar
Mari kita jujur pada diri kita sendiri. Apa yang ada di benak kita, ketika mendengar istilah “barbar”?

Tentu saja hampir dari kita semua sepakat; Barbar berarti istilah untuk menyebut suatu kelakukan yang tidak sopan, sembarangan, suka berbuat kerusakan dan sebagainya.

Dalam Kamus Bahasa Inggris, “Barbarian” diartikan sebagai masyarakat primitif dan kasar. Pun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “Barbar” berarti bangsa yang tidak beradab.
Sedih sekali.

Padahal, Barbar adalah salah satu suku bangsa yang ada di Afrika Utara. Thariq bin Ziyad dan pasukannya adalah orang yang bersuku Barbar.

Mandi
Cerita ini terjadi di tahun 900-an. Khalifah Abbasiyah yang bernama Al-Muqtadir Billah mengutus Ahmad bin Fadhlan dan rombongannya melakukan ekspedisi ke Kerajaan Volga Bulgaria (kini berada di Rusia) yang dihuni oleh Bangsa Viking.

Kebanyakan Bangsa Eropa masih belum mengenal mandi. Padalah, Rasulullah Muhammad saw telah mengajarkan bersuci dengan air dengan cara wudhu dan mandi junub (HAYOOLOOO SIAPA SERING MANDI JUNUB 😛) kepada umat Islam sejak 400 tahun sebelumnya.

Ahmad bin Fadhlan mengatakan Bangsa Eropa tidak memiliki budaya kebersihan yang baik. Jalanan becek dan penuh sampah. Orang-orang tidur di samping binatang ternaknya, dan ketika mereka hendak melakukan hubungan seks, mereka tanpa malu langsung melakukan saja di depan teman-teman mereka (eh tapi nampaknya hari ini masih ada juga yang seperti ini sih, malah sambil direkam dan kamu hobi menontonnya wokwowk).

Ketika di pagi hari, mereka tidak mandi. Dengan seember air, mereka hanya mencuci muka (hari ini juga masih banyak yang di pagi hari hanya mencuci muka, hehe), menyisir rambut dan meludah dengan air itu, tanpa mengeluarkan airnya dari ember. Selanjutnya, ember tersebut dipakai oleh orang lain, dengan air bekas orang yang telah dipakai sebelumnya. Kemudian air yang sama, dipakai oleh orang yang lain lagi. Bayangkan, betapa joroknya, bukan! Hihihii.

Ahmad bin Fadhlan menyaksikan itu dengan nyata, seolah tak percaya. Peradaban muslim yang saat itu sudah cukup maju, pun dengan ilmu pengetahuannya yang modern (pada masanya), namun di Eropa penduduknya masih sangat jorok dan terbelakang.

Namun, itu masa lalu. Hari ini, nampaknya keadaan dunia terbalik. Kondisi dunia Eropa yang sangat maju, kota-kota rapi, bersih, tertata. Mereka juga dalam segi ilmu pengetahuan maju. Berbeda dengan kita, umat Islam hari ini, malah berkebalikannya. Nampaknya, memang ada yang salah dengan kita. Mari kita perbaiki bersama, agar dapat mengembalikan kejayaan ummat, eaakk!

Kritikan terhadap buku

Namanya manusia biasa, penulis pasti ada kelebihan dan ada kekurangan. Akan adil apabila aku membahas kekurangan buku ini juga. Akan tetapi, di sini aku bukan mau membahas kekurangan atau mengkritik mengenai konten bukunya.
Kalau mau mengkritik konten, aku tidak bisa. Aku tidak memiliki kapasitas keilmuan di bidang sejarah Islam. Sejak SD hingga kuliah, Pendidikan formalku di sekolah “umum” saja. Hehhe.
Oh yaa, ini sebenarnya bukan kritik sih. Lebih ke koreksi atau saran. Sebagai pembaca awam, membuat mata ini tak nyaman membacanya.

Pertama, inkonsistensi penulis. Di beberapa bab, Bang Edgar menggunakan “saya” untuk menyebut dirinya. Namun di bab lain, menggunakan “aku”. Jujur saja, hal ini membuatku sedikit gemeuush.

