Saban hari, di media sosial telah dihebohkan dengan se-fruit berita. Para mahasiswa kini tengah mengadakan kegiatan Ospek secara daring atau online. Namun, bukan kerana daring yang menjadi heboh. Akan tetapi, tersebab adanya perploncoan yang dilakukan daripada senior kepada juniornya. Perploncoan itu dilakukan secara daring pula.
Ketika khabar ini tersebar, banyak orang dewasa yang (seolah) terkejut. Mereka terbelalak akan adanya fakta ini. Padahal, praktek-praktek jahiliyah macam ini masih terus terjadi.
Pertama, mari kita samakan persepsi dahulu mengenai Perploncoan. Menurut kacamataku, kerana aku berkacamata, perploncoan adalah ketika senior marah-marah ke junior tanpa sebab. Terkadang, si senior mencari-cari kesalahan para juniornya. Mulai dari pakaian yang tidak rapi, ikat pinggang yang tidak pas, kaus kaki yang panjang sebelah, rambut yang dipotong kurang pendek, atau lampu sen yang mati hingga kaca spion yang kurang simetris.
Eh, tidak. Dua bagian terakhir, bukan perploncoan oleh senior, yaa. Itu adalah kelakuan oknum ******* yang kita temui di jalan raya. #gubrak
Abang tukang bakso, bawa walkie talkie, kijang satu ganti! ~
Dengan definisi seperti itu. Jika aku ditanya tentang pengalaman di-plonco, aku telah mengalaminya sejak zaman es-em-a hingga masa perkuliahan.
Dalam kegiatan ekstrakulikuler maupun organisasi di sekolah, akan ada pembekalan hingga pelantikan untuk anggota baru. Biasanya, kegiatan itu berisi dengan materi, games, dan juga tidak lupa.. Plonco dari senior.
Ketika kegiatan pembekalan delapan tahun lalu, ada yang namanya tes wawancara. Pertanyaan diajukan oleh senior kepada anggota baru. Awalnya pertanyaan yang simpel dan umum.
"Coba perkenalkan namamu, dari kelas mana, tinggal di mana."
"Kenapa kamu mau gabung ke organisasi ini?"
"Kontribusi apa yang akan kamu berikan ketika sudah diterima?"
Namun, lama-lama pertanyaan yang keluar semakin aneh.
"Jawaban macam apa itu? Orang seperti kamu tidak pantas masuk ke organisasi ini!"
"COBA WOOOY! ******* ***** ****!"
(Maaf kata-katanya disensor, karena aku lupa. Yang aku ingat cuma teriakan-teriakan tidak jelas dari mereka, wkkwkwk)
Pada akhirnya, seluruh yang mendaftar diterima di ekstrakulikuler itu. Semua hanya acting dari senior yang merasa sok hebat di depan juniornya.
Kemudian, kehidupan kembali berjalan normal seperti biasa (bagi senior). Namun tidak denganku, terkadang aku masih dendam kesal dengan kelakuan mereka, sampai sekarang. Buktinya, cerita ini masih tersimpan dengan rapi di dalam memori. Eheheee..
Cerita berlanjut ke tahun selanjutnya, kini aku yang menjadi senior. Aku tertarik bergabung sebagai tim pewawancara. Aku sudah memersiapkan acting marah terbaikku.
"WOOY, DEK! BLA BLA BLA!" Kataku dengan wajah sangar sambil memarahi junior.
Coba tebak, apa responnya?
Junior kampret satu ini malah bilang begini, "Bang, tidak usah marah-marah. Lucu, beneran." Dia bilang sambil tertawa.
Jadi, sebenarnya aku sudah dekat dengan adik-adik junior. Mereka sudah mengenalku sebagai pribadi yang ramah, lucu, baik hati, bersahaja, mengayomi, menggemaskan, suka menolong sesama hingga rajin menabung! Adalah aneh bagi mereka, ketika melihat aku marah-marah. Tidak seperti biasa.
Ketika tahun lalu aku dibuat kesal oleh senior, kemudian tahun ini dibuat kesal oleh junior.
Hadeeh.. Nasib-nasib.
Lanjut ke cerita kuliah.
Perploncoan ternyata masih terjadi. Ditambah lagi, aku kuliah di Fakultas Teknik yang banyak mahasiswa di sana merasa over proud terhadap ke-teknik-an nya.
"Teknik ini susah, dek!"
"Teknik ini keras, dek!"Responku; "Keras palak bapak kau!"
By the way, salah satu video yang viral di media sosial ternyata merupakan Ospek dari Fakultas Teknik di universitas yang ada di provinsi tetangga. Muncul perdebatan di kolom komentar video viral tersebut. Ada yang mendukung, ada yang tidak.
