Baru tadi sore, aku membuka Facebook
di ponsel kesayanganku. Aku mendapati notifikasi dari sebuah postingan bapakku.
Seseorang berkomentar beberapa menit yang lalu, “Waah selamat yaa anaknya
diwisuda!”
Aku kemudian meng-klik notif itu.
Postingan tersebut sangat ramai oleh ucapan selamat, hampir seratus dua puluh
jumlah komentarnya. Semakin scroll ke atas, semakin aku sadar. Postingan
itu sudah sejak delapan bulan lalu, Yaa, artinya aku menjadi pengangguran sudah
selama itu.
Dua hari yang lalu, aku diajak oleh
seorang teman untuk mengunjungi sebuah coffee shop yang baru saja buka.
Sebagai traktiran atas gaji pertama, katanya ketika mengajakku. Aku
mengiyakan. Sejujurnya, aku cukup senang mendengar hal ini. Temanku akhirnya
mendapat pekerjaan yang telah dia idam-idamkan sejak kecil. Aku telah
mengenalnya sejak masih menjadi bocah ingusan. Kami bersekolah di SD hingga SMA
yang sama.
Di sisi lain, aku juga masih merasakan
getir. Ada suatu ruang hampa yang bergetar. Walaupun sekolah kami sama, nasib
kami berbeda. Hampir sembilan puluh lamaran (saat tulisan ini terbit, sudah seratus sepuluh jumlahnya) telah aku apply kemana-mana.
Perusahaan milik negara sampai milik swasta. Dari Aceh, kotanya Cut Nyak Dhien
hingga Makassar, kerajaannya Sultan Hasanuddin. Hasilnya beragam, ada yang
gagal di tahap tes tertulis, ada yang di psikotes, namun lebih banyak yang
tiada ber-khabar. Pandemi Covid-19 benar-benar melumpuhkan roda
perekonomian. Jangankan orang mau cari kerja, yang ada pekerjaan saja banyak
yang di-PHK.
Apa yang kami obrolkan di coffee shop itu?
Tentunya beragam. Mulai dari perkembangan ekonomi dunia, konspirasi elite
global, hingga geo-politik di Timur Tengah. Dan pada akhirnya, tiba pada
bahasan favorit kita semua. Ghibah. Apalagi tetangga sendiri yang jadi
obyeknya. Pasti seru! Hehehe.
Apa itu ghibah? Simpelnya, bisa
diartikan sebagai kegiatan nyinyir alias membicarakan keburukan orang
lain dari belakang. Hal yang diperbincangkan berupa fakta, memang
benar-benar terjadi.
Namun, apabila perbincangannya bukanlah suatu fakta, tidak
benar-benar terjadi, kabar bohong alias hoax maka jatuhnya bukanlah
ghibah, melainkan fitnah. Maju kena, mundur kena. Sama-sama dosa!
Kemudian, level advanced dari nyinyir
adalah namimah. Didefinisikan sebagai membicarakan keburukan orang di
depan orangnya langsung. Kadang juga, namimah disebut sebagai adu domba.
Sungguh mulia sekali perbuatan ini!
Aku masih sangat hafal definisi dan perbedaan antara ghibah, fitnah dan
namimah. Materi ini aku dapatkan ketika pelajaran Pendidikan Agama Islam
di SMA kelas sebelas. Hehehe.
Well, berdasarkan definisi yang telah aku paparkan di atas, aku
sebenarnya ragu untuk menuliskan cerita ini. Awalnya yang hanya per-ghibah-an
antara dua orang, kini menjadi ratusan hingga ribuan orang. Sebab, tulisan ini
tersebar di internet dan dapat diakses oleh siapa saja. Haha.
Namun, karena sudah terlanjur. Yaa udah, silahkan menikmati materi
pergunjingan duniawi ini! Awkwokwk.
***
So, apa kesibukanku saat ini setelah wisuda? Jawabannya simpel, mencari
kesibukan. #Ehh
Selain itu, aku juga membantu ibu berjualan. Kami punya warung
kecil di rumah. Menjual berbagai kebutuhan pokok seperti minyak goreng, mie
instan, gula, gandum, garam, ciki, permen, pulsa, micin hingga rokok.