Kedua, ada yang typo. Aku tidak ingat ada berapa. Yang aku ingat, kata “kamus” tertulis “kamu”. Ada lagi, tapi lupa aku catat, sih.

Ketiga, ada di bab “Yang Istimewa dari Istimewa”. Bang Edgar menggunakan contoh kasus Diego Maradona yang mendapat julukan “Si Tangan Tuhan” berkat gol nya di salah satu pertandigan di Piala Dunia. Bang Edgar mengatakan Maradona mendapat julukan tersebut, sebab orang tidak ada yang menyangka, Maradona dengan tinggi hanya 165 cm bisa melesat ke angkasa untuk menyundul bola ke gawang lawan.

Padahal, sependek pengetahuanku, alasannya bukan itu. Maradona benar-benar menggunakan tangannya untuk memasukkan bola ke gawang lawan, dan wasit tidak melihatnya dengan jelas. Jadi, Maradona sebenarnya agak curang saat itu, tidak menggunakan kepala untuk menyundul bola. Hehee..
CMIIW yaak. Correct me if I'm wrong.

Dan terakhir. Kalau mau beli buku ini, silahkan hubungi sosial medianya bang Edgar saja yaa! 
Ketika sedang menjalani isoman, aku sengaja membawa empat buku ke kamar karantina. Tujuannya adalah agar tidak bosan. Hanya dua buku yang akan aku review. Buku pertama adalah novel karya Kang Salamun Ali Mafaz berjudul Mecca, I’m Coming! Sedangkan buku kedua, The Untold Islamic History, karya dari Bang Edgar Hamas. Keduanya menggunakan Bahasa Inggris sebagai judulnya, namun percayalah, isinya tetap Bahasa Indonesia, kok.

Oke, langsung saja. Mari kita mulakan!

Mecca, I’m Coming!

 

Buku ini adalah novel yang aku beli di toko buku Gramedia saat diskon! Hehehe.
Pertama kali mengetahui novel ini, sebenarnya dari Youtube beberapa tahun yang lalu. Saat itu ada video promosi menayangkan trailer film dengan judul yang sama. Dan aku berencana menontonnya di bioskop. Beberapa hari setelah itu, ketika hendak berangkat ke bioskop, tiba-tba batal. Ada kerjaan lain alias ado gawe (Orang Palembang sering bilang gitu 😜).

Maka, aku berencana untuk menontonya pekan depan lagi saja.
Ketika pekan depan tiba, ternyata filmnya sudah tidak tayang lagi. Wokwowkwokkwk.
Sedih sekali, bukan!

Singkat cerita, ketika sedang berjalan-berjalan di Gramedia, dan melihat rak buku diskon. Aku melihat judul buku yang sama dengan film yang batal aku tonton. Fiks, tanpa pikir panjang aku langsung ambil itu buku!
(Tentu saja tetap membayar, bukan cuma ambil lalu bawa pulang, itu namanya mencuri hehe)

Bagaimana kesan terhadap buku ini?
Menurutku di bab-bab awal terkesan agak lambat, membosankan dan sukar difahami. Aku sampai membaca dua kali untuk bab-bab awal. Setelah itu baru faham maksud ceritanya, “Ooh ini toh isinya..”

Novel ini, bisa jadi sangat related dengan kehidupan masyarakat pinggiran kota hingga pedesaaan. Intinya, cerita mengenai seseorang yang tertipu biro perjalanan haji. Kalau kita yang menjadi korban, pasti sangat sedih. Mengumpulkan uang bertahun-tahun, eh tiba masanya, malah tertipu.
Oh yaa, walaupun cerita ini terkesan sedih, penulis mengemasnya dengan gaya komedi. Jadi seolah-olah kita menertawakan kegetiran orang lain.