"Kehidupan di Teknik itu keras. Kuliahnya susah. Akan banyak tugas, praktikum dan segala tetek bengeknya. Jadi sudah harus dibiasakan sejak awal. Mental harus terlatih sejak dini!" Kata seseorang yang nampaknya mahasiswa Fakultas Teknik.
Ada yang membalas komentarnya seperti ini, "Kuliah yang susah tidak hanya Teknik, seluruh fakultas itu susah. Lihat anak-anak Kedokteran, mereka bahkan jarang tidur sampai hari ini untuk mengurus pasien Covid. Anak Teknik kemana? Tiduur!"
Kembali ke cerita sebelumnya. Ternyata, per-plonco-an di kampus lebih berat daripada masa sekolah. Jika ketika sekolah, plonco yang didapat hanya berupa verbal (makian dari senior). Sedangkan di kampus, selain dimaki-maki senior, hukumannya juga sudah mengarah ke fisik. Eh, maksudku bukan dipukuli, tapi kami hampir setiap kali disuruh untuk push-up. Bagi orang-orang sepertiku yang malas olah raga, hukuman push-up sangat melelahkan. Ditambah lagi, penyebab hukumannya sangat mengada-ada.
Contoh, ketika kami Ospek. Ada satu orang yang tidak menggunakan ikat pinggang, seharusnya dia sendiri yang dihukum. Lha, ini tidak.
"Kalian ini Teknik, kalian harus kompak! Kita adalah satu! Semuanya, turun! Ambil posisi push-up!"
Selesai push-up, lanjut orang kedua. Kesalahannya adalah potongan rambut yang kurang pendek, tidak sampai 1cm, tidak sesuai peraturan yang telah ditetapkan. Satu angkatan kembali push-up.
Setelah selesai, lagi-lagi masih ada yang harus dihukum. Sebabnya, dia tidak membawa buku yang seharusnya dibawa. Satu angkatan untuk kesekian kalinya kembali mengambil posisi
push-up.
GITU AJA TEROOS PUSH-UP SAMPE KIAMAT!
Yaa, makna Kita adalah Satu, berarti... Jika ada satu orang yang melakukan kesalahan, semua orang juga dianggap salah. Kenapa begitu? Karena kesalahan kami tidak mengingatkan teman yang salah!
Sungguh definisi yang goblok!
Cerita masih berlanjut.
Ospek telah selesai, namun penderitaan ternyata belum usai. Setiap senin siang, kami masih harus diminta untuk berkumpul bersama senior untuk diplonco lebih mengakrabkan diri. Agendanya terkadang sharing dari senior, dan segala macam. Tidak lupa, doktrin Kita adalah Satu masih tetap ada. Jadi, setiap senin kami pasti berolah raga.
Suatu saat, aku sangat lelah. Saat itu ada tugas praktikum yang harus aku selesaikan, namun bersamaan dengan jadwal berkumpul satu angkatan dengan para senior. Aku hendak kabur dari jadwal kumpul hari itu, namun tetap izin ke senior.
"Bang, izin ya tidak hadir hari ini. Aku mau pulang, ada hal penting yang mau dikerjakan." Kataku ke senior, aku agak takut awalnya. Takut-takut tidak diizinkan.
"Oh, yaa. Silahkan. Hati-hati di jalan, yaa!" Kata seniorku dengan ramah. Tak disangka, ternyata aku diizinkan.
Bukannya langsung pulang ke rumah, aku malah menuju Perpustakaan untuk mengerjakan tugas kuliah. Menurutku, Perpustakaan lebih nyaman daripada rumah. Aku sedikit merasa bersalah telah 'menipu' seniorku. Tapi, menurutku tidak masalah sesekali. Toh, mereka para senior setiap saat 'menipu' kami.
Kemudian, aku telah mengambil posisi yang nyaman di Perpustakaan, mencari meja yang persis di bawah AC, sejuk sekali saat itu. Padahal di luar sedang panas-panasnya. Saat itu tahun 2015, sedang ada kebakaran hutan di Sumatera. Kabut asap dimana-mana.
Apablia sore hari tiba, adzan Ashar telah berkumandang. Aku bergegas menuju Mushalla Fakultas Teknik. Di sana, ada juga teman-teman yang shalat, juga termasuk senior.
Selesai shalat, senior menyapaku, "Doo, kenapa masih di sini? Katanya mau pulang ke rumah?"
"Eh, iya, bang. Bentar lagi. Tadi masih ada urusan, ini setelah shalat baru mau pulang."
"Oh yaa, hati-hati!" Kata seniorku, sambil tersenyum mencurigakan.
"Assalamu'alaykum, bang!"
"Wa'alaykumuusalam!"