Aku adalah penjual rokok yang tidak merokok. Aku peduli kepada kesehatan diri sendiri, tapi tidak peduli kepada kesehatan orang lain. Heee~
Saat itu, ada seorang tetangga yang hendak membeli rokok.
“Doo!” Katanya.
“Iya!” Kataku.
“Mau beli nih.”Katanya lagi.
“Beli apa?” Kataku lagi.
“Beli rokok.” Kata orang itu.
“Rokok apa?” Aku mulai kesal.
“Rokok Sam*su.” Orang itu menjawab.
“Berapa batang?” Aku bertanya lagi.
“Dua batang saja.” Dia menjawab pertanyaanku.
“KENAPA KAU TIDAK DARI AWAL LANGSUNG BILANG SAJA, MAU BELI ROKOK
SAM*SU DUA BATANG! AKU TIDAK CAPEK BERTANYA TERUS. WOYY!” Aku bergumam kesal
dalam hati.
Orang itu kemudian meminjam korek untuk menyalakan rokoknya.
Menghisapnya dalam-dalam, sampai ke paru-paru. Setelah itu menghembuskan
asapnya ke wajahku. Memang ga ada akhlak.
“Jadi kamu sudah kerja di mana, Doo?” Dia bertanya sambil
menghisap rokok.
“Masih mencari, om.” Kataku sambil tersenyum.
“Kalau anakku, si Bejo, kini sudah jadi PNS. Dia jadi guru di
salah satu SMA unggulan yang ada di kabupaten sebelah. Nasibnya baik sekali,
wisudanya dapat summa-cum-laude. Habis wisuda langsung ngajar di bimbel.
Tidak lama setelah itu, ada pendaftaran PNS dan langsung diterima. Tidak ada
jadi pengangguran dia. Katanya pun, tidak lama lagi bakal diangkat jadi wakil
kepala sekolah.” Orang itu mulai menyombongkan anaknya.
“Padahal, dulu dia pengen jadi polisi. Tapi aku larang, aku suruh
kuliah saja jadi guru. Guru itu nasibnya terjamin. Terbukti kan hasilnya
sekarang. Coba kamu kuliahnya jadi guru saja, Doo. Tidak usah kuliah di
Fakultas Teknik. Pabrik mana yang sekarang mau terima sarjana teknik, sedang pandemi
seperti ini. Masa depan tidak cerah. Sudahlah, pokoknya jadi guru saja.” Orang
itu kembali meracau tidak jelas.
“Iya, om.” Aku menjawab sekenanya saja, demi menjaga sopan santun.
Heyy, apa hak Anda melarang-larang saya berkuliah di Fakultas Teknik dan menyuruh saya menjadi guru. Kenapa Anda mengatur-ngatur hidup saya! Wqwkqk.
Apakah hanya satu tetangga yang kurang ajar seperti itu?
Tidak, masih ada lagi.
Ceritanya masih sama, terjadi di warung. Seorang bapak-bapak hendak
membeli pulsa. Setelah pulsanya masuk, dia malah mengajakku ngobrol, “Kamu
sudah kerja, Doo?”
“Belum, om. Hehe.” Lagi-lagi, aku menjawab sambil tersenyum.
“Waaah. Kalau anakku, kemarin tamat SMA langsung bekerja jadi
teknisi di tempat pemasangan CCTV. Kini dia telah sangat ahli. Jadi, kalo ada
kerusakan, boss-nya pasti langsung memanggilnya. Lumayanlah, dapat banyak
bonus. Satu bulan bisa sampai sembilan juta rupiah. Sekarang dia mau daftar
kuliah, jadi sambil kerja sambil kuliah.” Orang ini juga membanggakan anaknya
di depanku.
“Iya, om.” Aku hanya menjawab seperti itu. Dia terus nge-bacot tanpa jemu.
Belasan menit kemudian, orang tua itu akhirnya berhenti meracau ketika ada orang lain yang mau
belanja di warungku.
“Sudah dulu yaa, Doo.”
“Iya, hati-hati di jalan om!” Aku tetap terlihat ramah pada
pelanggan dengan rupa seperti apapun.
***
Adakah pelajaran yang dapat diambil dari cerita ini? Menurutku,
ada dua hikmah dari masing-masing persepsi.