Cerita diawali dengan masyarakat yang menyambut kepulangan Pak Soleh, Pak “Haji” Soleh. Beliau sangat bangga akan “gelar” hajinya tersebut. Padahal, mah, haji itu ibadah. Tidak perlu dijadikan gelar. Kalau mau pasang gelar ibadah, harusnya juga pasang gelar Sholat, Zakat, Puasa, Infaq, Shodaqoh, Wakaf, dll. Wkwkwk.
Eh, nggak. Bercanda. Mungkin saja, kebiasaan ini karena dianggap untuk ber-haji itu susah. Butuh biaya yang tidak sedikit, jadi diberi semacam penghormatan.
Well, kalau aku nanti sudah berhaji (aamiin kenceng banget), aku tidak mau menambahkan gelar  haji di depan namaku, atau dipanggil Pak Haji. Tidak mau!

Okey, kenapa jadi ngelantur. Mari balik ke cerita.
Haji Soleh adalah ayah dari Eni, gebetannya si Eddy. Haji Soleh tidak merestui hubungan mereka, dan lebih memilih untuk menjodohkan Eni dengan Pietoyo, anak orang kaya kampung sebelah (Eddy pekerjaannya hanya tukang bengkel kampung, jadi agak dipandang sebelah mata, sedangkan Pietoyo masa depannya dianggap cerah).

Singkat cerita, Eni-nya mau dengan Eddy, dia tidak mau dengan jodoh pilihan bapaknya si Pietoyo. Edi pun datang menemui Haji Soleh dan mengatakan ingin melamar anaknya. Haji Soleh mengajukan syarat yang berat; Eddy harus “bergelar” Haji dulu, baru bisa ia menerima lamaran terhadap anaknya.

Syarat ini, nampaknya sulit dipenuhi. Sebab kita tidak bisa daftar hari ini langsung berangkat tahun ini juga. Tidak bisa. Kita harus antre beberapa tahun. Tiap-tiap provinsi punya masa antre berbeda. Rata-rata lebih dari sepuluh tahun. Bahkan, ada beberapa provinsi yang masa antrenya mencapai dua puluh tahun!

Balik ke cerita lagi, Eddy dengan yakin berkata kepada Haji Soleh, “Seandainya saja saya jadi naik haji ke Mekkah, apa saya boleh melamar Eni?”

Sebagai informasi, ketika Eddy datang, Pietoyo juga sedang berada di rumah Haji Soleh. Pietoyo menertawakan tanda meremehkan Eddy.

Apa yang terjadi selanjutnya?
Eddy nekat menjual bengkelnya dan menggunakannya untuk berangkat haji. Kemudian mencari biro perjalanan haji. Jawabannya bagaimana? Tentu saja dia ditolak mentah-mentah oleh biro tersebut. Mana mungkin mau berangkat haji di tahun ini. Mustahil!

Ketika keluar dari ruko biro perjalanan haji dan menuju halaman parkir, Eddy disapa oleh tukang parkir di sana, “Gagal berangkat haji ya mas?” Eddy hanya mengangguk lesu.
Dengan cepat, tukang parkir tersebut menyerahkan sebuah kartu nama, mengatakan kalau temannya bisa membantunya untuk berangkat haji di tahun ini. Di kartu nama tersbut tertulis Second Travel Amri, 08xxxxx.

Apakah Eddy tertarik dengan kartu nama tersebut? Jawabannya terntu saja tertarik, saudara-saudara. Hahaha!
Eddy akhirnya bertemu dengan Amri dari Second Travel. Dan tanpa pikir panjang, langsung menyerahkan sejumlah uang kepada Amri.
Jujur, aku ketika membaca bagian ini merasa miris. Mungkin saja cerita ini benar-benar terjadi. Pasti banyak Eddy-Eddy lain yang tertipu.

Eddy akhirnya mengumumkan keberangkatannya ke Tanah Suci. Dia mengadakan semacam acara syukuran. Seluruh warga kampung melepas kepergiannya. Eddy dijemput dengan mobil travel yang mengantarkannya ke hotel di Jakarta. Menurut info dari Amri, Eddy menginap dulu satu malam di sana. Baru keesokkan harinya, akan diantar ke Bandara Soekarno Hatta untuk diterbangkan langung menuju Jeddah.

Di esok hari, ya begitulah. Tidak ada bus yang mengantarkan ke Bandara Soetta. Sedangkan Eddy tertipu. Ia akhirnya sadar bahwa ia telah tertipu.
Kemudian, ia berkenalan dengan Fajrul. Sesama calon jamaah haji yang tertipu oleh Amri.
Eddy dan Fajrul resmi menjadi gelandangan di Jakarta.