Esok hari, ketika di kampus. Aku merasa ada yang aneh dari teman-temanku. Tidak seperti biasa. Sikap mereka menjadi berubah, nampaknya sangat kesal kepadaku. Aku tidak tahu kenapa. Karena pada dasarnya aku adalah orang yang apatis, aku tidak peduli akan hal itu.
Akhirnya, hari Senin kembali tiba. Kumpul angkatan bersama senior kembali terjadi. Aku dan teman lain sudah berada di kelas.
"Mana abang senior yang biasa hadir? Kok tidak ada?" Tanyaku kepada teman di sebelah.
"Mereka tidak akan hadir. Kita ada agenda khusus hari ini, kamu tunggu saja. Jangan kemana-mana!" Kata temanku, cara bicaranya nampak kesal. Aku heran, sudah satu pekan kenapa masih banyak orang yang seperti itu kepadaku.
"Jadi temen-temen semua, kita hari ini berkumpul untuk membahas kelanjutan kegiatan pekan kemarin." Kata ketua angkatan yang sedang berdiri di depan kelas.
"Eh, emang kemarin ada kegiatan apa? Aku kan tidak hadir." Aku kembali bertanya kepada teman yang duduk di sebelahku.
"Udah, Doo. Diem! Dengerin dulu ketua angkatan kita bicara!" Teman di sebelahku kembali menjawab dengan kesal.
"Oke, deh. Maap."
"Dodoo, kamu bisa tolong maju ke depan sini, ndak. Tenang saja, aku tidak bakal marah kok." Kata ketua angkatan. Semua mata langsung tertuju kepadaku.
"Eh, iya." Aku merasa ada yang tidak beres.
"Aku sekarang mau tanya, kenapa pekan lalu kamu tidak hadir ke sini?" Ketua angkatan bertanya kepadaku di depan teman-teman satu angkatan.
"Jawab, Doo cepetan wooy!" Seorang teman yang sedang duduk nyeletuk.
"Iyaa, wooy! Jawab cepetan!" Celetukan dari teman yang lain lagi.
"Udah, sabar temen-temen." Kata ketua angkatan menenangkan.
Fixed! Memang ada yang tidak beres. Namun, aku masih belum menemukan dimana letak kesalahanku.
Aku menjelaskan kepada teman-teman, "Pekan kemarin aku udah izin ke abang senior. Aku bilang mau pulang ke rumah karena ada hal penting yang mau dikerjakan."
"Tapi, kata senior, kamu shalat Ashar di Mushallah Teknik. Katanya kamu mau pulang, kenapa masih ada di kampus?" Salah seorang yang duduk di kursi bertanya dengan mata menyala-nyala.
"Iyaa, rencananya aku memang mau langsung pulang. Tapi saat itu aku putuskan untuk buat tugas di Perpustakaan dulu."
"Tega kamu, Doo! Kamu membohongi senior. Gara-gara kamu, kami semua dihukum. Tahu gak kamu, hah!?" Seorang perempuan berkata dengan suara lantang, sambil menangis terisak.
"Eh, tunggu. Aku tidak berbohong. Beneran, aku bilang aku mau pulang. Diksi mau di situ, bukan berarti langsung dilakukan. Bisa aja bilang mau pulang-nya di siang hari, ternyata aku pulangnya sore. Aku tidak berbohong." Aku mengklarifikasi. Satu angkatan melongo mendengar penjelasanku.
"Tapi, tetep aja Doo! Karena kau, para senior kemarin marah sejadi-jadinya. Dan kami menjadi pelampiasan. Hukuman kemarin dua kali lipat daripada biasanya. Capek sekali badanku ini, malam harinya masih harus buat tugas praktikum!" Teman yang lain ikut menyuarakan pendapat, ia juga nampaknya kesal.
Lagi-lagi, ketua angkatan menjadi penengah, "Udah, gini aja. Siapa yang punya uneg-uneg sama Dodoo silahkan sampaikan di sini. Kita ini adalah saudara, setidaknnya sampai empat tahun ke depan. Jadi, kita harus tetap rukun. Ayoo silahkan sampaikan sekarang, jangan malah nanti jadi ghibah di belakang." Temanku ini, memang bijak. Cocok menjadi ketua angkatan.
Kemudian, ada sekitar enam orang yang mengeluarkan kekesalannya kepadaku. Aku diam saja, terima dengan lapang dada. Setelah itu aku meminta maaf kepada seluruhnya. Aku berjanji tidak akan mengulangi perbuatan aneh lagi.
Setelah drama permintaan maaf usai, adzan Ashar berkumandang. Kami shalat. Setelah itu, kembali lagi ke kelas. Kini, para senior hadir di kelas tempat kami berkumpul, suasana masih hening. Raut-raut muka kesal masih nampak dari wajah mereka, padahal baru saja selesai shalat. Nampaknya, mereka benar-benar dendam.