Pertama, dari sisi pembeli di warung alias dari sisi orang yang
telah mendapat sesuatu yang diinginkan. Mungkin, kamu boleh bangga, boleh
senang hati atas apa yang telah didapatkan. Siapa dong orang tua yang tidak
senang terhadap anaknya yang telah mendapat pekerjaan dengan gaji lumayan.
Orang tua mana pula yang tidak bangga ketika anaknya menjadi PNS. Pasti orang
tua sangat senang dan bangga akan hal itu. Namun, harus diperhatikan tempatnya.
Apabila orang yang menjadi lawan bicara malah menjadi sedih atau
kesal atau malah iri hati dengan isi pembicaraanmu, baiknya tidak usah
berbicara. Jangan membicarakan anakmu yang telah mendapat pekerjaan, kepada
orang yang belum mendapat pekerjaan. Jangan membicarakan tentang penatnya dunia
perkuliahan, kepada orang yang tidak kuliah. Jangan membicarakan keuntungan
bisnismu yang sedang melimpah ruah, kepada orang yang bisnisnya baru saja
hancur berantakan. Jangan bicara tentang lelahnya kaki yang dipakai untuk berjalan dan berlari, kepada orang yang tidak punya kaki. Jangan! Kehadiran dirimu malah menjadi masalah baru.
Pelajaran kedua, dari sisi aku si penjual di warung alias dari
sisi orang yang belum mendapat sesuatu yang diinginkan. Baiknya, kita tidak
usah terlalu ambil pusing terhadap perkataan orang. Anggap saja angin kentut
yang telah berlalu. Tidak usah baper. Kita harus tetap selalu mensyukuri
apa-apa yang telah kita dapatkan.
Kita bisa bersekolah, bisa berkuliah di perguruan tinggi, atau
bisa hidup di dunia. Adalah perkara-perkara yang harus benar-benar disyukuri.
Ada berapa banyak anak-anak yang tidak ada biaya untuk bersekolah. Berapa
banyak pula yang tamat SMA, namun tidak lulus tes masuk perguruan tinggi
negeri. Berapa banyak yang mau kuliah di swasta, namun terhalang biaya. Banyak
sekali kalau dipikir-pikir.
Ingatlah, rezeki tiap-tiap orang berbeda-beda bentuknya,
berbeda-beda waktunya. Semuanya ada di tangan-Nya. Kalau kata pepatah, setiap
masa ada orangnya, setiap orang ada masanya. Tidak usah risau, apabila
memang rezeki kita, sudah pasti rezeki kita. Tidak akan lari. Rezeki tidak akan tertukar.
Oh yaa, terakhir. Toloong, kepada om pertama yang beli rokok dan
om kedua yang beli pulsa kalau kau baca tulisan aku ini. Ingat, yaa! Aku tidak peduli dengan anak kalian. Mau jadi
PNS kek, mau jadi teknisi kek, bahkan mau jadi koruptor atau teroris pun. Aku
tidak peduli!!
Keuntungan dari rokok dua batang, hanya lima ratus rupiah.
Keuntungan pulsa juga tidak besar, hanya seribu rupiah. Untung lima ratus dan
seribu rupiah, tidaklah sebanding dengan lelahnya aku mendengar bacotan tentang
anak-anak kalian. Sekali lagi, Aku tidak peduli!
***
Jadi, apakah kisah dalam tulisan ini benar-benar terjadi, atau hanya sebuah kisah fiksi?
Aku malas untuk memberi informasi, silahkan nilai sendiri.
Yang terpenting, ada hikmah yang bisa digali. Hihiii..
Eniho, tulisan ini adalah tulisan yang diikutsertakan dalam Paid Guest Post #2-nya Mbak Eno - Creameno, dengan tema dua hal yang dipelajari dari 2020. Namun, saat itu aku belum berkesempatan menang, wkwokw.
Walopun belum menang, belio memberi kami, para peserta berupa hadiah kenang-kenanangan notebook cantiq. Lumayan, di sana aku bisa menulis ide-ide gila untuk tahun 2021. Oh yaa, permohonan maaf kalo fotonya tidak sebagus dengan teman blogger lain. Maklum, aku tidak pandai mengambil foto, ehehe.
Well, semoga tahun depan menjadi lebih baik. Dan post ini, adalah post terkahir di tahun 2020.
Sampai jumpa!