Skip Skip Skip..
Mereka mencari kerja dan akhirnya dapat. Mereka bekerja di pasar, Eddy bekerja dengan Haji Rojak, pemilik toko oleh-oleh perlengkapan haji, sedangkan Fajrul bekerja dengan Pak Somad, pemilik studio cuci cetak foto.
Dan ternyata, para pedagang di pasar tersebut juga banyak yang dulunya tertipu, batal berangkat haji.

Coba tebak bagaimana klimaksnya? Ternyata Haji Soleh; Bapaknya si Eni (gebetannya Eddy), juga tertipu biro perjalanan haji. Dia sebenarnya belum berangkat ke Mekkah dan Haji Rojak mengenalnya (karena sama-sama sempat tertipu).

Apalagi yang lucu? Haji Soleh, eh, Pak Soleh berfoto di studio milik pak Somad, dan minta sekalian di-edit menggunakan Photoshop agar dikira beneran berangkat haji. Beliau malu kepada warga untuk mengakui bahwa telah tertipu. Jadi disebarkanlah foto yang seolah-olah berada di Tanah Suci.
Ini, asli beneran kocak banget, sih. Hahahaa.

Bagaimana kelanjutan cinta Eddy dan Eni? Apakah bapaknya tetap memilih Pietoyo?
Silahakan baca bukunya sendiri! Eheehe.


(Review Buku The Untold Islamic History akan ada di postingan selanjutnya, insyaa Allah!)

“Kamu kan udah divaksin, kok masih kena Covid?” 
Pertanyaan ini seringkali muncul kepadaku. Baik ketika sedang menjalani isoman (bertanya melalui WhatsApp), maupun ketika sudah sembuh. 
  
“Yaa, yang sudah vaksin saja bisa kena, apalagi yang belum vaksin!” 
Aku lebih sering menjawab seperti ini. Sekaligus memberikan edukasi. Bahwa vaksin itu penting. Logikanya jangan terbalik. Tuhh.. Yang udah vaksin aja masih kena covid. Mending kita gak usah vaksin. 
Ini keliru, saudara-saudara! 
 
Uhmm... Pertanyaan di atas sebenarnya adalah wajar. Bisa jadi hanya basa-basi belaka. Agar ada yang bisa diobrolkan selanjutnya. Tidak perlu ditanggapi dengan respon “sok merasa paling benar”. Hee.. 
 
Kalau ada orang yang gak mau vaksin, yaudahlah. Gapapa. Terserah mereka. 
Siapa tahu, mereka tidak mau vaksin bukan karena percaya konspirasi wahyudi, elit global, atau akan ditanamkan chip ke dalam tubuh. Bukan. Bisa jadi, mereka.... hanya takut jarum suntik! 😆
 
Jujur saja, aku pun awal-awalnya tidak mau divaksin. Agak ngeri-ngeri juga lah dengan yang namanya suntik. Terakhir disunik pun itu ketika SD. Vaksin juga. Vaksin polio, atau cacar, atau apa yaak. Lupa. Dan, ketika kelas satu SD pun, aku pernah kabur dari sekolah ke rumah gegara ada vaksin dari Puskesmas.
Yaa, itu ketika masih jadi bocil ya. Kalau sekarang mah, gak mungkin aku mau kabur. Hiiihi..
 
Baca Juga : Akhirnya Kena Juga! 
 
Oke, aku divaksin di bulan Maret 2021. Kalau tidak salah, itu masa ketika masih cukup awal ketika vaksin tiba di Indonesia. Saat itu, tidak semua masyarakat umum bisa mendapat vaksin. Yang divaksin baru orang-orang dari kelompok tertentu saja; Manula, Para Pejabat (termasuk PNS, Karyawan BUMN, TNI, Polri, hingga Anggota Dewan), dan Petugas Pelayan Publik. Itu pun masih di sekitaran Jabodetabek. Untuk daerah lain, belum semasif sekarang. Cukup beruntung aku kini tinggal di Jabodetabek. Punya sedikit previlej.
 