"Dodoo, sini maju ke depan!" Kata seorang senior dengan intonasi yang mengerikan.
"Gimana, masalah dengan teman satu angkatanmu sudah selesai?" Katanya, ketika aku sudah berada di depan kelas.
"Masalahmu dengan teman satu angkatan memang sudah selesai. Tapi dengan kami belum selesai. Kau tau, heh!" Kata seorang senior sambil berteriak. Kelas masih hening.
"Hari ini, kami tidak akan marah-marah. Udah capek melihatmu, kasihan juga dengan teman-teman yang lain." Kata senior yang lain.
"Iya, bang." Kataku, sambil menatap ke lantai.
"Gini, kita sekarang bicara baik-baik aja. Kenapa kamu membohongi kami, bilang mau pulang ke rumah. Nyatanya, shalat Ashar kita bertemu di mushallah Teknik, kamu belum pulang. Kalau memang mau bohong, janganlah shalat di Teknik, kamu bisa shalat di Mushallah fakultas lain. Kampus kita punya sepuluh fakultas!"
"Aku tidak berbohong, bang. Kan aku bilang mau pulang, kan bisa aja mau pulang itu nanti sore, bisa saja besok, atau malah bulan depan hingga tahun depan. Kenapa aku melakukan itu? Sejujurnya aku lelah, bang. Aku mau buat tugas."
"Tapi, yang punya tugas tidak hanya kamu, kami juga punya tugas. Temen-temenmu yang lain juga punya tugas. Lihat nih, si Nur. Kamu buat tugasnya di sini, kan. Sambil mendengarkan materi dari kami?" Si senior melirik ke Nur.
"Iya, bang. Betul. Aku sambil membuat tugas di sini." Nur mengamini ucapan si senior.
"Tapi, aku masih tidak terima jika dibilang berbohong. Aku tidak berbohong, bang!" Aku masih menyanggah.
"Kenapa bisa gitu? Kamu jelas-jelas membohongi kami!"
"Jadi, alasan aku begitu karena ingat salah satu kisah nabi Muhammad. Cerita ini aku dengar ketika di sekolah dulu, dari guruku. Suatu saat, ada seseorang yang dikejar-kejar oleh Yahudi untuk dibunuh. Kemudian orang itu melewati Nabi dan berkata, "Wahai Nabi, tolong selamatkan aku. Aku sedang dikejar Yahudi dan hendak dibunuhnya." Orang itu melanjutkan pelariannya. Kemudian, tak lama berselang, si Yahudi yang hendak membunuh orang sebelumnya juga melewati Nabi. "Wahai Nabi, apakah kamu ada melihat orang yang melarikan diri ke sini? Aku hendak membunuhnya!" Apa kata Nabi? Beliau kemudian berdiri dan berkata, "Selama aku berdiri di sini, aku tidak melihat seorang pun lewat!" Yaa, nabi telah menyelamatkan orang yang hendak dibunuh, dan Beliau tidak berbohong. Karena beliau menggunakan diksi selama aku berdiri, faktanya memang beliau baru berdiri dari duduknya dan tidak melihat orang lewat. Jadi, aku menirunya dalam permainan kata-kata. Kata guruku, kita tetap harus jadi orang jujur, namun jangan jadi orang polos. Begitu bang alasanku."
Seisi ruangan hening, teman-temanku kembali melongo, termasuk senior. Nampaknya mereka tidak percaya dengan jawaban 'brilian' yang baru saja aku sampaikan.
***
Pertemuan sore itu usai. Pekan depan kumpul angkatan kembali dilakukan bersama senior. Namun ada yang berbeda. Hukuman push-up mulai berkurang, malah cenderung tidak ada di pekan-pekan selanjutnya. Kumpul angkatan hanya terjadi di semester pertama. Semester kedua kami benar-benar merdeka. Namun sesungguhnya, masa-masa yang cukup aku rindukan bersama teman-teman adalah masa di semester pertama.
Bagaimana dengan senior-senior tadi? Aku menjadi dekat dengan mereka, aku beberapa kali bergabung dalam organisasi yang sama. Kami terus akrab hingga hari ini. Kini, mereka ada yang sudah di Benua Eropa melanjutkan studi pasca sarjana, di negara tempat belajar Presiden Indonesia ketiga. Ada pula yang di Tanah Papua, bekerja di perusahaan pertambangan logam mulia. Senior yang lain, kini menjadi staf wakil rakyat dari partai Gerin*dra.
Akhir kata, maafkan aku teman-temanku dan para seniorku. Telah membuat kalian pusing, lima tahun lalu. Huhuhuu..
Harapanku, semoga perploncoan segera hilang!
|
Foto ketika satu angkatan dikumpulkan oleh para senior
|