Aku masuk yang mana? Rasa-rasanya di kategori ketiga; Petugas Pelayan Publik.
Sebab perusahaan tempat kami bekerja adalah perusahaan jasa. Gitu kali alasannya (?). Oh yaa, satu lagi. Form vaksin yang aku terima ketika di meja pendaftaran, memiliki kop surat dari Kementerian Perhubungan. Atau mungkin, perusahaan tempat aku bekerja sering berhubungan dengan Kementerian Perhubungan, sehingga perusahaan kami mendapat vaksin di awal? Tidak tahu juga. Mungkin sepeti itu adanya.
 
Pokoknya, aku ingat betul. Saat itu aku baru menadi karyawan baru. Sekitar satu pekan. Dan saat itu sedang masa training. Belum benar-benar bekerja. Artinya, aku cukup beruntung. Baru masuk kerja, langsung bisa dapat akses untuk vaksin (bayangkan sampai hari ini pun, di banyak tempat di luar Pulau Jawa, orang-orang masih pada rebutan untuk vaksin).
 
Seperti yang telah aku singgung di awal narasi. Aku awalnya agak sedikit ngeri untuk divaksin. Namun, di sisi lain ini adalah kesempatan langka (termasuk bisa eksis untuk di-upload di story Instagram). Satu sisi juga bermanfaat untuk kesehatan, memperkuat kekekalan tubuh dari virus. Akhirmya, Bismillah.. Aku ikut vaksin.
  
Alurnya, kami diminta mendaftar dahulu. Bawa KTP. Isi nomor HP. Setelah itu kita akan didata oleh petugas.
Kemudian, setelah sekian menit, lanjut ke pos kedua. Screening oleh tim dokter. Hanya ditanyakan pertanyaan simpel saja. Tadi pagi sudah sarapan atau belum. Sarapan apa saja. Sudah pernah terkena Covid atau tidak (kabarnya, kalau kamu sudah terkena Covid, baru boleh divaksin setelah dua atau tiga bulan ke depan).
 
Setelah dinyatakan aman, vaksin siap disuntikkan ke lengan bagian atas. Sang dokter selalu bilang ke setiap orang yang hendak disuntiknya, “Vaksinnya Sinovac, ini baru. Masih disegel ya.”
Nampaknya, SOP mengharuskan begitu. Ntah berapa ratus kali sang dokter mengucapkan kalimat itu dalam satu hari. Pasti lelah juga mulutnya mengucapkan hal yang sama setiap saat. Hiiihi.


Waah, ternyata lenganku belang ya 😅

Setelah disuntik, para peserta vaksin tetap harus diminta menunggu selama 30 menit di area ruang tunggu. Kata petugas, kalau setelah 30 menit tidak ada reaksi apa-apa, boleh pulang. Sebenarnya itu hoax. Coba saja, kalau aku pulang saat itu, pasti dicegat di pos Security, “Mas, jam pulang kerja itu jam setengah enam sore. Ini masih jam sepuluh pagi.” 
 
Tak lama berselang, ponselku berdering. Kalau sudah begitu, biasanya aku mendapat hadiah mobil higga uang tunai ratusan juta rupiah. Namun ternyata, saat itu tidak. SMS itu berisi link untuk mengunduh sertifikat vaksin.
 
Bagaimana dengan vaksin kedua? Sama saja alurnya. Ini adalah hasil unduhan sertifikat vaksinku, yang seperti ini orang-orang sering upload untuk dijadikan story, kan? Hehhe.


Apa efek yang dirasakan setelah vaksin?
Kalau vaksin pertama, aku tidak merasa gejala apapun. Tidak ada masalah apa-apa. Namun, ada beberapa teman yang meraskan tangannya pegal-pegal.
Huu.. Dasar lemah! Kataku dalam hati seraya menghardik teman yang merasakan efek samping dari vaksin.
Astaghfirullah. Jahad sekali aku yaak :(
 
Bagaimana dengan vaksin kedua?
Nah ini yang lumayan terasa efeknya. Tusukan jarum kali ini, rasanya lebih sakit dan tajam. Apa mungkin jarumnya lebih gede, ya? Aku gak tau juga. Tak lama setelah itu, aku merasakan pegal-pegal di sekitar area lengan atas (yang baru saja disuntik). Pegal-pegal ini aku rasakan cukup lama. Seharian, bahkan lebih dari 24 jam rasa pegal-pegal itu tidak hilang (seperti rasa rinduku padamu yang tidak pernah hilang).
 
Efek lainnya adalah rasa kantuk yang berat teramat sangat. Vaksin selesai jam sepuluhpagi. Ketika kembali ke meja, kembali ke kubikel. Aku tertidur. Beneran tertidur, hingga lewat pukul sebelas. Tidurnya seperti ketika kita mendengarkan khotbah Jumat. Senyenyak itu tidurnya. Dan, efek terakhir adalah perut yang keroncongan.
Tapi di paragraf ini aku tahu alasannya. Mungkin bukan karena vaksin, melainkan karena saat itu adalah bulan puasa. Hahahaa.
 
***
 
Berbulan-bulan sejak aku telah divaksin, peraturan dari Pemerintah telah berubah lagi. Pemerintah sedikit “memaksa” warganya untuk divaksin.
Para pakar ilmu pengetahuan banyak yang berbicara di televisi dan kanal media sosial. Bahwa vaksin dapat memutus rantai penyebaran virus. Para ustadz dan tokoh agama lainnya juga berbicara bahwa vaksin itu berpahala karena dapat bermanfaat menjaga diri dan orang lain. Nanti besok-besok masjid dapat penuh lagi.
Ternyata, para pakar dan tokoh agama tidaklah diindahkan oleh masyarakat.
 
Namun, ketika Pemerintah mengeluarkan "fatwa" bahwa barangsiapa yang hendak masuk mall, restoran, tempat wisata atau berpergian melalui bandara, stasiun, terminal, pelabuhan dan sebagainya. Haruslah divaksin. Maka, sejak saat itu masyarakat berbondong-bondong mendaftar vaksin.
 
Nampakya, banyak di antara kita lebih takut tidak bisa masuk mall, yaak. Hehehe.
So, jangan lupa vaksin. Biar kamu bisa masuk mall! #eh

Karyawan yang masih training, juga pengen eksis setelah divaksin 😂
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

ABOUT AUTHOR

Kang Mas Joe adalah seorang yang berpengalaman dalam pahit dan getirnya kehidupan, walaupun nyatanya tidak terlalu pahit. Mencoba berbagi tulisan melalui blog, semoga ada hikmah yang bisa diambil. Apabila ada kritik, saran, nasihat dan mau kerjasama. Silahkan DM melalui Instagram dan Twitter @KanggMas_Joe. Terimakasih!

POPULAR POSTS

  • Pencitraan Jilid Dua; Buku yang Aku Baca di Tahun 2020
      Beberapa hari ke belakang, rumahku sedang direnovasi. Maka buku-buku yang ada di rumah sedang tidak ada di rak buku seperti biasa. Begini ...
  • Masjid Cheng Hoo
    Masjid Muhammad Cheng Hoo, adalah salah satu masjid yang cukup terkenal di Palembang. Sering dijadikan sebagai tempat wisata religi. Menurut...
  • Balonku Ada Lima
    Jangan terkejut, ini bukan jimat, mantra, doa atau sebagainya!  Untuk kamu yang sudah jago membaca Al-Quran sejak kecil, aku yakin kamu past...
  • Menjadi Pacar Sewaan
    Hari ini adalah hari Ahad, pukul sepuluh pagi. Aku sedang duduk bersantai di rumah, sedang menatap layar laptop untuk melakukan blog walking...
  • 3 Bloggers yang Rajin BW
    Seperti biasa, di setiap penghujung bulan, Mbak Eno yang baik hatinya kembali membuat challange. Ini adalah event ketiga dari challange- nya...

Categories

  • Bisnis
  • Cerita
  • Opini
  • Perjalanan
  • Pernikahan
  • Sajak
  • Tutorial

Copyright © 2021 Kangg Mas Joe. Created by OddThemes